Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10 | volti subito


1 0

v o l t i   s u b i t o

[It] Membalik halaman dengan cepat.

  

DI MALAM SEBELUM pertemuan terakhirku dengan Kaden, aku berbaring di tempat tidur dengan mata yang sepenuhnya terbuka lebar dan jantungku yang berdetak kencang. Aku masih bisa melihatnya untuk yang terakhir kali, jadi kenapa hatiku terasa begitu kosong?

Namun, bahkan ketika pertanyaan itu muncul di benakku, jawabannya datang sama cepatnya. Ketika aku menyetujui hal ini, aku masuk dengan pikiran dan hati yang terbuka, dengan satu-satunya tujuan adalah membantu Kaden. Jadi setiap kata yang kukatakan, setiap tindakan yang kulakukan, itu dari lubuk hatiku. Tidak lebih, tidak kurang. Aku tak melakukan penjagaan terhadap hatiku dan itu bukanlah masalah. Konsekuensinya, aku tahu, akan memilukan, tetapi kesedihanku ini mungkin cukup sepadan.

Aku pergi ke kampus pada hari berikutnya dengan lingkaran hitam di bawah mata. Millie cukup peka kalau suasana hatiku luar biasa suram—pada kenyataannya, dia sudah memperhatikan sesuatu yang berbeda dari diriku sejak sebulan yang lalu—tetapi dia tidak mendesakku. Sebagai gantinya, dia memberiku sebotol teh seperti biasanya, menyelipkan lengannya ke lenganku dan membawaku ke kelas.

Ketika kelasku selesai, aku naik bus ke rumah pantai. Aku memandang ke luar jendela sepanjang perjalanan, mengamati mobil-mobil yang mengabur di antara pepohonan dan pepohonan yang mengabur di sisi jalan, sampai semuanya menjadi kelebat samar. Di suatu tempat di sepanjang jalan, sebuah gagasan muncul di benakku dan aku terus berkutat memikirkannya selama sisa perjalanan.

Tidak mengherankan ketika tiba di rumah pantai Brettons, Edwin mengatakan kepadaku bahwa Adelaide ingin bertemu denganku. Aku memasuki ruang kerjanya dan dia lagi-lagi mengenakan kacamata bergaya, dengan sebuah ekspresi kecurigaan di wajahnya.

"Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih karena kau datang sekali lagi," dia memulai dengan sangat ramah, "sudah tujuh kali, sebenarnya. Kau sepertinya telah memerankan Evangeline dengan cukup baik dan aku menghargaimu usahamu untuk melakukannya."

Aku memaksakan senyum di wajahku. "Hanya itu yang bisa kulakukan."

"Yah, aku menghargai semuanya," dia mengakui dan mengambil penanya lagi. "Kaden di lantai atas, di kamarnya. Edwin akan menemuimu."

Ruangan itu kembali sunyi dan aku tahu dia berharap aku pergi. Tetapi aku tidak bisa. Tidak sampai aku mencoba ini.

Mengambil napas dalam-dalam, aku mengumpulkan setiap keberanian dalam diriku dan mengutarakannya. "Aku harus bertanya sesuatu padamu." Ketika dia mendongak, aku melanjutkan, "apakah ada cara apa pun, sehingga aku bisa terus bersama Kaden?"

Ekspresi wajahnya tetap acuh tak acuh, tetapi aku tetap mendengar nada peringatan dalam suaranya. "Apa yang ingin kau katakan, Isla?"

"Aku berkata," mengambil langkah maju, aku mengunci tatapanku padamiliknya, "tolong biarkan aku tetap bersama Kaden sampai dia mendapatkan kembali penglihatannya."

Dan mungkin bahkan lebih lama karena aku tidak bisa mundur.

Dia terdiam begitu lama sehingga aku hampir berpikir dia tidak mendengarku. Namun, kemudian tatapannya berubah dalam sekejap dan aku tahu aku telah menggali kuburan untuk diriku sendiri. Sekarang aku harus menerima konsekuensinya.

"Kupikir kita sepakat tentang ini," dia memulai, dengan nada dingin, terpotong. "Paling banyak tujuh pertemuan, lalu kau tidak akan pernah melihatnya lagi."

"Ya tapi—"

"Kau menandatanganinya dengan sadar dan jelas pada kontrak. Atau apakah aku harus mengeluarkannya lagi untuk mengingatkanmu?"

Aku menggelengkan kepala. "Aku ingat, tapi dengarkan–"

"Tidak, kau yang dengar. Aku tidak membawamu ke sini sehingga kau bisa membentuk semacam keterikatan dengan anakku, Isla. Kau akan meninggalkannya karena dia tidak akan lagi membutuhkanmu. Dan kau tidak akan melihatnya lagi karena pekerjaanmu sudah selesai jadi tidak ada alasan bagimu untuk bersama– "

"Nyonya Bretton, aku–"

"Kau akan meninggalkan putraku," suaranya terdengar tenang. "Atau kau dan keluargamu akan hidup dalam penyesalan. Dan demi keluargaku, aku yakin itu juga berlaku untuk Tuan Collins."

Aku menjadi kaku. Kata-katanya begitu keras, begitu beracun sehingga pikiranku benar-benar kosong dan aku ketakutan.

"Apa?"

Dia tersenyum, tapi itu adalah senyum dingin dan kejam yang membuatku merinding. "Rosemary Collins dan Parker Collins tinggal bersamamu dan ayahmu selama sekitar enam tahun, kalau aku tidak salah. Rasanya itu terlalu lama bagi Rosemary dan ayahmu untuk hanya disebut sebagai kenalan belaka, bukankah begitu? Dan jangan lupa fakta bahwa Martin Collins masih hidup selama masa-masa mereka hidup bersama."

Aku menghela napas gemetar, mencoba yang terbaik untuk menjaga ketenanganku di depannya. "Bagaimana kau—"

"—mengetahui itu?" Dia tertawa. "Kami selalu melakukan pemeriksaan latar belakang pada setiap orang yang kami pekerjakan. Dan kau, sayangku, terbukti memiliki latar belakang yang sangat meragukan di masa lalu. Sepertinya Rosemary menjadikan dirimu dan ayahmu sebagai rahasia kecilnya yang kotor. Dan apa yang akan terjadi jika secuil berita ini," senyumnya terkembang, "dibocorkan?"

"Rosemary dan ayahku tidak memiliki hubungan dengan satu sama lain lagi," kataku, membenci diriku sendiri karena suaraku bergetar. "Tidak ada yang akan memikirkan hal itu—" tetapi aku terdiam, matanya melebar ketakutan ketika tangannya meraih telepon di atas meja.

"Apakah kau ingin mencari tahu?" Dia bertanya dengan ringan sebelum mempersempit pandangannya padaku. "Rosemary Collins tidak lagi memimpin perusahaan, jadi dia mungkin tidak akan terlalu khawatir. Tapi Parker, di sisi lain—"

"Kau tidak akan menyakiti Parker," suaraku mematikan, jenis mematikan yang tidak aku duga aku miliki. Aku menemukan jemariku mengepal erat, menancap ke kulitku dan aku tidak pernah membenci orang lain seperti aku membenci Adelaide Bretton saat ini. "Menjauhlah darinya."

"Kalau begitu menjauhlah dari anakku," jawabnya datar, kepuasan tampak jelas di matanya ketika dia menikmati kekalahanku. Mengambil pulpennya lagi, dia melirik sebentar ke arlojinya sebelum mengangguk padaku. "Aku akan memberimu lima belas menit."

  

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

  

Aku memiliki lima belas menit untuk menghancurkan hatiku sendiri.

Aku tahu ini akan terasa menyakitkan, lima belas menit penuh siksaan begitu aku memasuki kamar Kaden, dengan Adelaide menunggu di luar dengan tidak sabar. Dia tidak lagi duduk di dekat jendela; alih-alih, dia berbicara di telepon, jelas di tengah-tengah panggilan bisnisnya. Suaranya tegas dan profesional, tetapi ketika aku menutup pintu di belakangku, dia berhenti dan berbalik, ekspresi wajahnya ragu-ragu.

"Halo, Kaden," kataku dengan hati-hati, perasaan déjà vu menyapu diriku ketika aku ingat bahwa ini adalah caraku saat menyapanya pada pertemuan pertama.

Bibirnya terangkat ke atas. "Aku akan meneleponmu kembali nanti," gumamnya pada sambungan telepon, sebelum mengakhiri panggilan itu dan menuju ke arahku perlahan. "Hei. Aku bertanya-tanya kapan kau akan datang, karena aku sudah—"

"Dengar," aku memulai, mengawasinya dengan waspada ketika dia menutup jarak di antara kami lewat langkah demi langkahnya. Aku tidak menghampirinya kali ini. Sebaliknya, kakiku terasa benar-benar berakar ke di titik ini. "Ada yang harus kita lakukan."

"Apa pun," dia berseru dengan cepat dan aku merasakan jantungku menarik seluruh ketulusannya. Sebelumnya ketika aku menanyakan ini padanya, aku kemudian memintanya untuk berdansa denganku. Namun, kali ini bukan lagi sebuah dansa. Permintaanku tidak lagi sederhana atau manis.

"Kita harus putus."

Ekspresi wajahnya menjadi kaku dan dia berhenti melangkah. Kesunyian membentang jauh di antara kami dan aku hampir bisa mendengar detak jantungku.

"Apa?" Akhirnya dia bertanya, seolah dia tidak bisa memercayai telinganya.

Aku menyeberangi ruang kamarnya dengan cepat menuju ke arahnya, menggenggam lengannya dengan lembut, tetapi dia tetap kaku di bawah sentuhanku. "Ibumu ada di luar mendengarkan percakapan ini. Ikuti saja," aku berbisik sebelum menaikkan suaraku dan berkata, dengan suara paling jernih, paling tenang yang bisa kubuat, "Maafkan aku. Orang tuaku tidak mengizinkanku untuk menjalin hubungan bersamamu."

Tapi raut wajahnya tidak berubah. Jika ada, ekspresinya berubah menjadi kebingungan dan sedikit rasa takut. "Apa yang ingin kau katakan?" Dia menuntut, dengan suara tercekik.

Rasanya sakit bahkan saat hanya melihatnya begini, jadi aku mengalihkan mataku dan menatap lantai. "Orang tuaku berpikir kau membawa pengaruh buruk untukku dan mereka ingin aku putus denganmu. Mereka sudah memintaku untuk melakukannya sejak kecelakaan mobil itu. Jadi tolong jangan telepon aku atau—"

"Tunggu—"

"–mengirimiku pesan apa pun. Tolong tinggalkan aku sendiri. Kita harus benar-benar berpisah."

Aku berbalik untuk pergi secepat mungkin, tetapi dia mengulurkan tangannya di saat-saat terakhir. Jemarinya melingkari lenganku dengan cengkeraman erat.

"Tunggu, ini bukan—" Kilatan kesadaran tiba-tiba muncul di wajahnya dan kemudian tidak ada yang lain selain ekspresi ngeri di wajahnya. "Kau akan pergi, kan?"

Dia tahu.

Kenapa kebohongan ini tidak pernah berhasil terhadapnya?

"Kaden, mainkan saja—" aku memohon, mencoba berjuang keluar dari genggamannya tetapi dia memelukku lebih erat.

"Ini bukan hanya pertunjukan, kan?"

Aku melirik sekilas ke pintu, berharap Adelaide tidak menangkap pertanyaan terakhirnya. "Setidaknya rendahkan suaramu–"

"Tidak, aku tidak akan menurunkan suaraku!" Dia membentak putus asa. "Apakah ini ada hubungannya dengan ibuku?"

Sangat mudah untuk mengatakan ya—ya, ini ada hubungannya dengan ibumu. Namun, ini adalah Adelaide Bretton, seorang wanita yang tidak seharusnya kuusik. Hanya satu panggilan telepon dan dia bisa menghancurkan sehancur-hancurnya keluargaku dan terutama Parker.

Jika pers mendapat kabar bahwa Rosemary berselingkuh, mereka akan menganggap Parker tidak lagi layak memegang saham di perusahaan. Dan Parker—dia harus menderita akibat; pemberitaan pers negatif, dicurigai apakah dia benar-benar anak ayahnya, oleh para pengusaha serakah yang ingin mengambil alih saham Rosemary dan, akhirnya, perusahaannya.

Aku tidak bisa melawan api dengan api dalam situasi seperti ini.

Pemikiran tentang Parker dan keluargaku membuat tekadku menguat. Sambil mengenakan topeng tenang di wajahku yang sebenarnya panik, aku menguatkan diriku dan berkata, dengan lembut, "ini tidak ada hubungannya dengan ibumu. Ini adalah akhir segalanya dan sudah waktunya aku pergi."

Dia tersentak, tetapi kemudian keraguannya memudar dengan tekad yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Tidak, jangan katakan itu," gumamnya, hampir dengan tergesa-gesa, menyelipkan lengannya yang satunya di pinggangku dan menarikku dengan kuat ke arahnya. Tak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikan diriku bereaksi terhadap sentuhannya. "Jangan pergi. Kau tidak bisa meninggalkanku."

Dia terdengar sangat terluka sehingga air mata mulai jatuh bebas sekarang, bocor melewati sudut mataku dan menyelinap ke bawah wajahku dalam garis putus asa. "Kaden–"

"Kau seharusnya mencintaiku," dia terdengar hampir marah sekarang. "Kau sendiri yang mengatakannya; kau mengatakannya saat pertama kali kita bertemu dan mengonfirmasi itu untuk kedua kalinya. Kau tidak bisa mengatakannya dan kemudian menariknya kembali dan berharap aku membiarkanmu pergi begitu saja."

"Well, aku berbohong," aku membalas cepat, memaksa diriku terdengar acuh tak acuh.

"Tidak, kau—"

"Apakah kau benar-benar percaya itu?" Aku tertawa terbahak-bahak—tawaku lebih terdengar seperti isak tangis. "Sejak hari pertama kita bertemu, kau tahu aku ini pembohong. Kau seharusnya tahu lebih baik daripada memercayai apa yang aku katakan."

Dia tersentak. "Tidak, itu tidak benar," dia menggelengkan kepalanya dengan kencang. "Kau mencintaiku. Aku tahu kau merasakannya—"

"Kaden," aku memotongnya dengan dingin. "Aku hanyalah seorang gadis miskin yang akan melakukan apa saja demi uang. Bahkan jika itu berarti bermain dengan perasaan hati seorang miliarder yang terlalu bodoh untuk percaya bahwa pada pembohong sampah di dunia yang kacau ini."

Kata-kataku cukup keras untuk membuatnya membeku sesaat, dan aku mengambil kesempatan itu untuk melepaskan pergelangan tanganku dari genggamannya dan pergi. Namun, begitu aku berbalik untuk pergi, dia segera menarikku kembali, tangannya bergerak untuk memegang wajahku. Dan kemudian tidak ada yang lain selain keputusasaan, keputusasaan yang hampir menghancurkan.

Aku tahu bahwa aku seharusnya hanya menghancurkan hatiku sendiri dalam lima belas menit. Namun, begitu aku melihat air mata yang mengalir di wajahnya, aku baru menyadari bahwa mungkin, aku juga menghancurkan hati Kaden.

"Aku akan memberimu apa pun yang ada di dunia ini, aku janji," bisiknya kasar, memelukku erat sampai aku hampir tidak bisa bernapas. "Cintailah aku dan jangan tinggalkan aku. Jangan tinggalkan aku."

Dan bahkan sebelum aku bisa memikirkan balasan yang lain, dia menekankan bibirnya ke bibirku, menyegel janjinya dengan ciuman yang menghancurkan. Ciuman ini tidak seperti yang pertama dulu—jika itu hati-hati dan tepat, maka ini adalah segala bentuk rasa sakit dan gairah yang bercampur dalam ciuman yang mematikan pikiran dan membakar jiwa. Bibirnya menekan dan menuntut bibirku, membujukku untuk membuka mulut pada setiap gigitan bibirnya yang panas.

Aku menyerah, semua rasionalitas lama terlontar melalui jendela, dan lidahnya menyapu gigi dan mulutku. Dia menciumku seolah itu adalah satu-satunya hal yang bisa dia lakukan di dunia ini, seolah-olah dia tidak diharuskan melakukan hal lain selain ini. Namun, lebih dari segalanya, dia menciumku seolah dia memberiku seratus, ribuan alasan untuk tetap, dan membiarkanku tahu semua alasan ini hanya dengan lidah, gigi, dan bibirnya saja.

Dan aku menciumnya seolah itu adalah perpisahan terakhirku, yang mana ini tidak terlalu jauh dari kebenarannya. Aku membalas ciumannya karena itulah afrodisiakku, dia membuatku kecanduan seperti obat paling adiktif dan seperti anggur paling mahal. Aku melepaskan isakan dari belakang tenggorokanku dan mencengkeram erat kemejanya, berharap agar dia tahu bagaimana perasaanku ketika aku tidak bisa lagi mengatakannya dengan kata-kata.

Ketika aku sedikit mundur, mengingat bahwa Adelaide masih menunggu dengan tidak sabar di luar, dia menarikku kembali, menempelkan bibirnya ke bibirku dan langsung memotong setiap protes yang kumiliki. Tangannya mencengkeram pinggangku erat-erat dan hela napasnya terdengar berantakan, tidak stabil di terlingaku.

"Tetaplah tinggal, kumohon," dia memohon di bibirku dan saat itulah aku tersadar akan posisiku dan menarik diri dengan kuat.

"Kaden–"

"Kau tidak akan membiarkan aku menciummu seperti itu dan mengaku tidak memiliki perasaan untukku," dia bergegas, mendekapku lagi dan mengecup keningku dan turun ke puncak hidungku. "Kau tidak akan membalas ciumanku seperti yang baru saja kau lakukan dan mengaku tidak mencintaiku."

Sambil melepaskan diri dari genggamannya, aku menarik napas dalam-dalam dan memaksa diriku untuk tetap tenang. "Kurasa ini artinya aku ini aktris yang luar biasa."

"Dengarkan—"

"Tidak," aku menangis dan mundur selangkah ketika dia mencoba meraihku lagi. "Aku sudah selesai di sini! Semua ini hanyalah kebohongan besar. Aku sudah—" dan kemudian aku terdiam karena kata-kata berikutnya adalah hal yang paling sulit yang harus kukatakan.

Maaf, Kaden.

"Aku tidak pernah mencintaimu. Tidak dulu, tidak sekarang, tidak akan pernah–"

Tapi kata-kataku tiba-tiba terputus ketika pintu terbuka dan petugas keamanan yang biasa kulihat di gerbang rumah mengerumuni, dua di antara mereka segera menahan Kaden ketika dia mencoba meraihku.

"Kumohon, jangan tinggalkan aku," dia memohon, berjuang melawan mereka dengan susah payah, dan kemudian aku melihatnya menangis, ya Tuhan, sungguh itu adalah jenis tangisan yang menghancurkan hati yang membuatku merasa seolah-olah aku baru saja mengeluarkan hatinya dari dadanya. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada ini dan aku hanya bisa membayangkan betapa lebih menyakitkannya baginya.

Secara naluriah, aku mengambil langkah maju, pikiranku memutuskan untuk menghiburnya untuk yang terakhir kalinya, tetapi aku ditarik kembali oleh salah satu penjaga lainnya.

"Waktumu habis," penjaga itu bergumam dan mulai menyeretku keluar dari kamar Kaden.

Kekuatan kasarnya yang membuatku mulai panik, karena ini bukanlah cara yang kuinginkan mengucapkan selamat tinggal. Kaden dan aku tidak bisa dipisahkan secara fisik, tetapi inilah yang terjadi dan aku merusak segalanya jika aku membiarkannya terjadi.

"Tidak, tunggu," aku menjerit, berusaha melepaskan diri dari penjaga itu sementara mendengar Kaden masih memohon agar aku tidak pergi. "Ini bukan bagaimana aku merencanakannya—"

"Waktumu sudah habis," dia bersikeras dan dengan tegas menarikku keluar dari kamar Kaden, membanting pintu hingga tertutup. Aku bisa mendengar teriakan Kaden dari dalam, tetapi ketika aku mencoba melepaskan diri kembali, penjaga mencengkeram lenganku dan menarikku menuruni tangga.

Aku tersandung saat dia menyeretku keluar. Di antara kabut air mata yang kabur, aku melihat sebuah mobil yang tampak familier diparkir di jalan masuk. Sesaat kemudian, pintu terbuka dan Parker melangkah keluar dari kursi penumpang, tampak sangat marah.

"Apa yang kalian lakukan padanya?" Dia menggeram, berjalan cepat ke arah kami dan menarik lepas lengan penjaga itu dariku.

Wajah penjaga itu tanpa ekspresi. "Dia tidak mau pergi," katanya singkat, sebelum berbalik dan kembali ke rumah.

Sebagian diriku sangat ingin berlari kembali menuju Kaden, kalau saja aku bisa melihat apakah dia baik-baik saja. Namun, aku tahu bahwa aku akan dijegal sekali lagi, terutama ketika aku melihat keempat pria itu berjaga di pintu depan. Pada akhirnya, aku menoleh ke Parker dan terisak-isak dalam dekapannya, menutup mataku ketika dia memelukku dan menggendongku.

Dia membawaku ke mobil, duduk di kursi belakang bersamaku, dan saat itulah aku melihat Nolan di belakang kemudi. Seringai Nolan yang biasa dan matanya yang berkilau tidak terlihat—dia menatap kami dengan sedih melalui kaca spion tengah untuk sesaat sebelum menginjak pedal gas. Mobil meluncur keluar dari jalan masuk, meninggalkan jejak debu di belakangnya.

Memejamkan mata erat-erat, aku memalingkan wajahku dari Parker sehingga dia tidak perlu melihatku menangis. Aku meredam isakku dengan menggenggam tanganku erat-erat di mulutku, menggigit lidahku begitu keras hingga aku merasakan darah.

Maafkan aku, Kaden, kata-kata itu mengacaukan pikiran di kepalaku, berulang dalam putaran yang tak terbatas. Aku sangat menyesal untuk hal-hal yang kukatakan. Aku sangat menyesal harus pergi. Dan aku adalah orang yang mengerikan tetapi itu adalah satu-satunya pilihan dan aku hanya berharap kau tahu betapa aku mencintaimu, betapa aku akan selalu begitu.

Setiapbagian dari diriku terasa sakit dan aku tahu persis alasannya. Kau bisamengucapkan selamat tinggal dalam sejuta satu cara, tetapi ketika perpisahanitu untuk selamanya, tak peduli bagaimanapun kau memilih untuk mengucapkannya,itu akan tetap membuatmu merasa kesakitan. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro