04 | colla parte
0 4
c o l l a p a r t e
[It] Seorang pemeran harus menggandakan bagian lain.
KEHENINGAN YANG terjadi kemudian ditempa dengan ketegangan yang sangat kuat, adalah hal paling mengerikan. Aku hampir bisa mendengar detik demi detik berlalu, dan setiap detik berlalu, kami sepertinya menggali lubang yang lebih dalam untuk diri kami sendiri. Kaden tampak benar-benar membeku di tempatnya, mulutnya ternganga ketika kata-kata ibunya berhasil dicerna kepalanya.
"Apa?" Akhirnya dia berkata, seolah dia tidak bisa mempercayainya.
Aku merasakan napasku tertahan di tenggorokan. Baik Adelaide dan aku hanya diam, sampai aku merasa wanita itu mendorongku ke depan. Seketika, otakku bergerak dan aku menelan ludah. Berdasarkan apa yang kukumpulkan dari sekumpulan dokumen yang diberikannya, Evangeline adalah seorang model. Dia pasti adalah sosok yang percaya diri dan seksi.
Dengan suara menggoda terbaik yang bisa kuusahakan, aku memecah kesunyian. "Halo, Kade," tenggorokanku terasa luar biasa kering, dan dia secara otomatis berbalik ke arahku.
"Evangeline," dia memulai dengan hati-hati, mendorong dirinya dari kursi di dekat jendela dan bangkit berdiri. Dia tidak lagi melangkah dengan cekatan dan gesit; dia sering tersandung, tangannya meraba furnitur di sekitarnya saat dia berjalan ke arahku. "Bagaimana perasaanmu?" Dia bertanya, kekhawatiran melingkupi suaranya. "Para dokter mengatakan kepadaku, bahwa kau mengalami beberapa luka ringan."
Ketika dia tersandung lagi, aku langsung menuju ke arahnya, menutup jarak di antara kami dengan beberapa langkah panjang.
"Aku baik-baik saja," kataku, mengulurkan tangan untuk menenangkannya. Jemariku meringkuk di lengannya yang kuat, lengan bajunya berkerut di bawah genggaman kuatku. Aku mencoba untuk mengabaikan fakta bahwa terakhir kali aku begitu dekat dengannya adalah empat tahun yang lalu dan bahwa aku seketika jatuh cinta padanya, ingatan tentang itu selalu membuat jantungku berdegup dengan kencang.
Menggelengkan kepalaku untuk menjernihkan pikiranku, aku menatapnya dan berharap aku bisa melihat matanya yang berwarna hijau. "Bagaimana denganmu, bagaimana perasaanmu?"
"Aku baik-baik saja," gumamnya. Tangannya mencengkeram sikuku dengan kuat dan dia menarikku lebih dekat. Aku bisa merasakan kapal di ujung-ujung jemarinya ketika dia menyentuh kulitku dengan lembut, tetapi tegas, seolah dia sedang mencoba mengonfirmasi kehadiranku lewat sentuhan itu. "Sedikit buta," dia tertawa rendah yang terdengar agak getir, "tapi semuanya baik-baik saja."
"Itu bagus," aku menarik napas, sedikit terhenyak ketika jemarinya menyelinap di lekukan leherku dan menangkup pipiku dengan ringan. Dia tampak bersikeras memetakan kontur wajahku dan aku tahu aku tidak bisa membiarkannya. Setidaknya belum. Ini terlalu berisiko. "Kade, aku–"
"Tunggu," dia diam, menarikku dengan lembut ke arahnya lagi. Aku berusaha menjaga jarak dan kerutan muncul di wajahnya. "Aku—aku hanya sangat merindukanmu, itu saja," katanya dengan lembut, dan aku merasakan seketika tekadku melemah. "Kemari."
Saat melangkah ke depan, dia menyorongkan lengannya di pinggangku dan dia baru saja akan menarikku ke dalam pelukan ketika suara Adelaide terdengar dari belakang kami, keras dan jelas, serta tegas.
"Kaden."
Kata-kata wanita itu menyentak Kaden keluar dari lamunan yang menenggelamkan kami berdua. Aku bahkan tidak sama sekali menyadarinya. Sekali lagi, aku melakukan hal yang sama ketika aku berusia enam belas tahun. Sungguh, apakah bahkan semua ini masih mengejutkan?
Kepala Kaden terangkat dan dia melangkah mundur ke belakang. "Sialan," dia mencaci ibunya, "apakah kau masih berdiri di sana?"
"Tentu saja," jawabnya datar, mengirim pandangan tajam ke arahku. "Evangeline harus kembali bekerja. Dia tidak bisa tinggal lebih lama."
Kaden memiringkan kepalanya ke arahku. Dia tampak agak kecewa, jikalah bahunya yang tiba-tiba turun ke bawah merupakan indikasi atas itu. "Baiklah," katanya, senyum tipis kembali mengulas di wajahnya. "Terima kasih sudah berkunjung. Aku senang kau baik-baik saja."
Meremas tangannya dengan ringan, aku tersenyum padanya. "Aku akan kembali untuk mengunjungimu lagi," kataku pelan, menentang isi kepalaku sendiri, berharap ibunya tidak mendengarnya.
Adelaide benar-benar telah membantuku dengan kata-katanya dan aku tahu apa yang dia pikirkan—semakin cepat aku keluar dari ini, semakin baik. Kaden jelas mempercayai tipu muslihat kami, dan semuanya akan berjalan dengan sangat baik jika aku mulai menjaga jarak darinya, sehingga ketika tiba saatnya bagiku (Evangeline, maksudnya) untuk berpisah darinya, patah hati itu tidak akan memukulnya dengan begitu keras.
Namun, ini adalah Kaden Bretton. Aku merasakan sengatan aneh di hatiku setiap kali aku melihat atau mendengar tentangnya. Di berita, di majalah, setiap kali Parker dengan santai mengucapkannya. Dan melihatnya kali ini di kehidupan nyata rupanya tak juga mampu meredakan perasaan aneh itu—jika pun begitu, aku justru semakin sulit meredamnya. Aku tidak bisa mengerti kenapa.
Mungkin karena fakta bahwa aku semakin dekat dengannya, hanya untuk mengetahui bahwa selama ini dia adalah seseorang yang tak bisa kumiliki.
Maka, menyingkirkan semua keraguan dan akal sehat yang menyergap diriku, aku menutup celah di antara kami, menarik lenganku di pinggang rampingnya dan memeluknya dengan cepat. Hanya untuk sesaat atau dua detik. Aku mencium aroma sabun dan aroma murni lain darinya. Semuanya terasa sangat familier.
Menarik kembali sebelum dia memiliki kesempatan untuk membalas pelukanku, aku memaksakan senyum cemerlang terukir di wajahku meskipun dia tak bisa melihatnya sama sekali. "Selamat jumpa, Kade."
"Sampai jumpa. Aku mencintaimu," tambahnya cepat, kata-kata itu meninggalkan bibirnya dengan begitu mudah seolah itu hanyalah kalimat biasa.
Dan apa yang kukatakan selanjutnya bukanlah kebohongan:
"Aku mencintaimu juga."
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Mau tak mau aku memperhatikan ekspresi kelegaan di wajah Adelaide ketika aku keluar dari kamar Kaden. Dia mengangguk ke arahku dan menutup pintu di belakang kami sebelum berbalik untuk menatap pria yang berdiri di luar untuk menjaga pintu.
"Pastikan dia tidak memasuki ruang tamu di lantai bawah, Edwin," katanya kepada pria itu.
Pria itu tampak sangat masam dan tegang sehingga aku tidak bisa menahan senyuman cerahku padanya. Yang aku dapatkan darinya hanyalah anggukan tanda terima kasih. Keluarga Bretton pasti tidak menyarankan segala bentuk interaksi di antara para staf. Kaden pasti bosan karena terjebak di dalam sana.
Aku mengikuti Adelaide menuruni tangga menuju ruang tamu, tempat Parker dan Nolan menunggu. Mereka berdua sedang menyesap anggur dan terlibat dalam percakapan kecil, sehingga saat suara langkah kami memasuki ruangan terdengar, mereka langsung menyadarinya. Nolan tersenyum padaku, sementara Parker mengerutkan alisnya dengan khawatir. Aku mengangguk dan dia tersenyum lega.
"Yah," Adelaide memulai, ketika dia menutup pintu di belakang kami dan menguncinya dengan baik. Dia menuju ke meja besar di sudut ruangan dan duduk di kursi berlengan kulit. Dia melirikku, alisnya merajut sedikit. "Apakah kau sedang menunggu dipersilakan, Isla? Duduklah."
Aku tersipu malu dan langsung duduk di kursi seberangnya, mengabaikan cemooh geli dari Nolan, yang semakin meyakinkanku bahwa dirinyalah orang paling menjengkelkan sekaligus orang tidak bisa tidak kusukai. Dia benar-benar menghibur, itu satu yang pasti.
Sambil mengeluarkan amplop cokelat dari laci meja, Adelaide mendorongnya ke seberang meja—ke arahku. "Kau melakukannya dengan sangat baik," katanya, senyum tipis terulas di bibirnya, "setidaknya cukup baik untuk putraku yang mempercayainya." Aku bisa merasakan tatapan terkejut dari Nolan dan Parker di belakangku, tetapi aku mengabaikan mereka dan memusatkan perhatian pada masalah yang ada. "Ini kontrakmu. Kau akan dibayar sejumlah uang pada awal dan ketika satu bulan ini berakhir."
Aku mengerutkan kening. "Nyonya Bretton–"
"Jika penglihatan putraku pulih sebelum itu atau kalau semua rencana ini hancur, kau masih akan dibayar penuh pada kunjungan terakhirmu. Tapi kau tidak akan menemuinya lebih dari sebulan—aku akan membuat diriku secara eksplisit menekankan tentang hal itu. Kami tidak ingin mengambil risiko kalau Kaden menjadi lebih terikat pada Evangeline melebihi sebelumnya. Apa yang kami lihat sebelumnya cukup mengkhawatirkan, dan kami harus menghancurkan keterikatannya secepat mungkin."
Aku tidak bisa tidak setuju lagi. Aku belum pernah melihat sedikit pun keterikatan emosional yang ditunjukkan oleh Kaden, paling tidak dalam berita atau wawancara. Dia selalu tenang dan penuh akan rasa percaya diri, topeng baja yang begitu menyempurnakan dirinya selama bertahun-tahun sejak terakhir kali aku melihatnya. Menyaksikan kekhawatirannya terhadapku sangat menghangatkan hatiku, setidaknya, meskipun aku tahu itu bukan untukku tetapi untuk Evangeline.
Meskipun demikian, aku berusaha keras menahan lisanku dan mengambil amplop cokelat itu dari Adelaide. Untuk sesaat, tidak ada suara selain suara lembar kertas yang terbuka saat aku mempelajarinya. Isi kontrak itu disusun dengan rapi, dibungkus dengan pita yang terlihat sangat mewah—imbalan di akhir yang diberikannya sangatlah luar biasa hingga membuat napasku tercekat. Tiga kali lipat dari jumlah uang mukanya saat ini dan aku mungkin bisa mengalahkan kakakku.
Pikiran itu membuat senyum kecil muncul di wajahku, yang segera disalahtafsirkan oleh Adelaide, dia bertanya, "Aku menganggap jumlahnya sesuai dengan keinginanmu?"
"Oh, tidak, bukan itu masalahnya," kataku cepat dan dia mengerutkan kening. "Sejujurnya, aku tidak mau dan tidak membutuhkan uang."
"Aku sangat meragukan itu," jawabnya cepat. Di bawah cahaya ruang tamu itu, aku memperhatikan mata hijau pucatnya, tidak seterang atau setajam yang kuingat dari milik Kaden, tetapi kini aku tahu dari mana pria itu mendapatkan mata hijaunya. "Ayahmu memiliki garden centre yang didirikannya dua tahun lalu dan sepertinya, bisnisnya tidak berjalan dengan cukup baik. Dia tampaknya masih berutang sejumlah besar uang pada bank, yang sebagian mungkin disebabkan oleh hutang pamanmu, setelah gagal saat bermain di pasar saham baru-baru ini."
Kata-katanya bagai pecahan es yang menghujamku di tengah keheningan. Aku sangat sadar bahwa Parker dan Nolan masih ada di dalam ruangan ini. Suasananya terasa kaku dan tegang, tetapi Adelaide tampaknya tidak memperhatikan. Ketika aku sedikit mengernyit, dia hanya tersenyum lebar.
"Kami cenderung melakukan pemeriksaan latar belakang dengan cepat sebelum mempekerjakan siapa pun di rumah ini."
Aku menggigit bibirku. "Itu kurang lebih adalah situasi di rumahku. Tapi aku benar-benar tidak bisa menerima tawaran murah hatimu, meskipun itu sangat menggiurkan."
"Sungguh, Isla, selamatkan harga diri ayah malangmu untuk lain waktu karena—"
"Ini bukan masalah harga diri," aku membalasnya dengan tenang. "Aku hanya ingin membantu Kaden. Apa itu sulit dipercaya?"
Alisnya menyatu saat mendengar kata-kataku dan untuk sesaat, aku menguatkan diriku, bertanya-tanya apakah dia akan mengatakan sesuatu yang kejam lagi untuk membuatku lepas kendali. Untungnya, suara Parker memecah keheningan sesaat kemudian.
"Nyonya Bretton, aku pikir lebih baik jika kau menyimpan uangmu," dia terdengar geli dan dia berjalan dengan tenang ke arah kami, gelas flute masih di satu tangannya. "Atau Isla mungkin akan merasa terhina dan memutuskan untuk berhenti dari sini. Maka kau tak akan memiliki Evangeline."
"Apakah kau mengancamku, Tuan Collins?"
"Entahlah," tetapi senyuman di wajah Parker menunjukkan keunggulan untuk itu dan dia meletakkan tangannya dengan nyaman di bahuku. "Isla ada di kapal yang sama denganku dan Nolan. Kami benar-benar ingin membantu Kade karena dia adalah teman kami. Sesederhana itu, sungguh."
Aku melihat sesuatu seperti kepasrahan memenuhi wajah Adelaide dan, setelah apa yang terasa seperti selamanya, dia mengangguk kecil. "Baiklah," dia menyetujui dan aku menghela napas. "Aku akan mengubah kontrak dengan tepat karena beberapa konfirmasi masih diperlukan, bahkan jika uang tidak lagi ada dalam perjanjian ini. Aku harus pergi, beri tahu Edwin jika kau membutuh sesuatu," tambahnya dan mengangguk pada kami. "Tuan Collins, Tuan Mortez, Isla."
Aku menyaksikannya meninggalkan ruangan ini, masih merasa agak geli karena dia memanggil namaku secara langsung, alih-alih dengan cara yang sama seperti saat dia sama memanggil Parker dan Nolan. Mungkin itu karena status sosialku.
Ketika pintu menutup di belakangnya, Nolan menghela napas lega. "Semua berjalan baik," renungnya. Parker dan aku menoleh untuk menatapnya. Matanya kembali cerah dan dia menyeringai lebar. "Sekarang, siapa yang lapar?"
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Kami menyebut rencana ini sebagai Berperan sebagai Evangeline, yang sangat sesuai dengan namanya. Namun entah mengapa, ini terdengar seakan kami meremehkan kematian seorang gadis yang jelas sangat luar biasa.
Evangeline White bahkan tidak mendapatkan upacara pemakaman yang layak. Kematiannya begitu disembunyikan dan keluarga White memutuskan untuk berlayar dengan kapal pesiar mereka dan menabur abunya di laut. Acaranya langsung dilakukan dua hari setelah kecelakaan itu. Tidak ada satu kata pun yang bocor ke media dan tidak ada seorang pun selain dari kelompok kecil kami yang tahu tentang itu.
Dua hari setelah kunjungan pertamaku untuk menemui Kaden, aku bertanya pada ayah apakah dia bisa mengantarku ke pantai tempat abu Evangeline ditaburkan. Itu lebih dari satu jam perjalanan jauhnya, tetapi aku menggunakan waktu itu untuk menjelaskan segalanya kepadanya. Ayah lebih dari sekadar mengerti, mungkin jauh lebih dari Parker, karena dia selalu tahu tentang perasaan yang kumiliki pada Kaden. Aku tidak pernah menyimpan apa pun dari ayahku.
"Bagaimana dengan orang tua Evangeline?" Ayah bertanya, saat kami sudah sampai di pantai. Hari itu tampak mendung dan berangin, dengan awan gelap yang seakan mengancam untuk melenyapkan langit biru di atas sana. Kami berdiri di titik tertinggi yang bisa kami temukan—puncak tebing di dekatnya yang telah dibarikade dengan aman untuk para wisatawan. Namun, pada saat itu, tempat itu kosong. "Mempertimbangkan status sosial mereka, mereka ingin putri mereka berpulang dengan cara konvensional, bukankah begitu?"
"Sebenarnya, itu hal terakhir yang mereka inginkan," kataku, ketika aku ingat percakapanku dengan Nolan dan Parker tempo hari. Mereka tidak tahu banyak tentang Evangeline. Keluarga White selalu dikenal sebagai keluarga yang sangat tertutup.
"Evangeline ditemukan dengan jejak obat dalam darahnya dari hasil otopsi, dan dialah orang yang berada di belakang kemudi," aku menambahkan, memetik cat tua di permukaan barikade. Serpihan-serpihan hijau terlepas satu demi satu, terbawa oleh angin laut yang lembut. "Bayangkan apa yang akan dipikirkan pers jika dia yang membahayakan nyawa Kaden. Itu hanya akan membuat publisitas buruk yang tidak perlu bagi keluarga White."
"Sayang sekali," Dad mengakui dengan pelan dan aku sepenuh hati setuju dengannya.
Seperti halnya pemikiran tentang Kaden yang mencintai Evangeline, yang terasa bagai pecahan kaca yang menikam hatiku dengan begitu menyakitkan, nasib Evangeline tampak sangat mengerikan bahkan bagiku, yang hanyalah orang asing.
Aku menghela napas berat, sebelum kembali ke Ayah. "Apakah kau pikir Evangeline akan membenciku? Kalau semua teori tentang akhirat itu nyata, maksudku," aku menambahkan, ketika dia menatapku dengan bingung. "Kalau jiwanya masih ada di suatu tempat dan dia bisa melihat semua yang terjadi dengan sempurna. Apakah kau pikir dia akan membenciku? Karena sepertinya aku mencoba–untuk mengambil alih dirinya."
"Terus terang, jika akhirat itu ada, aku pikir Evangeline akan lebih peduli tentang beradaptasi dengan kehidupan barunya daripada mengkhawatirkanmu dan kekasihnya," dia memulai, tertawa kecil ketika aku memberinya sebuah tinju kecil di lengannya.
"Itu tidak wajar."
Ayah tertawa sebelum sadar. "Kalau Evangeline benar-benar mencintai Kaden, aku harus berpikir bahwa, tak peduli di mana pun dia sekarang, dia akan bahagia untuknya. Dan dia akan senang kau ada di sana untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkannya."
Aku tersenyum tipis mendengar kata-katanya. "Terima kasih ayah."
"Ya," dia membalasnya dengan hangat, mengulurkan tangan untuk memberiku tepukan menghibur di punggung. "Aku akan meninggalkanmu sesaat, beri dia penghormatan yang layak."
"Baiklah," aku menjawab pelan, mengawasinya berjalan menuruni tangga. Setelah itu, dia tidak terlihat lagi dan aku ditinggalkan sendirian di atas tebing, sendirian dengan pikiranku sendiri.
Memeluk lenganku, aku berbalik untuk memandang ke arah lautan, menyaksikan ombak menerjang bebatuan lalu hancur dan burung camar menukik tinggi dan rendah seperti pusaran, seniman sirkus yang menentang gravitasi di trapeze.
Aku bertanya-tanya apakah ada Evangeline di setiap bagian dari pemandangan itu, apakah dia ada di bebatuan, laut dan aroma garam di udara. Dia beristirahat di sini. Akankah aku mengenang tempat ini sebagai Pantai Evangeline di masa depan? Akankah Kaden datang ke tempat ini dan merasakan kerinduan dan nostalgia yang dingin, meskipun dia tidak pernah tahu untuk siapa perasaannya itu?
Menarik napas dalam-dalam, aku merasakan garam di bibirku dan menutup mataku. Ketika aku berbicara, suaraku hanyalah bisikan yang terbawa angin.
"Selamat tinggal, Evangeline White."
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Aku pergi mengunjungi Kaden keesokan harinya. Nolan mengantarku ke sana kali ini, karena Parker sibuk dengan pekerjaannya dan tidak bisa mengambil cuti. Namun, rupanya dia juga harus menghadiri suatu pertemuan.
Jadi, setelah berhasil memberikan kecupan kilat di pipiku karena Parker tidak ada di sana untuk menghentikannya, Nolan meninggalkanku di tangga depan rumah pantai Brettons, dengan senyum malu-malu di bibir dan pipiku yang memerah.
Edwin, yang ternyata kepala pelayan rumah itu, membawaku masuk ke rumah. "Nyonya Bretton tidak ada," katanya, ketika aku bertanya di mana Adelaide. "Tapi dia mengirimkan salam dan memintamu untuk terus mengabarinya situasinya."
"Aku akan mengabarinya," suaraku ringan ketika aku mengikutinya menaiki tangga. Aku tidak bisa tidak melirik sesekali pada Edwin, yang menurutku sangat mengesankan, ini karena aku belum pernah bertemu dengan seorang pun kepala pelayan di kehidupan nyata sebelumnya. Dia memiliki sejumput rambut berwarna keperakan di antara rambut aslinya yang mungkin berwarna cokelat dan itu membuatku jadi bertanya-tanya sudah berapa lama dia bekerja untuk keluarga Brettons. Pertanyaan itu menyelinap keluar sebelum aku sempat menahan diri. "Jadi, sudah berapa lama kau bekerja di sini?"
Dia berhenti dan menoleh padaku, alisnya yang lebat terangkat tinggi, dan aku langsung merasa malu. "Maafkan aku. Aku tahu itu sangat tidak sopan."
Aku sangat lega, ketika dia terkekeh dan menundukkan kepalanya sebentar. "Tidak apa-apa. Aku dipekerjakan setahun sebelum Tuan Bretton muda lahir, dan telah melayani dia sejak saat itu."
"Sudah sangat lama," mulutku terbuka setelah aku melakukan perhitungan cepat, "dua puluh lima tahun, kalau begitu?" Dia mengangguk dan aku tersenyum cerah. "Jika ini adalah pernikahan, ini akan menjadi pesta perak. Selamat."
Dia balas tersenyum, walau sepertinya agak kaku, seolah dia tiba-tiba diingatkan untuk terus menjaga kesopanan saat berada di kediaman Bretton. Ketika kami sampai di kamar Kaden, aku menunggu dengan sabar ketika dia mengetuk pintu dan mengumumkan kedatanganku (Evangeline).
"Biarkan dia masuk," suara Kaden terdengar agak terganggu.
Edwin membukakan pintu dan aku masuk, setelah melambaikan tangan dengan cepat ke kepala pelayan yang baik itu. Pintu tertutup dengan lembut di belakangku dan aku menoleh ke arah Kaden, hanya untuk mendapati dia duduk di dekat jendela sekali lagi. Wajahnya masih berpaling ke jendela dan aku bertanya-tanya kenapa dia terus memandang ke arah itu dengan begitu penuh perhatian ketika dia tidak bisa melihat apa-apa.
"Evangeline," sapanya, berbalik menghadapku perlahan. Dia berusaha mendorong dirinya untuk bangkit dan tersandung ketika berjalan ke arahku. Hampir secara naluriah, aku mendapati diriku melintasi ruangan untuk membimbingnya. "Aku terkejut kau datang," kata-katanya membuatku berhenti. Dia terdengar agak kesal. "Kau tidak menjawab ketika aku meneleponmu. Beberapa kali, sebenarnya."
"Aku sedang sibuk." Kebohongan itu begitu cepat melewati bibirku sehingga aku terkejut sendiri.
Bibirnya merapat dalam garis yang tipis. "Coba lagi, Sayang. Kau selalu mengangkat telepon sebelumnya."
"Aku—" pikiranku berusaha mencari-cari alasan lain yang bisa kubuat dalam sepersekian detik. Dan tiba-tiba, jawabannya datang; sejernih fajar. "–orang tuaku tidak ingin aku berbicara denganmu, dan aku–"
"Berapa langkah lagi aku darimu?"
Aku berkedip saat mendengar pertanyaannya yang tiba-tiba. Menghitung secara kasar estimasi langkahnya sejauh ini, aku menjawabnya dengan hati-hati, "sekitar empat langkah, kurasa, kurang lebih."
Dengan anggukan, dia menutup jarak di antara kami dengan empat langkah tepat, seperti yang kukatakan padanya. Tangannya secara otomatis terulur, menempel di pundakku sebelum dia menarikku ke dalam dekapannya. Dengan gerakan yang sama persis seperti yang dia kakukan sebelumnya, dia menyelipkan jemarinya ke atas pundakku dan meraba ceruk leherku.
Aku merasakannya kali ini—apa yang kuabaikan sebelumnya, karena Adelaide berada di sini. Namun, sekarang wanita itu tidak di sini, dan aku merasakan kulitku tergelitik akan sentuhannya, seolah dia telah membuat semua sarafku terbakar. Jemarinya kali ini mengusap pipiku dengan kuat, seringai kalkulatif muncul di bibirnya. Dan saat itulah aku baru menyadari, dia sedang berusaha mengenali struktur wajahku.
"Tunggu," aku cepat-cepat mundur, khawatir rencana ini akan berantakan begitu dia menyadari semuanya. "Kade, aku–"
"Berhenti bicara," gumamnya, menarikku dengan lembut ke arahnya lagi dan mencuri kata-kata dari mulutku dengan ciuman yang membara.
Aku terhuyung mundur karena keterkejutan itu, napas terengah-engah keluar dari bibirku, tetapi dia mencengkeram pinggangku erat-erat, mencegahku untuk melarikan diri. Bukannya aku menginginkan ini, karena—harus bagaimana aku menjelaskan ini?
Bagaimana aku bisa mulai menggambarkan perasaanku saat berciuman dengan pria yang sangat kucintai, hanya sebagai pengingat, dengan jelas dan menyakitkan, bahwa semua ini hanya tipuan?
Satu-satunya kata yang bisa kupikirkan saat itu adalah getir. Itu bukan ciuman yang dalam. Lidah kami tinggal dengan sopan di mulut kami masing-masing; bibirnya hanya menempel di bibirku dengan sempurna, gigitan ringan dan lumatan yang membuat kewarasanku perlahan-lahan menghilang, jauh dari jangkauanku. Jemarinya memegangi pinggangku dengan kuat, yang juga terasa pas, karena aku tidak bisa mempercayai lututku yang mulai gemetar.
Aku menyerah—bukan karena aku melakukan terlalu banyak usaha, atau berjuang untuk apa pun—aku mulai menarik tanganku ke atas dadanya, memegang bajunya dengan erat dalam genggamanku. Di benakku, yang dapat kupikirkan hanyalah bagaimana mungkin ini terjadi, ini adalah mimpian, dan aku telah menunggunya sekian lamanya. Hanya pikiran itulah yang mendorongku untuk beraksi dan aku dengan bersemangat mengembalikan ciumannya, menyesap bibirnya yang terasa panas di bibirku, serampangan dan penuh gelora, ini membuatku merasakan kecanduan yang luar biasa.
Dia tiba-tiba menarik diri ke belakang, pipinya memerah dan napas tak teratur. Aku yakin aku pun terlihat sama. Untuk sesaat, kamarnya benar-benar sunyi, dan yang terdengar hanyalah napas kami yang tersengal kasar dan memburu setelah ciuman tadi.
"Yah,"katanya akhirnya, suara serak dalam suaranya membuatku merinding. "Kau jelas bukan Evangeline."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro