Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02 | da capo


0 2

d a   c a p o

[It] (D.C.) Dari awal.


AKU MASIH memikirkan hari ulang tahunku yang keenam belas di usiaku yang ke dua puluh. Kali ini perayaannya jauh lebih sederhana dari yang sebelum-sebelumnya.

Aku mulai kembali mengingat semua hal yang akan terjadi hari ini di kepalaku—mendapatkan uang dari ayah, garam mandi dari teman terbaikku Millie, satu set headphone dari temanku yang lain Castor, cupcakes red velvet dengan taburan cokelat dari Dink di toko kue lokalnya dan beberapa ucapan selamat ulang tahun dari para tetangga.

Mungkin itu semuanya. Aku tahu aku seharusnya sedikit kecewa saat aku membandingkan masa lalu dengan masa sekarang, tetapi nyatanya tidak. Ulang tahun keenam belasku tampak seperti kenangan masa kecil sekarang, saat itu aku adalah seorang gadis remaja yang menggenggam erat sisi kekanak-kanakannya.

Syukurlah, aku sudah semakin dewasa sekarang. Aku tahu aku tidak bisa bermain-main terlalu lama di dunia dongengku. Sudah waktunya untuk bangun dan mencium bau mawar—menghargai apa yang sering terabaikan.

Bibirku terkembang dalam senyum masam saat menyadari seberapa tepat kalimat itu. Aku benar-benar sedang mencium bau mawar sekarang, karena saat ini aku sedang mendorong gerobak penuh bunga mawar untuk disimpan.

Ayah masih mengurus beberapa pelanggan terakhirnya di depan, jadi aku mengambil semua bunga-bunga ini sendiri untuk menurunkan sisa pot ke rak-rak. Aku mengurutkan mawar sesuai warnanya—kuning, merah, merah muda, merah muda gelap, putih dan sebagainya—mengusir lebah liar ketika mereka berdengung agak terlalu dekat menurutku.

Tidak butuh waktu lama, atau mungkin itu hanyalah perasaan terdesak yang kurasakan karena Parker akan segera pulang kurang dari satu jam lagi. Ketika aku selesai, aku menanggalkan sarung tanganku yang kotor dan melemparkannya ke tempat sampah terdekat. Ayah masih memegang mesin kasir ketika aku berjalan mendekatinya.

"Kau harus mulai bersiap-siap," katanya kepadaku, sebelum mengangguk untuk berterima kasih kepada pelanggannya, "atau kau akan terlambat."

Aku menyeringai dan membungkuk di atas meja, memberinya ciuman kilat di pipinya. "Aku akan pulang larut dan Parker mungkin akan mengantarku pulang. Jangan menungguku."

"Bersenang-senanglah," dia berteriak dan aku meliriknya sejenak melalui pundakku untuk melambaikan tangan dan mengucapkan selamat tinggal sekali lagi.

Aku membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk mandi dan mengikis semua kotoran keluar dari kuku-kuku jemariku; dan sekitar lima menit berikutnya untuk menyikat rambut kusutku dan mengeringkannya dengan kilat. Aku baru saja selesai merias wajahku ketika ketukan pintu yang kukenal itu mengumumkan kedatangan Parker, diikuti oleh dering suara bel pintu yang tak putus-putus, seolah zombie mengejarnya dan dia butuh perlindungan sesegera mungkin.

Aku mengerti, sebagai mahasiswa hukum, Parker sangat efisien dan tepat waktu. Namun, ada garis tipis antara menuntut efisiensi dan ketidaksabaran.

Menggelengkan kepalaku, aku segera mengikatkan ujung bathrobe dengan kuat di pinggangku dan melenggang dengan santai ke pintu depan. Ketika aku membuka pintu, Parker masih menempelkan satu jarinya untuk menekan bel pintu dan dia membunyikannya sekali lagi sebelum tersenyum.

"Lama sekali."

"Satu kata sesederhana halo, kurasa cukup untuk salam," kataku kepadanya, sebelum mendorong pintu lebih terbuka untuk membiarkannya masuk. Memandangnya membawa kembali gelombang nostalgia yang dengan putus asa berusaha kupadamkan. "Aku merindukanmu," seruku dan tersenyum.

Ekspresi wajahnya melembut dan dia melangkah maju, memelukku. Aku mencium aroma cologne dan mint yang mahal dari tubuh Parker, lantas menarik lenganku ke sekelilingnya dan memeluknya erat-erat, menutup mataku rapat-rapat ketika dia bergumam, "Aku juga merindukanmu. Selamat ulang tahun, Isla."

Dia tersenyum saat mengurai pelukan kami, tetapi ada sesuatu yang berbeda dari dirinya hari ini. Dia tampak tertekan akan suatu masalah dan lelah. Aku mengangkat tanganku. "Beri aku sepuluh menit," kataku dan menghilang ke kamarku untuk berganti pakaian.

Setelah empat tahun berlalu, aku menjadi jauh lebih berani, terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan pakaian. Alih-alih memilih gaun berpola tertentu dan warna-warna cerah, aku sekarang lebih suka memilih gaun hitam strapless untuk acara-acara meriah dan sepatu bot hitam. Sepatu bot ini memang agak tua dan usang, tetapi karena acara kali ini hampir larut malam, kurasa tidak akan ada yang akan memperhatikannya.

Tak lama kemudian aku memutuskan bahwa aku sudah selesai dan siap untuk pergi. Aku menata rambutku, mengambil dompetku dan keluar dari kamar, mendapati Parker sedang sibuk berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. Nada bicaranya pelan, tetapi ada desakan pada suaranya yang membuatku sadar bahwa itu bukanlah sambungan telepon bisnis biasa yang dia terima. Dia berjalan mondar-mandir di ruangan itu, menyisir rambut dengan jari-jarinya dengan aura frustrasi yang berusaha diredamnya.

Ketika dia mendengar aku menutup pintu kamarku, dia mendongak dan tersenyum cerah, sebelum menutup panggilan itu. "Bawalah boneka beruangnya," godanya dan aku langsung tahu bahwa yang dia maksud adalah beruang raksasa yang dia berikan padaku di hari ulang tahunku yang keenam belas. "Dia akan menjadi pengawal yang baik dan aku tidak perlu khawatir untuk melindungimu dari semua testosteron yang mengamuk, orang-orang bermata cabul yang akan kita temui di pub."

Parker sudah kembali menjadi dirinya sendiri sekarang dan aku tertawa dengan lega. Aku jarang melihatnya kesal—terakhir kali dia menujukannya adalah saat dia dan Rosemary harus pergi meninggalkan kami. Ingatan itu selalu seketika berhasil menciptakan gumpalan besar di tenggorokanku. Masa-masa mengerikan untuk kami semua, terutama bagi Ayah, kukira. Setidaknya Parker tidak pernah berhenti datang mengunjungi kami. Dia selalu datang membawa hadiah—yang aku tahu adalah caranya meminta maaf atas apa yang telah Rosemary lakukan—dan membantuku mengerjakan PR setiap kali aku memanggilnya. Dan, sesibuk apa pun dia, dia tidak pernah lupa mengajakku pergi ke acara-acara khusus seperti ini.

Parker dan aku menuju ke sebuah restoran dekat teluk pantai, yang cukup jauh dari rumah. Kami duduk di meja bundar yang khusus dipesan atas namanya. Saat kami sedang makan malam dia memberiku hadiah—charm baru untuk menambah koleksiku pada gelang yang diberikannya kepadaku di hari ulang tahunku yang ke enam belas, serta sebuah tablet baru (yang sebenarnya tidak kubutuhkan tetapi dia tetap bersikeras ingin aku memilikinya).

Lalu kami mulai membicarakan hal yang biasa kami perbincangkan. Aku memberi tahu Parker tentang tesis terbaru yang sedang kukerjakan untuk tugas kuliahku, dan dia tampaknya menyetujui gagasanku. Parker juga bercerita tentang hubungannya yang baru saja berakhir dengan seorang gadis bernama Sirene. Dia baru menyadari bahwa gadis itu mengencaninya hanya untuk uang saat gadis itu terus menuntut hal-hal mewah kala mereka masih berkencan, dan tidak akan pernah puas pada sesuatu yang sederhana.

"Benarkah? Sirene?" ulangku, berusaha menahan senyum di wajahku. "Kau tidak menyadari itu sebelumnya?"

"Aku seharusnya melakukan pemeriksaan latar belakang padanya," gumamnya dengan kesal, menusuk dengan kejam brownies yang kami belah menjadi dua bagian untuk desert kami, "tapi kau bilang itu tak sopan dan tak pantas."

"Dan aku akan terus berpegang teguh pada hal itu. Aku sebenarnya merujuk pada konotasi negatif namanya." Dia tampak agak bingung dan aku cepat-cepat menjelaskannya. "Dengarkan aku dan nikmatilah barang sebentar saja. Dalam mitologi Yunani, Sirene sering kali digambarkan sebagai makhluk yang cantik tapi berbahaya. Mereka adalah femme fatal yang memiliki suara-suara memesona yang sering kali memancing para pelaut untuk menemui ajal mereka. Hanya satu yang lolos, dan itu adalah Odysseus, di karyanya Homer. Dia menyumpal lilin lebah ke telinga para pelautnya, mengikat diri dan memerintahkan mereka untuk terus mendayung, tak peduli pada apa yang dikatakan para Siren kepadanya dan tak peduli seberapa banyak dirinya memohon untuk dibebaskan. Dan sekarang kaulah orang kedua yang berhasil selamat—meskipun kau pasti mengalami lusinan kali kematian kecil saat kau berkencan dengan Sirene itu, ini kalau kau paham apa yang kumaksud," tambahku, tertawa ketika Parker menyipitkan matanya padaku.

"Sangat lucu."

"Oh, memang lucu," sindirku, puas ketika akhirnya dia tersenyum.


▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬


Sayangnya, suasana hatinya yang baik tidak bertahan cukup lama. Ketika malam berlalu dan dia menerima lebih banyak pesan singkat, dia mulai terlihat lebih lelah lagi dari sebelumnya. Aku tidak ingin mencampuri urusannya, tetapi aku tahu pada akhirnya aku harus melakukannya, asalkan aku bisa mengembalikan senyuman di wajahnya.

Kami berada di D.C., sebuah pub terkenal, beberapa blok dari restoran tempat kami makan malam. Kami duduk di meja dekat ruang-ruang pribadi, di area itu musiknya terdengar lebih lembut dan kami bisa bercakap-cakap tanpa harus saling berteriak. Parker memesan rum dan coke untuk dirinya sendiri, sementara aku tetap memesan margarita walau harus mendengar banyak protes dari pihaknya, Parker selalu saja merasa harus bertindak sebagai kakak protektif ketika aku berurusan dengan alkohol.

Ketika minuman kami tiba, dia tidak membuang banyak waktu untuk langsung menenggak minumannya. Dia mulai memesan yang lain dan aku memutuskan untuk menghentikannya. "Jika kau memiliki masalah, aku siap untuk mendengarkannya."

Dia menggelengkan kepalanya. "Ini bukan masalah besar."

Yang mana, itu artinya adalah sebaliknya. Aku telah bertahun-tahun mengenal Parker dan rasanya cukup mudah menyadarinya. "Aku sangat ragu kalau kau sampai seterganggu hanya karena permasalahan dalam hubunganmu," aku mulai berpikir, "pertama dan terakhir kalinya kau terlihat sangat terganggu akan suatu permasalahan dalam hubunganmu adalah dulu ketika kau berkencan dengan Eloise. Dan saat itu... kau? Tujuh belas tahun, kan?"

Dia tersenyum kecut. "Kurang lebih."

"Wow." Aku menghembuskan napas pelan dan bersandar. "Baru beberapa tahun lalu, ya? Entah mengapa bagiku rasanya seakan itu terjadi di kehidupan sebelumnya."

"Begitulah."

Keheningan yang terasa aneh menyelimuti kami dan aku tahu bahwa Parker sekali lagi menyalahkan dirinya sendiri tentang perpisahan itu. Aku seharusnya tidak mengingatkannya. Bahkan setelah sekian lama, dia masih belum bisa melupakannya.

Hanya memikirkan hal itu membuat amarah tak masuk akal muncul dalam diriku. Jika aku sampai bertemu dengan Eloise McAllister, aku tahu tanpa ragu aku akan langsung meraih bahunya dan mengguncang-guncang tubuhnya agar kepalanya yang bebal itu bisa sedikit berisikan akal sehat. Dan jika aku sampai bertemu Declan Harte—yah, sejujurnya aku tidak suka memikirkan apa yang akan aku lakukan padanya.

Aku menyingkirkan semua pikiran negatif itu dari kepalaku dan berfokus pada saat ini. Hari ini adalah hari ulang tahunku dan aku seharusnya merasa bahagia. Selain itu, Parker sedang memiliki masalah dan aku perlu mencari tahu apa yang sebenarnya tengah mengganggunya. Jadi ketika pesanan minuman kami yang berikutnya datang, aku mengambil gelasnya dan segera menariknya menjauh dari jangkauannya. "Apa sebenarnya masalahnya?"

Setelah keheningan yang berkepanjangan, dia menghela napas dan mengalah. Ekspresi wajahnya begitu suram sehingga aku tahu dia akan memberitahuku sesuatu yang sangat penting. Aku hanya berharap itu bukanlah berita buruk, tetapi menilai dari suasana hatinya yang suram, itu mungkin sebuah berita buruk.

"Ingat Kade?"

Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu dalam diriku menegang saat Parker bahkan hanya menyebutkan namanya. Aku mencoba menjaga ekspresi di wajahku tidak berubah, tetapi aku tidak yakin apakah Parker masih dapat membacanya.

"Ya," suaraku secara mengejutkan tetap stabil dan aku segera mengucapkan selamat pada diriku sendiri untuk keberhasilan itu di dalam kepala, "Kaden Bretton, kan? Dia dan Nolan Mortez adalah teman dekatmu."

Matanya melebar. "Aku terkejut kau ingat."

"Ugh, tolonglah. Kau selalu mengatakan 'Nolan dan aku melakukan ini' atau 'Kaden dan aku melakukan itu' atau 'apakah aku memberitahumu, kami bertiga...'. Tentu saja aku akan mengingatnya."

Dia membalasnya dengan tawa pelan sebelum tersadar. "Ya, yah," dia terdiam sejenak, seolah-olah dia bermaksud memilih kata-kata selanjutnya dengan sangat hati-hati sebelum berbicara lagi. "Masalahnya adalah—Kade sedang dalam kesulitan sekarang."

"Kesulitan semacam apa?"

"Kabar yang dikatakan oleh berita adalah bahwa dia sedang meluangkan sedikit waktunya dari perusahaan untuk pergi berlibur. Itu adalah pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh perusahaannya. Yang sebenarnya adalah," Parker menurunkan suaranya, "dia mengalami kecelakaan mobil yang mengerikan."

Kau dapat memberitahuku tentang satu juta cara untuk bereaksi terhadap pernyataan Parker, dan aku sungguh berharap aku bisa menampilkan reaksi yang lebih baik—sesuatu yang sejalan dengan menunjukkan perhatian dan kekhawatiran terhadap Kaden Bretton; atau menuntut untuk tahu bagaimana kabarnya saat ini.

Namun, aku tidak melakukan hal itu. Aku hanya menatap kosong Parker. Aku kehilangan kemampuanku untuk berpikir koheren dan yang bisa kurasakan hanyalah jantungku berdetak kencang dan paru-paruku perlahan-lahan kehabisan oksigen. Aku tidak bisa mengatakan sepatah kata pun, aku tidak bisa bergerak. Aku bahkan tidak bisa bernapas.

"Dia masih hidup," Parker buru-buru meyakinkanku, ketika dia melihat ekspresi ngeri di wajahku.

Dan tiba-tiba, hanya dengan dua kata itu, udara masuk kembali dan aku bisa bernapas lagi. Ini adalah kelegaan yang akan kau rasakan ketika kau tahu bahwa dunia masih bergerak tepat pada porosnya, kemudian berputar pada kecepatan regulernya.

"Apakah dia baik-baik saja?"

"Dia dibawa ke rumah sakit pada waktu yang tepat dan para dokter melakukan segala hal terbaik yang bisa mereka lakukan. Tetapi dampak dari kecelakaan itu menyebabkan dia mengalami cedera otak," Parker menjelaskan dan menghela napas berat. "Dia saat ini mengalami kebutaan temporer."

Dua detik penuh berlalu ketika kata-kata Parker perlahan-lahan masuk ke dalam kepalaku. Dan ketika semuanya berhasil kucerna, aku merasakan gelombang horor yang baru melandaku. "Apa?" Suaraku nyaring dan hampir melengking, menyebabkan beberapa orang melemparkan pandangan ingin tahu ke arah kami. Untungnya, lampu yang redup cukup berhasil menyembunyikan pipiku yang sudah memerah dan mereka segera kembali membuang muka. Aku kembali memusatkan perhatianku pada Parker, memastikan diriku untuk berbicara dalam nada yang lebih rendah kali ini. "Dia buta?"

"Para dokter mengatakan itu akibat dari gumpalan darah di kepalanya. Saat semuanya menghilang, dia akan kembali normal. Butuh sekitar dua bulan; mungkin lebih, mungkin lebih cepat. Sampai saat itu—" dia terdiam, menghela napas berat yang membuat hatiku terasa sakit.

"Ini permainan menunggu?"

"Kurang lebih."

Keheningan kembali menyelimuti kami. Yang bisa kubayangkan, pada saat itu, adalah wajah Kaden. Aku mengingat bagaimana dia terlihat begitu sempurna dan sepertinya baru kemarin ketika aku berdansa dengannya di hari ulang tahunku yang keenam belas. Di bawah lampu temaram di tengah ruang dansa, matanya yang berbinar berwarna hijau, sorotannya yang lembut dan hangat, segalanya terasa begitu indah.

Aku bahkan tidak dapat mulai membayangkan bagaimana perasaan Kaden saat ini, ketika dia membuka mata hijaunya dan tak dapat melihat apa-apa selain kegelapan yang membentang hingga batas tak tersentuh.

Aku menarik napas dalam, gemetar dan memaksakan diriku untuk memikirkan Parker. Berita ini pasti menghancurkannya juga, meskipun dengan cara yang berbeda. "Kaden akan baik-baik saja," aku bergumam, tetapi kata-kataku sepertinya lebih dirancang untuk meyakinkan diriku dan bukannya untuk mendukung kakakku. "Dia kuat dan dia bisa melewati ini."

"Di situlah kau salah. Kebutaan parsial ini bisa ditangani. Masalahnya adalah kekasihnya."

"Dia memiliki kekasih?"

Bahkan ketika kata-kata itu keluar dari mulutku, aku sadar betapa konyolnya kalimat itu terdengar. Tentu saja dia memiliki kekasih. Dia adalah Kaden Bretton, pemilik salah satu perusahaan terbesar di negara ini. Berkat orang tuanya, dia menjadi miliarder ketika dia mengambil alih perusahaan pada usia dua puluh satu. Sekarang dia berusia dua puluh empat tahun dan, mengingat ketampanan dan pesona karismatiknya, dia bagai dewa yang hidup di antara makhluk fana lainnya. Gadis mana yang tidak menginginkannya?

Parker mengangkat bahu atas pertanyaanku. "Rupanya begitu. Evangeline White—dulunya dia adalah seorang model, saat ini terbaring di peti mati."

Aku mengerjap. "Apa?"

"Dia dalam kecelakaan mobil bersama Kade. Aku seharusnya bisa jauh lebih bersimpati, sayangnya aku bahkan tidak mengenalnya sama sekali. Aku bahkan belum pernah mendengar tentangnya sampai dia dinyatakan meninggal di rumah sakit." Parker berbicara dengan intonasi datar yang entah bagaimana serupa dengan pribadi profesionalnya sehari-hari, seolah dia sedang membahas kebijakan perusahaan baru atau kasus pengadilan terbaru. Rasanya agak aneh, kurasa, tetapi aku tidak bisa membuat diriku merasakan apa pun selain perasaan bersimpati untuk Evangeline. Tidak ada perasaan selain itu, karena dia benar-benar orang asing untukku.

Butuh waktu beberapa saat untukku bisa meresapi implikasi dari pernyataan Parker dan ketika aku memahami segalanya, aku menghela napas kasar.

"Kaden tidak tahu dia sudah mati."

"Ini akan mencabik-cabiknya ketika dia tahu," Parker menghela napas. "Rasa bersalah akan memakannya hidup-hidup."

"Jelaskan secara perlahan padanya. Mungkin sulit tapi dia akan belajar menerimanya pada akhirnya," aku menambahkan dan mendorong minuman yang kutahan sebelumnya kembali ke Parker karena aku sudah tahu semua yang ingin kuketahui.

Dia menghirup minumannya dengan lambat, seolah dia sudah bisa mengatasi masalah itu dan hanya berusaha mencari jalan keluar setelahnya. Namun, segalanya terlihat begitu kacau dan masa depan tampak suram untuk Kaden.

Setelah keheningan yang lama, Parker berdeham dan menurunkan minumannya. "Sebenarnya ada rencana," dia memulai dengan hati-hati. "Beberapa hari yang lalu, ibu Kade ingin bertemu denganku dan Nolan. Mereka mengusulkan sesuatu yang sedikit ortodoks ... tapi patut dicoba."

Aku tertarik. "Aku tertarik untuk mendengarnya."

"Mereka ingin menemukan seorang gadis yang bisa menyamar sebagai Evangeline dan berpura-pura menjadi kekasih Kaden setidaknya selama sebulan–"

"Itu benar-benar konyol."

"–sebelum nantinya mengakhiri hubungan mereka dengan baik-baik. Biarkan dia menerimanya dengan perlahan dan selembut mungkin dengan alasan bahwa mereka tidak mendapatkan restu untuk bersama. Gadis itu akan menghilang dari jangkauannya setelah itu, jadi Kade akan berpikir kekasihnya benar-benar pergi karena ingin menghindarinya. Tapi dia tidak akan pernah tahu bahwa Evangeline telah mati."

Ada jeda monumental setelah itu. Rencana itu tampak sangat menakutkan, hampir terdengar menggelikan. Namun, di saat-saat penuh keputusasaan seperti ini, biasanya dibutuhkan langkah-langkah putus asa lainnya dan, jelas, orang tua Kaden benar-benar sedang putus asa.

"Sejujurnya aku tidak tahu harus berkata apa," aku mengakui, ketika Parker terus menatapku, seolah dia sedang mengukur responsku. "Di satu sisi, ini akan menyelamatkan Kaden dari dunianya yang menyakitkan. Aku tahu alasan yang mendasari orang tuanya berpikir begitu, kurasa. Tapi di sisi lain, semua ini sedikit tidak berperasaan, bukankah begitu?"

"Apa yang kupikirkan tidaklah penting. Keluarga Bretton serius melanjutkan ini."

"Tapi bagaimana dengan Evangeline? Rencana ini benar-benar meremehkan kematiannya. Apakah tidak ada yang akan berduka untuknya? Dan apakah Kaden tidak akan pernah pergi ke pemakamannya?"

"Isla," kata Parker dengan lembut, "Evangeline sudah dikubur. Tidak ada upacara pemakaman untuknya. Keluarganya benar-benar hancur saat semua itu terjadi dan mereka merahasiakan berita kematiannya dengan baik dari pers. Aku tidak tahu seluk-beluknya, tapi rupanya mereka setuju dengan keluarga Brettons tentang masalah ini."

"Aku masih berpikir mereka benar-benar gila."

"Aku juga, tetapi kalau itu bisa berarti menyelamatkan Kaden dari perasaan patah hati dan rasa bersalah seumur hidupnya, aku setuju," Parker mengetukkan jari-jarinya ke meja dengan irama yang tidak teratur sebelum menampilkan senyum canggungnya. "Satu-satunya masalah sekarang adalah menemukan gadis yang tepat. Dia haruslah aktris yang brilian dan bisa memainkan peran dengan sempurna, tapi bagaimana caranya agar kita tahu bahwa dia bisa dipercaya?" Dia menggelengkan kepalanya, "kita semua masih terjebak dalam persoalan itu."

Aku pernah melihat Parker dalam banyak fase sebelumnya. Kehilangan, getir, takut, marah. Namun, ini adalah sesuatu yang baru. Dia terjebak pada masalah yang menuntut solusi segera dan yang bisa kupikirkan adalah bagaimana aku bisa membantunya. Dia selalu ada untukku berkali-kali sebelumnya. Tidak bisakah aku membantunya kali ini saja?

Sambil tersenyum masam, aku menyentuh tangannya dengan lembut. "Kau selalu bisa memilihku."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro