19 | vibrato
1 9
v i b r a t o
[It] Fluktuasi nada yang digunakan untuk menghidupkan dan memperkaya suara.
AKU SANGAT terkejut ketika Stella mengajakku untuk pergi bersamanya ke Mortezion beberapa hari kemudian. Meskipun dia bekerja di bagian admin, dia tetap ingin membantu rekan-rekannya yang lain yang harus menyiapkan tempat terselenggaranya pesta. Aku sangat senang karena bisa ikut, jadi setelah menyelesaikan beberapa email dan membuat beberapa panggilan telepon atas nama Kaden, aku menghubungi Kaden melalui interkom untuk memberi tahu pria itu kalau aku akan pergi.
"Ini hanya untuk beberapa jam," aku menambahkan, ketika dia tidak mengatakan sepatah kata pun. "Aku akan membantu menyiapkan beberapa hal, tapi aku akan kembali sebelum kau menyadarinya."
Namun, bunyi klik pada interkom membuatku agak terkejut. Aku melirik Stella, yang duduk di atas mejaku, mendengarkan percakapan itu ketika dia membuka salah satu folder. "Aku terkadang kesulitan memahaminya," aku mengakui, menggelengkan kepalaku kebingungan. "Tepat ketika aku mulai berpikir bahwa aku mungkin memahaminya, aku tersadar kalau aku gagal. Ini seperti mengambil satu langkah ke depan dan dua langkah ke belakang."
Stella hanya mengedipkan matanya. "Itulah yang kita sebut dengan enigma, cinta. Menurutmu kenapa sebagian besar orang lajang di gedung ini menyukainya?"
Aku membuka mulut untuk menjawab, tetapi pintu ruang kerja Kaden terbuka tiba-tiba. Beberapa orang keluar dari kantor, nyaris tidak memberi kami lirikan saat mereka melanjutkan percakapan yang mereka diskusikan selama meeting. Dan kemudian Kaden melangkah keluar, tampak tampan seperti biasa dalam setelan hitam dan ekspresi tertutup.
Mata Stella membelalak melihat bos kami dan dia dengan cepat melompat dari meja, merapikan foldernya kembali. "Tuan Bretton."
Bibirku tersentak dalam seringai kecil. Aku selalu merasa lucu saat melihat orang-orang terkagum padanya, ketika aku sendiri sering kali lupa pada kenyataan bahwa dia adalah bosku.
Kaden mengangguk singkat padanya sebelum menatapku. "Aku ikut denganmu."
Aku hampir jatuh dari kursi karena kaget. "Apa?" Aku berseru, melirik Stella sekilas, yang sama-sama tercengang.
"Ke Mortezion," dia menjawabnya dengan tenang, meskipun aku berani bersumpah, aku melihat kilat geli di matanya. "Aku ingin melihat bagaimana persiapannya."
"Tapi—"
Dia mengangkat sebelah alis ke arahku. "Takut aku akan mengganggu acaramu bersenang-senang."
Sebenarnya bukan itu. Aku hanya masih belum sepenuhnya tersadar kalau dia ingin melihat tempat itu juga. Dia bukan perencana acara, juga bukan bagian dari tim persiapan. Rasanya agak aneh kalau dia ingin berada di sana ketika orang-orang akan menyiapkan meja dan mendekorasi ruangan di sekitarnya.
Namun, aku tidak mengatakan hal itu karena sebagian dari diriku menyukai kenyataan bahwa dia tidak akan menjaga jarak berlebihan lagi dengan pegawainya. Sangat menyenangkan rasanya mengetahui dia ingin lebih terlibat dalam aspek pekerjaan.
Jadi aku hanya tersenyum. "Agaknya begitu, yeah."
Dia menyipitkan matanya, tetapi aku menangkap kilat terhibur samar-samar di dalamnya dan tahu dia sama sekali tidak tersinggung. Mengambil mantelku yang tersampir di bagian belakang kursi, Kaden menyerahkannya kepadaku, beserta tasku yang sebelumnya tergeletak di atas meja. "Ayo."
Aku menerima tasku, mengenakan mantel yang dia berikan kepadaku. Kaden pergi duluan, meninggalkan Stella dan aku membuntutinya, dan gadis itu langsung menyelipkan lengannya di tanganku begitu Kaden berada cukup jauh dan tak dapat mendengarnya.
"Sayang, apakah yang kulihat sebelumnya adalah caranya menggodamu?" Dia bertanya, matanya berkilau karena penasaran. "Aku belum pernah melihat Tuan CEO di sana memperlakukan siapa pun dengan informalitas semacam ini sebelumnya."
"Betulkah?"
"Mm. Aku sudah di sini selama beberapa tahun sekarang sejak Parker mewawancaraiku di Bretton Industries, dan aku pernah melihat banyak hal dan mendengar banyak hal—tapi tidak pernah yang seperti ini."
Alisku terangkat ketika aku melangkah ke lift bersamanya. Kaden sudah ada di dalam, menekan tombol menuju lantai pertama. Dia melirik kami sekilas sebelum menatap ponsel di tangannya dan mulai mengirim pesan singkat.
Aku memastikan diriku menurunkan suaraku terlebih dahulu sebelum berbicara dengan Stella, cukup sadar bahwa luas lift itu agak kecil dan sunyi. "Parker mewawancaraimu di sini?"
Stella sepertinya tidak keberatan atas pertanyaanku sama sekali. "Well, dia memang menawariku pekerjaan di firma hukumnya, tapi karena aku tidak tertarik atau memenuhi syarat untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan hukum, dia malah menjadwalkan wawancara untukku di sini."
Senyum terulas di bibirku untuk sesaat ketika aku memikirkan sosok kakakku itu dan apa yang telah dia lakukan untuk teman-temannya. "Itu bagus."
"Ya," Stella setuju. "Parker selalu baik sejak bertahun-tahun aku mengenalnya. Ngomong-ngomong, aku ingin bertanya—berapa lama kau berteman dengannya?"
Pertanyaannya yang tiba-tiba membuatku kaget dan aku bimbang. "Uh–"
"Karena jika kau sudah mengenalnya sejak masa SMA, kupikir kita mungkin teman sekolah," tambahnya, dengan senyum cerah.
Aku membuka mulut untuk merespons—memberikan balasan yang sebenarnya, masih agak sulit kuungkapkan—ketika pintu lift terbuka di lantai bawah. Mataku melebar ketika aku melihat beberapa orang berdiri di luar menunggu untuk masuk dan aku menelan ludahku.
Ini tidak baik.
Namun, sebelum aku bisa panik, Kaden mengangkat tangan untuk menghentikan mereka. Mereka segera melangkah mundur, terlihat lebih dari sekadar senang untuk menunggu lift berikutnya. Begitu pintu lift tertutup, dia menoleh ke arah Stella.
"Isla adalah teman keluarga Collins," katanya sederhana, dengan cara yang tidak menyisakan keraguan atau membiarkan siapa pun bisa menebak-nebak lebih jauh. Jawabannya mengejutkanku karena secara teknis itu bukanlah kebohongan—aku adalah teman keluarga Collins, baik Rosemary dan Parker mengenalku dengan baik—tetapi juga tidak terlalu dekat dengan kebenaran untuk diselidiki Stella lebih jauh.
Stella tampak benar-benar senang karena Kaden langsung menyapanya dan dengan mudah menerima penjelasannya. "Aku mengerti."
Aku melirik Kaden dengan sorot penuh terima kasih, senyum kecil melengkung di bibirku ketika dia menundukkan kepalanya sebagai anggukan pelan, sebelum dengan bijaksana mengalihkan topik pembicaraan. "Seberapa banyak daftar tamu untuk pesta itu, Nona Banks?" Dia bertanya.
Stella langsung menegakkan tubuhnya, tatapan profesional menyelinap di wajahnya ketika dia mulai bercerita tentang daftar tamu. Ketika lift terbuka di lantai pertama, mereka berdua berjalan lebih dulu dan aku tertinggal di belakang, mendengarkan percakapan mereka dengan penuh minat. Aku sangat terkesan dengan kepercayaan diri yang Stella miliki dan cara dia membawa dirinya sendiri.
Aku ingin mendengar lebih banyak hal tentang pesta itu dan orang-orang di daftar tamu, tetapi ketika kami sampai di tempat parkir, Stella dengan sopan menolak tawaran dari Kaden untuk mengantarnya ke Mortezion, dan memilih untuk menyetir sendiri ke sana. Aku tidak melewatkan kedipan cepat yang gadis itu tujukan kepadaku saat aku masuk ke dalam mobil Kaden bersamanya.
Perjalanan ke hotel terasa sunyi bagiku, tetapi itu karena Kaden sibuk menjawab panggilan telepon. Aku menyibukkan diri dengan menjawab pesan singkat yang dikirim Millie. Dia mendengar dari Castor tentang bisnis katering yang ditawarkan Kaden kepada Sugar Rush, dan dia sangat senang karena itu.
Dia bertanya apakah aku dapat menyampaikan pesan terima kasih kepada Kaden atas namanya, jadi ketika ada jeda dalam panggilan telepon, aku menoleh padanya. "Millie bilang terima kasih. Dia pacar Castor," aku buru-buru menjelaskan, ketika dia sejenak mengalihkan pandangannya dari jalanan untuk menatapku dengan bingung. "Dia sangat berterima kasih untuk peluang bisnis yang kau berikan pada kafe kemarin."
"Jangan pikirkan itu," Kaden membalas dengan sederhana dan aku tersenyum, menatap ponselku lagi untuk menyampaikan pesan Kaden kepadanya.
Mobil berbelok ke jalanan di mana hotel Nolan berada. Gedung yang sama dengan tempat tinggal Kaden, yang membuatku teringat pada waktu-waktu saat aku merawatnya ketika dia sakit. Setelahnya Kaden meminta seseorang untuk memarkir mobilnya, kami melangkah ke lobi hotel, menuju ballroom utama.
"Apakah ada alasan kenapa kau memilih hotel ini secara khusus daripada yang lainnya?" Aku bertanya secara acak, dalam upaya membunuh keheningan di antara kami. Ini tidak lagi terasa aneh, tetapi aku hanya tidak suka keheningan panjang yang tampaknya berlangsung selama berhari-hari. "Maksudku, Nolan memiliki banyak jaringan hotel—kau bisa dengan mudah memilih yang lain."
Dia menatapku dengan tatapan sinis, seolah pertanyaanku sangat berlebihan. "Kenapa aku memilih yang lain kalau ini yang paling nyaman?"
"Well, itu benar. Jika kau akan bercinta dengan teman kencanmu, kenapa repot-repot memesan kamar ketika kau sudah memiliki, kan?" Aku mengatakan ini dengan nada menggoda, hanya demi mendapatkan reaksi darinya, tetapi aku lebih dari bingung ketika dia hanya mengangkat alisnya ke arahku dan aku mulai merasa waspada. "Apa?"
"Aku tidak memiliki teman kencan," jawabnya datar, sambil lanjut berjalan. "Ini bukan ajang bersosialisasi untukku, Isla, aku akan berada di sana untuk melakukan bisnis. Kau harus tahu; kau ikut denganku."
Aku berhenti di tengah lintasan, menatapnya dengan rahang kendur dan mata terbelalak. "Aku?"
"Kau asisten pribadiku, bukan?"
"Tapi–" suaraku menghilang saat aku mulai ragu akan ketidakpastian, "kupikir aku bisa melakukan pekerjaan di belakang. Seperti, menyiapkan tempat atau membersihkan ruangan setelah acara atau—"
"Kau pikir aku akan menyuruhmu melakukan semua itu?" Dia terdengar agak terkejut sekarang, dan aku ingin tertawa.
"Aku tidak tahu—aku tidak mendapat undangan atau dalam daftar RSVP."
"Itu karena kau duduk bersamaku, di mejaku, sepanjang malam ini—kau tidak perlu undangan itu. Kau bahkan tidak perlu melakukan apa-apa, santai saja dan nikmati acaranya."
Mungkin ini hanya aku; mungkin karena aku tipe orang yang sangat mudah untuk merasa senang. Namun, kata-katanya sangat berarti untukku, dia secara khusus mengundangku ke acara makan malam bersamanya, bahkan meskipun ini hanya untuk tujuan profesional. Namun, sebagian dari diriku tidak dapat menahan keinginan untuk kembali menggodanya. "Jadi, ini kencan?" Aku bertanya dengan lembut.
Matanya menyipit. "Ini bukan kencan."
"Apakah kau akan menjemput dan mengantarku pulang dari pesta?"
"Akan ada limusin besar—ya," dia dengan enggan menjawabnya, seolah-olah di dipaksa untuk mengatakan kebenarannya. "Dan aku tidak akan mengemudi, akan ada sopir untuk malam ini."
"Apakah kau akan memberiku bunga?"
Dia menatapku dengan tatapan kesal. "Apakah kau ingin bunga?"
"Tidak, fountain cokelat dan cupcake red velvet sudah lebih dari cukup," aku menjawab dengan lembut, mencoba untuk menahan keterkejutanku kala dia benar-benar bertanya. Tatapannya semakin dalam dan aku membiarkan bibirku meringkuk dalam senyuman menggoda, hampir tidak mampu menahan satu umpan terakhir. "Sepertinya aku jadi percaya kalau kau tidak tahu cara mengajak seorang gadis berkencan, Kaden."
"Ini bukan kencan!" Merasa jengkel, dia berbalik dan berjalan dengan cepat ke arah ballroom. Namun, ketika aku mulai bertanya-tanya apakah aku sudah berlebihan dan benar-benar membuatnya marah, dia berhenti dan melirikku dari atas bahunya. "Apakah kau akan berdiri di sana sepanjang hari?"
Aku menyadari bahwa inilah yang terjadi—dorongan dan tarikan yang konstan di antara kami berdua. Ketika aku mendorongnya, dia menariknya kembali, tetapi dia tidak pernah pergi terlalu jauh. Kadang-kadang ini terasa melelahkan, tetapi hasilnya entah bagaimana selalu memuaskan—mengetahui bahwa dia masih ada di sana, apa pun yang terjadi.
Menggelengkan kepala, aku tersenyum dan menyusulnya.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Ekspresi terkejut yang mencolok dari para pegawainya benar-benar menggelikan ketika Kaden masuk ke dalam ballroom. Aku menggigit bibirku agar tidak tersenyum dan mengikutinya, menjaga cukup jarak saat dia dengan cepat memulai percakapan dengan salah satu manajer hotel yang mengawasi persiapan. Ada jumlah seimbang antara staf hotel dan pegawai dari perusahaan Kaden di ruangan itu; satu-satunya atribut yang dapat membedakan mereka adalah bahwa karyawan hotel mengenakan seragam mereka yang biasanya.
Stella mendatangiku, dengan sebuah papan klip di tangan dan kilau di matanya. "Kau benar-benar menikmati waktumu. Aku sudah di sini selama sepuluh menit," dia tertawa ketika aku mulai mencari-cari jawaban yang cukup sopan, dan mencengkeram lenganku dengan lembut, menuntunku ke arah rekan-rekannya. "Ayo, kita memiliki beberapa dekorasi di sini yang perlu disortir."
Teman-temannya ramah dan bersahabat, dan aku segera mulai bekerja bersama mereka. Aku akhirnya tahu kalau mereka adalah campuran dari beberapa departemen yang berbeda—ada yang dari produksi, yang lain dari pemasaran atau human resource, tetapi mereka semua masih cukup baru di perusahaan dan berjuang dari bawah.
Aku kira ini adalah alasan mereka diberi pekerjaan yang lebih kasar. Stella, yang adalah kepala human resource, bahkan tidak seharusnya ada di sana. Dan ketika mereka mendengar bahwa aku adalah asisten pribadi Kaden, mata mereka terlihat nyaris menggelinding dari kepala mereka, dan mereka menjadi jauh lebih sopan dari sebelumnya.
Segalanya menurun setelah itu. Sebagian besar dari mereka tampaknya enggan membiarkanku melakukan pekerjaan yang lebih melelahkan secara fisik, yang artinya cukup bagus tetapi aku tahu bahwa mereka memperlakukanku dengan cara ini semata-mata karena hubunganku dengan Kaden. Merasakan situasi tidak nyaman yang kualami, Stella segera membawaku pergi dan bertanya apakah aku akan membantunya memilah-milah meja untuk para tamu.
"Jangan pedulikan mereka," Stella menjelaskan, ketika kami duduk di meja kosong dan dia mulai menyebar daftar tamu di depan kami. "Kurasa mereka hanya tidak terbiasa denganmu. Sial, kurasa mereka juga agak cemas karena Kaden ada di sini. Mereka semua seakan-akan berjalan di atas cangkang telur karena mereka takut membuat kesalahan di depannya. "
Aku tersenyum dan mengatakan kepadanya bahwa semua baik-baik saja. Namun, tiba-tiba aku jadi mengerti kenapa Kaden sangat membenci situasi sosial. Jika orang-orang itu tidak melimpahinya dengan sanjungan untuk mempermanis kesepakatan bisnis mereka dengannya, maka mereka akan lebih suka menghindarinya karena Kaden terlalu mengintimidasi mereka.
Stella dan aku mulai memilah-milah daftar tamu, ketika salah satu nama penerima manfaat itu membuat gelombang kejutan menerjangku, begitu tiba-tiba dan begitu luar biasa sehingga aku merasa hampir kehabisan napas.
Karena Rumah Yatim Piatu Breckenridge dimasukkan di bagian bawah daftar yang sama yang kurekomendasikan secara tiba-tiba kepada Kaden. Dia tidak hanya mempertimbangkannya, tetapi menambahkannya ke dalam daftar juga.
Aku tidak tahu harus berpikir apa. Dan ketika dia berjalan ke meja untuk membahas daftar tamu panjang lebar dengan Stella dan beberapa pegawai lainnya, aku kesulitan mengeluarkan ucapan terima kasih dari tenggorokanku, aku benar-benar kehilangan kata-kata.
Tak akan pernah ada kata yang sepertinya cukup untuknya.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Namun, kata-kata itu akhirnya terucap beberapa jam kemudian, ketika Kaden dan aku kembali ke kantor. Ini sudah lewat jam kerja tetapi Kaden masih bekerja keras. Pada pukul delapan tiga puluh, aku menyeretnya menjauh dari pekerjaannya dengan menggodanya menggunakan makanan Meksiko, dan aku kembali terpikat pada pemandangan kota dari jendela ruang kerjanya yang megah saat aku makan.
Kaden duduk di sampingku di ambang jendela, masih berkirim pesan singkat sambil mengunyah makanannya seperti orang kelaparan tetapi tetap rapi. Aku sangat iri padanya karena itu—aku makan dengan berantakan, selalu, dan sepertinya tidak akan pernah ada bedanya sekalipun aku sudah sangat berhati-hati.
Aku melirik ke arahnya dan berpikir bahwa ini mungkin waktu yang paling tepat. Jadi, mengesampingkan karton makananku, aku menarik napas dalam-dalam. "Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih," kataku pelan, dan Kaden segera mengalihkan pandangannya dari ponsel untuk menatapku. "Untuk memasukkan panti asuhan itu dalam daftar penerima manfaat."
Dia mengedikkan bahu. "Itu bukan sesuatu yang besar, Isla."
"Oh, tidak, tidak," aku bersikeras. Mata hijaunya mengerjap bingung dan untuk beberapa alasan, aku merasa perlu menjelaskan, untuk memberitahunya dengan tepat bagaimana perasaanku. "Ibuku sangat suka melakukan pekerjaan sosial, dan dia biasanya mengajakku ke panti asuhan itu setiap akhir pekan. Dia selalu mengatakan bahwa karena kami bukan orang kaya, ada cara lain untuk bisa membantu mereka yang kurang beruntung. Kadang-kadang, dia akan membuat beberapa kue kering untuk anak-anak di rumah itu, atau kadang-kadang dia hanya pergi ke sana untuk membaca atau berbicara kepada mereka. Apa saja dilakukannya–dia mengatakan bahwa kita dapat melakukan apa pun, selama kita menaruh sepenuh hati kita di sana."
Aku berhenti sebentar, berusaha memaksakan senyum di bibirku ketika Kaden memperhatikanku dengan seksama. Namun, rasanya sulit, karena beberapa hal tidaklah semudah itu untuk dikelabui dengan senyuman, terlepas dari seberapa banyak pun tahun-tahun telah berlalu.
"Ibuku sudah meninggal sekarang," ujarku, kata-kata itu meluncur keluar dari mulutku sebelum aku bisa berpikir dua kali. Namun, karena itu Kaden dan entah bagaimana, memberitahunya tentang hal-hal semacam ini terasa benar. "Dia meninggal ketika aku berusia tujuh tahun dan aku benar-benar tidak ingat banyak tentangnya lagi karena aku masih sangat kecil, tapi aku masih merindukannya, kau tahu? Kurasa apa yang ingin aku katakan adalah—" Aku menelan ludahku susah paya, berkedip untuk mengembalikan air mata yang menyengat dari bagian belakang kelopak mataku, "–terima kasih, untuk meneruskan tujuan ibuku yang tak dapat menyelesaikannya seorang diri."
Untuk sekali ini, Kaden tampak tidak yakin harus berkata apa. Aku melihat keraguan di wajahnya, dan dia berdeham dua kali sebelum mengangguk. "Hanya itu yang dapat kulakukan."
Aku tersenyum padanya sebelum mengalihkan tatapanku saat air mata jatuh dari sudut mataku. Rasanya memalukan untuk mulai menangis di depan Kaden, dan aku tahu aku harus keluar dari sini. Segera.
"Aku mau minum kopi," gumamku, berdiri tiba-tiba dan berbalik untuk pergi. Namun, sebelum aku bisa melarikan diri, dia mengulurkan tangan dan menggerakkan jemarinya di pergelangan tanganku.
Kontak mendadak itu cukup membuatku membeku di tempatku, jantungku berdetak kencang ketika aku merasakan jemarinya mengeratkan cengkeraman mereka. Aku merindukannya. Tidak ada kebohongan tentang itu—aku kehilangan setiap bagian dari Kaden Bretton dan segalanya, dan melihatnya berada di sekitarku tetapi tidak cukup dekat untuk menghilangkan jarak di antara kami terasa sungguh menyakitkan.
Aku berbalik dengan ragu, memperhatikan dengan hati-hati ketika dia bangkit. Dan kemudian aku harus mendongak sekarang, karena sosoknya yang menjulang tinggi, di antara gelap dan keindahan cakrawala kota. Suasana ini selalu mengantarkan gelombang nostalgia meledak di sekitarku. Tak peduli di mana pun kami berada, di pantai atau di sini, juga tak peduli sebetapa indahnya pemandangan itu, karena ketika aku memandangnya, hanya dia yang bisa kulihat.
Ekspresinya tampak melembut saat dia menatapku sejenak. Lalu dia melingkarkan ke belakang tubuhku dan menarikku ke arahnya dengan lembut, memelukku erat-erat. Rasanya mustahil untuk tidak bersandar padanya, perasaan akrab dari pelukannya terasa lebih kuat dari sebelumnya dan aku merasa seakan kami tidak seharusnya berpisah sejak awal. Dadanya hangat dan keras seperti yang kuingat, lengannya kuat dan aman.
Kami terdiam beberapa saat, dan kemudian dia berbicara. "Kau tahu," dia memulai, suaranya begitu rendah sehingga hampir tak terdengar, napasnya hangat di pipiku, "kau bisa menangis."
Kata-katanya adalah kehancuranku dan aku mengangguk cepat sebelum membiarkan mataku terpejam, mengubur wajahku di dadanya. Aku membiarkannya memelukku saat aku membiarkan air mata merembes melewati kelopak mataku yang tertutup.
Dan, untuk sesaat, semuanya sesederhana itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro