16 | lo stesso
1 6
l o s t e s s o
[It] Sama; diterapkan pada tempo, artikulasi, dll.
MENDAPATKAN CUTI untuk satu hari kerja adalah sesuatu yang harus kumanfaatkan sepenuhnya. Saat bangun pukul sebelas, aku memutuskan untuk pulang dan mengunjungi ayahku yang sangat kurindukan. Aku mendapati dia sedang sibuk di taman seperti biasa dan dia sangat senang kala melihatku, serta bertanya-tanya apakah aku sudah sangat merindukan rumah sampai-sampai aku meninggalkan pekerjaanku dan kabur untuk pulang.
"Tentu saja tidak," kataku sebal, saat dia menanyakan itu. "Aku pikir kau akan senang kalau aku datang ke sini untuk menemuimu."
"Aku senang," elaknya, mengernyitkan alisnya saat dia menatapku. "Tidak bisakah kau melihatku tersenyum?"
"Kau mengernyitkan kening karena sinar matahari, Ayah."
Aku diam memperhatikannya ketika dia menggali tanah di sekitar tanaman bunga mawar dan memindahkan akarnya ke pot yang baru. Sebagian dari diriku berharap aku bisa berada di sini sepanjang waktu untuk membantunya—puji Tuhan karena Castor bersedia bekerja di sini selama musim panas, dan Millie yang sesekali turun membantu karena aku tak di sini lagi.
"Jadi, bosmu, bocah itu," dia memulai.
Aku sedikit menyeringai, bertanya-tanya apakah ayahku tahu seberapa kaya dan berpengaruhnya Kaden Bretton. Ayahku mendengar hampir seluruh hal yang perlu diketahuinya tentang pekerjaan baruku. Namun, tidak seperti Parker yang agak protektif dan terus memastikan agar Kaden tidak melampaui batas; Ayah menerima berita ini dengan semringah.
"Apakah kau semakin dekat dengannya?"
"Aku tidak tahu," kataku jujur, membantunya memuat beberapa pot ke dalam gerobak. "Kupikir tadi malam begitu—ketika aku lembur untuk membantu Kaden di tempat kerja... tapi, tampaknya kami sudah berada di jalan buntu."
"Well, kau tahu solusi untuk setiap dan segala masalah adalah–"
"–komunikasi," aku menyahutnya dan mengangguk. Ayah selalu menasihati diriku tentang ini sejak aku masih kecil dan ini adalah konsep yang tidak pernah kulupakan. "Aku mengerti. Dan aku selalu memercayai itu. Sampai Kaden versi baru ini datang dan dia tidak mau mendengarkan apa pun yang kukatakan. Jadi Millie mengatakan kepadaku kalau tindakan akan lebih berarti daripada sekadar kata-kata dan kalau aku harus menunjukkan kepadanya bahwa aku masih peduli padanya."
Ayah terkekeh. "Dan bagaimana hasilnya untukmu?"
"Tidak terlalu bagus," aku mengakui, dengan senyum malu-malu. "Kadang-kadang itu berhasil, tetapi kadang-kadang dia marah dan hanya menutup diri."
"Aku mengerti," kata Ayah, setelah jeda sesaat. Dia terus bekerja dalam diam untuk beberapa waktu, sebelum menatapku. "Kau tahu, orang-orang menutup diri karena berbagai alasan. Mungkin bocah ini tidak begitu marah, tetapi dia takut."
Alisku terjalin menjadi satu. "Takut?" gemaku, merapalkan kata itu di ujung lidahku. Namun, tampaknya hampir tidak masuk akal kalau Kaden, pria yang memiliki segalanya itu, akan takut pada apa pun—apa lagi hanya aku. "Kurasa dia tidak takut."
"Hanya menebak, Sayang."
Aku menggelengkan kepalaku padanya dan tersenyum manis, dan melanjutkan memuat pot. Setelah beberapa menit, sebuah gagasan tiba-tiba muncul di benakku dan aku berhenti. "Hai, Ayah?" Dia menatapku, dan aku balas menatapnya lurus. "Apakah kau ingat kalau Ibu dulu suka menjadi relawan di panti asuhan?"
Dia tersenyum lembut padaku. "Kau masih ingat itu?"
"Tentu saja. Salah satu hal yang tidak akan pernah kulupakan. Apakah kau kebetulan mengingat nama panti itu?"
Ayah mengerutkan kening. "Breckenridge, kurasa," katanya kemudian, "aku tidak sepenuhnya yakin, tetapi jika kau memeriksa barang-barang ibumu, aku yakin kau akan menemukan nama panti itu tertulis di suatu tempat."
"Terima kasih, Ayah."
"Bagian dari pekerjaanmu?"
Aku tersenyum dan mengangkat bahu. "Sesuatu semacam itu."
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Soreku bersama Ayah berlalu dengan sangat cepat dan aku kembali bekerja pada hari berikutnya dengan merasa sudah mendapatkan istirahat yang cukup. Hal pertama yang kuperhatikan ketika aku masuk adalah tumpukan file di mejaku. Itu adalah tumpukan file yang sama yang harus aku selesaikan dua hari yang lalu, hanya saja aku tertidur tiba-tiba.
Aku bersikeras untuk menyelesaikannya kali ini. Jadi aku mulai dengan membaca proposal dan informasi yang tertulis dalam dokumen setiap penerima manfaat, menandai yang kupikir memerlukan lebih banyak bantuan dan membuang yang tidak.
Pada pukul sepuluh pagi ketika aku berhenti di tengah-tengah pekerjaanku dan menyadari kalau Kaden belum masuk kerja. Sebagai pemimpin perusahaan, jam kerjanya agak sporadis. Namun, dia biasanya datang paling lambat pukul sepuluh, jadi ini adalah sesuatu yang jelas berbeda.
Aku merasa agak kehilangan tanpa Kaden. Omong kosong, aku benar-benar merasa sangat kehilangan, karena aku adalah asisten pribadinya dan aku tidak tahu apa pekerjaanku sekarang karena dia tak ada di sana. Kepada siapa aku seharusnya mengarahkan panggilan? Jadwal siapa yang seharusnya aku rencanakan sekarang? Ke mana aku mengantar klien yang ingin menemuinya?
Namun, ini hanya segelintir kekhawatiranku karena pikiranku jauh lebih terfokus pada kenyataan bahwa sesuatu mungkin telah terjadi pada Kaden.
Ketika ragu, orang pertama yang terpikir olehku akan selalu menjadi kakakku. Karenanya, aku mengirim pesan singkat padanya tentang keberadaan Kaden ini, mengetuk-ngetukkan jariku tak sabar pada meja saat aku menunggu jawabannya. Tidak butuh waktu lama. Beberapa menit kemudian, nomor Parker melintas di layar ponselku dan aku menjawabnya dengan bersemangat.
"Jadi, di mana Kaden?"
"Bahkan bukan halo?" Aku bisa mendeteksi jejak geli samar-samar di bawah nada jengkel buat-buatannya. "Aku melangkah keluar di tengah-tengah meeting untuk menjawabmu dan ini yang kudapat?"
"Please... kau bisa saja hanya membalas pesan singkatku, kau tidak perlu keluar untuk meneleponku. Jadi sungguh, kurasa kau sendirilah yang pasti ingin keluar dari meeting itu."
"Cerdas," dia tertawa kecil. "Ngomong-ngomong, untunglah kau mengirimiku pesan singkat karena Kaden meneleponku pagi ini untuk memberi tahu dirimu kalau dia sakit, tapi karena aku sibuk sepanjang pagi dan aku jadi lupa soal itu. Katanya, kau hanya perlu memeriksa file-file di mejamu dan kemudian kau bisa pulang."
Dadaku menegang penuh kekhawatiran yang tiba-tiba menyergapku, dan aku menggenggam ponselku lebih erat di telingaku. "Tunggu—apakah ada yang bersamanya?"
"Aku ragu tentang itu—karena dia tinggal di penthouse suite di hotel Nolan dan bukan di rumah pantai."
Alisku naik. "Dia tinggal di Mortezion?"
"Cabang yang paling dekat dengan tempat kerjamu. Sebenarnya, dia memang tinggal di sana—dia membeli suite itu dengan harga yang konyol beberapa tahun yang lalu dan dia tinggal di sana sejak saat itu. Aku rasa aku akan mampir menjenguknya nanti sore, tetapi jika kau akan pergi, dengan senang hati aku akan menyingkir, "tambahnya menggoda.
"Kau idiot," tegurku, tetapi tidak bisa menghentikan senyum samar yang melengkung di bibirku. "Kembali ke ruang meeting-mu."
"Ya, Bu."
Parker menutup panggilannya dan aku meletakkan ponselku, mengumpulkan sisa-sisa file dalam satu tumpukan yang rapi. Aku tidak tahu siapa yang harus kuberi tahu kalau aku akan pergi, karena aku tidak melaporkan pada suatu departemen khusus kecuali Kaden sendiri, aku pikir tidak apa-apa pergi setelah memberi tahu salah satu rekanku di lantai atas kalau aku harus memeriksa sesuatu. Dengan membawa file-file itu, aku keluar dari gedung dan masuk ke mobil, berhenti sesekali untuk membeli beberapa bahan makanan dan obat-obatan.
Mengunjungi Mortezion selalu seakan melangkah ke dunia paralel. Bahkan dalam setelan kerjaku, aku masih merasa tidak pada tempatnya, terutama dengan tas belanjaan dan setumpuk file di tanganku. Aku langsung bergerak menuju meja resepsionis, mengantre di belakangan pasangan Swedia yang sedang menyelesaikan proses pemesanan kamar mereka, sebelum maju dan berhadapan dengan seorang resepsionisnya.
"Hai," sapaku dengan sopan, "aku ingin bertanya, apakah kau dapat menelepon pemilik salah satu penthouse suite untukku. Aku adalah teman Kaden Bretton's, dan aku di sini untuk berkunjung."
Wanita itu hanya diam menatapku, dan aku tidak melewatkan kilatan kecurigaan di matanya saat dia memandangku. "Apakah kau ada dalam daftarnya?"
"Ada semacam daftar untuk bertamu?" Samar-samar aku merasa geli atas kenyataan bahwa hotel ini benar-benar secara khusus melayani para pengunjung Kaden. Namun, ini adalah hotel Nolan dan Nolan dapat mengesampingkan aturan sesuai keinginannya, termasuk mengakomodasi tempat tinggal Kaden dengan memiliki daftar tamu tetap di sini.
"Ya. Siapa namamu?"
"Isla Moore," aku memulai, terbata-bata, mengerutkan kening ketika aku melihat dia memasukkan namaku ke dalam sistem komputer. "Tapi–eh, kurasa aku tidak di—"
"Namamu ada di daftar ini."
Aku mengerjap. "Apa?"
"Tuan Bretton sudah mendaftarkan namamu di sini," jawabnya, sambil tersenyum ramah kepadaku dan mengangkat telepon. "Biarkan aku menghubunginya."
"Oh–baiklah."
Bergerak-gerak gugup, aku mencoba untuk memproses situasi yang baru saja terjadi. Ini tidak masuk akal. Kaden sangat tertutup di kantor dan bahkan tampaknya tidak menginginkan keberadaanku. Jadi kenapa dia mendaftarkan aku sebagai orang yang bisa mendapatkan akses mudah ke tempatnya?
Resepsionis itu mendongak semenit kemudian. "Kau bisa naik sekarang. Semoga harimu menyenangkan, Nona Moore."
"Terima kasih dan kau juga."
Masih merasa agak bingung, aku langsung menuju lift. Segalanya tampak lancar dan aku mengambil beberapa kesempatan untuk mengamati hal-hal yang perlu diperhatikan, seperti misalnya apakah ada bau basi atau lantai yang tidak bersih atau bahkan retak di furniturnya. Hanya untuk bersenang-senang, sehingga aku dapat meneruskannya ke Nolan dan menggodanya tentang hal itu. Namun, aku tidak menemukannya. Liftnya bersih dan koridor yang mengarah ke penthouse suite itu sangat apik.
Ketika lift mencapai lantai atas, aku mengangkat lebih tinggi setumpuk file dalam pelukanku dan melangkah keluar, tetapi kemudian tersentak ketika aku melihat Kaden bersandar dengan lelah di dinding, mengenakan kaus putih tipis dan celana olahraga.
Dan dia tidak terlihat senang.
Aku dengan cepat menuju ke arahnya, merasakan gelombang kekhawatiran muncul di sekelilingku saat aku melihat lingkaran hitam di bawah matanya dan samar-samar garis lelah di sepanjang rahangnya. "Apa yang kau lakukan di sini? Kau seharusnya di tempat tidur!"
Dia menatapku dengan tatapan tak senang. "Tentu saja, tetapi seseorang harus membukakan pintu untukmu," suaranya adalah timbre kasar yang tidak pernah kudengar sebelumnya, dan dia berhenti karena terbatuk-batuk pada akhirnya.
"Berhentilah bicara," kataku segera, mengabaikan caranya memelototiku, dan mengikutinya menuju pintu besar beberapa langkah di sepanjang koridor yang dibiarkannya terbuka. "Apakah kau menginap di kantor sepanjang malam untuk bekerja lagi?"
Kaden tak menjawab. Dia bahkan tak menawarkan bantuan untuk membawakan barang-barangku atau membukakan pintu untukku ketika aku memasuki suite-nya, menghilang dengan cepat ke kamar tidur di sebelah kanan. Setelah dia menjatuhkan tumbuhnya ke tempat tidur tanpa mengatakan hal-hal pedas apa pun lagi, barulah aku menyadari betapa keadaannya tak baik-baik saja.
Menutup pintu dengan cepat di belakangku, aku segera meletakkan tas dan tumpukan dokumenku, lalu pergi ke dapur dan meletakkan barang belanjaan di atas meja. Kulkasnya benar-benar kosong, hanya ada bir ringan dan air botolan. Awalnya aku terkejut, tetapi kemudian aku tersadar bahwa saat Kaden membutuhkan makanan yang harus dirinya lakukan hanyalah mengangkat telepon dan meminta staf hotel mengantarkannya langsung ke kamarnya.
Aku pergi ke kamar Kaden, meredupkan lampu di dekat pintu dan bergerak ke seberang tempat tidur untuk membangunkannya. "Di mana termometermu? Apakah kau meminum obat?"
Dia mengabaikanku. Menghela napas, aku menaikkan dan memosisikan sebelah lututku ke sisi tempat tidurnya agar aku bisa memegang tubuhnya dengan lebih kuat lantas menegakkan tubuhnya. Dia tidak melawan ketika aku kembali meletakkan kepalanya di atas bantal yang baru kuletakkan, menggerakkan punggung tanganku dengan lembut di keningnya. Matanya terbuka perlahan, berkedip dan akhirnya berfokus padaku.
Aku mencoba tersenyum, meskipun dalam hati aku panik dan bertanya-tanya apakah perlu membawanya ke rumah sakit. "Kau demam," kataku kepadanya, "tapi bertahanlah, aku akan membuat kompres es dan merebus sup ayam dan kau akan baik-baik saja."
Namun, tangannya segera terulur ke pergelangan tanganku ketika aku menariknya kembali. "Apa–apa yang kau lakukan, Isla?" dia berbisik parau, tatapannya gelap dan mencari-cari mataku ketika dia berusaha menatapku.
"Aku di sini untuk menjagamu—bukankah itu sejelas itu? Aku tahu aku bukan tenaga medis terbaik yang bisa kau dapatkan, tetapi aku tidak bisa meninggalkanmu begitu saja."
Jika kupikir kata-kataku akan meredakan kekhawatirannya, itu tidak terjadi. Sebagai gantinya, dia melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tanganku dan memalingkan wajah. "Kau tidak seharusnya di sini. Kau akan jatuh sakit juga."
"Aku akan baik-baik saja," aku bersikeras dan meraihnya kembali.
"Pergi, Isla."
Dia menepis sentuhanku dan mataku menyipit. "Baiklah, jika kau ingin aku pergi, maka kau harus mendengarkan dan melakukan apa pun yang kuperintahkan kepadamu, kalau tidak, aku akan berada di sini sepanjang hari. Sepanjang minggu ini, jika aku harus melakukannya."
Tanpa menunggu jawabannya, aku turun dari tempat tidur dan kembali ke dapur. Butuh beberapa saat bagiku untuk menemukan handuk wajah bersih dari lemari linen bersama dengan semangkuk air, termometer, secangkir air dan pil yang kubeli dari apotek dalam perjalanan kemari.
Kaden berbaring dalam posisi seperti janin ketika aku kembali, dan hatiku bergetar ketika aku memandangnya. Tampaknya agak menggelikan kalau seseorang seperti Kaden yang bisa mendapatkan apa saja hanya dengan menjentikkan jari, dibiarkan mengurus dirinya sendiri pada saat seperti ini.
Kapan terakhir kali aku jatuh sakit dan harus mengurus diriku sendiri? Ah—tidak pernah. Karena dulu ketika Rosemary ada, dia selalu sibuk merawatku. Dan ketika dia pergi, ada Ayah. Dan ketika aku tidak tinggal bersama Ayah—ada Millie atau Castor atau Parker. Aku tidak pernah sendirian terlalu lama, tetapi Kaden sepertinya akrab dengan ini.
"Kaden?" Meletakkan barang-barang yang kubawa ke atas nakas, aku membungkuk untuk memegang pundaknya dan menariknya bangkit. Dia mulai bangun dengan lamban, tetapi meskipun ada tanda-tanda kelelahan di wajahnya, dia masih mengawasiku dengan mata tajamnya.
"Ini," Aku meletakkan sebuah pil ke tangannya, bersamaan dengan segelas air, "Aku tidak tahu apa yang biasanya kau minum ketika kau sakit, tapi aku selalu meminum ini setiap kali aku demam dan obat ini harusnya bisa bekerja dengan baik juga kepadamu."
Dia masih enggan untuk menjawab. Aku menunggu hingga dia menelan pil dan meneguknya dengan air sebelum mengambil gelas itu darinya. Aku tentu tidak melewatkan cara matanya memandangiku ketika aku mencelupkan handuk ke dalam mangkuk air, memerasnya dan menempelkannya dengan lembut ke keningnya yang berkeringat untuk sementara waktu sebelum menyingkirkannya kemudian.
"Kau akan baik-baik saja," aku mengulangi kalimat itu lagi, menyisirkan jemariku di rambutnya dan tersenyum ketika mata Kaden terpejam secara natural. Ini mengingatkanku pada apa yang pernah kulakukan di rumah pantainya, dan untuk sesaat, sepertinya waktu bergerak mundur.
"Tidurlah," bisikku, ketika dia tampak lebih tenang di bawah sentuhanku. "Aku akan berada di sini ketika kau bangun."
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Beberapa waktu setelahnya, aku kembali ke dapur untuk mengaduk panci sup ayam segar dari bahan-bahan yang kubeli sebelumnya. Kaden tertidur lelap, tetapi aku tetap memantau suhunya. Dia masih demam tetapi obatnya tampaknya mulai bekerja.
Butuh beberapa saat untuk terbiasa dengan dapur Kaden. Sebagai permulaan, meskipun dia tampaknya memiliki satu set panci dan wajan mahal, semuanya diletakkan di dalam lemari dan sepertinya tidak ada yang pernah digunakan secara khusus. Aku memiliki firasat kalau Kaden tidak sering memasak, bahkan sepertinya dia tidak pernah melakukannya.
Di sela-sela menunggu ayam mendidih dan memeriksa Kaden, aku berhasil menyelesaikan membaca sisa-sisa file dari kantor. Aku telah mempersempitnya menjadi setidaknya tiga puluh penerima manfaat dari acara makan malam perusahaan dan aku sungguh berharap bahwa akan ada cukup dana untuk semua itu.
Ponselku yang kutinggalkan di meja tiba-tiba berdengung, dan aku dengan cepat mengambilnya, memegangnya di telingaku dengan satu tangan sementara aku mengaduk panci sup dengan sendok di tangan yang lain. "Halo?"
"Isla, apakah kau sudah menerima buahnya?"
Aku tersenyum geli saat mendengar Parker langsung menyuarakan pertanyaannya lebih dulu ke dalam percakapan tanpa menyapa, dan melirik sekilas ke bahuku, ke tempat sekeranjang buah-buahan diletakkan di meja kopi. "Aku sudah menerimanya. Seseorang mengirimkannya beberapa saat yang lalu. Aku tahu kau akan mengirimkan parsel buah—itulah sebabnya aku tidak membelinya tadi. Aku tebak kau tidak dapat datang kemari?"
"Ya, aku minta maaf, ada banyak sekali pekerjaan saat ini," dia membalasnya dengan meminta maaf. "Bagaimana kabarnya?"
"Sudah lebih baik. Kau yakin tidak bisa datang?" Aku bertanya padanya, menggunakan suara persuasif terbaikku, "karena aku membuat sup ayam dan cukup untuk tiga orang."
"Isla–kau koki yang buruk."
"Tidak!" Aku menjerit kesal, meskipun kata-katanya membuatku melirik sekilas dan merasa tidak yakin dengan panci berisi sup ayam buatanku. Sejujurnya, ini memang terlihat agak meragukan dan aku tidak yakin apakah aku ingin menyajikannya kepada Kaden. "Aku mengikuti resepnya!"
"Baiklah. Beri tahu aku apa pendapat Kaden tentang itu, oke?"
Parker telah menaburkan benih keraguan di benakku dan memesan sup dari hotel sekarang mulai terdengar seperti ide yang bagus sekali. "Aku membencimu."
"Tidak, kau tidak membenciku," dia tertawa dan aku secara otomatis merengut walaupun dia tidak bisa melihatku sama sekali. "Selamat bersenang-senang, tuan putri."
"Kami tidak akan pernah berbicara lagi."
Dia menutup sambungan telepon, gema tawanya masih tertinggal di telingaku. Ketika Parker dalam mode sebagai kakak yang usil, dia akan selalu memperparahnya ke tingkat baru yang lebih tinggi dan mengalahkan Nolan dengan telak. Walau begitu, rasanya menyenangkan melihatnya bahagia—Parker tidak pernah membiarkan dirinya sedemikian bebas.
Menahan napas, aku menjatuhkan sendok untuk meletakkan ponselku kembali di atas meja, tetapi seketika terpaku ketika melihat Kaden berdiri di ambang pintu dapur. Dia tampak jauh lebih waspada kali ini, tubuhnya yang tinggi menjulang begitu mengintimidasi. Ekspresi wajahnya terlihat santai, tetapi begitu aku tersenyum, matanya menjadi penuh pengawasan.
"Hei," aku menghampirinya, secara impulsif menggerakkan tanganku untuk mengukur suhu tubuhnya karena aku tidak membawa termometer bersamaku. "Bagaimana perasaanmu?"
Dia mundur satu langkah ke belakang, kekhawatiran tertentu muncul di matanya ketika dia melihatku, dan aku cepat-cepat menjauhinya juga. "Aku baik-baik saja. Apakah itu tadi Parker?"
"Ya. Dia menitipkan salam, lalu sekeranjang buah di ruang tamu," aku mengayunkan tanganku ke arah meja kopi sebelum berbalik menghadap panci supku.
Aku menggigit bibirku. Parker benar, ini tidak pantas untuk disajikan dan aku cukup sering membuat kekacauan di dapur selama bertahun-tahun untuk menyadari betul bahwa aku adalah koki yang mengerikan. Satu-satunya makanan yang dapat kubuat adalah roti lapis, dan itu karena Michelle pernah mengajarkannya kepadaku di rumah pantai.
Mendekati kompor, dengan hati-hati aku mematikan api. Kaden masih mengawasiku, mengukur setiap gerakanku dengan jenis kewaspadaan yang agak aneh, seakan-akan dia adalah mangsa dan aku predatornya. "Apa kau lapar?" Aku bertanya, "Aku bisa memesan sup untukmu, aku yakin itu tidak akan lama."
Matanya melirik ke arah panci sup yang duduk di atas kompor, sebelum berpaling lagi ke arahku dengan tajam.
"Ini tidak bisa dimakan," kataku cepat-cepat, bergerak untuk memasang tutup pancinya. Dia masih terlihat agak curiga dan aku berusaha mengganti topik pembicaraan. "Ngomong-ngomong, apakah kau sudah mengukur suhu tubuhmu?"
"Aku baik-baik saja, Isla."
Itu artinya dia belum melakukannya. Sikap kasarnya juga merupakan isyarat.
"Oke, tunggu di sini, aku akan mengambil termometernya," kataku, bermanuver dengan hati-hati melewatinya melalui pintu dapur dan kembali ke kamar.
Aku menemukan termometer tergeletak di meja samping tempat tidur persis seperti saat aku meninggalkannya. Alih-alih mengambilnya, aku malah menuju ke jendela di sisi ruangan; menggeser pintu kacanya terbuka sehingga aku bisa membiarkan udara masuk ke dalam ruangan. Setelah berhenti sejenak untuk merapikan selimut dan bantal di tempat tidur Kaden, aku mengambil termometer dan kembali ke luar.
Yang mengejutkanku, Kaden masih di dapur. Dia duduk di meja makan, dengan tenang memakan isi mangkuk di depannya. Mataku melebar ketika aku menyadari bahwa isi mangkuk itu tampak sangat akrab.
Itu seperti sup yang sangat menjijikkan, jikalah kata-kata Parker mendekati kebenaran.
"Muntahkan itu!" Aku berteriak, bergegas ke arahnya dengan ngeri dan menarik mangkuk itu darinya.
Kaden membeku sejenak, seperti rusa yang sedang disoroti headlight, sebelum matanya menyipit dan dia menarik mangkuk itu kembali. "Aku sedang makan," dia membalasnya dengan tajam, memasukkan sendoknya ke dalam sup dan menelannya lagi. "Bukankah ini seharusnya untukku?"
Aku menatapnya tanpa daya, ketika aku mencoba mengambil mangkuk darinya lagi dan dia memegang dan menariknya menjauh dari jangkauanku. "Well–ya. Tapi aku berharap rasanya bisa jauh lebih baik lagi."
"Rasanya enak menurutku," gumamnya.
"Betulkah?"
Senyum terbit di bibirku ketika dia melirikku sekilas sebelum kembali berfokus pada supnya. Ada sesuatu yang sangat menarik dan menyenangkan ketika melihatnya memakan sesuatu yang kubuat, tetapi aku mencoba untuk tidak terlalu lama memandanginya dan mengalihkan perhatianku pada file-file dari kantor.
Setelah menghabiskan supnya, Kaden kembali tidur dengan cepat tanpa banyak komentar. Aku bergegas untuk membersihkan dapur Kaden, dan saat itulah aku mencicipi sup yang kubuat dari sisa-sisanya di dalam panci. Saat aku mencicipinya, aku hanya bisa mengernyit.
Parker benar—aku adalah koki yang sangat mengerikan.
Namun, Kaden benar-benar menghabiskannya.
Sebagian dari diriku ingin meringkuk dalam karena rasa malu, aku terlalu melebih-lebihkan keterampilanku, tetapi sebagian besar dari diriku juga akhirnya menyadari kalau apa yang dikatakan Millie benar. Tindakan lebih bermakna dibanding kata-kata dan itu bekerja dalam dua arah. Fakta bahwa Kaden telah menghabiskan supnya tanpa keluhan karena akulah yang membuatnya pasti berarti sesuatu, kan?
Aku kembali ke kamar Kaden untuk menutup jendela dan menaruh segelas air baru di meja samping tempat tidur. Dia tertidur lelap, rambutnya yang hitam legam berbaur dengan bantalnya yang berwarna senada, dadanya naik dan turun perlahan pada setiap napas yang diambilnya. Tidak dapat menahan diri, aku mendekat dan menyingkirkan anak rambut yang jatuh di bagian mata Kaden dengan lembut.
Matanya terbuka perlahan hanya beberapa detik kemudian, irisnya mengkilap karena panas terik. "Isla?"
"Ya, ini aku." Aku bergumam, membiarkan salah satu telapak tanganku meluncur ke bawah untuk menangkup pipinya, mengusapkan ibu jariku ke kulitnya yang panas.
Dia menyamankan posisinya pada telapak tanganku, dan aku terpaku ketika dia menggeser kepalanya sehingga bibirnya menyentuh kulitku. Dan itu seketika menghantarkan hangat yang sangat berbeda, bukan seperti demamnya, tetapi kehangatan yang memilukan dan menyakitkan yang membuatku kesulitan bernapas.
"Ini tidak ada artinya," bisiknya. Dia menatapku; tatapannya gelap dan menjelajahiku, dan aku langsung tahu bahwa dia sama sekali tidak mengacu pembicaraan ini pada ciumannya. "Ini tidak ada artinya, kan?"
Itu bukan pertanyaan retoris. Itu adalah satu pernyataan yang begitu ingin didengarnya dan disetujui olehku, jika gema permohonan putus asa dalam nada bicaranya adalah indikasi tertentu. Namun, aku tak bisa mengikuti kebohongan apa pun lagi, jadi aku hanya tersenyum dan membungkuk, menekan bibirku sebentar ke keningnya.
"Tidur, Kaden."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro