Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

06 | poco a poco


0 6

p o c o   a   p o c o

[It] Sedikit demi sedikit.

  

ADA firasat aneh di hatiku saat aku melihat sebuah Lamborghini benar-benar terparkir tepat di luar gedung seni beberapa sore kemudian. Warna merah tua yang pekat; jenis warna yang akan berkilau di bawah matahari dan tanpa malu-malu menuntut perhatian semua orang.

Kerumunan kecil sudah berkumpul di sekitar sana—orang-orang berdiri dan menganga mengamati mobil itu, dan aku sangat yakin pemilik mobil di dalamnya pasti tengah berseri-seri dengan bangga. Tak satu pun orang di antara kami pernah melihat mobil semacam ini terparkir di kampus sebelumnya. Bahkan aku ikut memperlambat langkah agar dapat mengagumi kemewahan mobilnya, walau tentu saja dari jarak yang aman.

Namun, senyum geliku langsung memudar ketika kaca mobil itu bergulir ke bawah dan si pemilik kepala pirang familier itu mencondongkan tubuhnya untuk memindai sekeliling. Nolan mengenakan kacamata hitam, dia tersenyum cerah dan menyilaukan, seperti mobil terkutuknya.

"Halo, Sayang," katanya kepada sekelompok gadis di dekatnya, membuat semuanya serentak dimabuk kepayang. Suaranya jelas dan keras sehingga aku dapat menangkap setiap katanya. "Apakah kau tahu di mana Isla Moore? Dia seharusnya menemuiku di sini pada pukul tiga lebih tiga puluh menit."

Aku tidak lagi menunggu untuk mendengar jawaban para gadis itu. Memeluk beberapa bukuku dengan erat di dadaku, aku menunduk dan segera berjalan pergi.

Aku seharusnya bertemu dengan Kaden hari ini dan memberikan kontrak yang telah kutandatangani kembali pada Adelaide, dan aku ingat Nolan sempat menawarkan tumpangan untuk mengantarku ke rumah pantai keluarga Brettons. Namun, aku tidak menyadari dia akan datang dengan keriuhan seperti ini, dan sekarang aku harus pergi sebelum–

"Isla!"

Sangat terlambat.

Aku mempercepat langkahku, menuju gerbang samping secepat mungkin. Yang membuatku ngeri, Nolan langsung mengendarai mobilnya dan berhenti tepat di trotoar beberapa saat kemudian. "Well, halo, Isla," dia menyapa dengan riang, "sore yang indah, bukan?"

"Pergi," desisku, sembunyi-sembunyi sebisa mungkin. Sejujurnya, ini bahkan tidak bisa dikatakan sebagai sembunyi-sembunyi, mengingat dari banyaknya tatapan ingin tahu yang dilemparkan orang-orang ke arah kami. Aku harus menyalahkan Lamborghini miliknya. "Kau mempermalukanku!"

Dia hanya memalingkan kepalanya dan tertawa lebar. "Aku mempermalukanmu?" Dia menurunkan suaranya menjadi lebih rendah dan melanjutkan, "keluargaku memiliki jaringan hotel di seluruh dunia dan aku seorang jutawan di usia dua puluh empat dan aku membuatmu malu?"

"Jangan membual tentang hal itu," aku kembali kesal, menatapnya dengan jijik. "Itu sama sekali tak pantas. Aku tak ingin menyebutnya konyol, karena jika seseorang membaretkan mobilmu dan melakukannya sekarang—yang mana sangat ingin kulakukan—kau akan menjadi jutawan tanpa Lamborghini."

Dia tertawa lebih keras lagi dan aku berharap tanah yang kupijak dapat menelanku hidup-hidup. Parker pernah memberitahuku tentang bagaimana Nolan suka mengganggu dirinya dan Kaden. Aku sekarang sepenuhnya mengerti dan bersimpati kepada mereka.

Meskipun, jujur ​​saja, Nolan sesungguhnya adalah orang yang sangat menghibur—hanya saja tidak ketika dia menguntitku dengan mobil merah cemerlangnya.

"Masuk ke dalam mobil, Sayang," katanya, sebelum membunyikan klakson dan membuatku terlonjak ketakutan. "Atau kau akan hidup dengan penuh penyesalan."

"Aku akan menemuimu di luar kampus," aku membalasnya dengan tegas dan mulai mempercepat langkahku.

Sayangnya, belum juga aku pergi terlalu jauh, dia tiba-tiba mulai membunyikan klaksonnya secara beruntun dan membuat semua orang yang berada dalam jarak pendengaran di sana berpaling dengan tatapan tajam. Dan karena tidak semua orang bisa melihat keberadaan Nolan di dalam mobil, mereka berbalik untuk memelototiku.

Sambil mengucapkan sumpah serapah, aku berjalan ke mobilnya dan berusaha membuka pintunya, tetapi tidak bergerak. "Terkunci, brengsek."

Dia hanya menyeringai. "Aku tahu," celetuknya, sebelum membunyikan klakson tiga kali lagi, hanya karena dia ingin. Kemudian aku mendengar bunyi klik dan pintu terbuka, dan mendapati kakakku duduk di kursi belakang, tertawa begitu keras hingga wajahnya memerah.

Mengerang frustrasi, aku menyelinap masuk dan membanting pintu tertutup di belakangku, sebelum menatap Nolan melalui kaca spion tengah.

"Aku harap seekor burung mendarat di mobilmu dan meninggalkan kotoran di atasnya," adalah doa terbaik yang bisa kuberikan padanya.

Mulutnya ternganga ngeri. "Jangan katakan hal seperti itu tentang bayiku!"

"Kalau begitu, jangan lagi menjemputku dengan mobil yang sepertinya dibuat hanya untuk film Fast and Furious."

Di sampingku, Parker tertawa lagi. "Sudah kubilang dia tidak akan menyukainya," katanya kepada Nolan, "dia membuatku mengendarai Porsche normal setiap kali aku harus menjemputnya dari kampus. Aku pernah datang dengan Ferrari dan dia bahkan tidak mau masuk. Aku harus mengikutinya dengan membuntuti bus yang membawanya pulang."

Nolan tertawa kecil dan aku mengerutkan kening ke arah keduanya. Aku selalu senang setiap kali kakakku datang menjemputku, tetapi aku tidak menginginkan perhatian yang sesungguhnya tidak diperlukan. Jika teman-temanku di sekolah tahu bahwa Parker Collins adalah kakakku, atau bahwa aku berkenalan dengan Nolan Mortez atau Kaden Bretton, aku yakin mereka akan memperlakukanku secara berbeda. Ayah memperlakukan Rosemary dengan sangat berbeda ketika wanita itu mewarisi semua kekayaan suaminya yang sudah mati. Dan itu bahkan dicontohkan dari pasangan yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun hidup bersama.

"Kau," aku menoleh ke arah Parker, yang masih terlihat sangat geli. "Kau tahu betul bahwa aku tidak akan menyukainya. Jadi kenapa kau membiarkannya?"

Bibirnya menyungging ke atas dengan nakal. "Karena ekspresi di wajahmu sangat berharga."

"Kau adalah kakak terburuk di alam semesta."

"Aku seharusnya merekam sebuah video. Dan membuat suara klakson menjadi nada deringmu."

"Kau sangat menyebalkan."

Nolan mengeluarkan tawanya dari kursi depan. "Terus terang saja, aku bisa memikirkan hal-hal yang lebih baik untuk—"

Baik Parker dan aku langsung menoleh untuk menembaknya dengan tatapan mematikan. "Jangan berani-berani menyelesaikan kalimat itu, Mortez," Parker menggeram, dengan tingkat penekanan yang hanya akan dilakukan oleh seorang kakak yang terlalu protektif.

Namun, Nolan tetaplah Nolan yang tidak akan pernah peduli. Dengan senyum yang tenang, dia cukup mengarahkan mobil dan menekan pedal gas. Mobil itu melaju ke depan dan aku hampir terbanting dari tempat dudukku, kalau Parker tidak mengulurkan tangannya untuk menangkapku tepat waktu.

"Sabuk pengaman," kata Parker padaku, meraih tali kulit itu dan menariknya ke arahku, sebelum memasangkannya ke dalam cache dengan kuat. "Nolan suka menyetir seakan dia sedang di area balap dan tenaga dari mobil ini selalu menendang seperti binatang buas."

"Ngomong-ngomong tentang binatang buas," gurau Nolan dari kursi depan, "apakah kau tahu bahwa aku—"

"–bisa menjadi seperti binatang buas di tempat tidur, ya, aku tahu," aku berusaha menjaga ekspresi geliku mati-matian. "Dengan tubuh yang luar biasa dan wajah yang terpahat seperti Adonis, satu-satunya tujuanmu di muka bumi ini adalah untuk mencabuli para gadis di tempat tidur selama yang mereka mau, dan membawa mereka menuju kematian dengan cepat dan mengejutkan mereka beberapa kali dalam satu malam. Betapa luar biasanya dirimu, apakah kau menginginkan medali untuk itu?"

Maksudku itu sarkastik, tetapi Nolan hanya memberiku senyum ramah. "Kau pikir aku memiliki wajah yang terpahat seperti Adonis?"

Parker mendengus tertawa. "Sekarang, apakah kau mengerti kenapa aku tidak pernah memperkenalkanmu kepada teman-temanku?"

Aku tahu. Nolan memiliki candaan mesum yang mengerikan, senyum cerah abadi di wajahnya dan sikap yang akan sangat menyebalkan. Sementara Kaden adalah pangeran yang selalu menjadi harapan setiap gadis saat tumbuh dewasa dan pria yang begitu diselimuti misteri hingga setiap gadis tidak bisa menahan keinginan untuk menelisiknya. Keduanya sama-sama mematikan dengan caranya tersendiri—bahkan jika perasaanku pada Nolan sepenuhnya platonis dibandingkan dengan sesuatu yang lebih dalam yang kumiliki untuk Kaden.

Namun mereka bagai meteor yang entah bagaimana keduanya bisa secara tak terduga menabrak hidupku dan membuat diri mereka tinggal secara konstan hingga aku tak tahu lagi, apakah aku bisa mengucapkan selamat tinggal kepada mereka ketika saatnya tiba bagiku untuk melakukannya.

  

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

  

Sisa perjalanan itu cukup normal. Begitu aku berhasil beradaptasi dengan gaya mengemudi Nolan yang sembrono dan menenangkan diriku dengan pemikiran bahwa aku akan kembali hidup sebagai hantu untuk menghantuinya kalau dia sampai membuatku mati, aku menghabiskan satu jam berikutnya atau lebih dengan tidur siang di kursi belakang. Sesekali, aku terbangun kala mendengar suara tawa teredam atau percakapan di antara Parker dan Nolan tentang bisnis mereka masing-masing.

Ini pemandangan yang menyenangkan. Aku hampir tidak pernah melihat kakakku berbicara bisnis dengan orang lain atau menggoda teman-temannya. Dia selalu menjadi kakak yang protektif, terlalu penyabar, dan terkadang menyebalkan ketika dia bersamaku; rasanya menyenangkan dapat melihat sisi yang berbeda darinya.

Ketika kami akhirnya tiba di rumah pantai, Parker membangunkanku dan menggandeng tanganku ketika aku tersandung dengan tiba-tiba. Tempat itu sunyi, hanya ada suara ombak di pantai dan burung camar yang bersautan di luar.

"Nyonya Bretton menunggumu di ruang kerjanya," kata Edwin kepadaku, ketika dia menyapa kami di aula.

Parker dan Nolan dengan cepat meninggalkanku untuk menemui lebih dulu temannya di lantai atas, dan aku ditinggalkan sendirian untuk menghadapi singa betina itu seorang diri. Singa betina sepertinya deskripsi yang tepat. Adelaide sangat keras dan penuh perhitungan, tetapi ketika itu berhubungan dengan melindungi Kaden, wanita itu akan melakukan apa pun untuk putranya.

Seandainya singa betina ini mengetahui bahwa Kaden dan aku membohonginya—aku sejujurnya tidak suka memikirkan bagaimana nasibku nantinya.

Adelaide ada di mejanya ketika aku masuk, sepasang kacamata baca bertengger di hidungnya. Dia nyaris tidak menatapku, dan baru mengalihkan perhatiannya padaku ketika aku menyapanya. "Kurasa kau sudah membawa dan menandatangani kontraknya?"

"Iya." Sambil mengeluarkan kertas dari selembar amplop cokelat, aku meletakkan itu di mejanya. Tanda tanganku tercetak pada bagian akhir kontrak dalam coretan berantakan, karena aku tidak pernah benar-benar menguasai seni penandatanganan mewah sejak dulu.

"Dan syarat-syaratnya disetujui? Kami bersedia menawarkan sesuatu sebagai imbalannya kepadamu; yang perlu kau lakukan hanyalah mengatakannya."

"Ya. Dan itu benar-benar tidak perlu, tapi terima kasih juga."

"Baiklah," dia menyetujui, sebelum menunjuk ke salah satu baris dalam kontrak. "Aku ingin kau memperhatikan klausul ini secara khusus. Pertemuan pertamamu dengan putraku adalah minggu lalu; yang kedua adalah beberapa hari yang lalu. Itu artinya kau memiliki lima pertemuan lagi untuk diatur kapan saja selama sisa waktunya—tiga minggu ke depan. Kau paham artinya, bukan?"

Aku mengangguk. "Aku harus putus dengannya pada pertemuan terakhir."

"Selesaikan secepat mungkin, tetapi ya, kau memiliki waktu sampai pertemuan ketujuh dan terakhir untuk melakukannya. Ingatlah itu dan ingatlah bahwa ada risiko di setiap belokan—hal yang paling penting adalah dia mungkin akan mendapatkan kembali penglihatannya sebelum itu dan jika itu terjadi, semua upaya kita akan sia-sia."

Semua upaya kita sudah sia-sia, aku ingin mengatakan, tetapi aku menahan lidahku dan mengangguk sebagai gantinya. "Aku mengerti. Aku akan berhati-hati."

"Baik." Dia tampak cukup puas dan menerima kontrak itu, menyelipkannya ke laci mejanya. "Kau boleh pergi. Kaden menunggu di kamarnya."

Aku berbalik untuk pergi dan hampir membuka pintu ketika dia memanggil namaku. Aku berbalik dengan sedikit cemas dan dibuat terkejut saat melihat ekspresi penuh rasa berterima kasih terulas di wajahnya.

"Terima kasih sudah melakukan ini."

Aku nyaris tersekat kaget karena kata-katanya dan untungnya berhasil menyembunyikan keterkejutanku tepat waktu. "Sama-sama," balasku susah payah sebelum berbalik untuk pergi.

Baru setelah menutup pintu dengan kuat di belakangku, aku tersenyum kecil. Adelaide tidak akan sering mengatakannya dan mungkin tidak akan pernah mengatakannya lagi, tetapi aku akan mengingat ini untuk waktu yang lama.

Ayah benar ketika dia memberitahuku bahwa hati yang paling sulit pun dapat mencair jika kau menahannya di bawah sinar matahari cukup lama. Yang harus kau lakukan adalah menemukan sumber cahaya itu. Bagi Adelaide, jelas itu adalah Kaden.

Mau tak mau aku bertanya-tanya, apa sumber cahaya Kaden?

  

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

  

Aku tahu bahwa Parker dan Nolan baru menemui Kaden sekitar lima menit sebelum Edwin mengumumkan kedatanganku. Tetapi lima menit adalah durasi kunjungan yang tidak cukup pantas untuk alasan apa pun, jadi aku sangat terkejut ketika pintu terbuka dan kedua pemuda itu pergi, dengan Kaden mengucapkan salam perpisahan kepada mereka.

Kaden mengenakan sepotong kain kasa baru yang membalut kepalanya untuk menutupi matanya dan dia masih terlihat sama. Tapi posturnya tampak lebih rileks, yang kutebak itu pasti karena dia berada di hadapan Nolan yang selalu bisa membuat siapa pun dan semua orang otomatis merasa nyaman.

Parker dan Nolan berhenti di ambang pintu ketika mereka melihat Edwin dan aku menunggu di luar. Ada keheningan. Kakakku melirikku dengan waspada, tidak yakin bagaimana harus bertindak di depan Kaden, karena secara teknis aku seharusnya Evangeline.

Tapi Nolan tidak ragu-ragu menunjukkan senyumannya yang cemerlang. "Well, halo, Evangeline," katanya dengan sangat riang, yang jika saja Kaden tidak mengetahui tentang tipu muslihat ini, aku pasti akan sangat ketakutan sampai ingin mati karena kemampuan aktingnya yang mengerikan. "Senang melihatmu di sini, Evangeline."

Aku ingin memukulnya, tetapi situasinya terlalu rumit. Jika aku melakukannya, aku akan berakting di luar karakter di hadapan Kaden. Dan meskipun itu tidak lagi menjadi masalah karena dia tahu tentang kebohongan ini, Parker dan Nolan akan langsung menyadari juga bahwa Kaden tahu yang sebenarnya.

Dan sejujurnya, aku tidak yakin apakah Kaden menginginkannya. Lagi pula, dia tidak mengatakan apa-apa tentang itu kepada siapa pun, dan aku menganggap semuanya sebagai status quo. Sangat sulit untuk mengetahui apa yang kadang-kadang dia pikirkan.

"Halo, Tuan Mortez," aku menyapa Nolan dengan lancar, memperhatikan bibir Kaden yang berkedut dari sudut mataku. "Bagaimana kabarmu?"

"Baik. Dan bolehkah aku mengatakan kalau kau terlihat sangat memesona hari ini, Evangeline?" Baik Parker dan aku menyipitkan mata pada pujiannya—jujur, apakah dia tidak mengenal batas? Namun, Nolan hanya tersenyum dengan tenang. "Jaga baik-baik dia, Kade, atau aku mungkin akan mencurinya dari bawah hidungmu."

"Aku ingin melihatmu mencobanya," kata Kaden, nada geli mendasari suaranya, seolah-olah dia benar-benar terhibur oleh kenyataan bahwa Parker dan Nolan masih mengira aku sedang berperan sebagai Evangeline.

Aku tahu bahwa Nolan hanya memainkan perannya sebagai sang penggoda, dan dia mungkin akan benar-benar memperlakukan Evangeline dengan cara seperti ini jika gadis itu masih hidup, tetapi ini sungguh berbatasan dengan kekonyolan. Merasa kalau ini sudah berlangsung cukup lama, aku memberi isyarat pada Parker untuk membawa Nolan dan segera pergi.

Kakakku yang langsung memahami isyarat itu segera mengaitkan lengannya ke leher Nolan sebelum menyeretnya pergi. "Sampai ketemu lagi, Kade," kata Parker, melambaikan tangan malas ke bahunya. "Senang melihatmu, Evangeline."

"Kau juga," seruku, sebelum mengikuti Kaden masuk.

Edwin menutup pintu di belakang kami dan di sini hanya ada Kaden dan aku. Dia sudah mulai berjalan kembali menuju kursinya di dekat jendela yang biasa, mengamati dari arah yang ditujunya dan bagaimana dia terlihat sangat familier dengan furnitur di kamarnya, aku rasa dia tidak butuh bantuanku sama sekali.

Aku mengawasinya sampai dia menemukan kursinya dan duduk di sana sebelum berdehem. "Jadi," aku mulai dengan sopan, "bagaimana perasaanmu hari ini?"

"Kau tidak perlu basa-basi denganku," dia terdengar agak geli tetapi aku tidak yakin. "Aku menyuruh Edwin membawakanmu banyak majalah agar kau tidak bosan. Kau bisa menonton apa pun yang kau mau di televisi juga."

Aku mengerutkan kening ketika aku melihat tumpukan majalah tebal dan remote kontrol yang tergeletak di meja kopi di depan sofa. Kaden sungguh baik saat melakukan hal-hal seperti ini, tetapi aku tidak bisa memahami alasan di baliknya. Meskipun demikian, aku tidak mempertanyakannya.

Sambil duduk di sofa, aku mengambil remote TV dengan ragu, sebelum melihat sekeliling. Televisinya tidak terlihat.

"Aku memiliki pertanyaan," seruku. Kaden melirik ke arah jendela sekali lagi, sebelum berbalik untuk menatapku, alisnya mengernyit saat mendengar kata-kataku. "Ini kedengarannya konyol, tapi di mana letak televisinya?"

Bibirnya bergerak-gerak. "Kau meminta orang buta untuk menemukan sesuatu untukmu?"

"Ini kan kamarmu!"

Dia sedikit menegakkan tubuhnya, mengetuk dinding yang memisahkan jendelanya dari bagian di sebelahnya. Ada bentangan dinding di antara bagian tanpa furnitur yang berdiri di sana, dan ketika aku menyipit, aku menyadari bahwa ada tiga panel yang tertanam di dalam bingkai dinding, dicat dengan warna yang sama sehingga tidak terlihat.

"Ada di sini. Cukup tekan tombol hijau pada remote."

Aku melakukan apa yang dia suruh. Panel bergeser terbuka dengan mulus dan menampilkan layar plasma besar yang segera berkedip hidup, di mana pemutaran ulang Doctor Who saat ini ditayangkan dalam kualitas gambar yang tinggi. Aku tertawa tak percaya. "Terlalu banyak teknologi hanya untuk sebuah televisi," gumamku kesal.

Mungkin ini karena pendengaran Kaden yang meningkat setelah kebutaannya, dia mendengarku dan menggelengkan kepalanya dengan senyum geli. "Apakah itu Doctor Who?" Dia bertanya, perlahan-lahan beranjak dari kursi kebesarannya dan berjalan. Aku segera bangkit untuk membantunya, menyentuh lengannya tepat setelah dia mengayunkan tirai sehingga kamarnya jadi jauh lebih redup daripada sebelumnya.

"Aku tidak mengira kau adalah penggemar Doctor Who," aku terkekeh, menunggunya untuk duduk di sofa sebelum ikut duduk, memastikan untuk menjaga jarak aman di antara kami.

"Aku memang bukan," akunya, "aku hanya menonton jika acaranya ada dan ketika aku tidak memiliki hal penting untuk dilakukan. Yang tidak sering, jujur ​​saja."

Dia terdengar agak getir ketika dia mengatakan itu, walaupun aku tidak bisa sepenuhnya yakin. Tapi memangnya apa yang aku tahu? Sebagian besar akhir pekanku dihabiskan dengan meringkuk di rumah, memenuhi dosis Netflix mingguanku dan mengecat kembali kuku-kukuku karena catnya sudah sompal akibat bekerja di kebun Ayah.

Beralih kembali ke layar televisi, dengan antusias aku menjelaskan episode itu kepada Kaden dengan sangat teliti. "Dokternya baru saja melakukan permainan petak umpet. Sekarang Clara berbicara dengan Dokter tentang River. Dia bercerita tentang Tranzalore. Oh, itu kuburan si Dokter, itu sebabnya dia tidak seharusnya—"

Kaden mencolekku. "Kau sadar kalau aku buta dan tidak tuli, kan?" Dia berkata dengan sinis, "Aku bisa mendengar semua yang terjadi. Kau tidak perlu menceritakannya kepadaku."

Ada keheningan ketika kesadaran itu menyergapku. Aku tersipu karena malu, bersyukur dia tidak dapat melihatnya, dan menggigit bibirku. "Maaf."

"Jangan. Aku hanya menggodamu; kau bisa terus bercerita kalau mau."

Ada afeksi yang tidak biasa dalam nada suaranya dan aku menghela napas karena, untuk sesaat, hampir seolah-olah dia kembali berusia dua puluh dan aku enam belas, dan dia mengajakku untuk menari pertama kalinya dengan kelembutan dalam nada suara dan kehangatan dalam sentuhannya.

"Tolong, terus bicara," Kaden mengarahkan, dengan lembut mendorongku dengan lututnya, ketika aku telah diam terlalu lama. "Aku tidak pernah mendengar seseorang yang mengoceh di telingaku saat aku menonton—atau, dalam hal ini, mendengarkan—sebuah acara televisi sebelumnya. Ini perubahan yang menyegarkan."

"Aku tidak mengoceh!" nada suaraku marah, tetapi aku tetap tersenyum, sebelum kemudian menyilakan kakiku. "Jadi tentang Clara Oswald," aku memulainya dan dia tampak santai, bergeser sedikit lebih dekat ke arahku. "Dia sebenarnya tiga orang yang berbeda, tetapi bernama sama, orang yang hidup di waktu yang berbeda. Inkarnasi ketiganya menjadi teman si dokter, dan episode ini menjelaskan misteri dari berbagai kehidupannya..."

  

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

  

Aku mengira Kaden akan memintaku untuk pergi ketika episode Doctor Who selesai, tetapi dia bahkan tidak kunjung mengusulkannya. Justru, Kaden tetap diam di posisinya—di sofa sebelahku.

Televisi masih menyala, beberapa seri di bawahnya ditayangkan di saluran tetapi volumenya rendah. Kami diam, tetapi itu bukan jenis kesunyian yang tidak nyaman, lebih seperti kesunyian yang telah terjadi dengan mudah, tanpa curiga, di antara kami di sore yang malas.

Tiba-tiba sebuah pikiran muncul setelah beberapa saat, dan aku melirik Kaden yang tergeletak di sofa dengan kakinya yang hampir menyentuh kakiku, karena aku bersandar di ujung yang lain. Kepalanya bersandar pada lengan sofa, dadanya naik dan turun dengan napas lambat dan tenang.

"Kaden?" Aku berbisik dengan hati-hati, "kau tidur?"

"Ya," jawabnya datar. Anekdot Nolan tentang dirinya yang dilemparkan ke laut meskipun Kaden buta muncul di benakku dan aku menahan senyuman. Dia tampaknya memiliki indra yang sangat peka.

Aku menyentuh kakinya dengan lembut. "Karena kau tahu tentang kematian Evangeline, apakah kau pernah melihatnya untuk yang terakhir kalinya?" Ada jeda. Dan kemudian dia mendorong dirinya bangun dengan sikunya, kepalanya mendongak ke arahku dan aku buru-buru mencoba menjelaskan. "Abunya tersebar di Clavern Coast agak jauh dari sini. Kurasa belum ada yang memberitahumu tentang itu, karena kebohongan ini, tapi kupikir kau mungkin ingin pergi ke sana suatu saat."

Dia meletakkan kepalanya kembali pada sandaran lengan. "Aku akan mengunjunginya ketika aku bisa melihat kembali."

Aku mencari tanda-tanda patah hati atau kehancuran di wajahnya atau emosi apa pun yang muncul setelah kehilangan orang yang dicintai secara tragis. Namun, aku tidak melihat apa pun, kecuali sedikit rasa bersalah terpendam. Bibirnya ditekan dalam garis hati-hati, sisa raut wajahnya cuek.

"Kau tampak sangat tenang untuk seseorang yang jatuh cinta padanya," aku tidak bisa tidak mengatakannya.

"Jatuh cinta?" Dia mendongak dengan tajam dan aku tahu bahwa matanya yang hijau akan menusuk mataku jika dia tidak buta. "Kami tidak pernah jatuh cinta. Kami bahkan tidak berpacaran dengan benar."

Kata-katanya tenang dalam keheningan, begitu mengejutkan dan tak terduga sehingga aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi. "Apa?" Akhirnya aku berseru.

Kaden mendorong dirinya bangkit, membawa lengannya ke belakang kursi, dengan tanpa ekspresi di wajahnya. Dia tampak seperti orang yang penuh akan rasa percaya diri dan begitu tenang seperti yang selalu aku tahu; dan aku hampir benar-benar mempercayai ekspresinya ini, jika bukan karena dirinya yang tanpa sadar mengetatkan rahangnya, kebiasaan yang Nolan katakan padaku akan Kaden lakukan setiap kali ada sesuatu yang mengganggunya.

"Tadinya hanya akan menjadi pertunjukan publisitas," Kaden memulainya dengan cepat, suaranya begitu dalam sehingga dia terdengar seperti sedang mendiskusikan bisnis dengan aku. "Kami baru pada tahap awal dan masih merapikan detail hubungan palsu kami. Evangeline baru saja memulai karir modelling-nya tetapi membutuhkan sokongan ketenaran instan dan aku menginginkan hubungan bisnis dengan orang tuanya. Hanya itu yang ada pada saat itu. Kami bahkan belum memulai apa pun."

Mataku melebar. "Hanya itu?" aku bertanya, sedikit ngeri ketika tiba-tiba aku sadar bahwa seluruh tipu muslihat ini tidak akan pernah berhasil, jika hubungan mereka semata-mata untuk tujuan instan. "Ketika kau mengatakan 'pertunjukan publisitas', apakah maksudmu bertindak seakan-akan sedang jatuh cinta ketika ada yang melihat? Atau—"

"Sebenarnya, dengan 'pertunjukan publisitas', maksudku dia hanya akan menghadiri semua acara sosial bersamaku. Jadi jelas tidak ada kontak fisik atau pernyataan cinta yang tidak diperlukan," tambahnya dengan tajam.

Aku tersipu malu, benakku mulai memikirkan segala hal yang terasa salah sejak aku melangkah ke kamarnya tempo hari. Semua yang telah kukatakan atau lakukan jelas melampaui batas yang telah ditentukan Kaden dan Evangeline sejak lama.

"Kau berusaha menjatuhkanku," gumamku, akhirnya tersadar ketika aku mengingat bagaimana tingkahnya di sekitarku. Setiap kali aku bereaksi terhadap sentuhan atau pelukannya, aku tenggelam lebih dalam ke dalam lubang yang sudah digali begitu Adelaide membuat rencana. "Kau sudah tahu sejak awal, bukan?"

"Aku memiliki firasat. Dan kau mempermudah segalanya," katanya dengan tenang. "Mulai dari saat kau memanggilku Kade, bukan Kaden."

"Bagaimana mungkin itu—"

"Hanya orang-orang yang mengenalku dengan cukup baik yang akan memanggilku seperti itu," jelasnya.

Setelah beberapa saat berunding, aku menyadari dia benar. Baik Parker dan Nolan memanggilnya Kade, tidak pernah Kaden, karena mereka adalah teman baiknya.

Jadi, apakah itu berarti Evangeline tidak pernah cukup dekat dengannya sejak awal? Dan bagaimana dengan ibunya, yang tampaknya mengadopsi segala macam formalitas dan tidak pernah memanggilnya Kade juga?

Pikiranku masih berputar-putar ketika Kaden melanjutkan, "yang kedua—aku sudah menghitung semua kesalahan yang telah kau lakukan, omong-omong—kau juga mengatakan kau baik-baik saja ketika aku bertanya tentang luka kecilmu. Evangeline terperangkap di bagian bawah mobil setelah kecelakaan itu, tidak mungkin lukanya kecil. Kau bertanya bagaimana perasaanku—dia tidak pernah menanyakan itu sebelumnya. Dia tidak pernah memelukku sebelumnya atau mengatakan dia mencintaiku, karena cinta tidak ada dalam sejak awal dan itu adalah kesepakatan yang benar-benar profesional."

Kenyataan ini akhirnya membuatku tersadar. Semuanya masuk akal. Sekarang aku tahu apa yang membuatnya berantakan. Itu dimulai saat aku masuk ke kamar Kaden dan bertindak seakan-akan aku jatuh cinta padanya.

Hanya saja itu bukan bagian dari aktingku. Mungkin aku hanya memainkan peran sebagai seorang kekasih yang mencintainya ini dengan terlalu baik, yang nyatanya justru benar-benar menjadi bumerang karena kata kekasih dan cinta bahkan tidak pernah ada sejak awal.

Tetapi jika tidak ada kekasih yang mencintainya atau kekasih apa pun itu sejak awal, apa yang dia coba buktikan dengan ciuman yang kami lakukan kemarin?

Aku tidak bisa tidak menyuarakan pertanyaan itu dengan keras. "Bagaimana dengan ciuman itu?"

Dia menegang dan terdiam agak terlalu lama. "Bagaimana dengan itu?" dia akhirnya mengulangnya, terdengar lebih hati-hati kali ini.

"Yah—apakah kau mencoba untuk menentukan apakah aku terasa sama seperti Evangeline?" Aku bertanya dengan bingung, karena itu adalah satu-satunya penjelasan yang masuk akal yang bisa aku berikan. "Mungkin—"

"Tidak. Lupakan saja," ada ketajaman pada nadanya yang memperingatkanku untuk tidak terus memaksanya.

Jadi aku tidak melakukannya. Bersandar di lengan sofa, aku menahan kuap dan mengamatinya, terutama karena aku memiliki kebebasan untuk melakukan itu tanpa dia sadari.

Empat tahun telah berlalu, dan Kaden Bretton masih tampak seperti pria tampan dan rupawan yang pernah kutemui dulu. Dia tumbuh menjadi sosok dewasa, rahangnya tampak lebih tegas dan rambut hitamnya lebih pendek dari sebelumnya.

Sudah empat tahun berlalu, tetapi bahkan jika kami berubah secara fisik, keadaan kami tidak berubah. Pertemuan kami masih berlangsung cepat—sebuah dansa saat itu, dan berperan sebagai Evangeline sekarang—ini semua tidak akan bertahan lama.

Ayah pernah mengatakan kepadaku bahwa bunga yang paling indah memiliki masa hidup terpendek dan aku bertanya-tanya apakah itu berlaku untuk kenangan juga. Apakah situasi yang paling indah selalu harus hanya sekilas? Adakah yang dapat bertahan selamanya?

Jika semua berlalu dengan cepat dan ini adalah bagian dari keindahan yang tidak akan bertahan lama, maka aku perlu menghafalnya. Dua orang yang sangat berbeda kembali bertemu berkat nasib yang memainkan kartunya, bersantai di sofa pada sore hari, merasa nyaman di hadapan satu sama lain.

Terlalu nyaman, bahkan, tiba-tiba aku tersadar, kerutan kecil menyelinap di wajahku. Aku merasa nyaman dengan Kaden karena dia adalah sahabat Parker dan aku banyak memikirkannya di masa lalu. Tapi sebaliknya, aku hanyalah orang asing bagi Kaden.

Dan untuk ukuran seorang orang asing, dia tentu saja bercerita cukup banyak tentang hubungannya, atau kurang lebih, hubungan di antara dirinya dan Evangeline. Mungkin terlalu banyak informasi untuk seseorang sepertiku yang seharusnya hanyalah orang luar; seseorang yang disewa ibunya untuk berperan sebagai Evangeline.

"Aku memiliki pertanyaan lain," aku memulai dengan lembut, agak cemas, bertanya-tanya apakah dia akan menolaknya. Namun, dia tidak melakukannya; alih-alih, dia hanya berpaling untuk menghadapku dan menunggu dengan penuh harap.

"Kenapa kau banyak bercerita padaku?" Tanyaku pelan, memperhatikan bibirnya mengerut mendengar pertanyaanku. "Aku orang asing yang bisa dengan mudah menjual kepada pers dan mereka akan memiliki sebuah hari dengan segala rahasia kecilmu yang kotor. Kau seorang pria yang cerdik; kau tahu betul bahwa kau tidak perlu mengatakan apa-apa kepadaku. Tapi kau melakukan semuanya. Kenapa?"

Bibirnya bergerak-gerak. "Kurasa aku tidak memiliki rahasia kecil yang kotor."

"Itu hanya kiasan."

"Dengan banyak implikasi," dia membalas dengan lihai dan aku tersenyum. Ada jeda yang serius setelah itu, seolah-olah dia memilih kata-kata selanjutnya dengan hati-hati. "Aku tidak tahu kenapa aku melakukannya," dia memulainya, dengan suara rendah, "mempercayaimu, hanya itu. Itu hanya firasat. Bukan keputusan yang cerdas bagi seorang pengusaha, tentu saja, tapi sekali lagi, denganmu ini bukanlah transaksi bisnis, kan?"

"Tentu saja bukan," aku meyakinkannya dan berbalik dengan senyum sedih.

Ini hanya transaksihati; di mana aku kehilangan segalanya dan hanya mendapatkan kenanganbersamamu.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro