05 | oppure
05
o p p u r e
[It] Atau; digunakan untuk menunjukkan versi alternatif (biasanya yang lebih mudah) dari suatu kalimat.
PEMIKIRAN PERTAMA yang muncul di benakku adalah berlari sejauh mungkin dari Kaden. Rasanya konyol. Aku telah menyukainya selama empat tahun terakhir, berharap suatu hari memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya lagi. Dan sekarang, aku tidak sabar untuk menjauh darinya.
"Yah?" Dia berdecak dengan sarkastik, suaranya yang berat memecah keheningan. "Apakah aku akan mendapatkan hadiah tertentu karena berhasil menebak? Aku tahu aku buta, tetapi apakah kau berpikir bahwa aku tidak akan memperhatikannya?"
Aku yang biasanya selalu pandai berkata-kata, sekarang mendapati diriku benar-benar tak berkutik. Lidahku kelu dan kakiku terasa berakar ke tanah. Dan yang bisa kurasakan hanyalah detakan jantungku di dadaku, detakan yang terdengar lebih keras melebihi apa pun yang pernah kudengar sebelumnya.
Dia menggelengkan kepalanya, alisnya menyatu penuh ancaman. "Aku berurusan dengan penipuan dan skandal di perusahaan sepanjang waktu. Aku bisa mencium kebohongan dari jarak yang jauh dan percayalah; kebohongan ini berbau ibuku yang licik dan culas. Dan kau pikir kau bisa melakukan ini?"
"Kaden–"
"Aku pasti terlihat seperti orang konyol bagimu," bentaknya, kata-kata tajam menghujamku bagai hujan lebat di musim dingin yang paling dingin. Mendekat, sosoknya menjulang tinggi dan mengesankan di hadapanku saat dia menggamit pundakku, jemarinya mencengkeram kulitku dengan kuat, meninggalkanku tanpa sedikit pun peluang untuk melarikan diri. "Berpura-pura jatuh cinta kepada orang buta dan mendapatkan banyak uang dengan mudah sebagai gantinya. Itu adalah kesepakatan terbaik yang akan pernah dibuat siapa pun. Tidak heran kau mengambilnya."
Kata-katanya mengirim rasa sakit yang tajam ke jantungku, tetapi aku menguatkan diri. "Aku menyesal harus melakukan ini," aku mencoba menjaga suaraku stabil di antara semua ketegangan ini. "Tapi tidak ada uang yang terlibat. Yang kami ingin lakukan hanyalah melindungimu."
Ada jeda yang lama, tetapi aku berani bersumpah bahwa kami berdua dapat mendengar detak jantungku yang berdegup dengan sangat kencang. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya, tetapi aku sangat berharap dia mempercayai kata-kataku. Setelah beberapa jam, akhirnya dia melepaskan bahuku dan mundur selangkah. Aku langsung merasakan ketegangan di dalam ruangan ini menghilang; rasanya sedikit lebih mudah untuk bernapas.
"Kau siapa?" dia bertanya dengan hati-hati, kecurigaan masih tampak jelas dalam nadanya. Aku tidak bisa menyalahkannya. Aku pada dasarnya hanyalah orang asing yang sedang bekerja sama dengan ibunya untuk membohonginya. Saling percaya bukalah salah satu variabel dalam situasi ini. "Apakah aku mengenalmu?"
Kepalaku tersentak. Ini adalah momen yang telah aku antisipasi begitu lama, selama empat tahun sejak aku terakhir kali bertemu dengannya. Aku selalu bermimpi bahwa suatu hari, Parker akan memperkenalkan kami berdua dan bahwa aku akan menyapa Kaden dan dia akan mengingatku, bukan masalah jika perasaanku kepadanya tidak akan pernah terbalas. Ketika aku setuju untuk berperan sebagai Evangeline, angan indah itu hancur menjadi debu.
Namun, sekarang Kaden tahu segalanya, sekarang rencananya sudah berantakan dan aku tidak perlu lagi berperan sebagai Evangeline—dapatkah aku memberitahunya?
Rupanya, aku telah mengambil beberapa detik terlalu lama untuk memberikan respons, karena dia merasakan keraguanku dan mengerutkan kening. "Baiklah, jadi aku tidak tahu siapa dirimu," pungkasnya, dan dia tidak salah. Dia tidak akan mengenalku selain karena dansa yang kami lakukan bersama. Dan itu tidak masuk hitungan; kami bahkan tidak bisa disebut saling berkenalan. "Kapan kita pernah bertemu sebelumnya? Siapa namamu?"
Aku gadis yang berdansa denganmu ketika kau berusia dua puluh tahun, apakah kau mengingatnya? Atau apakah kau berdansa dengan begitu banyak gadis lain sehingga yang ini tidak terasa berbeda dari yang lainnya?
"Aku bisa mencari tahu, kau tahu," dia melanjutkan dengan tenang, ketika aku masih tidak menanggapi. "Tidak akan sulit sama sekali."
"Apakah itu penting?" Kata-kata itu keluar dari mulutku sebelum aku bisa berpikir dua kali. "Apakah penting mengetahui siapa aku?"
Karena kau bisa kecewa—atau lebih buruk, aku bisa kecewa. Kecewa karena sebuah dansa yang berarti seluruh dunia bagiku, tidak berarti apa-apa bagimu.
"Ya, aku perlu tahu apakah kau bisa dipercaya."
"Aku tidak akan menyakitimu dan kau bisa mempercayaiku," aku bersikeras, suaraku mengecil ketika aku mempelajari wajahnya dengan seksama. Namun dengan matanya yang tersembunyi itu, aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. "Ibumu cukup memercayaiku untuk membiarkanku melakukan ini."
Dia diam, pandangan sekilas akan ketidakpastian mengaburkan ekspresinya yang kaku, selama sepersekian detik. Akhirnya, dia menghela napas berat dan berusaha meraihku. Secara naluriah, aku mundur selangkah dan dia mengerutkan kening ketika yang dia pegang hanyalah udara.
"Dengar," dia menutup celah di antara kami, jemarinya dengan cepat turun dari lenganku untuk meraih tanganku. Aku memperhatikan bagaimana jemarinya itu cukup panjang untuk melingkar di pergelangan tanganku yang tampak sangat kecil di bawah genggamannya. Cengkeramannya kepadaku melembut, seolah aku begitu rapuh. "Aku juga tidak akan menyakitimu. Aku hanya ingin kau menjelaskan semuanya kepadaku."
"Baiklah," aku menyetujui, mengabaikan jejak jemarinya yang membuat kulitku seakan terbakar. Dia menarikku ke arah sofa di sebelah kanan dan aku meraih tangannya dengan lembut dan menuntunku ke sana. Kami duduk, menjaga jarak aman dari satu sama lain, dan aku menoleh padanya. "Berjanjilah padaku kau tidak akan marah."
"Aku tidak marah. Kurasa hanya sedikit terhina," dan sekarang dia tampak agak kesal, jika kemiringan bibirnya mengindikasikan sesuatu. Aku ingin tersenyum saat melihatnya; ekspresi itu membuatnya tampak lebih muda, agak kekanak-kanakan. "Silakan, mulailah."
Menendang sandal platformku, aku duduk bersila dan bersandar di sofa. "Ini ide ibumu—tapi jujur, dia melakukannya karena niatan baik sehingga kau tidak boleh menyalahkannya," aku terdiam untuk memilih kata-kata selanjutnya dengan hati-hati. Dan, karena kebenaran masih menyakitkan, aku memutar kebohongan terbaik berikutnya yang bisa aku pikirkan. "Setelah kecelakaan itu, orang tua Evangeline memaksanya untuk putus denganmu. Ibumu tahu dan, untuk menyelamatkanmu dari perasaan patah hati, dia memintaku untuk berperan sebagai Evangeline."
Ada jeda yang berkepanjangan. Dan kemudian bibir Kaden berkedut singkat. Itu adalah senyuman pertama yang kulihat darinya sejak kami bertemu lagi. Namun, itu bukan senyuman yang menggetarkan hatiku lagi—senyumnya kali ini dingin, penuh perhitungan dan kegetiran; dan dia tampak seperti pengusaha kejam yang wajahnya dimuat di tabloid.
"Benar," dia terdengar sinis dan hampir marah, nadanya mencabik-cabik kebohonganku. "Dan kurasa ini tidak ada hubungannya dengan fakta bahwa Evangeline sudah mati?"
Dia tahu.
Dia tahu selama ini.
Aku menarik napas dalam-dalam, tidak mampu menyelamatkan diriku sendiri, dan raut wajahnya segera menjadi gelap. "Berhenti. Berbohong. Kepadaku," katanya dengan gigi terkatup rapat, terdengar sangat jengkel. "Kau bilang padaku bahwa aku bisa memercayaimu beberapa detik yang lalu, tapi kau berbohong pada setiap kesempatan yang kau dapatkan. Aku tidak tahu kau pikir dirimu siapa, untuk–"
"Aku hanya berusaha melindungi–"
"Aku tidak butuh perlindungan sialanmu!" Dia mendesis, mengepalkan rahangnya, "Aku butuh kebenaran; meskipun aku sudah menemukan kebenaran itu beberapa saat setelah kecelakaan itu, ketika aku berkali-kali memanggil nama Evangeline dan dia tidak pernah menjawabku!" Bayangan rasa bersalah berkilat di wajahnya, dan lenyap secepat datangnya, sebelum ekspresi di wajahnya berubah mengeras. "Keluar."
Aku memucat. "Apa?"
"Kau dengar apa yang kukatakan," nadanya adalah ketenangan paling mematikan yang membuatku merinding. Nadanya menghancurkan semua ilusi yang kumiliki sejak aku berusia enam belas tahun; aku yang rapuh, tak masuk akal tentang cinta dan kisah romansa tentang pangeran di kehidupan nyata yang akan menjemputku. Alih-alih, yang kulihat hanyalah sosok sinis dilingkupi amarah.
"Keluar."
"Baiklah," aku membalas dengan datar, berusaha keras menahan air mata yang secara konyol menggenang di mataku.
Mendorong kakiku untuk kembali mengenakan sandalku, aku bangkit dan melangkah menuju ke pintu. Sebuah dorongan aneh menguasaiku ketika tanganku menyentuh gagang pintu yang terbuat dari kuningan itu dan aku berhenti, melirik sekilas ke balik bahuku.
Kaden sedang duduk di bangkunya, bahunya turun dan dia terlihat lebih murung mungkin karena fakta bahwa aku baru saja berbohong lagi kepadanya—dua kali—dan memang sudah seharusnya begitu. Ilusi itu telah hancur, ia terbaring berkeping-keping di tanah bersama dengan harapan-harapan dan impian-impian aneh lainnya yang telah kubuang setelah tumbuh dewasa.
Namun, aku masih merasakan tusukan menyakitkan di hatiku, sesuatu yang akan kau rasakan ketika seseorang yang kau cintai terluka. Dan mungkin aku tidak lagi tahu apa yang kurasakan tentangnya, cinta atau perasaan sesaat, tetapi intinya aku benci melihatnya terluka. Entah dulu saat aku mendengar dari kakakku kalau Kaden mengalami dislokasi bahu; atau sekarang, ketika dia patah hati tentang Evangeline—rasa sakit di hatiku tidak berbeda, sungguh.
Aku berbalik menghadapnya. "Aku menyesal telah membohongimu dua kali," ucapku pelan. "Tapi seorang wanita yang sangat bijak pernah mengatakan kepadaku bahwa kebohongan terbaik dimaksudkan untuk menyembunyikan kebenaran yang paling menyakitkan. Tidak masalah jika kau marah kepadaku dan tidak pernah ingin melihatku lagi, tapi jangan salahkan ibumu atas apa yang dia lakukan, karena kadang-kadang, orang yang paling jujur akan berbohong untuk melindungi orang yang mereka cintai dan—"
Aku membeku, aku tiba-tiba keceplosan dan baru menyadarinya, gravitasi dari kata-kataku setara dengan gravitasi yang membuat tubuh kami menambatkan ke bumi saat ini. Jadi kenapa aku merasa seperti tergelincir dan meluncur ke luar angkasa, ke dalam kekosongan di mana gravitasi tak pernah ada?
Aku sangat berharap bahwa dia tidak mendengar pengakuan tak disengaja dalam kata-kataku, aku menoleh ke pintu, jemariku bergerak untuk membukanya, tetapi tiba-tiba suaranya mengiris atmosfer tebal, menyakitkan seperti pisau tajam.
"Tunggu."
Aku berhenti, tanganku melayang tak menentu di atas permukaan gagang pintu. Ada suara gerakan di belakangku, seolah dia tengah bergegas untuk bangkit dari tempat duduknya dengan cepat.
Ketika aku berbalik, aku menyadari bahwa dugaanku benar. Dia sudah berdiri di sana, jemarinya mencengkeram lengan sofa dengan erat. Ada ekspresi yang tidak bisa kupahami di wajahnya. Aku tidak tahu apa itu, tetapi ketidakpedulian tidak bisa lagi menjadi deskripsi yang tepat.
"Apa katamu?" Dia bertanya, suaranya kali ini tanpa emosi.
Apa yang telah kulakukan? Menggigit bibirku, aku memandang ke mana pun kecuali ke arahnya. "Aku bilang aku menyesal."
"Tidak, setelah itu."
"Seorang wanita yang sangat bijak. Itu ibumu, omong-omong," aku mengoceh, bertanya-tanya apakah menghindari pertanyaannya adalah ide yang bagus, mengingat fakta bahwa dia sangat cerdas dan dia bahkan mampu mencium kebohongan dari jarak satu mil.
"Lebih jauh lagi dari pidatomu."
"Kau marah padaku," aku mengatakannya dengan polos.
Aku memperhatikan dengan hati-hati ketika dia bergerak, perlahan-lahan berjalan ke arahku. Dia tampaknya tahu di mana keberadaanku dan bersikeras berjalan mendekat, terlepas dari langkah-langkahnya yang terlihat serampangan dan jemarinya yang ragu-ragu menjangkau setiap furnitur yang mungkin dapat menuntunnya.
Aku ingin membantunya. Namun, kakiku seakan terpaku di tempat.
Dia mengerutkan kening, bibir bergerak ke bawah, terlihat jengkel. "Aku akan marah kalau kau terus menghindari pertanyaan itu. Apa hal terakhir yang kau katakan?"
"Orang jujur berbohong."
Dia hanya berjarak beberapa langkah dariku. "Untuk melindungi yang mereka?"
Aku memalingkan muka, tidak ingin melihat ekspresinya ketika aku mengatakan yang sebenarnya.
"Cinta."
Aku mendengar napasnya yang tajam dan kemudian hening. Ketegangan itu sangat terasa dan aku bertanya-tanya apakah dia bisa merasakan kegelisahan yang memancar dari diriku. Aku tidak mengharapkan afirmasi atau terbalasnya perasaanku; jujur, itu hal terjauh dari pikiranku. Yang kuinginkan hanyalah pergi dari sini, tetapi anggota tubuhku membatu dan aku tidak bisa memaksa diriku untuk bergerak; bahkan ketika dia mengambil langkah terakhir ke arahku, menyentuhku dengan hati-hati.
Jemarinya menemukan helai rambutku yang kusut dan dia memutar-mutarnya sebentar di salah satu jarinya sebelum dia mengelus helai rambut cokelat kemerahanku, menggenggam sisi kepalaku dengan lembut.
"Kau benar-benar merasakannya, benarkan?" Dia terdengar penasaran. "Kupikir, aku menelisik terlalu berlebihan pada hal-hal itu ketika kau keceplosan sebelumnya—ketika kau terus memanggilku Kade, bukan Kaden; atau ketika kau tampak benar-benar peduli padaku; atau ketika aku menciummu dan kau balas menciumku. Tapi itu memang nyata, kan? Kau tidak berpura-pura tentang itu."
"Entah itu atau memang aku adalah aktris yang brilian," gumamku malu. Kebutaannya tentu saja membantu meringankan setidaknya sebagian dari perasaan tersiksaku pada saat itu, tetapi aku tidak bisa memikirkan hal lain untuk dikatakan. "Dengar, aku minta maaf kalau aku membuat hal-hal canggung di antara kita. Aku mungkin harus tetap pergi, karena semua ini tipuan ini–"
"Kau tidak akan pergi ke mana pun," desaknya, memelukku erat seolah dia takut aku akan lari darinya.
Aku tidak akan berbohong—aku benar-benar mempertimbangkannya saat ini. Ini baru pertemuan kedua kami dan aku sudah ingin melarikan diri darinya. Dua kali. Namun, sesuatu dalam suaranya juga membuatku ingin tetap di sini.
"Jika kau tidak keberatan," dia memulai dengan tenang, "aku ingin kau terus berperan sebagai Evangeline."
Aku mengerjap. Keheningan menyelimuti kami, dan aku segera berusaha mencerna percakapan di antara kami. Bukankah ini percakapan normal pertamaku dengannya? Ini tampak sangat alami, dengan cara yang sangat baik.
"Apa?"
"Untuk menghibur ibuku yang sudah tua," dia menjelaskan. "Biarkan dia terus berpikir bahwa rencana konyol ini berhasil. Aku tidak ingin dia mengetahui bahwa aku tahu tentang kematian Evangeline. Dia akan mengirim selusin terapis dan aku akan diburu dengan sesi tentang perasaan dan emosi terdalamku, juga tergelap yang kumiliki. Bahkan meskipun aku tidak tampak bersedih, aku dapat menjamin bahwa aku akan merasa sangat berantakan pada akhirnya."
Aku tertawa ragu-ragu. "Jadi, kau ingin aku terus berakting untuk ibumu?"
"Seharusnya tidak terlalu sulit bagimu, kurasa?" Bibirnya menyeringai, hanya sekejap, hingga kupikir itu hanya halusinasiku. "Akan lebih mudah dengan cara ini. Dia akan puas mengetahui semuanya berjalan dengan baik. Ketika dia tidak ada di sekitar kita, kita tidak harus terus berakting, tentu saja."
Aku merenungkan kata-katanya. Sepertinya aku dibujuk untuk berbohong sekali lagi, kali ini pada Adelaide; sebuah kebohongan yang akan memiliki konsekuensi lebih buruk jika aku tertangkap basah. Namun demikian, kata-kata Kaden masuk akal. Jika semua ini membuat hal-hal menjadi lebih sederhana dan membuat Adelaide bahagia, maka ini layak untuk dicoba. Jika ini yang dia inginkan—bagaimana mungkin aku bisa menolaknya?
"Baiklah," akhirnya aku menyetujuinya, "cukup berjanji kalau kau tidak akan mencoba mencari tahu siapa aku selama periode ini."
"Aku berjanji."
"Terima kasih," aku bergumam, sebelum mengerutkan hidungku dengan serius. "Tapi ini agak membingungkan, agak membuatku merasa seperti agen ganda."
"Kalau itu adalah semacam tantangan yang selama ini kau idam-idamkan, bayangkan saja seperti itu," dia terdengar geli. Aku merasakan ibu jarinya menyentuh pipiku dengan lembut, tetapi ekspresi wajahnya masih tetap tenang. "Kau bisa menjadi dirimu sendiri saat bersamaku."
Jujur saja, Kaden?
Aku tidak pernahberpikir aku bisa menjadi orang lain.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro