20 | in mod di
2 0
i n m o d d i
[It] Dengan gayanya; dengan caranya.
RUPANYA yang aku benar-benar mendapatkan buket bunga.
Saat itu sekitar pukul tujuh malam pada hari jamuan makan malam perusahaan Kaden dan aku masih mengenakan jubah mandi, dengan rambut tersisir rapi ke belakang sehingga aku dapat leluasa merias wajahku, ketika bel pintu ke apartemenku berdering. Sejenak, aku tersentak, bertanya-tanya apakah Kaden datang lebih awal dari yang seharusnya. Kami sudah membuat janji sebelumnya pada pukul setengah delapan. Dan, dalam balutan jubah mandiku yang tua dan usang, aku masih belum berpakaian pantas untuk menerima tamu, terlebih kalau itu dirinya.
Mengikat tali jubah mandiku dengan kuat di pinggang, aku pergi ke ruang tamu dan mengaktifkan sistem interkom. "Halo?"
"Pengiriman untuk Isla Moore," terdengar suara kasar di ujung sana, diselingi oleh gelombang statis yang sedikit bergetar.
Alisku mengernyit menjadi satu. "Aku tidak memesan apa pun."
"Ini dari Tuan Kaden Bretton."
"Oh." Aku mengetuk tombol biru dan mundur satu langkah. "Silakan masuk."
Butuh beberapa menit sebelum aku mendengar ketukan di pintu. Saat membukanya, aku memberikan senyum sopan ketika aku melihat seorang pria berdiri di luar sana, tetapi mataku melebar kala mendapati buket bunga di tangannya. Dan bukan sembarang jenis bunga.
Forget-Me-Nots.
Untuk sesaat napasku tercekat di tenggorokanku ketika aku menatapnya. Lalu aku tersadar saat pria itu mengulurkan papan klipnya. Dalam keadaan agak linglung, aku mencoretkan tanda tanganku asal-asalan pada garis bertitik pada kertas, dan mengucapkannya selamat malam setelah dia menyerahkan buket itu padaku.
Menutup pintu, aku menatap bunga-bunga itu, menghirup dalam-dalam ketika aku mencium aroma wanginya. Untuk sesaat, rasanya seperti aku telah terlempar kembali ke masa lalu lagi. Sebuah kartu putih yang terpasang di ujung buket bunga itu tertangkap mataku dan aku mengambilnya dengan dua ujung jariku, lantas mengangkatnya untuk melihatnya lebih dekat.
Ini masih bukan kencan.
Gelembung tawa keluar dari bibirku dan aku memeluk buket itu dengan lembut di dadaku. Segalanya tampak kembali seperti semula, kami sepertinya kembali ke keadaan semula dan aku tidak bisa meminta lebih dari ini.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Penthouse Parker berada di lantai dua puluh tiga dan naik lift untuk menuju ke lantai bawah selalu memakan cukup banyak waktu. Aku memainkan gelang charm tipis di pergelangan tanganku; gelang yang sama dengan yang diberikan Parker kepadaku pada ulang tahunku yang keenam belas, dan menarik napas panjang.
Kaden mengatakan bahwa dia akan menungguku di limusinnya, tetapi aku tidak tahu bagaimana harus bersikap di depannya. Biasanya aku selalu menganggap diriku sebagai orang yang cukup percaya diri, tetapi kurasa dia selalu memiliki kemampuan untuk menghancurkan segala jenis penjagaan seseorang. Gaunku untuk malam ini adalah sesuatu yang kupilih secara khusus untuk kesempatan ini—warna biru malam, dengan garis leher yang jatuh di bawah bahu; sesuatu yang telah disetujui oleh Millie ketika aku mengirimi gambarnya beberapa waktu lalu.
Itu pasti berarti sesuatu jika dia menyukainya.
Aku hanya bisa berharap Kaden juga menyukainya, dan aku benar-benar terlihat pantas di antara semua tamu terhormat dan berpakaian bagus.
Pintu lift terbuka di lantai pertama dan aku melangkah keluar dengan ragu, menuju pintu keluar utama. Dan kemudian berhenti ketika melihat limusin menunggu di luar, dengan Kaden bersandar di pintu mobil.
Dia mengenakan tuksedo hitam yang membalut tubuhnya dengan pas, ponselnya menempel di telinganya dan wajahnya terlihat tenang secara profesional saat dia berbicara. Dia tampak sangat tampan malam ini, dengan rambutnya yang ditata sedemikian rupa sehingga membuat beberapa helainya jatuh ke dekat matanya, dan aku mendapati diriku mulai kesulitan dalam mengatur napas.
Kemudian dia mendongak secara tiba-tiba, ekspresi wajahnya membeku sesaat ketika dia melihatku. Matanya mengamatiku sejenak sebelum kembali ke wajahku, tatapannya semakin gelap dengan emosi yang tidak dapat kuungkapkan.
Bernapaslah, Isla. Ini bukan dongeng.
Meskipun rasanya seperti itu.
Aku mengambil beberapa langkah ragu-ragu ke arahnya karena dia tampak melamun selama beberapa detik, tidak melakukan apa-apa selain dengan tiba-tiba mengakhiri panggilannya dengan seseorang. Ketika aku hanya berjarak satu lengan, dia menelan ludahnya dan berdeham.
"Isla," suaranya terdengar serak yang membuat gigil menuruni tulang belakangku. Padahal dia hanya mengucapkan namaku—dan tak ada yang lain.
Seringai jahat melengkungkan bibirku ketika aku tiba-tiba memikirkan kata-kata Nolan. Dan kemudian aku benar-benar tidak bisa menahannya. "Bukankah rasanya sangat panas di sini atau hanya aku saja?" Aku bergumam, menatapnya dengan binar di mataku dan mengulangi kalimat gombalannya. "Tidak, tunggu, akulah yang panas!"
Tatapannya menjadi gelap dan dia mengambil satu langkah lebih dekat dengan sengaja, membuat senyum memudar dari bibirku tiba-tiba ketika aku tersadar akan seberapa dekatnya jarak kami. "Aku tahu kau sedang mengolok-olokku, terima kasih pada ketidakmampuan Nolan untuk tutup mulut," gumamnya, mengulurkan tangan untuk menyentuh bunga forget-me-nots yang kutempelkan di rambutku dan kujepit ke belakang dengan sebuah klip.
Dia sekarang sudah terlalu dekat sehingga jika aku berjinjit, hanya satu inci, bibir kami akan bertemu. Ketegangan terasa begitu jelas, tetapi bukanlah sesuatu yang membuatku merasa tak nyaman. Ini membuatku gugup saat menyadari setiap tindakan yang dia lakukan.
"Tapi kau sangat cantik, dan bahkan mengatakan itu akan terdengar meremehkan," tambahnya, dan aku bisa merasakan napasnya yang panas di pipiku, "jadi jangan coba-coba menggodaku, Isla."
Sekarang giliranku yang tersentak, karena aku tidak menduga kata-kata itu akan keluar dari mulutnya, dan fakta bahwa dia mengatakannya dengan nada penuh kejujuran membuatku menggigil.
Jemarinya masih menelusuri garis rambutku, mengikuti jejak panas di kulitku ketika dia menangkup perlahan tulang pipiku. Jantungku berdetak-detak tak menentu ketika tatapannya mengarah ke bibirku dan dia mulai menundukkan kepalanya, rasanya sangat mustahil untuk terjerat akan aroma yang menguar dari dirinya yang merupakan kombinasi racun yang memabukkan. Dan dia begitu dekat, sangat dekat untuk kusentuh, begitu dekat untuk kucicip—
"Hei, Isla?"
Mataku terbuka lebar dan aku menatapnya dengan bingung. Dia memberiku senyum miring kecil yang menghilang dengan cepat, dan ada binar geli terselubung menari di mata hijaunya ketika dia mengambil langkah mundur, lantas bergerak untuk membuka pintu limusinnya.
"Ini masih bukan kencan."
Matanya masih berbinar dan berkelap-kelip saat dia menungguku masuk ke dalam mobil. Masih setengah terperangkap dalam kebingungan, aku tersandung, mengabaikan senyum miring di bibirnya saat dia menyusul masuk di belakangku.
Nolan salah—bahkan jika Kaden Bretton tidak bisa mengucapkan rayuan maut untuk menyelamatkan hidupnya, dia masih bisa menggoda seseorang dengan cara lain jika dia mau, dan itu membuatnya menjadi kombinasi yang jauh lebih mematikan.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Kau bisa memberitahuku tentang seribu satu cara untuk mengendalikan emosiku, tetapi ketika aku memasuki ballroom Mortezion malam itu, aku merasa begitu tercekat ketika gelombang nostalgia menyapu diriku dalam sekejap. Pestanya sudah berjalan dengan lancar. Lampu-lampu yang tampak redup dan memandikan ruangan dalam pencahayaan yang indah, musik lembut bersenandung sebagai latar dan banyak pasangan berdansa di tengah ruangan.
Untuk sesaat, aku merasa seperti aku kembali menjadi diriku yang baru berusia enam belas tahun lagi, seorang gadis yang penuh akan rasa percaya diri, bersemangat untuk menghadapi dunia, siap untuk jatuh cinta, siap untuk memiliki memetakan hidupnya dengan cara sempurna seperti dongeng yang sering kudengar.
Kaden sepertinya merasakan keragu-raguanku dan ikut berhenti, melirik ke bahunya. Alisnya berkerut karena khawatir ketika dia melihat ekspresi di wajahku. "Semuanya baik-baik saja?"
Aku sudah cukup lama memahami bahwa hidup ini tidak sempurna. Namun, itu bukan berarti kesempurnaan tidak akan pernah terjadi di saat-saat tertentu dalam hidup kita.
Jadi aku membiarkan senyum melengkung di bibirku saat aku mengangguk. "Sempurna," aku menarik napas, sebelum melirik ke barisan meja-meja. Ada terlalu banyak meja dan aku agak tersentak ketika aku tidak bisa melihat plakat familier dengan namaku tertera di situ. "Di mana kursi kita?"
"Di dekat bagian depan," dia menjawab dengan lembut, meletakkan tangannya di punggungku saat dia menuntunku melewati kerumunan orang. Sebagian besar dari mereka tampak bersemangat untuk menyambutnya, tetapi Kaden hanya menggumamkan salam samar dan tidak pernah menetap lama melebihi dari yang diperlukan.
Sebagian dari diriku bertanya-tanya kenapa dia memperkenalkanku sebagai Isla daripada asisten pribadinya, tetapi pikiran itu dengan cepat kubuang ketika dia menekankan telapak tangannya lebih kencang ke lekuk punggungku. Aku bisa merasakan panas kulitnya menembus kain tipis gaunku dan itu terasa mengganggu yang membuatku tidak fokus.
Hal pertama yang kuperhatikan ketika aku sampai di meja kami adalah bahwa meja itu tepat di sebelah fountain cokelat. Aku tidak tahu apakah ini benar-benar kebetulan, kalau Kaden memesan fountain cokelat karena Nolan mengatakan kepadanya bahwa aku menyukai hal-hal semacam ini, dan meletakkannya begitu dekat dalam jangkauanku. Seketika, perutku berbunyi karena gelombang rasa lapar yang baru, tetapi aku mengabaikannya, tersenyum sopan ketika Kaden secara singkat memperkenalkan beberapa orang lain padaku.
Segera aku tersadar bahwa sebelas orang di meja kami adalah bos dari perusahaan terkemuka atau para sosialita, dan sebagai asisten pribadi Kaden, aku agak mencolok seperti ibu jari yang sakit. Walau begitu, aku tetap berjabat tangan dengan beberapa dari mereka, tersenyum pada yang lain dan langsung melupakan sebagian besar nama mereka—kecuali Vincent Sterling, yang kursinya ada di sebelahku dan yang namanya langsung menyentuh satu saraf dalam ingatanku.
"Aku pernah bertemu adikmu," kataku, setelah kami memperkenalkan diri dengan benar. Kaden segera diserbu oleh beberapa orang saat dia duduk di meja, dan dia sedang asyik mengobrol dengan mereka. "Callen Sterling, kan?"
Mata biru Vincent melebar karena terkejut, tetapi dia mengangguk. "Kau sudah bertemu dengannya?"
Aku tersenyum sekarang, senang karena setidaknya ada seseorang di meja ini selain Kaden yang bisa kuajak bicara. Vincent tampak cukup tertarik untuk mengetahui bagaimana aku bertemu saudara perempuannya, jadi aku menghabiskan sisa makan malam berbicara dengannya.
Callen adalah salah satu dari sekian banyak gadis yang kadang kala pergi untuk makan siang bersama Kaden. Dia tampak benar-benar cantik, dan dia bahkan selalu menyempatkan dirinya untuk mengobrol denganku setiap kali dia mampir. Dan pada suatu hari ketika aku harus tetap di kantor untuk menyelesaikan pekerjaan, Callen meletakkan kantong kertas berisi makanan siap saji di mejaku ketika dia kembali setelah makan siang bersama Kaden.
Aku sadar Kaden melirikku diam-diam sepanjang acara makan malam—dia sangat disibukkan oleh banyak orang, terutama wanita yang ingin berbicara dengannya dan aku tidak ingin mengganggu. Vincent baru saja memberitahuku tentang perusahaannya di Amerika ketika sebuah suara yang begitu akrab mengganggu kami.
"Isla Grace Moore, aku terkejut kau pergi ke fountain cokelat tanpa aku."
Aku bahkan tidak perlu menoleh untuk tahu kalau Nolan berdiri di belakangku. Ini hotelnya, jadi bagian ini tidak terlalu mengejutkan.
Aku buru-buru meminta maaf kepada Vincent, yang dengan apik menertawakannya dan dengan cepat memulai percakapan dengan beberapa orang lain di meja. Lalu aku berbalik, hanya untuk melihat Nolan berdiri di belakang kursiku, lengannya melingkar malas di sekitar pinggang seorang gadis berambut pirang yang tampak seperti model di sampul majalah Vogue. Kami bertukar senyum sopan—Nolan memiliki bakat membawa wanita yang berbeda-beda ke pertemuan sosialnya dan sepetinya untuk seumur hidupku, aku akan selalu kesulitan untuk mengingat apakah aku pernah bertemu dengan gadis-gadis itu sebelumnya—tetapi sebagian besar gadis-gadis yang dibawanya tampak menyenangkan dan tidak berbahaya.
"Maaf," kataku pada Nolan, melebarkan mataku dengan polos ke arahnya. "Apakah kita akan memiliki semacam reuni untuk menikmati fountain cokelat itu?"
Dia memelototiku. "Ya, benar, kita kan bertemu di fountain cokelat semacam itu empat tahun yang lalu, dan sekarang kita akan bersama-sama menikmati fountain cokelat itu untuk bernostalgia." Dia berbalik ke arah si gadis pirang dan menjatuhkan lengannya dari pinggangnya. "Aku akan segera kembali. Isla dan aku harus mengambil refill cokelat."
"Tentu," dia sepertinya tidak peduli sama sekali dan hanya tersenyum kembali padanya. "Ambilkan saja salah satu dari itu–"
"Kue yang dicelupkan ke dalam cokelat, aku tahu," dia kembali dengan santai dan pergi duluan, meninggalkan gadis itu menatapnya dengan mulut sedikit terbuka. Seperti biasa Nolan menjadi dirinya yang impulsif dan tak peka. Dia seperti anak anjing hilang yang sama sekali tidak tahu bagaimana memperlakukan teman kencannya.
Aku menggelengkan kepala dan berdiri, bergerak ke depan untuk menggenggam lengan si gadis pirang dengan lembut. Dia menatapku dan aku tersenyum. "Buah yang dicelupkan ke cokelat, kan?"
"Ya," dia kembali, terdengar agak lega, "stroberi, kalau itu mungkin, kumohon."
"Mengerti," aku meyakinkannya dan berbalik ke arah Kaden, dengan maksud untuk bertanya apakah dia menginginkan sesuatu. Namun, satu lirikan ke arahnya dan aku menyadari bahwa dia masih terjebak dalam urusan bisnisnya. Kami bahkan tidak bertukar kata sepanjang malam.
Menahan napas, aku menuju ke arah Nolan, yang sudah berdiri di depan fountain cokelat dan tampak begitu gembira menyirami cokelat di atas tumpukan kue di piringnya.
"Membuat cokelat sebagai bahan utamanya, ya?" kataku menggodanya, mendorong Nolan ke samping supaya aku bisa mendapatkan sepiring stroberi untuk teman kencannya, serta beberapa kue untuk diriku sendiri.
Dia menyeringai, matanya berbinar saat dia mengingat percakapan kami di kali pertama kami bertemu. "Selalu," dia membalasnya dengan cepat, menyendokkan cokelat dengan murah hati untukku.
Kami mengobrol sebentar sebelum dia kembali ke teman kencannya dan aku kembali ke mejaku, ingin segera memulai hidangan penutup. Stella dan beberapa orang dari tempat kerja mampir untuk berbicara denganku yang mana begitu aku syukuri karena selain Kaden dan Vincent, aku tidak dapat berbicara dengan siapa pun di meja ini.
Ketika mereka pergi, aku menoleh ke arah Kaden dan menyadari bahwa dia akhirnya memiliki jeda senyap singkat di mana tidak ada yang seorang pun yang mengganggunya. Dia masih di tengah-tengah menyelesaikan sesi makan malamnya karena semua gangguan yang terjadi sebelumnya, dan aku merasakan terenyuh saat aku menyaksikan Kaden menghabiskan makanan yang hampir tidak tampak semenarik penampilannya saat baru disajikan.
Meletakkan garpu, aku mendorong piring kue dan cokelatku ke arahnya. "Ini. Atau aku bisa mendapatkan sepiring lagi untukmu, jika kau mau," aku menawarkan dengan cepat.
"Tidak, tidak apa-apa."
Namun, dia berhenti ketika matanya tiba-tiba tertuju ke wajahku, alisnya menyatu. Kemudian dia mengulurkan tangan ke depan, ibu jarinya menyapu begitu santai sudut bibirku sehingga aku nyaris terjengkang dari tempat duduk karena terkejut. Sebagai gantinya, aku membeku, jantungku berdegup kencang di dadaku ketika aku merasakan jarinya menempel di bibirku untuk beberapa saat.
Ada sesuatu yang sangat sensual tentang gerakannya, meskipun itu dilakukan dengan cepat, dan aku merasakan lega ketika dia menarik dirinya kembali, matanya menggelap dalam warna hijau pekat saat dia menjilat sisi ibu jarinya dengan gerakan yang begitu cepat sehingga aku hampir tidak menangkapnya.
"Ada sedikit noda cokelat di sana," gumamnya, suaranya terdengar serak yang membuat jari-jari kakiku merengket.
Aku menarik napas tajam dan berusaha mengumpulkan akal sehatku, menyeret serbetku sampai ke bibirku hanya untuk menyadari bahwa dia benar, ada noda cokelat samar dan itu karena aku adalah orang yang selalu makan dengan berantakan.
Meskipun begitu, dia tidak perlu menjilat bekas cokelat itu dari ibu jarinya tepat setelah menyekanya.
Dasar sialan. Kaden Bretton sangat mahir dalam menggodaku malam ini, dan aku bahkan tidak tahu permainan apa yang sedang dia mainkan. Pada kenyataannya, aku bahkan tidak dapat memastikan apakah ini masih sebuah permainannya lagi.
Mendorong pikiran itu keluar dari benakku, aku menyeret kursiku satu inci lebih dekat untuk berbagi sisa kue dengannya. Kami makan dalam diam selama satu atau dua saat, sampai dia mulai berbicara.
"Aku tidak tahu kau dan Nolan pernah bertemu empat tahun yang lalu," katanya, dan ada semacam nada curiga dalam suaranya yang membuatku terdiam, garpuku melayang di udara ketika aku menatapnya dengan ragu. "Bagaimana kalian berdua bertemu?"
Dia tidak tahu.
"Kami bertemu di sebuah pesta," kataku perlahan, membiarkan setiap kata meresap dalam keheningan lembut di antara kami, "Empat tahun lalu, pada ulang tahunku yang keenam belas, Parker-lah mengadakan pestanya. Nolan ada di sana—kami bertemu di fountain coklat. Dan kau juga ada di sana."
Dia tersentak, tampak sangat terkejut sehingga aku tahu betul kalau aku benar. Aku benar selama ini.
Dia benar-benar tidak tahu.
Kaden Bretton tidak tahu siapa aku sebelum aku memerankan Evangeline. Satu tarian yang rasanya berarti bagai seluruh dunia bagiku, rupanya sesuatu yang dapat dengan mudah dilupakannya.
"Kita bertemu empat tahun lalu?" Dia bertanya dengan nada tak percaya. Untuk sekali ini, ekspresi wajahnya tidak terjaga. Dia hanya tampak benar-benar bingung. "Apakah kita memperkenalkan diri kita atau—"
Namun, sisa pertanyaannya dibiarkan menggantung karena seseorang dari seberang meja telah memberinya isyarat. Kaden mengangguk singkat pada pria itu tetapi berbalik ke arahku, rasa ingin tahu memenuhi matanya. "Isla–"
"Kau harus pergi," kataku pelan, senyum tipis tersungging di bibirku. "Aku akan menjelaskannya nanti kepadamu."
Dia berdiri tetapi berhenti, menatapku dengan ekspresi yang tidak bisa dibaca. "Berdansalah bersamaku nanti," gumamnya, permintaannya yang tiba-tiba membuat pikiranku terguncang dalam sensasi yang tak terduga.
Aku mengangguk tanpa ragu. Dia pergi dan aku kembali menikmati kue cokelatku, memandangi pasangan-pasangan di lantai dansa. Jumlah orang di sana meningkat saat makan malam berakhir dan malam terus berlalu. Dan aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak bernostalgia ketika aku melihat mereka.
Aku sudah lama curiga kalau Kaden tidak mengingat pesta ulang tahun keenam belasku selama ini, tetapi cinta memiliki cara yang lucu untuk membuatmu bertahan pada sepotong harapan yang bahkan tidak ada di sana sejak awal. Kekecewaan itu samar-samar terasa, hanya saja aku sudah bukan lagi gadis berusia enam belas tahun yang dulu dan aku telah berlabuh pada kenyataan sejak lama, tetapi tetap saja perasaan menyengat itu ada.
Namun, itu tidak penting. Isla yang berusia enam belas tahun tidak akan pernah dalam sejuta tahun membayangkan menjadi sedekat atau mengenal Kaden Bretton seperti aku sekarang, dan itu sudah lebih dari cukup.
Aku masih duduk termenung di meja, ketika aku merasakan seseorang menepuk pundakku. Itu adalah Vincent Sterling, dan mata birunya terlihat begitu cemerlang ketika dia mengulurkan tangannya.
"Mau berdansa?"
Merasa agak bingung, aku melirik ke belakang melewati bahuku kalau-kalau aku salah menafsirkan pertanyaannya. Namun, tidak ada orang lain yang berdiri di belakang sana, setidaknya tidak ada orang yang cukup dekat untuk bertanya.
Melepaskan tawa ragu-ragu, aku berbalik padanya dengan ragu. "Siapa–aku?"
"Kita bisa melanjutkan pembicaraan yang kita lakukan sebelumnya," dia mengedipkan matanya sebentar, tangannya masih menggantung di udara dan menungguku untuk menerimanya. "Aku baru saja akan menjanjikanmu tur keliling New York jika kau kebetulan berkunjung."
Senyumku melebar dan aku segera mengulurkan jemariku. "Aku suka itu."
Berdansa dengan Vincent Sterling sangat indah, untuk setidaknya. Dia sopan, menawan, dan ramah, dan aku lebih dari merasa geli ketika melihat beberapa kepala wanita berpaling ke arahnya setiap kali dia menertawakan sesuatu yang kukatakan. Setelah lagu selesai, pengusaha lain dari meja yang sama bertanya apakah dia bisa berdansa denganku.
Aku langsung setuju. Kelihatannya Kaden tidak akan selesai dalam waktu dekat, dan aku tidak memiliki hal lain untuk dilakukan. Dan seperti itulah aku menghabiskan sisa malam itu—menari dengan orang asing atau mengobrol dengan orang-orang yang kukenal setiap kali ada kesempatan.
Aku sedang berbicara dengan beberapa orang dari tempat kerja ketika Kaden muncul. Mengabaikan tatapan terang-terangan lainnya, dia mengambil gelas sampanye dari tanganku dan meletakkannya di atas meja, sebelum menarikku dengan lembut ke lantai dansa bersamanya.
Dia tampaknya tidak ragu-ragu ketika dia melingkarkan satu tangan di pinggangku sementara jemari dari tangannya yang lain terulur untuk menggenggam tanganku dengan lembut. Dia menarikku lebih dekat daripada yang diperlukan, tetapi tidak cukup dekat untuk orang lain mengira kalau kami adalah sepasang kekasih, dan aku dengan ragu-ragu meletakkan sebelah tanganku di bahunya.
"Aku mulai berpikir kalau kau lupa telah mengajakku berdansa sebelumnya," aku mengakui, kata-kata itu keluar dengan tergesa-gesa saat aku bertemu dengan tatapannya.
Dia menggelengkan kepalanya, sejumput rambut hitam jatuh ke matanya saat dia melakukannya, dan aku menahan keinginan untuk menggerakkan tanganku dan menyingkirkannya dari sana untuknya. "Aku berjanji akan berdansa denganmu, Isla. Kenapa aku lupa?"
Karena kau lupa pada apa yang sebelumnya pernah kita miliki.
Aku menggigit kata-kata yang mengancam ke permukaan dan hanya tersenyum. "Bagaimana malammu? Ada kesepakatan bisnis yang bagus?"
Alisnya terangkat. "Apakah kita benar-benar akan membicarakan pekerjaan sekarang?"
"Maaf."
Bibirnya membentuk senyum kecut yang memudar secepat datangnya. "Jadi, katakan padaku," dia mulai perlahan, ekspresi serius menyelinap ke wajahnya saat dia berbicara. "Bagaimana kita bertemu di pesta empat tahun lalu?"
Aku menghela napas panjang. "Well, Nolan dan teman-temannya berbicara kepadaku dan Parker menjadi diri yang terlalu protektif memintamu untuk menyelamatkanku dari mereka. Yang mana kau lakukan—dengan mengajakku berdansa," aku menambahkannya, sebuah senyuman melengkungkan di bibirku ketika aku mengingat situasi itu dengan sempurna.
Kaden membeku, langkah kami terhenti. "Aku mengajakmu berdansa?"
Aku mengangguk.
Dia terdiam selama satu atau dua saat, sebelum melanjutkan langkah lambat dan megah kami yang selaras dengan musik. "Aku benar-benar tidak ingat apa-apa," akunya, matanya memancarkan permohonan maafnya saat dia menatapku. Dia memelukku sedikit lebih dekat sekarang, lebih protektif, kedua lengannya melingkari pinggangku dan lenganku melingkari lehernya.
"Tidak apa-apa. Kau pergi ke banyak pesta dan melakukan banyak dansa." Satu tatapan ke arahnya membuatku tersadar bahwa firasatku benar. Dia tak bisa disalahkan untuk apa pun, karena itu hanya satu dansa di antara puluhan yang dilakukannya, dan aku hanya seorang gadis di antara begitu banyak lainnya. "Tidak perlu meminta maaf."
"Isla, aku–"
"Itu bukan salahmu. Kita dulu hanyalah orang asing untuk satu sama lain." Aku tersenyum lembut padanya. "Tapi aku berharap—jika ini bukanlah permintaan yang berlebihan— tolong setidaknya ingat dansa kita malam ini, karena ini sangat berarti bagiku."
Kaden menarikku lebih dekat dengan gerakannya yang sangat posesif, lengannya mengencang di pinggangku. Aku bisa merasakan napasnya hangat di wajahku; jemarinya bergerak memetakan sesuatu di punggungku dengan cara yang membuatku merasa sepenuhnya rapuh dalam genggamannya.
"Aku tidak akan lupa," gumamnya, dan ada sesuatu yang sepenuhnya menghipnotisku tentang caranya mengatakan itu, yang membuat mataku bergerak mengamati bibirnya untuk sejenak. Mungkin karena kedekatan di antara kami, atau lampu redup yang membuat segala tentangnya begitu memikat. Yang mana pun itu, aku mendapati diriku begitu tertarik pada pergerakan bibirnya untuk beberapa saat, sebelum aku memaksa mataku kembali untuk bertemu dengan tatapannya.
Namun, dia justru dengan jelas memperhatikan tengkukku, karena matanya kini menjadi lebih gelap dalam sesuatu yang tak dapat kugambarkan yang membuat dingin mengaliri tulang belakangku dan sampai ke ujung sarafku. Dia mengunci tatapanku selama satu atau mungkin dua detik, sebelum membungkuk, rambutnya menggelitik keningku saat dia membungkuk lebih dekat padaku. Dan sangat mudah untuk jatuh ke dalam perangkapnya, begitu mudah untuk terjebak dalam suasana, dalam dansa ini, dalam dirinya.
Napas yang keluar dari bibirku membuatku terdengar terengah-engah dan aku baru saja akan membiarkan mataku terpejam ketika sebuah gerakan yang tertangkap oleh sudut mataku membuatku membeku ketakutan.
"Isla?"
Suara Kaden terdengar menenangkan dan penuh kekhawatiran, tetapi aku hampir tidak dapat mendengarnya. Alih-alih, perhatianku tertuju pada ayah Kaden yang berjalan ke arah kami dengan langkah yang kuat dan penuh tekad, matanya dingin dan penuh perhitungan. Dan aku tahu bahwa aku hanya memiliki kurang dari sepuluh detik untuk mengambil keputusan.
Tetap di sini atau pergi?
"Isla, ada apa?"
Aku berpaling untuk menatap ke arah Kaden, yang menatapku dengan cemas. Hanya masalah waktu sebelum dia tahu apa yang sedang terjadi.
Tetap di sini atau pergi?
"Ti—tidak ada," aku tergagap, dan sebelum aku menyadarinya, aku merenggut lenganku dari genggamannya, memutar tumitku dan berlari menuju pintu keluar terdekat.
Pergi.
Lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro