Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Benang Terkuat Ibu


Dialah yang paling semangat ketika bel tanda pulang sekolah berbunyi. Bukanlah Alam nama dia jika tak terpontang-panting berlari keluar kelas. Semakin cepat pulang semakin baik, begitulah yang ada di pikirannya.

Bukanlah Alam kalau penampilan tak kusut. Satu-satunya hal paling kinclong yang dimiliki Alam adalah otaknya. Dia peraih predikat juara kelas sejak SD. Pakaiannya? Jangan tanya. Tambalan di sana-sini. Sepatunya sudah tak manusiawi akibat dilakban jutaan kali. Satu-satunya yang paling rapi tentang penampilannya adalah rambut yang tersisir. Tetapi sekusut apapun Alam di sekolahnya, bagi perkampungan kumuh tempat Alam tinggal rasanya biasa saja. Rada beruntung dia bertampang lumayan. Kata orang-orang, tampang bagus mempermudah hidup dalam segala aspek, terutama dalam bergaul. Alam pun memiliki teman baik.

Ode, sobatnya pernah memberikan petuah kontradiktif pada Alam saat pertama kali mereka berteman. "Bagi perempuan memang itu benar, Lam. Tapi bagi lelaki, harga dunia terletak pada kekuatan dan uang. Kau banyak uang, orang menghormatimu, kau lemah orang menginjakmu."

Dua kepala sedang membicarakan polah dunia di antara pematang sawah sembari menyaksikan matahari memasuki masa senja. Namun usia anak-anak itu masih satu persepuluh abad. Alam mengakui petuah itu benar walau tak seutuhnya. Sebab, dia sudah merasakan sendiri bagaimana dipijak dalam artian sebenarnya. Pasir lengkap dengan bijih besinya masih menempel di dahi dan pipi putih Alam. Kepalanya baru saja diinjak oleh manusia berlabel anak populer. Pemicu perkelahian itu tak lain karena ....

"Lihat, si kutu buku. Hei, anak culun!" seru si Anak Populer seraya merampas buku yang dibaca oleh Alam.

"Apa-apaan kau ini, kembalikan!"

"Lihat dia, rambutnya saja disisir rapi sampai mengkilap. Sepatunya?" Si Populer sambil menarik lakban dari sepatu Alam kemudian berkata, "sepatunya kinclong karena lakban hitam." Gerombolan siswa lain ikut menertawakan. Perempuan manis yang disukainya juga ikut tertawa. Saat itu juga air muka Alam berubah. Ada rasa panas membara di dadanya. Dia ingin menangis.

"Minimal dijahitlah. Ibumu penjahit, bukan? Masa jahit sepatu saja tidak mampu. Dasar miski—"

Satu pukulan melayang ke arah lawan. Tapi, kata almarhum Bapaknya anak lelaki pantang menangis.

"Kami miskin harta, tapi tak miskin akhlak."

Perkelahian pun terjadi. Asupan gizi kurang kelihatan. Tubuh ringkih ibarat tulang diberi tiga lapis daging sedang beradu dengan manusia lima lapis daging. Pada akhirnya yang bonyok tetaplah Alam. Ode yang mengakhirinya dengan sebaran uang-uang.

"Ah, sudahlah. Menyebalkan."

"Mungkin kau bisa kerja, Lam. Apalagi soal perempuan, dengan uang bisa mudah kau dap—"

"Kawan, berhentilah. Aku tak minat jadi buaya."

Ode tertawa.

Lagi pula, Alam tidak peduli apapun lagi kecuali belajar dan bagaimana cara bertahan hidup. Oleh karena itu Alam semangat pulang sekolah bukanlah karena kebebasan, melainkan bekerja menggantikan ibunya di toko Pak Karim karena pekerjaan Mak Sasti bukan hanya itu saja. Di rumah, Mak Sasti berkutat dengan pintalan benang dan mesin jahit. Koyok tak pernah lekang dari pelipisnya. Atas nama hati nurani, Alam pernah memaksa Ibunya untuk mengizinkan bekerja paruh waktu ketika masih duduk dikelas 6 SD sambil meraung-raung, berdrama sampai diizinkan.

"Mak sudah kasihan lihat kau, Lam. Biarlah Mamak saja yang bekerja untuk kau.

"Biar ringkih kau dikata orang, kaulah benang terkuatku."

Begitulah terharunya Mak Sasti melihat bakti anaknya. Syukurnya Pak Karim mau mengizinkan Alam bekerja menggantikan Mak Sasti sebab dia hanya diizinkan untuk itu. Syukurnya lagi, Alam orang yang giat, tekun, dan meskipun dapat dikatakan kurus ringkih, dia punya daya tahan tubuh yang kuat untuk melakukan semuanya hingga Alam beranjak memasuki masa remaja.

Namun dalam enam bulan terakhir ini, Alam harus senang sekaligus sebal karena harus mengikuti les. Sebal karena membuatnya terlambat datang bekerja. Senang karena dia dapat belajar untuk Olimpiade Matematika berkat ditunjuk oleh gurunya. Kabarnya, olimpiade itu memberikan hadiah uang tunai yang besarnya bahkan belum pernah dipegang tangan kasar Alam. Jadi dia rela membagi waktunya lebih untuk belajar dan belajar. Mak Sasti sungguh mendukungnya meski tak diberi tahu alasan mengapa anaknya itu begitu semangat dalam berekspektasi mengenai kemenangannya nanti.

“Mak, sudah dibilang Alam pasti menang.Lihat saja nanti,” kata Alam dengan cengiran saat ibunya menertawakan igauan Alam sewaktu tidur.

Alam terus belajar. Di sekolah, rumah, bahkan di tempat kerja. Buku hasil penjualan Pak Karim pun pernah tak sengaja terpakai untuk coret-coret rumusnya. Ketika minggu-minggu hampir menjelang hari pelaksanaan, dia hampir-hampir tak dengar perintah Mak Sasti untuk tak tidur larut malam.

Pagi buta di hari ketika semua peserta olimpiade bersiap untuk berangkat, tampaklah Alam tampil berbeda dari biasanya.Seragamnya tak bertambal lagi. Itulah hadiah dari Pak Karim. Ode, si Ahli Biologi menahan gelak tawanya tatkala Alam sedang membual.

“Kalian lihat sepatu ini? Ini aku yang membeli,” ucap Alam sambil berdiri menunjukkan sepatu mahal itu dengan bangga kepada teman-temannya, kemudian dia melanjutkan, “aku beli dari Ode tak lama lagi.” Ode paham Alam risih dengan tatapan aneh dari teman seisi bisnya sehingga Alam bermaksud memecah tatapan aneh mereka dengan bualan yang sebenarnya bukan bualan itu.

Baru saja aksi membualnya berhenti, senyum semringah Alam berangsur pudar. Ia terhuyung-huyung menuju kursi disamping Ode. Kepalanya benar-benar sakit. Tidak ada yang menyadari kecuali Ode.

“Kau kenapa?” tanya Ode.

“Kepalaku sedang pusing.”
Sebelum Ode melanjutkan wawancara, Alam buru-buru membungkamnya.

"Pusing biasa, paling hanya mabuk karena dalam bis.”

Ode mengangguk. Alam membuat alasan yang tepat untuk menghindari diagnosis dokter belum jadi, tapi dia sama sekali tidak dapat menemukan jawaban yang tepat atas rasa menusuk di kepala dan nyeri di perutnya. Dia mencoba untuk makan bekal dari ibunya, tapi sekejap kemudian perutnya menolak lagi. Persis seperti paginya. Sarapan berlauk tempe tak sanggup dia makan. Karenanya, Alam memindahkan nasi itu ke kotak bekal sehingga akhirnya dia membawa tiga bekal.Dua dari Mak Sasti, dan satu hasil karya tangannya.

“Mak, Alam pergi dan minta restumu. Maaf karena Alam tidak sanggup makan sarapan buatanmu pagi ini,” ucap Alam dalam hati ketika menyalami sang ibu yang sedang tersenyum melihat putranya mengenakan seragam bagus. Kemudian dia berlalu pergi tanpa apapun berada dalam lambungnya.
Alhasil, dalam perjalanan perut tak berisi itu menarik-narik saraf otaknya hingga terasa sangat menusuk. Begitu menusuk sampai saat mengerjakan suatu soal yang diberikan, dia  harus mengulang beberapa kali menghitung. Terkadang untuk soal yang menurutnya mudah Alam bisa mendapatkan tiga jawaban berbeda untuk tiga kali mengulang perhitungan.

Fokusnya terpecah antara mengerjakan soal dan menahan pusing. Dunia seakan berputar mengaduk angka-angka yang ada. Alam tetap berusaha meski begitu.
Atmosfer persaingan yang begitu ketat semakin mengguncang mentalnya seiring bangku-bangku di sekitar beranjak menuju kata sepi. Waktu dua jam hampir habis, dia belum menyelesaikan dua soal lagi. Alam mengingat kembali strategi yang dia rencanakan. Lebih baik mengosongkan jawaban karena nilainya nol, dibanding salah nilainya berkurang satu.’

Dia kembali fokus menghabiskan detik-detik terakhirnya bergulat pada soal tadi. Saat bel tanda selesai dibunyikan, hanya satu peserta yang tersisa. Itu Alam. Terlihat keringat membasahi sekujur tubuhnya kala panitia mengambil kertas uji.
Ketika turun dari lantai dua, tempat Alam mengerjakan soal-soal dewa itu, Ode sempat meraih bahu Alam karena hampir terjatuh. Tubuh itu terasa hangat ketika dipegang, suhunya tinggi. Kalau diukur dengan termometer, pastilah angkanya melebihi 36° C. Kakinya tak bisa bangkit lagi rasa-rasanya. Ode berkeliling gedung demi memanggil Bu Artika untuk melaporkan keadaan temannya.

Karena kejadian itu, kini Alam terbaring di rumah sakit. Duduk berdebar menyaksikan pengumuman yang direkam langsung oleh Ode disana. Sedang dia berbekal handphone milik Pak Karim untuk melihat bersama ibunya.
Podium luas pertama kali terisi oleh para pemenang Fisika, lalu Kimia, lalu Biologi. Ode tampil sebagai juara kedua di sana. Sepertinya kamera diserahkan pada seseorang. Ode tersenyum dan melambai pada Alam lalu mengacungkan jempolnya ke bawah, bermaksud untuk mengejek Alam di seberang kamera.

Alam merengut. Dia mencoba untuk tetap optimis, berdoa sebanyak yang dia bisa. Kala juara tiga pemenang Matematika dipanggil, detak jantungnya menari lebih cepat dari biasanya. Juara kedua dipanggil, Alam menghembuskan napas. Bukan namanya. Tanpa sengaja Alam melihat Ibunya menatap layar handphone dengan serius menggunakan matanya yang berkaca-kaca.

“Dan pemenang utama kita di bidang Matematika adalah ….” Dewan juri menjeda perkataanya.

Sebelum kecewanya terlihat menjadi nyata, Alam memutuskan akan mematikan siaran langsung dari Ode. Mak Sasti menahan tangan Alam.

“Afhamul Alam! Mari tepuk tangan meriah untuk ahli logika tahun ini,” seru sang dewan juri. Tepuk tangan meriah itu benar tak dapat dipercaya keberadaannya untuk Alam. Sepuluh detik lamanya Alam membisu.

“Benarkah ini, Mak?”

“Kau lihat saja,” jawab Ibunya.

“Benar, Mak!” Alam bersorak seperti anak kecil.

Alam memeluk Ibunya dengan sangat gembira sampai tawanya berubah jadi tangis haru.Terlalu bahagia hingga tak sadar jarum infus terlepas dari tangannya.Darah mengucur. Alam panik.

Sementara Mak Sasti sibuk memanggil perawat, di seberang sana Ode dengan bangga mengumumkan bahwa sobatnya tak bisa datang sehingga sebagai teman baik, dia rela memegang dua piala. Satu miliknya dan satu milik Alam. Berkat benang terkuat Ibunya,  lagi dan lagi, sang juara tetaplah Afhamul Alam.

***

Second winner short story for FLS2N-K 2023

-Lilyafa, 8 June

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro