Berhasil Untuk Patah
Jika ada yang bertanya siapakah yang paling ahli dalam memanipulasi, maka seseorang akan menjawab dengan lantang. Ambisi, kataku. Begitu pekat bara api di dalamnya sehingga ketika ia merasuki jiwa, seluruh tujunya lurus, berusaha menyingkirkan apapun di depan layaknya kereta uap yang tak membiarkan barang sedikitpun si pemilik memegang kendali untuk berhenti. Perlahan dia lupa diri.
Seperti kala aku menatap kelap-kelip gemintang yang menari di balik kisi jendela. Kentara benar seberapa bahagia hati ini seandainya seorang maling tak sengaja memergoki senyumku yang bahkan terus merekah hingga pagi tiba. Selama itu pikiranku mengembara, mengarungi ruang kepalaku yang penuh sesak dijejali oleh mimpi dan cita-cita yang terasa semakin nyata.
Tepat jarum jam berdetak di pukul enam pagi, aku bergegas bangkit dari tidurku yang terjaga. Mandi dan berdandan rapi di depan cermin. Hari ini adalah hari keberangkatan tim kami untuk mengikuti IPhO (International Physics Olympiad) ke ibu kota.
"Diana, makanlah dulu," tegur Ayah dari kursi meja makannya saat aku sibuk dengan aksi membereskan tasku yang berisik.
"Tidak perlu, Ayah. Aku tidak ingin terlambat. Ayah makan sendiri saja," jawabku seraya memakai sepatu. "Ayah tahu kesempatan seperti ini hanya datang sekali seumur hidup."
"Bila kamu sakit, apapun yang kamu lakukan di sana bisa jadi tidak maksimal."
"Ayah, Diana sudah tahu bagaimana cara bermimpi dan cara mewujudkannya. Diana makan di sana nanti."
Ayah menghela napas, "Baiklah kalau begitu ambil bekalmu di meja depan."
"Baik. Terima kasih banyak."
Itu suara Zain, pemuda di sebelahku yang tengah memegang piala kejuaraannya. Aku tersadar dari lamunanku. Darla— begitulah nama di pin seragamnya— seorang wanita bertubuh sama jangkung denganku mengamati layar komputer pipih yang berisi poin masing-masing pemenang dan menatap kami secara bergantian. Aku meneguk ludah. Dia anggota NASA, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat yang dikirim untuk memilih salah satu orang sebagai calon anggota mereka.
Inilah cita-citaku.
Darla berdiskusi dengan teman-temannya dan menemukan satu keputusan. Ketika mulutnya mulai berkomat-kamit mengucapkan kalimat mendebarkan, yang kudapati adalah air mencoba membanjiri kelopak mataku. Aku mungkin jadi pemenang, tapi cita-citaku dijatuhkan sejatuh-jatuhnya.
Di sini, ada Zain yang tersenyum bahagia sedang berdiri bersama pelukan bangga ibunya. Di sini, pemenang lain saling memeluk dengan kedua orang tuanya, menangis. Di sini, semua penonton bersorak meriah. Di sini, aku berdiri kaku tanpa seorangpun mendampingiku dalam keadaan patah. Cukup menatap riuh-gemuruh suasana sekarang. Aku terisak dalam diam.
Ibu tak ada, ia sudah pergi sejak aku dilahirkan ke dunia. Ayah ... Ayah, Si Master Kimia itu memilih berhenti dari pekerjaannya. Dia memutuskan menjagaku dan toko bunga milik ibu. Kuakui dia manusia multiguna yang menginspirasiku dalam banyak hal. Hampir seluruh sel tubuhku adalah kloningan Ayah.
Ketika usiaku masih lima tahun, dia telah mengajari apa itu cita-cita, mimpi, dan harapan. Aku tumbuh menjadi seorang astrophile setelah diriku membaca sebuah cerita. Cerita itu yang memberi tahu bahwa sebuah bintang adalah dia yang kusayangi. Semenjak itu, aku selalu berdiri menatap bintik terang di angkasa sepanjang malam. Kadang aku mengadu seolah di sana Ibu mendengarku.
Suatu sore Ayah pernah mendapati saat aku menangis iri melihat mereka yang kedua orang tuanya lengkap. Ayah memelukku kemudian menatapku dengan sorot matanya yang tampak sedih. "Diana, Ayah masih di sini.
Aku masih tersedu. Ayah melanjutkan kata-katanya. "Kamu suka bintang karena Ibu, kan?"
Aku mengangguk, mengiyakan.
"Ayah akan memberi tahumu sesuatu."
"Sesuatu?"
"Tentang bagaimana kamu bisa mengenal bintang-bintang itu lebih dekat."
"Benarkah?" tanyaku memastikan.
Ayah tersenyum dan mengedipkan matanya. "Percayakan pada Ayah. Sekarang bereskan kamarmu, mandi, dan makan. Ayah akan menjahit sepatumu yang rusak seribu kali itu."
"Baik, Komandan!" Aku berlari dan melakukan perintahnya. Dalam hati aku bertanya-tanya. Bagaimana cara mendekati ibu yang jauh di sana?
Malam itu, Ayah mengajakku keluar rumah sambil membawa sebuah buku berwarna biru gaussian, warna yang mirip dengan langit malam. Di buku itu, bintik-bintik putih menghiasi layaknya bintang. Lembar demi lembar halaman yang diceritakan Ayah membuat mataku melebar tanda kagum yang amat dalam.
Sebuah gambar berbentuk kerucut tak sempurna, memiliki detail yang tak kumengerti bersisian dengan sesosok makhluk mengapung yang di udara. "Ayah, apa itu? Monster?"
Ayah terkekeh. "Bukan, Itu astronot. Kalau kamu ingin dekat dengan luar angkasa, kamu bisa menjadi salah satu di antara mereka. Benda kerucut itu bernama roket."
"Wah, Ayah, Diana ingin jadi mereka!"
"Walaupun ternyata bintang itu bola gas dan bukan Ibu?"
"Iya! Biarlah Ibu tetap hidup sebagai bintang dalam buku-buku ceritaku. Sekarang, idolaku adalah mereka yang ada dalam buku ini."
Ayah tertawa. Dia menarik tanganku ke taman belakang yang gelap gulita dan menyuruhku duduk. Entahlah di atas apa, aku yakin Ayah tak akan menitipkan diriku bersama monster. Tapi aku agak takut tatkala Ayah melepas genggamannya hingga suasana gelap itu berubah menjadi hal yang mengagumkan. Lampu-lampu berbentuk planet dan bintang bergantung indah dengan tali. Berwarna-warni dan menyala.
Aku berteriak kegirangan. Ayah datang dan duduk di sampingku. Rupanya aku tengah duduk di atas mobil mainan yang dibuat Ayah dari kayu yang dilengkapi mesin, dicat berwarna merah dan putih. Aku sendiri tak pernah melihat benda ini.
Bola-bola di sekitar berserakan di tanah. Namun lagi-lagi, suasana seperti luar angkasa pada gambar buku milik Ayah. Imajinasiku bangkit dan menjelajah raya seolah aku terbang mengelilingi antariksa bersama Ayah. Aku kembali berteriak senang dan tertawa ria bersama Ayah. Malam itu adalah malam di mana cita-citaku dicipta untuk kali pertamanya.
Ayah membantuku untuk itu. Ketika aku menginjak usia sekolah dasar, aku memeluk Ayah saat hendak memasuki kelas. Itulah tempat pertama yang menjadi bukti kecerdasan warisan Ayah. Hari-hariku setelahnya semakin disibukkan oleh tugas dan belajar seiring dengan ambisi yang kian membesar seperti tumor. Aku mulai lupa. Perlahan aku lupa. Sampai kini, waktu di mana kutatap rombongan-rombongan manusia menghambur keluar dari gedung, aku masih lupa.
Handphone-ku berdering di tengah-tengah kesunyian. Satu dua orang cleaning service menoleh padaku dengan wajah tertekuk keheranan. Aku mengabaikan mereka dan mengangkat panggilan video itu. Dari Bibi Mariana. Tak sedetikpun Bibi Mariana membiarkanku bertanya apa yang terjadi begitu panggilannya kuterima. Suaranya begitu panik sampai titik di mana aku sadar akan apa yang telah terjadi. Sambil berlari keluar gedung, aku menangis. Ayah ....
***
Pagi hari ini aku duduk dekat meja makan bertaplak warna coklat polkadot. Ada sebutir telur rebus mengeluarkan bau tak sedap di atasnya. Aku pikir ini makanan terakhir Ayah di rumah sebelum dibawa Bibi Mariana ke rumah sakit. Ayah tak mau menggangguku dengan kabar sakitnya sehingga Bibi Mariana tutup mulut. Sehari sebelum acara penghargaan, Bibi Mariana menawarkan dirinya untuk mendampingiku dengan alasan dia tinggal di ibu kota denganku. Ayah tak perlu susah-susah datang sehingga aku setuju.
Sebuah tongkat bersandar di kursi depanku. Itu kursi Ayah. Tempat di mana dia menyapa dan menawariku makan setiap pagi. Setiap pagi pula aku menolaknya dengan berbagai alasan. Kapan terakhir kali aku duduk menemani Ayah makan? Kapan terakhir kali aku bercanda ria denganmu?
Di dalam lemari kutemukan makanan basi dalam sebuah kotak. Seharusnya itu makanan kesukaanku. Teringatkan olehku delapan hari yang lalu saat suara Ayah mengingatkanku tentang bekal di meja depan. Ketika itu aku sudah berlari menjauh dari rumah.
Rasanya hati diremas-remas. Aku berjalan ke taman belakang, tempat yang jarang sekali kudatangi. Baru aku lihat pojok kirinya ditanami Ayah bunga hortensia berwarna-warni. Warnanya dominan biru, pH tanahnya tinggi. Langkah demi langkah kudekati tanaman pelambang kesepian itu. Linangan air mata membentuk garis-garis di pipiku dengan segera. Aku meringkuk, menangis sejadi-jadinya.
Ayah, maaf karena aku lupa. Maaf karena lupa untuk memeluk dirimu yang kali terakhir kulihat sudah berambut putih. Aku lupa sampai tibalah waktu untuk aku mengingat kembali, kamu yang seharusnya duduk di depanku sekarang sudah pergi menyusul Ibu. Ayahlah yang berhasil mendekati Ibu di sana. Meskipun kamu selalu berkata untuk tidak menyerah ketika kalah, di sini, aku berhasil untuk patah.
***
One of Berhasil Untuk Patah's story antology Nyalanesia 2023-
Lilyafa, 15 Oct
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro