03 | bis
0 3
b i s
[Lat] Dua kali; ulangi tindakan yang relevan dari kalimat ini.
AKU CUKUP MENGENAL Adelaide Bretton sebelum aku bertemu dengannya. Dia muncul di berita hampir setiap saat dan juga merupakan salah satu pengusaha paling produktif di negara ini—wanita cerdas, penuntut dan kejam; tidak terlalu berbeda dengan suami dan putranya. Ketika disatukan, mereka adalah definisi dari kata intimidasi yang sesungguhnya. Aku merasa sangat lega ketika Parker mengatakan kepadaku bahwa aku hanya perlu bertemu salah satu dari mereka.
Jadi, dua hari setelah hari ulang tahunku yang kedua puluh, aku mendapati diriku menunggu di salah satu kafe di Mortezion—sebuah hotel yang berjarak dua jam perjalanan dari rumah. Aku sungguh gugup, terlebih karena Parker datang terlambat. Aku datang sendirian ke hotel ini, mengabaikan tatapan tajam dari para resepsionis ketika aku baru tiba dengan mengenakan jaket kulit hitam di atas tea dress dengan pola bunga-bungaku.
Meskipun tempat itu hanya sebuah hotel, semua orang di sekitarku tampak berpakaian sempurna, yang seharusnya tidak terlalu mengejutkan mengingat Mortezion adalah salah satu hotel mewah yang tidak akan pernah mampu kukunjungi untuk bahkan barang menginap semalam saja. Melakukan sedikit usaha lebih dalam berpakaian akan menjadi pilihan yang bijak, kurasa, tetapi aku baru saja menyelesaikan kelasku, mengambil cuti setengah hari sehingga aku bisa tiba di sini tepat waktu. Aku sangat lelah dan ingin sekali tidur siang di kafe ini ketika seseorang berjalan mendekat dan aku segera mendongak.
"Isla Moore?" Aku mengangguk sedikit ragu pada pria yang menanyakan pertanyaan itu. Dia tampak samar-samar familier, ikal pirang jatuh ke matanya yang cemerlang dan senyum ramah terukir di wajahnya, tetapi aku tidak bisa mengingat di mana aku pernah melihatnya sebelumnya. "Aku Nolan Mortez, teman Parker. Dia memberitahuku bahwa dia akan agak terlambat dan memintaku untuk membantumu mempersiapkan diri terlebih dulu."
Potongan puzzle yang hilang jatuh ke tempatnya dan aku akhirnya tahu di mana aku pernah melihatnya. "Kau yang di fountain coklat waktu itu," kataku, bersemu ketika dia mengangkat sebelah alisnya. Ingatan itu masih membekas dengan sangat jelas dan aku ingat bagaimana dia melihatku mencelupkan makananku ke dalam cokelat sebelum melakukan hal yang sama persis pada makanan di piringnya sendiri. "Di pesta amal–tapi itu sudah lama sekali."
"Oh, aku ingat," dia tertawa, sangat melegakanku. "Biasanya, hal-hal semacam itu akan terlupakan begitu saja dalam pikiranku, tapi itu adalah pertama kalinya seseorang mengancam akan mengusirku dari sebuah pesta. Omong-omong, seseorang itu adalah kakakmu."
Mataku membelalak saat mendengarnya, bukan karena Parker ingin mengusir Nolan dari pesta amal itu, tetapi karena fakta bahwa ini adalah kali pertama orang luar benar-benar mengetahui hubungan di antara Parker dan aku. Kami bukan saudara kandung, tetapi kami jelas-jelas memperlakukan satu sama lain seperti itu. Namun demikian, kami sangat berhati-hati saat menunjukkannya, karena secara teknis, Parker masih seorang Collins dan aku masih seorang Moore dan orang tua kami tidak bersama.
"Jangan khawatir tentang itu," kata Nolan, ketika dia melihat ekspresi tegang di wajahku, "Parker sudah menyebutmu sebagai adik perempuannya selama bertahun-tahun di hadapanku dan Kade. Tapi ini tetap hanya di antara kami—jadi saat Nyonya Bretton datang nanti, berhati-hatilah untuk tidak keceplosan, oke?"
Aku mengangguk. Jangan sampai hal itu benar-benar terjadi. Konsekuensinya adalah bencana.
"Saat ibu Kaden datang nanti, duduklah dengan tenang dan jangan mengucapkan sepatah kata pun—Parker dan aku akan menjelaskan semuanya. Jika dia bertanya padamu secara langsung, pertahankan kontak mata yang tepat dan jawab setenang mungkin. Jangan tergagap atau dia akan berpikir kau tidak cukup meyakinkan untuk pekerjaan ini. Bersikaplah sesopan mungkin, karena dia tak akan menerima penghinaan dengan mudah, tapi bersikaplah tegas dan cobalah untuk tidak bertindak seakan-akan kau merasa terintimidasi olehnya—yang mungkin akan kau rasakan. Sial, bahkan aku selalu merasa terintimidasi olehnya," tambahnya, sambil tertawa sinis.
Aku mencoba tersenyum tetapi sepertinya sedikit terlalu dipaksakan. Entah bagaimana, aku mulai meragukan diriku sendiri dan keputusan yang telah kubuat. Sebagian dari diriku merasa sedikit tertekan akan semua ini, setengah dari diriku bertanya-tanya apa yang sebelumnya merasukiku.
"Tenanglah," kata Nolan, menepuk pundakku dengan nyaman. "Jangan terlihat begitu resah—atau dia tidak akan memakanmu hidup-hidup. Hanya aku, di sisi lain, yang boleh merasakan itu."
Seketika tawa keluar dari mulutku dan dia tertawa juga, sampai satu suara yang familier menyela kami. "Jaga jarakmu satu lengan dari adikku, Mortez. Jangan memaksaku memindahkan tubuhmu, karena kau tahu aku sangat bisa melakukannya."
Aku mendongak dan nyengir pada Parker, yang sepertinya kesulitan menjaga ekspresi wajahnya tetap yang datar karena sebuah senyuman kini mengancam keluar dari sudut bibirnya. Sambil mendorong kursiku ke belakang, aku segera menghampirinya dan memeluknya kilat sebelum menarik diri. "Kalau aku tidak salah ingat, aku mengalahkanmu saat kita adu panco."
Di belakangku, Nolan tertawa keras, membuat Parker cemberut karena kesal. "Itu dulu. Dan kalau aku tidak salah ingat, aku berusia tiga belas dan aku membiarkanmu menggunakan dua tangan."
"Kebenarannya tetap di sana—kau dikalahkan oleh seorang gadis, bung," kata Nolan, berdiri untuk mendorong kami berdua duduk di kursi masing-masing.
"Isla? Kau seharusnya tidak menganggapnya sebagai seorang gadis. Dia lebih seperti... Hulk, minus kulit hijau."
Aku melotot ke arah Parker. "Kau benar-benar sial–"
"Itu sepertinya bukan bahasa yang cocok untuk di tempat semacam ini, bukankah begitu?"
Kami bertiga membeku dan menoleh dengan cepat ke arah kanan. Seorang wanita yang menghampiri kami tampak seperti perwujudan dari kemewahan dalam setiap aspek. Rambut hitam rampingnya ditumpuk tinggi dan ditata sempurna. Dia mengenakan pakaian berkelas dan berjalan dengan anggun dan dengan karisma yang hanya dimiliki oleh para keturunan bangsawan.
Ketika wanita itu akhirnya cukup dekat, dia melepas kacamata hitamnya dan mengangguk pada kedua pria di sampingku. "Tuan Collins, Tuan Mortez." Mereka mengucapkan salam sopan sebagai balasan dan kemudian dia menoleh padaku, tatapannya menusuk saat dia menilaiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Dan kau?"
"Dia teman kami," terdengar suara Parker dari sampingku. Aku menatapnya dengan penuh syukur. "Namanya Isla Moore dan aku yakin dia bisa menjadi solusi untuk masalah kita."
"Kita akan lihat itu nanti," adalah jawaban samar Adelaide. Ucapannya meninggalkan jeda canggung di belakangnya dan untuk pertama kalinya, aku melihat kakakku sepertinya kesulitan untuk mengatakan sesuatu.
Nolan dengan sigap menyelamatkannya dengan berdeham untuk meredakan suasana tegang. "Kurasa kita harus memesan sesuatu untuk diminum," katanya dan memanggil pelayan. "Biarkan aku yang menjamumu. Apa yang kau inginkan, Nyonya Bretton?"
"Sesungguhnya, kau sangat tidak perlu melakukan itu, tetapi secangkir teh akan menyenangkan, terima kasih."
Nolan memutar bola matanya diam-diam saat mendengar jawaban Adelaide dan aku berusaha menahan tawa. "Bagaimana denganmu, Isla? Parker?"
"Kopi, terima kasih," kataku dan Parker mengangkat dua jari ke pelayan sebagai indikasi pesanan ganda.
Pelayan itu pergi dan Adelaide menoleh padaku. "Aku ingin tahu alasanmu, kenapa kau menganggap dirimu pantas untuk pekerjaan ini?" katanya dengan tegas. "Seperti semua wawancara pekerjaan lainnya, pelamar harus cukup meyakinkan sebelum aku mempekerjakan mereka. Sekarang yakinkan aku."
"Nyonya Bretton," potong Nolan sopan, "kuharap kau tidak keberatan kalau aku mengingatkanmu—bahwa kau belum pernah bertemu Evangeline sebelumnya. Tak ada seorang pun di antara kita yang pernah—"
"Aku memiliki file-file dari keluarga White. Mereka telah memberiku segala hal yang perlu diketahui tentang putri mereka—"
"–ya, tapi mereka juga tidak pernah melihat bagaimana Evangeline dengan Kade," dia berargumen, "tidak ada yang pernah melihat mereka bersama. Evangeline hanya menyebut nama Kade secara singkat kepada orang tuanya dan hanya itu yang ada di sana. Aku rasa meyakinkan siapa pun bukanlah persoalan utamanya di sini—Isla akan bisa meyakinkanmu tapi dia mungkin akan meledakkannya dalam beberapa menit saat bertemu Kade, kalau dia tidak bertindak seperti Evangeline dulu."
"Aku sepenuhnya setuju," Parker menambahkan dengan tenang. Adelaide menoleh padanya dengan dahi berkerut dan dia mencondongkan tubuhnya ke depan, menyandarkan sikunya di atas meja dengan ekspresi serius bermain di wajahnya. "Kami berusaha keras di sini. Aku yakin kau dan Tuan White tahu bahwa peluang kegagalan ini sangat tinggi ketika ide ini tercetus di kepalamu. Bahkan kalau ini gagal—yang, dalam semua kemungkinan, ini mungkin saja terjadi—kita perlu pertanggungjawaban. Dan Isla tidak akan menumpahkan sepatah kata pun kepada media, aku dapat meyakinkanmu tentang itu. "
Ada jeda. Adelaide tampaknya mempertimbangkan kata-kata mereka dengan hati-hati dan aku baru saja akan menarik napas lega ketika dia menoleh padaku, ekspresi dingin di matanya. "Kau rupanya memiliki dua pria cerdas yang akan selalu siap melompat untuk menjagamu dan aku harus mengatakan, ini agak melelahkan. Aku ingin mendengar apa yang kau pikirkan—kalaulah otakmu memiliki pemikiran apa pun."
Mata Parker menyipit saat mendengar kata-kata itu dan saat dia akan menjawabnya, aku sudah mendahuluinya. "Nyonya Bretton," suaraku secara mengejutkan terdengar begitu tenang, "Aku tipe orang yang lebih suka memikirkan suatu gelas sudah setengah penuh dan bukannya setengah kosong. Jadi, aku sungguh berharap demi Kaden, dan dirimu, rencana ini akan berhasil. Anggap saja ini akan berhasil dan dengan asumsi bahwa aku harus berpisah dengannya sebagai Evangeline, aku dapat meyakinkanmu bahwa aku hanya akan mengecewakannya dengan cara yang paling tidak menyakitkan, dan paling lembut yang mungkin dapat dilakukan oleh seseorang."
Pelayan kembali dengan pesanan kami dan ada keheningan sejenak, saat dia meletakkan cangkir di hadapan kami. Adelaide meminum teh tanpa gulanya, yang entah bagaimana terlihat sangat sesuai untuk karakternya. Setelah menyesapnya beberapa kali, wanita itu meletakkan cangkirnya dan menoleh ke arahku lagi.
"Ada banyak cara untuk menghancurkan hati seseorang," katanya. "Kau mungkin bisa saja menyebutnya sebagai cara yang paling tidak menyakitkan. Tapi untuk putraku, itu mungkin akan menjadi hal yang paling menyakitkan yang harus dilaluinya."
"Lebih menyakitkan daripada mengetahui fakta bahwa Evangeline sudah tiada?" Mau tak mau aku bertanya, sebelum jengah ketika tatapannya mengeras. Menarik napas panjang, aku melanjutkan, dengan nada yang lebih lembut kali ini. "Kaden Bretton pernah berdansa bersamaku di sebuah pesta di ulang tahunku yang keenam belas. Kau tak akan pernah melupakan laki-laki pertama yang mengajakmu berdansa, meskipun itu hanya untuk sebuah lagu yang berlangsung selama tiga menit." Aku bertemu tatap dengannya dan menyadari ekspresinya yang tadi sekeras baja, sekarang semakin goyah. "Anggaplah ini sebagai ucapan terima kasihku untuk putramu. Aku tidak akan pernah menyakitinya dengan sengaja. Kau dapat memegang kata-kataku."
Suasananya sangat sunyi setelah itu, rasanya bahkan mungkin kau dapat mendengar suara denting jarum yang jatuh. Nolan mengulum senyum kecil di bibirnya, sementara Parker menatapku dengan penuh perhatian. Aku segera mengalihkan pandanganku. Aku bisa membaca Parker seperti buku terbuka tetapi begitu juga dengan sebaliknya, dan aku tidak ingin dia mengetahui implikasi di balik apa yang baru saja kukatakan.
"Baiklah," suara Adelaide sedikit lebih lembut daripada beberapa menit yang lalu. Dia berdiri dan menyodorkan file cokelat di seberang meja kepadaku. "Aku akan menunggumu pukul tiga lebih tiga puluh menit pada Jumat sore ini. Tuan Collins akan memberitahumu detailnya. Semua yang perlu kau ketahui ada di folder itu. Aku harus pergi sekarang."
Dia pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal; teh setengah diminumnya tergeletak di atas meja sebagai pengingat diam-diam akan kehadirannya. Aku masih terlalu terkejut akan perubahan pikirannya yang begitu tiba-tiba dan hanya terpaku menatap cangkirku sampai Nolan mencondongkan tubuhnya ke depan untuk menepuk punggungku.
"Kau luar biasa, Isla. Aku rasa dia cukup terkesan, tapi wanita itu telah menyembunyikan dengan sangat baik ekspresi di wajahnya hingga rasanya sulit untuk mengetahui apa yang dipikirkannya," tambahnya, kata-katanya membuat senyum kecil menyebar di wajahku. Saat melirik ponselnya, Nolan menghela napas berlebihan dan berdiri, kursinya bergesekan dengan lantai linoleum hingga menimbulkan suara keras. "Aku harus kembali ke konferensi sialan itu," gerutunya dan aku menahan keinginan untuk menertawakan perilaku melodramatiknya, "Sampai jumpa hari Jumat ini, Isla. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu."
Dia mengejutkanku dengan tiba-tiba membungkuk untuk mengecup cepat pipiku. Aku terkesiap karena terlalu kejutan, pipiku seketika merona merah.
Parker memelototi Nolan, dengan tatapannya yang sangat mematikan. "Jarak satu lengan, dasar sialan," geram kakakku, tetapi ada senyum tersungging di sudut bibirnya.
"Atau apa? Kau akan mengusirku dari hotelku sendiri? Coba saja," Nolan membalasnya, dengan tawa yang renyah. Parker melotot lagi. "Aku akan menemuimu besok untuk menyelesaikan detailnya. Jangan coba-coba membayar pesanan kalian dan pesan apa pun yang kalian inginkan—aku yang menjamu kalian di sini."
Setelah itu, Nolan meninggalkan kami, dengan cepat menuju pintu keluar kafe. Aku melihatnya pergi, senyum geli terulas di bibirku. Sungguh pemandangan yang menyenangkan ketika melihat kakaku berinteraksi dengan sahabatnya. Parker memainkan peran sebagai kakak protektif nyaris ditaraf yang berlebihan dan karenanya, Nolan semakin bersemangat untuk menggodanya sebisa mungkin—yang hanya semakin membuatku bertanya-tanya, bagaimana jadinya mereka berdua ketika Kaden juga terlibat. Aku sangat yakin, ketiganya adalah kombinasi yang mematikan.
Di seberangku, Parker menguap tanpa suara dan melonggarkan dasinya dengan menarik salah satu ujungnya. Ekspresi tajam dan cemerlang di matanya membuatku bersiap untuk diinterogasi. Jadi aku tidak terkejut ketika dia berdehem dan memecah kesunyian. "Kau ingin memberitahuku apa yang terjadi sebelumnya?"
Alisku terjalin menjadi satu. "Apakah sejelas itu?"
"Bukan tentang Nolan—dia selalu menyebalkan. Tapi aku sudah mengenalmu selama bertahun-tahun dan aku belum pernah mendengarmu bercerita dengan penuh semangat tentang orang asing sebelumnya. Apa—kau pernah menyukai Kade setelah berdansa dengannya di pesta itu?" Rona merah yang menyebar di pipiku adalah jawaban dari segala hal yang ingin diketahuinya dan dia terkesiap tidak percaya. "Apa kau serius?"
Aku menggigit bibirku dan mengalihkan pandanganku.
Dia mengumpat pelan sebelum berhenti untuk mengambil napas dalam-dalam. Aku hampir bisa melihat roda-roda gigi berputar di kepalanya ketika dia mempertimbangkan situasinya dengan cermat. "Ini belum terlambat. Kau bisa mundur dari ini. Aku akan menelepon ibu Kade—dia akan marah, mungkin—tapi kau tidak akan pernah berurusan dengannya. Mereka akan menemukan seseorang—"
"Parker," nada suaraku cukup tenang untuk menghentikannya. Aku menatapnya dengan hati-hati. "Apakah kau menyarankan agar aku mundur ketika aku baru saja setuju beberapa menit yang lalu? Karena aku tidak mau melakukannya. Aku ingin melakukan ini."
Dia menatapku seolah kepalaku tumbuh menjadi tiga bagian tiba-tiba. "Kau menyadari seberapa konyol rencana ini, kan?"
"Kurasa kau sudah menjelaskannya dua malam yang lalu."
"Dan kita berdua sepakat tentang itu—walau memang benar ini satu-satunya cara yang paling memungkin untuk mencegah Kade menemukan kebenaran tentang Evangeline. Ketika kau menyetujuinya, aku berpikir bahwa kau telah memahami pola pikir profesional, itulah sebabnya aku percaya kau akan menjadi sosok sempurna untuk peran ini. Tapi sekarang ada perasaanmu yang harus dipertimbangkan—" dia terdiam, menggelengkan kepalanya karena frustrasi. Beberapa detik berlalu ketika dia memperhatikanku dengan seksama sebelum tatapannya melembut. "Sudah berapa lama kau menyimpannya?"
Aku mengamati tepi cangkir kopiku. "Terlalu lama."
"Jujur saja, bukan itu maksudku ketika aku meminta Kade untuk menyelamatkanmu dari Nolan dan para pemuda lainnya," Parker mengakui, sambil tertawa kering. Mataku bergerak ke arahnya dan dia menyeringai saat melihat ekspresi terkejutku. "Aku tidak sedang berusaha untuk menjodohkan kalian berdua, aku bersumpah. Aku hanya melihatmu di seberang ruangan tampak gelisah karena Nolan sedang merepotkan, tapi aku sibuk mengobrol dengan orang-orang penting jadi aku meminta Kade untuk mengulurkan tangannya."
"Kau menyuruhnya berdansa denganku?" tanyaku, seketik bertanya-tanya apakah ini semua ilusi yang dibuat untuk dihancurkan. Sebut aku pendamba kisah romantis—dan mungkin aku adalah pendamba paling payah—tetapi semua ini akan sangat berbeda jika Kaden terpaksa berdansa denganku.
"Tentu saja tidak," Parker berdecak. "Aku tidak seimajinatif itu. Itu semua adalah idenya. Jika aku tahu itu akan berhasil dengan baik, aku sudah pasti akan mengenalkanmu padanya sejak lama."
"Aku pikir kau seharusnya menentang gagasan adikku-berkencan-dengan-sahabatku."
"Oh, benar. Dan aku masih ingin muntah pada seluruh gagasan itu, tapi Kade cukup baik. Dia lebih baik daripada Nolan," tambahnya sambil meringis dan kami berdua tertawa. Namun kemudian, senyum Parker memudar, topeng keseriusan menyelinap lagi ke wajahnya dengan sempurna. "Tapi mari kita kembali ke masalah yang akan kita hadapi. Aku setuju kau memainkan peran ini karena terus terang, aku tidak berpikir orang lain akan lebih dapat dipercaya sebaik dirimu dan rasanya akan sangat kecil kemungkinannya untukmu menyakiti Kade. Tapi sekarang ada kemungkinan kau terluka, dan aku tidak ingin melihat itu terjadi."
Kata-katanya tenang dalam keheningan lembut yang membentang di antara kami untuk beberapa saat setelah itu. Aku tidak bisa mengerti kenapa aku memilih untuk melakukan ini atau apa yang akan terjadi di masa depan kepada kami. Yang dapat kupikirkan, pada saat itu, adalah seorang gadis berumur enam belas tahun dengan mata berbinar riang masih berpegang erat pada sisa-sisa masa lalunya. Dan berdansa dengan Kaden Bretton, seorang pemuda yang menguasai dunia, adalah puncak dari setiap harapan dan impian yang pernah direka para gadis tentang suatu gagasan romantis.
"Dalam banyak hal, rencana ini sangat mirip filosofi berdansa," kataku pelan, pandanganku jauh dan tidak fokus. "Sederhana dan manis, dengan angan-angan romantis sesaat, kontak sesaat dan kebohongan terang-terangan tentang kami yang saling jatuh cinta. Kadang-kadang, aku akan berdiri terlalu dekat dengannya hingga mungkin aku akan lupa bahwa semua itu tak pernah nyata sejak awal. Tapi aku akan selalu ingat bahwa setiap tarian dansa pada akhirnya akan berakhir."
Ada jeda. Dan kemudian Parker menghela napas berat, suara itu segera membuatku keluar dari lamunanku. Aku meliriknya dan ada pandangan penuh pemahaman yang tak terucapkan di matanya, pandangan yang mengatakan bahwa dia masih tidak menyetujui keputusanku tetapi tetap mendukungnya.
"Jangan pernah melupakan bagian akhirnya," katanya dengan lembut, tetapi ada nada tegas yang jelas dalam kata-katanya dan aku langsung ingat kata-kata yang diucapkannya dua hari sebelumnya:
Gadis yang memerankan Evangeline akan menghilang dari jangkauannya setelah itu, jadi dia tidak akan tidak akan pernah tahu bahwa dia telah dibohongi, atau bahwa Evangeline telah mati selama ini.
Hanya memikirkan hal itu membuat hatiku nyeri. Aku menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengenang dansa singkatku dengan Kaden, dan sebagian diriku selalu berpikir bahwa gagasan untuk bertemu dengannya lagi, sama menggelikannya dengan ingatan itu.
Namun, sekarang fantasi itu menjadi kenyataan, hanya saja dengan cara yang paling menyakitkan.
"Aku tidak akan melupakan itu," gumamku dan menatap Parker dengan datar. "Ketika lagu berakhir, aku akan mundur dan tidak pernah melihatnya lagi."
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Lagu dimulai dari not pertamanya di hari Jumat. Perjalanan ke pantai membutuhkan waktu lebih dari satu jam. Aku gugup, tetapi syukurlah, Parker ada di sana untuk meredakan semua keraguanku dengan senyumnya yang meyakinkan dan kata-kata penuh godaan khas dirinya.
Hanya dengan melihat sedikit sisi dari rumah pantai keluarga Bretton membuat mataku melebar saat menyaksikan kemegahannya. Merasa sedikit terpesona, aku melangkah ke sana, ditenangkan oleh kehangatan dari lengan Parker yang tersampir di pundakku. Dan kemudian aku tersenyum ketika melihat Nolan, yang tentu saja, bagaikan pemandangan yang menyenangkan di antara kengerian ini.
"Isla!" Dia segera berjalan menghampiri kami dan berusaha mencium pipiku lagi, hanya saja Parker telah lebih dulu meletakkan telapak tangannya ke wajah sahabatnya. Aku terkikik ketika Nolan merengut pada kakakku. "Jangan terlalu cemburu, kau tahu aku akan menciummu juga."
"Langkahi mayatku," Parker membalas kejam, sebelum bertukar setengah-pelukan dengan Nolan, seperti yang selalu dilakukan para laki-laki. "Di mana Kade?"
"Di lantai atas," Nolan membalasnya dengan santai saat aku berusaha bersikap seolah penyebutan nama Kaden tidak memberikan getaran aneh ke dadaku. "Dia keluar pagi ini, kau tahu, untuk mencari udara segar dan berjalan-jalan di pantai. Kupikir tadi aku bisa sedikit mengusilinya, karena dia sedang buta. Jadi saat ada ombak, aku mendorongnya ke sana."
Aku tertawa dan Parker menggelengkan kepalanya saat mendengar keisengan Nolan. "Biar kutebak—pengawalnya melemparmu setelah itu?"
"Tidak, lebih buruk. Dia entah bagaimana berhasil membalikkan situasi dan mendorongku ke laut. Sepertinya dia memiliki mata di belakang kepalanya. Aku tidak percaya aku bisa dikerjai balik oleh si sialan itu."
Parker mendengus. "Kau pantas mendapatkannya."
Nolan membuka mulut untuk membantah, tetapi suara heels yang mengentak dengan tajam menyentuh lantai ubin marmer membuat kami bertiga terdiam. Adelaide Bretton menuruni tangga dan menuju ke arah kami. Dia memakai kacamata baca kali ini, tapi dandanan dan rambutnya tampak sempurna.
"Tuan Collins, terima kasih sudah datang hari ini," dia mengangguk pada kakakku, sebelum berpaling ke arahku. Aku merasa sangat kecil—dan itu bukan hanya karena aku jauh lebih pendek dari dirinya bahkan di saat aku mengenakan ankle boots milikku. "Ikut aku, Isla. Kalian berdua—tetap di sini," tambahnya, ketika Parker dan Nolan hendak mengikutiku.
"Itu perintah untuk anjing," gumam Nolan pelan dan aku menggigit bibirku agar tidak tertawa.
Melontarkan senyum meyakinkan melalui pundakku ke arah Parker, yang mengamatiku dengan penuh perhatian, aku menyampirkan tasku ke atas bahu dan mengikutinya. Kami berjalan meniti setiap anak tangga sampai kami tiba di sebuah ruangan yang dijaga oleh seorang pria berpakaian formal yang tampaknya berusia sekitar lima puluhan.
Adelaide berhenti di depan pintu dan menoleh padaku. Ada ekspresi yang tidak bisa dipahami di matanya, sesuatu yang menyakitkan, sesuatu yang pahit. Aku tidak tahu apa itu.
"Kadang-kadang," katanya, "kebohongan terbaik dimaksudkan untuk menyembunyikan kebenaran yang paling menyakitkan. Lakukan apa saja untuk meyakinkannya."
Aku nyaris tidak memiliki kesempatan untuk mengangguk, karena wanita itu telah lebih dulu memegang gagang pintu dengan kuat dan mendorong pintunya hingga terbuka. Sejenak aku terpesona oleh suasana ruangan ini. Seluruh rumah itu tampak berselimut bayang-bayang, tetapi ruangan ini memiliki sedikit sinar matahari yang menerobos jendela.
Mataku menyapu seluruh sudut ruangan dengan cepat, mengamati tempat tidur dengan kanopi mewah di tengah sana, karpet putih bersih tersebar di lantai ubin mahoni dan rak buku di sudut lain, bersisian dengan satu set drum yang diletakkan di sebelahnya. Ada meja kopi dan sofa di bagian lain, dan sebuah pintu yang kuduga akan mengarah ke kamar mandi.
Dan kemudian mataku tertuju pada seorang pria yang duduk di kursi dekat jendela, sosoknya diterangi oleh sinar matahari yang berseri. Wajahnya tak menghadap ke arah kami, seolah dia sedang melihat keluar jendela, tetapi sepotong kain kasa yang melilit kepalanya memberikan fakta bahwa dia buta.
"Kaden," ada sedikit getaran pada suara Adelaide dan aku meliriknya sekilas, tetapi ekspresi wajahnya tetap datar.
Mendengar suara itu, Kaden berbalik ke arah kami, lengannya yang kecokelatan mendorong dirinya ke posisi duduk. "Ya?" Suaranya terdengar serak, seakan dia tak menggunakannya untuk waktu yang cukup lama. Namun, warna suaranya masih terdengar sama seperti yang kudengar di hari ulang tahunku yang ke enam belas.
Adelaide melirikku. Dan, pada saat itu, aku melihat ketakutan dan keragu-raguannya menyelimuti setiap sudut wajahnya. Namun itu berlangsung sesaat, karena dia segera kembali mengatur topeng tanpa emosi yang selalu melekat dengan sangat baik pada dirinya.
Mengambilnapas dalam-dalam, dia membuka mulutnya dan memulai kebohongan indah untukmenyembunyikan kebenaran yang menyakitkan. "Evangeline di sini."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro