14 | ad libitum
1 4
ad l i b i t u m
[Lat] Atas kesenangan pemain, kadang-kadang berarti suatu bagian dapat dihilangkan.
AKU RASA aku adalah orang yang mudah beradaptasi. Ketika Rosemary meninggalkan Ayah, kami mengabaikan bantuan rumah dan semua kemewahan yang dia berikan kepada kami. Aku dengan cepat terbiasa melakukan pekerjaan rumah, sementara Ayah memulai bisnis berkebun. Ketika Ayah tidak dapat membayar tagihan setelah membantu pamanku, yang telah dan masih banyak berutang, dan listrik kami padam, aku menggunakan lilin sebagai sumber cahaya untuk belajar.
Namun, bekerja di perusahaan baru hanya setelah tiga minggu bekerja di Collins, Lee, Aisling & Assoc. terbukti agak luar biasa. Terutama ketika itu Bretton Industries—sebuah perusahaan yang jauh lebih besar daripada segala firma hukum yang pernah ada. Ada kombinasi kemewahan dan kemegahan di tingkat yang sangat berbeda, fakta yang langsung kusadari ketika aku berdiri di depan gedung bertingkatnya.
Menatap dengan saksama, aku menemukan bahwa aku dapat dengan mudah melihat ke bagian atas bangunan tanpa tersentak dari sorotan sinar matahari di atas kepala. Di sinilah aku akan bekerja mulai sekarang. Nolan, atas perintah Kaden, dengan enggan memberi tahu aku segala yang perlu diketahui tentang perusahaan ini.
Ini adalah kantor utamanya; ada pabrik dan outlet pengiriman serta pabrik lainnya di seluruh negeri. Sebagai asisten pribadi, aku akan menerima panggilan atas nama Kaden, merencanakan jadwalnya dan menjawab email-emailnya. Bagiku itu terasa menakutkan, tetapi mungkin akan berhasil jika aku berusaha melakukan yang terbaik.
Dan percayalah, aku akan melakukannya. Aku sangat sadar bahwa orang-orang mungkin akan menatapku dengan mata penuh kecurigaan, mengingat bahwa aku bahkan belum memiliki gelar sarjana dan sudah membantu salah satu pria paling berpengaruh di negara ini.
Mengambil napas dalam-dalam, aku menarik tas kerjaku lebih tinggi di atas bahu dan menuju ke dalam gedung. Keamanan membiarkanku melewatinya setelah aku menunjukkan mereka kartu pegawaiku dan pergi ke lobi. Tanganku dengan gugup mencengkeram kantong kertas yang kubawa saat aku menunggu lift. Jika suasana di perusahaan Parker tampak lebih santai, atmosfer di sini tegang dan penuh tekanan. Semua orang di sini tampak gelisah, seakan setiap menit yang dihabiskan menunggu lift adalah pemborosan uang yang bisa mereka hasilkan.
Aku masuk ke lift yang ramai. Ketika lift naik lebih tinggi dan lebih banyak orang menyebar ke lantai masing-masing, aku perhatikan bahwa karyawan yang tersisa di lift mulai memberiku pandangan aneh. Itu membuatku gelisah, aku menunduk dan menatap diriku dengan cemas.
Pakaianku mungkin agak berlebihan, kurasa. Aku mengenakan dress biru dongker dengan kancing putih yang aku anggap berkelas, tetapi agaknya ini tidak sesuai di sini ketika semua orang mengenakan pakaian paling kaku dan paling formal. Namun, aku berpakaian sama dengan apa yang kukenakan di firma Parker dan Nolan tidak pernah mengatakan tentang kode berpakaian kepadaku.
"Pakai apa pun yang kau suka," kata Nolan kepadaku, sebelum menyeringai nakal. "Lebih baik—"
Namun kemudian, ucapannya terpotong ketika Parker memukul kepalanya. Aku tertawa saat itu, tetapi sekarang aku tidak tertawa. Aku agak gugup.
Ketika aku akhirnya tiba di lantai tertinggi, aku melangkah keluar setelah dua orang lain di depanku keluar dari lift. Aku memperhatikan mereka dengan cepat menuju sayap kiri dan aku mengikutinya, merasa agak tersesat karena Nolan tidak memberitahuku di mana tepatnya ruang kerja Kaden berada. Akhirnya, aku mengumpulkan akalku dan melanjutkannya dengan bertanya pada orang terdekat yang kulihat duduk di sebuah meja.
Dia seketika menatapku seolah aku memiliki tiga kepala, seperti halnya orang-orang lain di dekatnya yang telah mendengar pertanyaanku. "Apakah kau memiliki janji dengan Tuan Bretton?"
"Tidak. Aku sebenarnya bekerja untuknya. Aku asisten pribadinya."
Matanya melebar dan aku bisa merasakan atmosfir di sana sepenuh berubah akan rasa ingin tahu. Wanita itu tampaknya kehilangan kata-kata dan akan terus menganga jika tidak ada suara yang familier memotong ketegangan dengan ketegasannya.
"Bukankah Nolan memberitahumu bahwa kantorku ada di sayap timur?"
Aku segera berbalik. Kaden berdiri agak jauh di belakangku, wajahnya benar-benar tanpa ekspresi dan posturnya yang terlihat tangguh, mengenakan setelan hitam rapi. Rambutnya disisir ke belakang dengan rapi, tetapi tidak membuatnya tampak melakukan usaha lebih pada itu, rambutnya tidak jatuh nakal ke depan seperti yang biasanya kulihat dulu. Matanya memberi penilaian sepintas tentang pakaianku, tetapi wajahnya tidak menunjukkan emosi apa pun.
Aku ingin tersenyum, aku ingin menyambutnya. Sungguh, memang, tapi dia tampak sangat ingin memusuhiku sehingga aku sangat ingin mengalihkan pandangan. Alih-alih, aku berjalan menghampirinya dan menundukkan kepalaku, tersipu karena aku menyadari banyak tatapan ingin tahu pada kami. "Nolan pasti lupa memberitahuku."
Dia tidak menanggapi. Berputar dengan cepat, dia menuju ke kantornya dan aku membuntutinya, merasa agak cemas dengan segala sesuatu dan tentang semua orang. Tidak ada yang tampak ramah di sini, terlebih dirinya.
Begitu sampai di sayap timur, dia berhenti di depan ceruk kecil, tempat sebuah meja mahoni berdiri, lengkap dengan set alat tulis, beberapa titik pengisian daya yang tertanam di dalam meja, laptop baru dan kursi dari kulit. Mulutku terbuka karena kemewahan itu. Segalanya tampak sangat mahal.
"Di sinilah tempatmu akan bekerja," gumamnya, sebelum menuju pintu yang terletak beberapa meter dari mejaku. "Aku akan memanggilmu jika perlu."
Kemudian dia menuju ke kantornya tanpa berkata apa-apa, menutup pintu dengan kuat di belakangnya. Kepergiannya yang tiba-tiba membuatku merasa agak bingung, tetapi aku segera tersadar dan meletakkan tas kerjaku di atas meja, bersama dengan kantong kertas yang telah kusiapkan untuknya.
Aku melamun untuk beberapa saat, bertanya-tanya apakah itu pilihan paling bijak untuk mengganggu waktunya—atau bahkan berbicara dengannya, dalam hal ini. Aku cukup yakin akan fakta bahwa aku harus terus menjaga sikap dan berhati-hati di sekitarnya.
Sambil mengesampingkan pikiran itu dengan tegas, aku mengeluarkan dua cangkir kopi dan roti lapis yang kubuat tadi pagi. Menyisihkan satu cangkir dan sandwich untuk diriku sendiri, aku menyeimbangkan yang lain di tangan dan pergi menuju pintu ruang kerjanya, mengetuknya dengan lembut.
"Kaden?"
"Apa yang kau inginkan?" jawabannya datang dengan abrasif. Sebagian dari diriku agak bingung, separuh diriku cemas.
Menguatkan diri, aku memutar gagang kuningan dan melangkah masuk. Mataku melebar saat aku melihat sekilas kantornya. Ruangannya benar-benar mewah, seluruh bagian dari lantai sampai ke langit-langit tampak dibuat dari material kelas terbaik. Itu membuat ruang kerja Parker tampak seperti kandang babi dan bibirku hampir berkedut geli memikirkan hal itu.
Kaden duduk di mejanya, sosoknya agak mengesankan dan memesona. Dia menyangga laptopnya terbuka di depannya, file dan dokumen ditumpuk rapi di mejanya dan dia tidak mengangkat kepalanya untuk mengakui keberadaanku sama sekali.
Aku menelan dengan gugup dan berjalan cepat ke arahnya. "Aku membuatkanmu kopi dan sandwich," kataku, diam-diam bertanya-tanya apakah dia ingat saat aku membuat kopi untuknya. Aku membuatnya di sore setelah membuat sandwich dengan Michelle. Dan aku membuat sandwich ini dengan cara yang sama seperti yang diajarkan Michelle kepadaku berbulan-bulan yang lalu. "Aku tidak yakin apakah kau masih minum kopi dengan cara yang sama, jadi jika kau membutuhkan lebih banyak gula atau krim aku memiliki beberapa di luar."
Dia mengabaikanku dan terus mengetik. Sambil menahan napas, aku hanya meletakkan kopi dan sandwich di atas mejanya sebelum keluar dari ruangannya. Aku baru saja akan pergi ketika kilatan biru tua yang cerah menangkap mataku dan aku berhenti, kepalaku berputar ke tempat jendelanya berada.
Jendela-jendela di sini sangat mirip dengan jendela-jendela di rumah pantai keluarga Bretton, terbentang mengelilingi ruangan, dengan langkan lebar di bawahnya, cukup lebar untuk diduduki. Tetapi tidak seperti jendela-jendela yang terbuka di kamarnya, gorden-gorden ini memiliki tirai yang kuat. Hanya ada satu tirai terbuka sedikit, secercah cahaya masuk dan itulah yang membuatku menoleh ke sana untuk sesaat.
Karena, yang duduk di langkan, adalah pot Forget-Me-Nots yang kutitipkan pada Edwin untuk diberikan kepadanya dulu, dengan kertas instruksi yang sama yang aku tempel di sisi pot.
Bunga-bunganya sudah mekar sepenuhnya.
Air mata tiba-tiba menyengat bagian belakang mataku, tetapi ini adalah air mata lega dan nyaris bukan kesedihan. Itu berarti sesuatu, bukan? Itu berarti sesuatu bahwa dia telah menyimpan tanaman itu bersamanya selama ini dan telah merawatnya dengan baik.
Aku menghela napas gemetar dan melirik Kaden, hanya untuk menyadari bahwa dia telah memperhatikanku selama ini. Tetapi ketika aku bertemu matanya, dia segera memalingkan muka, bibirnya melengkung yang terlihat seperti agak jijik.
"Kurasa aku bisa menyingkirkan itu sekarang karena aku sudah menemukanmu," dia terdengar sinis. "Aku akan meminta seseorang untuk membuangnya nanti."
"Tolong jangan," jawabanku terlampau cepat, kata-kata itu keluar melewati bibirku sebelum aku bisa menahan diri. "Aku akan membereskannya jika kau tidak mau."
Ada jeda ketika tatapan Kaden mendarat padaku untuk sesaat. Untuk sesaat, tatapannya tampak menyelidik, tetapi kemudian dia mengembalikan perhatiannya ke laptopnya. "Lakukan apa yang kau mau dengan itu," balasnya dengan acuh.
Tanpa keraguan. Melintasi ruangan, aku mengambil pot dan menggenggamnya erat-erat di antara tanganku. Aroma manis dan segar. Aku menyeka air mata dari mataku dengan punggung tanganku, tetapi ternyata diriku tidak dapat memandangi Kaden tanpa benar-benar merasa hancur. Aku menuju pintu tetapi berhenti sesaat sebelum melangkah keluar.
"Terima kasih," aku tersedak pelan, tetapi cukup keras untuk didengarnya, dan berharap dengan sepenuh hati dia bisa melihat perbedaan antara kebohongan yang kuceritakan dan kebenaran yang kupikirkan.
Dan bahwa ini, ini adalah kebenaran.
"Terima kasih karena tidak melupakanku."
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Aku sangat terkejut melihat seorang wanita menunggu di dekat mejaku ketika aku keluar dari ruangan Kaden. Dia cantik; rambut pirangnya ditata dengan sempurna dan sosok langsingnya berpakaian jas. Saat dia melihatku, dia tersenyum, lesung pipi muncul di pipinya.
"Hai, Isla," sapanya, maju ke depan untuk menggenggam tanganku hangat. Aku menyeimbangkan pot Forget-Me-Nots di satu tangan dan menjabat tangannya. "Aku Stella Banks, kepala administrasi di sini. Tuan Bretton memintaku untuk mengajarimu tentang pekerjaanmu. Cukup sederhana, aku yakin kau akan segera menguasainya."
Namanya menyentuh ingatanku. Sambil meletakkan pot bunga di atas mejaku, aku mengerutkan kening dan berusaha berpikir sejenak sebelum mengingat di mana aku mendengar namanya. Dia adalah orang yang menyelenggarakan acara amal pada hari ulang tahunku yang keenam belas.
"Kau teman Parker." Dia mulai mengerutkan kening dalam kebingungan dan aku buru-buru menjelaskan, "dari SMA? Dia menyebutkanmu beberapa kali."
Matanya berderak saat mengingatnya. "Ya, aku terkejut dia berbicara tentangku. Apakah kau kekasihnya–"
"Teman," aku menjawabnya dan tersenyum. "Senang bertemu denganmu."
"Senang bertemu denganmu juga, Isla. Jadi mari kita mulai, ya?"
Aku mengangguk dan dia melanjutkannya dengan menjelaskan detail pekerjaanku. Nolan sudah memberi tahuku inti utamanya, tetapi Stella merinci lebih jauh. Dia menunjukkan kepadaku template email, jenis formalitas yang perlu aku gunakan ketika membalas mereka dan bagaimana cara kerja interkom.
"Sejujurnya," katanya kepadaku, setelah dia selesai menjelaskan, "tidak ada yang pernah memegang posisi ini sebelumnya. Sebelum kau, tidak ada asisten pribadi. Tuan Bretton selalu meneruskan emailnya ke admin dan kami selalu menjawabnya untuknya. Dia menjawab semua panggilan yang didapatnya, atau mengalihkannya kepada kami."
"Bagaimana dengan jadwalnya?" Aku bertanya tepat ketika dia akan pergi, mengingat bagaimana Nolan mengatakan kepadaku bahwa itu adalah bagian dari pekerjaanku juga.
Mata berbingkai kohl Stella melebar dan dia berhenti. "Kau harus merencanakan jadwalnya?" Dia mengulanginya, terdengar agak bingung. "Dia tidak memberitahuku apa-apa tentang itu. Dia selalu merencanakan jadwalnya sendiri sejauh ini, jadi aku khawatir kau harus mengklarifikasi itu dengannya."
Dia mengucapkan selamat tinggal dan bergegas untuk kembali ke pekerjaannya. Baru setelah dia pergi aku menyadari bahwa Kaden mungkin mengalami kesulitan di tempat kerja. Sangat jelas terlihat kalau bahwa dia selalu mengerjakan berbagai hal sendiri—email dan panggilan bisnis dan jadwal; terlepas dari beban kerjanya yang normal. Bahkan Parker memiliki orang-orang di biro hukumnya untuk membantunya. Dan sekarang rasanya jadi masuk akal ketika Kaden pernah berkata bahwa dia tidak memiliki banyak waktu untuk menonton acara TV atau melakukan hal-hal yang dia sukai.
Sambil membuka laptopku, aku mulai bekerja. Aku mengajukan dokumen, menjawab satu ton email, meneruskannya ke Stella sehingga dia bisa mengecek itu sebelum aku mengirimkannya. Karena ini adalah hari kerja pertamaku, dia mengatakan kepadaku bahwa aku tidak perlu menjawab panggilan telepon. Jadi setiap kali telepon berdering, aku hanya mengalihkan panggilan ke lantai bawah.
Ketika jam makan siang tiba, Stella mengajakku makan siang. "Perintah Tuan Bretton," tambahnya, dengan diam-diam tersenyum penuh arti.
Tiba-tiba rasa syukur muncul dalam diriku dan aku bertanya-tanya apakah Kaden sengaja melakukan itu, tahu bahwa aku tidak mengenal siapa pun di sini pada hari pertamaku dan meminta Stella untuk membawaku bersamanya.
Aku melirik sekilas ke pintu Kaden, yang tetap tertutup selama ini. "Apakah dia akan makan siang?"
Mata Stella mengikuti arah tatapanku dan dia menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Entahlah. Dia jarang meninggalkan ruangannya dan ada orang yang akan mengantarkan makanan padanya. Aku pernah mendengar orang-orang di tingkat ini mengatakan bahwa dia kadang-kadang melewatkan jam makan siang ketika dia terlalu sibuk. Aku rasa hari ini adalah salah satu dari hari-hari itu. Yang terbaik adalah tidak mengganggunya. "
Dengan enggan, aku pergi bersamanya. Aku mulai cepat memahami dinamika perusahaan di sini. Kaden begitu tertutup, sebuah misteri bagi para pegawainya. Dadaku menegang memikirkan hal itu, dan untuk sesaat, aku bertanya-tanya apakah dia pernah merasa kesepian.
Mungkin dia merasa sangat kesepian.
Makan siang berlalu dengan cara yang menyenangkan. Jujur saja, Stella tampaknya tidak keberatan aku ikut bersamanya dan rekan-rekannya. Semua orang ramah tetapi agak menjaga jarak, saling bersikap sopan yang sewajarnya ketika bertemu orang asing. Aku merindukan Jeanette, Brent, dan yang lainnya di firma hukum Parker.
Jadi, aku makan secepat mungkin, permisi begitu aku selesai dan kembali ke ruanganku dengan takeaway yang aku pesan untuk Kaden dalam perjalanan kembali. Entah bagaimana, meski Kaden memberiku sikap yang dingin, mau tak mau aku merasa kesunyiannya ini jauh lebih baik.
Ketika aku kembali, aku mengetuk pintunya dua kali dengan sabar, menunggunya merespons. Beberapa detik berlalu sebelum dia memintaku masuk, dengan nada suara yang masih memusuhiku dan mulai terdengar biasa di telingaku.
Dengan senyum cerah di wajahku, aku masuk dan menutup pintu di belakangku. Aku terdiam ketika menyadari dia sedang berbicara dalam sambungan telepon, suaranya agak datar dan terlepas nada yang biasa dia gunakan untuk panggilan bisnis dan—yang baru kusadari—kepadaku.
Sosok tinggi dan terlihat mengesankan ketika dia bersandar di mejanya, satu tangan bersandar di belakangnya dengan telapak tangannya menempel di atas meja. Dia tidak melirik ke arahku sampai dia mengakhiri panggilannya beberapa menit kemudian. Dan tatapannya sangat tidak ramah kepadaku.
"Apa?"
Aku tersendat, sebentar, sebelum mengangkat kantong kertas berisi makanan. "Sudahkah kau–"
"Ya," dia memotongku sebelum aku bahkan selesai berbicara. Namun, dia tidak menatapku lagi; alih-alih, dia tampak teralihkan, ibu jarinya mengetuk-ngetuk sibuk di layar datar teleponnya.
"Kau bahkan tidak mendengar pertanyaanku."
"Aku tahu apa yang akan kau tanyakan. Dan aku tidak butuh tindakan kebaikan setengah hati yang kau coba berikan kepadaku. Teruslah lakukan itu dan aku mungkin benar-benar mulai berpikir kau benar peduli."
Nada bicaranya acuh tak acuh, tetapi kata-katanya menyayat hatiku. Dia berhak untuk curiga tetapi aku tidak bisa menghentikan gelombang kemarahan yang muncul dalam diriku.
"Apakah kau tidak pernah berpikir bahwa mungkin aku benar peduli?
"Kadang-kadang, tetapi kemudian aku ingat bahwa kau adalah seorang aktris," dia membalas dengan tajam.
Rasa bersalah yang kurasakan sekali lagi menghancurkanku dan air mata menyengat di kelopak mataku. Aku ingin meminta maaf lagi dan lagi dan mungkin sejuta kali lebih banyak, tetapi ada sesuatu yang pasti dalam suaranya yang membuatku sadar bahwa dia tidak akan mempercayai permintaan maafku lagi.
Sambil menghela napas dengan gemetar, aku berjalan mendekat, sadar bahwa dia sedang mengawasiku dengan hati-hati, dan meletakkan tas makanan di atas mejanya.
"Percaya atau tidak, beberapa hal tidak bisa direkayasa. Aku tidak bisa menciummu seperti yang kulakukan jika tidak memiliki perasaan itu untukmu."
Tatapannya menajamkan saat mendengar kata-kataku dan aku tahu bahwa dia ingat dengan jelas apa yang pernah dikatakannya dulu, dan dia tahu bahwa aku juga mengingatnya. Namun, sebagian dari diriku tidak ingin mendengar jawabannya karena kekecewaan sering kali merupakan emosi negatif yang jika menumpuk akan membuat orang merasa kekosongan.
Jadi aku memutar tumitku dan menuju ke luar ruangan, menutup pintu di belakangku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro