09 | rubato
0 9
r u b a t o
[It] Mencuri waktu; mempercepat dan memperlambat untuk tujuan ekspresif.
PADA PERTEMUAN KEENAMKU dengan Kaden, aku menolak tawaran Parker dan Nolan untuk mengantarkanku ke rumah pantai keluarga Brettons. Sebaliknya, aku melakukan perjalanan sendiri, mengemudi dengan jendela turun dan menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Ini adalah hari yang indah tetapi mengingat ini adalah yang kali kedua terakhir untukku melihat Kaden menyurutkan suasana hatiku.
Pihak pengamanan mengantarku masuk dan aku disambut oleh Edwin di pintu, yang memberitahuku bahwa Adelaide sedang keluar sekali lagi. Aku tidak ingin diingatkan akan kenyataan bahwa aku tidak memiliki banyak waktu.
Ketika aku mengetuk pintu Kaden, dia tidak menjawab dan dari mengintip ke dalam ruangan mungkin dia mungkin sedang mandi, jika pintu ke kamar mandi tertutup adalah indikasinya.
"Kau tidak masuk?" Edwin tampak bingung ketika aku keluar dari kamar Kaden. Dia berdiri agak menuruni tangga, memberikan instruksi kepada salah satu asisten rumah tangga lainnya.
Aku menghampirinya, bersandar pada susuran tangga. "Kaden sedang mandi," aku menjelaskan, ketika asisten rumah tangga itu telah pergi dan hanya Edwin dan aku. "Maukah kau membantuku?"
Dia tersenyum geli. "Itu tergantung pada apa yang kau minta."
"Aku ingin membawa Kaden ke pantai hari ini," dia mulai mengerutkan kening dan aku buru-buru melanjutkan. "Aku tahu, Nyonya Bretton tidak mengizinkannya. Tetapi aku akan bertanggung jawab penuh untuk itu. Kau sendiri yang mengatakannya—Kaden terkurung di kamar selama berhari-hari dan dia menjadi gelisah. Aku hanya ingin melakukan sesuatu untuknya."
Edwin tampak ragu selama beberapa detik. Dan kemudian dia menghela napas. "Aku akan... pura-pura tidak melihatnya," akhirnya dia menyetujui. "Aku akan memastikan seluruh staf tidak mengatakan sepatah kata pun tentang itu."
Aku tersenyum lebar. "Terima kasih Edwin, kau yang terbaik."
Ini lucu—aku belum lama berada di sini tapi aku lebih memercayai Edwin daripada kebanyakan orang. Dalam beberapa hal, dia banyak mengingatkanku pada ayah; ada getaran kebapakan yang sama di mana-mana. Dia adalah suar kehangatan dalam rumah tangga yang terisolasi ini dan aku tidak bisa tidak bertanya-tanya apa yang masih dia lakukan di sini, ketika dia dapat dengan mudah pensiun dan menikmati kehidupannya di rumah.
"Aku sudah lama merawat Tuan Bretton muda dan dia hampir seperti putra bagiku," jawabnya, ketika aku menyuarakan pikiranku dengan keras. "Aku sudah berada di keluarga ini cukup lama sehingga aku bisa pergi kapan pun aku mau, tapi aku tidak memiliki niat untuk itu—setidaknya, sampai aku tahu bahwa mereka tidak lagi membutuhkan layananku."
Sesuatu dalam kata-katanya membuat hatiku sakit. "Dan jika mereka tidak lagi membutuhkannya?" Aku bertanya, setelah jeda sesaat. Kata-kata itu sepertinya sulit diucapkan. "Jika, suatu hari, kau melihat Kaden tidak lagi membutuhkanmu–akankah kau pergi?"
"Ya," jawabnya secepat detakan jantung. Dia tampak agak acuh tak acuh, sedikit sedih tetapi tidak lebih, tidak kurang. "Jika Tuan Bretton menemukan orang yang lebih baik untuk pekerjaan ini dan tidak lagi menginginkanku bekerja untuknya, aku akan pergi."
Meninggalkan sepertinya hal yang mudah untuk dikatakan, tetapi melakukannya adalah hal yang berbeda sama sekali. Aku hanya di sini enam kali tetapi aku sudah tahu aku akan merindukan Edwin dan Michelle dan, yang paling penting, Kaden.
Sebagian diriku ingin menentang keinginan Adelaide—aku tidak ingin pergi. Aku ingin tetap sampai Kaden menjadi lebih baik dan mendapatkan penglihatannya kembali, aku ingin melihat reaksi di wajahnya ketika dia melihatku untuk pertama kalinya, aku ingin tahu apakah keenam pertemuan ini berarti sesuatu, bahkan hal sekecil apa pun, baginya .
Namun, pergi adalah akhir perjanjian ini. Apakah aku pergi karena Adelaide menginginkannya? Atau karena sebagian dari diriku tahu bahwa Kaden tidak lagi membutuhkanku, dan bahwa aku sebenarnya tidak cocok dengan hidupnya?
Aku tidak tahu, itu terlalu membingungkan, tetapi yang pasti pergi adalah akhir dari semua ini dan sesederhana terdengarnya, untuk yang terbaik.
Sambil menarik napas panjang, aku membuka tutup kotak yang telah kubawa selama ini dan mengulurkan kotak itu kepada Edwin. "Maukah kau melakukan sesuatu yang lain untukku?"
Alisnya terangkat ketika aku mengeluarkan tanaman pot kecil dengan bunga biru.
"Bisakah kau menjaga ini? Ini untuk Kaden, tapi aku khawatir dia tidak akan bisa mengurusnya dengan benar sampai dia mendapatkan penglihatannya kembali. Ada daftar instruksi yang aku tempelkan di potnya dan itu benar-benar mudah. Aku berharap aku bisa memberikan ini kepada Kaden sendiri, tetapi masalahnya adalah—aku tidak akan berada di sini ketika dia membuka matanya," sulit untuk menjaga suaraku tetap tenang pada bagian akhir kalimatku.
Dia mengambil tanaman itu dan mempelajarinya dalam diam. "Apakah ini ada hubungannya dengan fakta bahwa kau bukan Nona White?"
Mulutku terbuka. "Bagaimana kau tahu?"
"Aku sudah melihat Nona White," dia membalas dengan lembut, menatapku dengan geli. "Aku harus mengatur ulang jadwal Tuan Bretton muda untuk bertemu dengannya. Selain itu, kau tidak berperilaku seperti dia. Tuan Bretton juga tidak pernah berperilaku seperti dia di sekitarmu saat bersamanya. Aku ikut dalam permainan ini karena aku berasumsi bahwa aku tidak seharusnya mengetahui perbedaan ini." Senyumnya dengan cepat memudar menjadi ekspresi serius. "Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, aku juga tidak akan berusaha mencari tahu hal-hal ini, tetapi aku harap kau tahu bahwa Tuan Bretton akan sangat kecewa ketika dia membuka matanya dan tidak melihatmu."
"Kuharap aku bisa. Sayangnya, kurasa aku tidak bisa."
Dia hanya mengangguk dan mempelajari tanaman itu lagi. "Spesies apa ini?"
"Myosotis," senyumku sayu. Aku telah berusaha berpikir selama beberapa hari terakhir, bertanya-tanya apa yang harus kuberikan padanya. Kaden memiliki semua yang dia inginkan di dunia dan, entah bagaimana, tak ada satu pun yang pernah kuberikan kepadanya tampak cukup mewah. Jadi aku akhirnya setuju untuk yang ini. "Kaden akan mengerti ketika dia melihatnya."
Karena ada nama lain untuk Myosotis:
Jangan-lupakan-aku.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Hal pertama yang kuperhatikan dari Kaden ketika dia keluar dari kamar mandi adalah bahwa tidak ada kain kasa biasa yang membalut bagian kepalanya. Tetapi matanya terpejam rapat, seolah dia benar-benar takut untuk membukanya.
Hal kedua yang kuperhatikan adalah dia tidak mengenakan apa pun kecuali handuk yang dililitkan longgar di pinggangnya. Dan aku tidak dapat tidak menyadari kalau Kaden Bretton proporsional, berkulit kecokelatan dan sangat, sangat kekar; sesuatu yang tak kusadari sebelumnya karena memar-memarnya. Bahunya lebar, dengan jenis atletis yang berasal dari bertahun-tahun berlari dan pergi ke tempat gym.
Aku mencicit seperti tikus yang sedang berada di tengah-tengah penyiksaan dan penuh akan rasa keterkejutan, sebelum mundur satu langkah ke belakang, memegang gagang pintu di belakangku. Bukan niatku untuk masuk tepat saat dia keluar dari kamar mandi. Kukira dia sudah selesai sejak tadi, jadi aku langsung membawakannya sekantong es saat kembali ke atas agar aku bisa merawat memarnya.
"Tolong tunggu sampai aku keluar dari sini sebelum kau menjatuhkan handuk," kataku ketika kepalanya menoleh ke arahku. "Dan ya, hai, ini aku lagi."
Bibirnya tersenyum tipis dan dia menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Pergi saja ke lemari pakaianku dan ambilkan baju untukku, ya?"
Permintaannya datang begitu tak terduga sehingga aku benar-benar berbalik untuk melihat apakah ada orang yang berdiri di belakang. "Aku?"
"Apakah ada orang lain?" Dia terdengar sangat terhibur.
"Tidak," gumamku, kesal karena dia jelas-jelas merasa puas dengan ketidaknyamanananku, aku menuju ke lemari pakaiannya, lantas membuka pintu dengan lebar. "Apakah ada warna tertentu yang kau sukai atau—"
Dia tertawa terbahak-bahak. "Sejujurnya aku tidak pernah peduli itu."
Baiklah kalau begitu. Setelah memilih celana olahraga dan kaus sesukaku—dua potong pakaian yang sering kulihat dia pakai, aku berhenti sejenak dan menatap ragu-ragu pada tumpukan celana boxer. Ini akan terdengar sangat aneh. "Apakah kau suka commando atau—"
"Itu pilihanmu, sayang–"
"Jangan menyelesaikan kalimat itu," aku menjerit, terkejut, dan segera meraih sepasang boxer terdekat sebelum kembali padanya.
Ada seringai bermain di bibirnya dan sementara aku senang melihatnya tersenyum, aku merasa malu karena kata-katanya. Bergerak kembali ke kamar mandi, aku meletakkan celana boxer dan celana olahraga di meja sebelah wastafel.
"Ini. Kau bisa mengenakan kemejamu nanti karena aku harus mengompres memarmu. Dan aku akan membantumu mengenakan kain kasanya di matamu."
Seringainya memudar dan berubah menjadi senyuman yang lebih lembut. "Terima kasih."
"Hanya ini yang bisa kulakukan. Hati-hati," kataku kepadanya, sebelum melangkah keluar dari kamar mandi dan menarik pintu hingga menutup di belakangku. Lalu aku bersandar di pintu dan menekankan ujung jariku ke pipiku yang memerah.
Sangat sulit untuk tidak jatuh cinta pada Kaden Bretton. Dulu aku jatuh cinta kepadanya karena dia tampak sesuai dengan cetakan seorang Pangeran Tampan. Dan meskipun cetakannya kini sudah hancur, bertemu dengannya untuk kedua kalinya juga tidak mengecewakanku. Dia misterius tetapi baik, penuh akan pertahanan diri tetapi manis. Dengan menambahkan ketertarikan fisik ke dalam campurannya, seketika saja hatiku dalam masalah besar.
Namun sekali lagi, bukankah selalu seperti ini?
"Nolan keceplosan kemarin," terdengar suara Kaden dari dalam kamar mandi, secara langsung membuatku keluar dari lamunanku, "ketika dia berbicara tentangmu."
Aku mengerutkan kening tetapi hatiku tidak bisa berhenti berdetak lebih cepat—bukan karena antisipasi, tetapi karena gelisah. "Keceplosan apa?"
"Dia bertanya padaku—dan aku kutip— 'bagaimana kabarmu dan kekasih berambut cokelat-merahmu sejauh ini?'"
Ucapan Kaden membuatku terdiam dan tanganku bergerak menyentuh rambutku, memutar-mutar ujungnya di sekitar jariku dengan skeptis. Ini adalah warna cokelat kemerahan—warna yang selalu kugunakan saat mewarnai rambutku sejak aku berusia delapan belas tahun.
Pintu di belakangku tiba-tiba terbuka dan aku terhuyung mundur, tak bisa menjaga keseimbanganku. Kaden menangkapku sebelum aku jatuh, satu tangannya membungkus pinggangku dengan aman. Matanya masih terpejam tetapi kekhawatiran dengan jelas terukir di wajahnya.
"Maaf, aku tidak sadar kau bersandar di pintu. Apakah kau baik-baik saja?"
Aku mencengkeram lengannya dan menegakkan diri, sedikit menjauh darinya dan mengabaikan kerutan yang menyelinap ke wajahnya. "Ya, terima kasih. Sekarang di mana kasa untuk matamu?"
"Di wastafel. Periksa lemari jika tidak ada di sana."
Kami menghabiskan lima menit berikutnya dengan merawat mata Kaden. Kasa ini terasa jauh lebih nyaman daripada harus mengenakan penutup mata yang sebenarnya, yang mana tidak dia perlukan sama sekali. Setelah memastikan bahwa tekanan pada matanya terasa cukup, aku membungkus lapisan terakhir kain kasa di sekeliling kepalanya, menempelkan klip pada bagian ujungnya dengan rapi dan memastikan rambutnya tidak tersangkut di dalamnya.
"Cukup nyaman?" Aku bertanya ketika kami selesai, dan aku meletakkan sisa kain kasa kembali ke dalam kotak. "Tidak terlalu ketat, kan?"
Dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Ini nyaman."
Menuntunnya keluar dari kamar mandi, aku mengarahkannya ke tempat tidur sebelum mengambil kantong es yang kutinggalkan di meja kopi sebelumnya. "Duduklah," kataku ke balik bahuku, ketika aku melihat dia hanya berdiri di sana tampak agak melamun tanpaku. "Aku harus mengompres memarmu."
Yang membuatku senang, dia dengan patuh duduk di tempat tidur tanpa banyak protes. Aku duduk di sebelahnya, menekan kantong es itu dengan lembut ke memar di bawah tulang iganya. Dia mendesis karena kedinginan, tetapi kali ini tidak mengelaknya. Sebaliknya, dia meletakkan tangannya di atas kantong es, ibu jarinya dengan lembut menyapu kulitku. Ada ekspresi serius di wajahnya, seolah-olah dia mencoba mengingat tekstur kulitku dengan kulitnya.
"Jadi, kau memiliki rambut berwarna cokelat kemerahan," renungnya, kemudian. "Aku mulai berpikir bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang penampilanmu."
"Bukan cokelat kemerahan. Ini lebih seperti... merah terang," aku memutuskan untuk mengatakan itu, karena aku tak bisa memikirkan hal lain untuk dikatakan. Itu kebohongan. Rambutku berwarna cokelat kemerahan yang sangat pekat, tetapi dia tidak perlu tahu itu. "Agak mirip dengan Pippi Longstocking."
Ada kesunyian yang membingungkan di ujungnya.
"Pippi– apa?"
Aku tersenyum mendengar nada bicaranya yang terkesan tak percaya. "Pippi Longstocking. Kau tahu, dari seri buku Astrid Lindgren," sekarang giliranku yang merasa ngeri ketika aku tidak melihat kilas apa pun di wajahnya. "Bagaimana mungkin kau tidak pernah mendengar tentangnya? Dia adalah bocah berumur sembilan tahun paling menggemaskan yang pernah ada!"
"Mungkin karena dia fiksi?" Dia menunjuk dengan sinis.
Menyikutnya dengan lembut, aku tertawa dan menggelengkan kepala. "Ya, tetapi banyak anak-anak yang tumbuh membaca serinya. Astrid Lindgren seperti Lois Lowry atau Dr. Seuss. Penulis terkenal yang menulis buku untuk anak-anak. Ketika aku masih kecil, ayahku membacakan buku-buku ini kepadaku setiap malam sebelum aku tidur."
Dia tidak berbicara sebentar. Dan ketika aku meliriknya, kuperhatikan senyuman memudar dari bibirnya. "Orang tuaku tidak pernah membacakan apa pun untukku."
Ekspresi wajahnya begitu sendu. Ekspresinya adalah jenis kepedihan yang mengingatkanku pada seorang anak laki-laki yang dipaksa tumbuh dengan terlalu cepat untuk menjadi salah satu pria paling kuat di dunia. Mengambil keputusan dengan cepat, aku menggeser tubuhku di tempat tidur sehingga kakiku agak melengkung ke bawah, dan langsung menariknya berbaring sehingga kepalanya bersandar di pangkuanku.
Dia membeku sesaat, alisnya mengernyit kebingungan. "Apakah kau—"
"Aku membantumu merasakan apa yang kau lewatkan selama masa kanak-kanakmu," kataku ringan dan menariknya kembali ke pangkuanku. Meletakkan kantong es di kulitnya yang memar, aku berusaha memastikan kantung es itu tidak tergelincir. "Aku akan memberitahumu semua hal tentang Pippi Longstocking."
"Ini bukan ide yang bagus," gumamnya sinis.
"Jika kau tidak menyukainya aku akan–"
Kata-kataku adalah ancaman kosong, tetapi aku tetap bergerak bangun, dan dia menghentikanku, mengencangkan cengkeraman jemarinya di lututku. Ketika aku berhenti bergerak, jemarinya kembali rileks tetapi dia tetap memegangi lututku, seolah-olah dia takut aku akan pergi.
"Tetap di sini," gumamnya. "Aku akan mendengarkan apa pun. Tolong, tetaplah di sini."
Kalau saja aku bisa.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Kami menghabiskan sisa sore itu dengan bermalas-malasan dan sesekali bercakap-cakap di sela keheningan yang tenang. Aku merasakan perasaan damai melingkupiku dan menghangatkanku; sesuatu yang kau rasakan ketika waktu seakan berhenti untuk sejenak dan tak ada yang lain, tak ada yang tampak penting di dunia ini. Aku sangat berharap ini akan berlangsung untuk selamanya, tetapi waktu terus berjalan seperti ombak yang menyentuh pantai, dan tidak ada kekuatan di bumi ini yang bisa menghentikannya.
Sore itu, aku menarik Kaden bangkit dari tempat tidur. Dia ketiduran tadi dan mengerang ketika aku menarik lengannya. "Ke mana kau akan membawaku pergi?" Dia bergumam dan masih mengantuk ketika aku menyeretnya ke pintu.
Meraih iPod milikku dari dalam tas, aku cepat-cepat memasukkannya ke dalam saku dan tersenyum. "Kita akan ke pantai."
Dia diam, mulutnya ternganga kaget seolah berita itu terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. "Apa?"
"Kau mendengarku."
Dia menggelengkan kepalanya tak percaya. "Tapi aku sudah berusaha untuk keluar dari sini berkali-kali dan petugas keamanan terus membawaku kembali ke kamar."
"Aku bertanya sebelumnya pada Edwin dan dia setuju untuk menyembunyikan ini. Lagi pula, apa yang ibumu tidak tahu tidak akan menyakitinya."
Kata-kata itu meninggalkan secercah harapan di belakang dan aku bertanya-tanya untuk sesaat apakah ada jalan keluar dari semua ini. Apakah hubungan ini akan berhasil jika aku berkeras untuk tetap berhubungan dengan Kaden setelah pertemuan ketujuh?
Menyingkirkan pikiran itu dengan hati-hati untuk memikirkannya nanti, aku menarik Kaden ke arah pintu. "Ayolah."
Aku menyeret Kaden yang tak mengenakan alas kaki keluar dari kamarnya, menuruni tangga dan menuju pintu belakang. Ketika kami berada di teras belakang rumahnya, aku melepaskan sepatuku dan menguncir tinggi rambutku sebelum melangkah ke arah pasir lembut yang terasa hangat. Kaden masih berdiri di sana dengan tenang, tetapi dia tampak sedang menarik napas dalam-dalam, seolah-olah dia tidak pernah bernapas dengan baik sepanjang hidupnya sebelum ini.
"Apa semuanya baik-baik saja?" tanyaku penasaran, tersenyum ketika dia memiringkan kepalanya untuk menghadapku, jemarinya dengan lembut menjalin jemariku.
"Ya," gumamnya. Jika dia tidak buta, aku tahu dia akan menatap pantai yang indah dan laut di luar sana dan mungkin ke arah cakrawala, di mana langit dan laut bertemu dalam satu garis kecil. "Aku hanya agak lupa bagaimana rasanya berada di sini."
Dia melangkah keluar dari teras, ekspresi puas menyelinap ke wajahnya ketika dia merasakan butir-butir pasir di bawah kakinya. Dia sepertinya benar-benar merindukan ini, dan aku ingat bahwa terakhir kali dia keluar dari rumah adalah saat dia bersama Nolan beberapa minggu yang lalu. Senyum jahat menyebar di wajahku ketika aku ingat apa yang pernah dikatakan oleh Nolan, tentang apa yang dia coba lakukan pada Kaden tetapi justru gagal total.
"Terus berjalan," desakku, menarik tangannya agar dia mulai mengikutiku.
Dia menurut dan aku membawanya menuju pantai secara perlahan, berusaha semaksimal mungkin menikmati sedikit waktu yang kumiliki. Pantai ini adalah tempat yang indah; begitu tenang, karena jelas area ini milik pribadi. Aku melihat beberapa orang di sisi pantai yang agak lebih jauh, tetapi mereka berada cukup jauh dari jangkauan dan mungkin tinggal di salah satu dari sekian banyak rumah pantai kecil yang dibangun untuk disewakan.
Ketika kami dekat dengan ombak, aku melangkah perlahan sampai ombak besar datang ke pantai. Tanpa keraguan sedikit pun, aku tanpa ampun mendorong Kaden ke sana, tetapi tetap memastikan jemariku masih memegang ujung bajunya kalau-kalau dia benar-benar jatuh. Ketika dia dengan canggung tersandung beberapa langkah ke depan ke dalam air, aku tertawa dan dia berbalik dengan raut masam di wajahnya.
"Aku tahu kau akan melakukan sesuatu seperti itu," nada datar dalam suaranya membuatku sadar dia telah menyadari ini jauh lebih cepat daripada yang kuprediksikan. Mungkin bahkan dia sudah menunggu-nunggu. Kenyataan itu membuatku bertanya-tanya kenapa dia tidak membuatku terjatuh seperti yang dia lakukan kepada Nolan dan malah membiarkanku mendorongnya.
Mencoba untuk menahan senyum di wajahku, aku mengulurkan tangan dan menariknya menjauh dari air, kembali ke bagian pasir yang kering, kembali padaku. Ekspresi wajahnya masih datar dan aku mulai khawatir. "Apakah kau marah?"
Dia menggelengkan kepalanya, senyum kecil akhirnya melengkung di bibirnya. "Tentu saja tidak."
Aku menghela napas lega. "Kalau begitu, maukah kau melakukan sesuatu denganku?"
"Apa pun."
Aku tersenyum dan merogoh sakuku untuk meraih iPod tua milikku. Mengurai earphone di sekitar perangkat itu, lantas menempatkan satu di telinganya dan yang lain di telingaku. Dia mengangkat alisnya sebagai isyarat bertanya tetapi tidak mengatakan apa pun, bahkan ketika aku menyalakan musik di iPod, menemukan lagu yang kucari dan menekan tombol play. Bahkan ketika aku meraih dan meletakkan tanganku di bahunya yang lebar, merasakannya membeku karena terkejut di bawah sentuhanku.
Kemudian, mengambil napas dalam-dalam, aku mengajukan pertanyaan yang ingin aku tanyakan sejak aku bertemu dengannya lagi.
"Maukah kau berdansa denganku?"
Dia terlihat agak tersentak dan aku bersiap untuk penolakan. Karena, kau tahu, ini bahkan sudah terjadi sangat lama. Banyak hal telah berubah, kami telah berubah. Mungkin dia benar-benar benci gagasan tentang berdansa sekarang.
"Aku mau," dia memulai dengan ragu-ragu, "tapi karena aku tak bisa melihat, aku tidak yakin bagaimana caranya membimbingmu. Dan aku mungkin akan menginjakmu kakimu jika aku tidak hati-hati."
Senyum yang menyebar di wajahku lebih cerah daripada matahari sore ini. "Tidak masalah," bisikku, menyelipkan kembali iPodku ke sakuku dan tanganku bergerak ke bawah untuk meraih tangannya. "Aku akan membimbingmu."
Membawa tangannya ke pinggangku, aku menikmati cara kedua lengan kokohnya bertengger di sekitarku dengan lembut, berhati-hati, dan seolah-olah berusaha melindungiku dari seluruh dunia. Aku menarik lenganku kembali ke lehernya dan menatapnya. Dari dekat, aku bisa melihat bintik-bintik lembut menghiasi tulang pipinya yang tinggi dan merasakan embusan napasnya di pipiku, jauh lebih lembut dan jauh lebih nyaman daripada angin laut.
Dansa tidaklah sulit, seperti yang pernah diajarkan Kaden kepadaku dulu. Jika kau mengabaikan semua teknis dan segala detailnya, maka ini akan terasa sederhana, hanya bergerak lembut mengikuti irama musik. Jarak di antara kami membuatku berpikir keras, bagaimana aku memeluknya begitu dekat tetapi tidak pernah cukup dekat.
Initentang dirinya yang tinggi dan rupawan, yang menentang pemandangan laut dibelakang sana—yang memukau dan indah, yang membuat jantungku berdegup kencangdi dalam sana, setiap irama yang bertalu membawa kami lebih dekat menujuperpisahan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro