01 | anacrusis
0 1
a n a c r u s i s
[Lat] Sebuah not atau sekelompok not yang mendahului birama pertama.
DI HARI ULANG TAHUNKU yang keenam belas, ibu tiriku—Rosemary membuang satu-satunya buku koleksi dongengku. Katanya buku itu sudah berdiam terlalu lama di loteng hingga terselimuti debu, tetapi aku tahu, dia hanya tidak menyukai cara bagaimana ibu tiri sering digambarkan di dalam buku-buku dongeng. Ibu tiri Cinderella, misalnya, yang karakternya dibuat benar-benar jahat.
Aku ingin memberi tahu Rosemary bahwa buku Cinderella yang kumiliki sesungguhnya adalah versi Grimm Brothers—Aschenputtel. Namun, setelah aku berpikir lebih dalam sekali lagi, Aschenputtel adalah kisah yang jauh lebih mengerikan daripada versi Disney yang umum diketahui. Sebagai contoh, di versi ini kedua saudara tiri Cinderella memotong bagian kaki mereka agar sepatu kaca itu pas untuk dikenakan dan pada akhir kisah, mata mereka menjadi buta karena serangan merpati. Aku tidak pernah berharap cerita fiksi seperti ini akan menjadi kenyataan, terutama pada Parker yang kucintai melebihi dunia ini.
Terlebih yang diinginkan Rosemary hanyalah menyingkirkan gagasan atau prasangka buruk apa pun yang kumiliki tentang ibu tiri. Jadi aku membiarkannya, hanya menyaksikan dengan sedih ketika dia berjalan menuruni tangga sambil mengangkut kantong hitam dengan Aschenputtel terbaring di atas tumpukan barang-barang yang tak dibutuhkan lagi. Dia membuangnya ke sisi lain taman, tempat dikumpulkannya sampah-sampah.
Dan seperti itulah.
Suasana hatiku agak suram untuk sisa hari itu. Sebagian dari diriku merasa antusias karena akhirnya aku berusia enam belas tahun—setiap anak ingin tumbuh dengan cepat, ingin berdiri dan mencapai puncak dunia, dan menguasai segalanya yang berada di bawah kaki mereka. Namun, bagian lain dari diriku rasanya hanya ingin bermuram durja. Sepertinya sisa-sisa kenangan masa kecilku telah ikut terbuang bersamaan dengan buku koleksi dongeng terakhirku. Dan walau aku sangat tidak menyukai Cinderella, rasanya selalu menyenangkan untuk menyimpan semacam fantasi liar tentang seorang pangeran yang akan datang lantas berlutut di hadapanku suatu hari nanti.
Namun Parker mengubah segalanya menjadi lebih baik ketika dia pulang ke rumah hari itu setelah menyelesaikan pekerjaan dengan membawa boneka beruang berukuran raksasa yang nyaris saja tidak bisa melewati pintu rumah kami.
"Kiriman khusus untuk tuan putri kesayanganku," katanya dan menyeringai, matanya yang kelabu berbinar-binar di bawah lampu teras yang redup.
Biasanya, aku akan mengklasifikasikan diriku sebagai orang yang relatif tenang, tetapi kakak tiriku ini baru saja membelikanku boneka beruang yang merupakan hadiah sempurna untuk anak berusia tiga tahun; walau begitu aku tahu dia telah berusaha sangat keras untuk ini, karena sementara beruang itu memegang bantal merah di antara kedua tangannya, di atas bantalnya tersemat sebuah gelang charm.
Aku tidak bisa menahan teriakan memekakkan telingaku saat berlari melintasi koridor dan menerjang ke dalam pelukan Parker. Dia menangkapku dengan mudah dan langsung mengayunkan tubuhku ke udara seolah-olah aku seringan bulu, sebelum menarikku ke dalam pelukan erat. Aku melingkarkan lenganku di lehernya dan tertawa. "Terima kasih, terima kasih, terima kasih," semburku. "Tapi kau seharusnya tak perlu memanjakanku, sungguh."
"Para putri ditakdirkan untuk selalu dimanjakan," balasnya dengan penuh kelembutan seperti yang selalu dilakukannya, dan menurunkan tubuhku. "Selamat ulang tahun, adik kecil."
"Terima kasih," gumamku lagi seraya memeluk boneka beruangnya kali ini, lantas menyelipkan gelang charm yang ada di atas bantalnya di pergelangan tanganku. Sejauh ini hanya ada sebuah charm menggantung di sana—angka 16 kecil dalam emas putih—tetapi aku cukup yakin, Parker akan menambahkan lebih banyak charm nantinya. "Ini hadiah yang luar biasa," komentarku, mengerutkan hidungku ketika sebuah pikiran melintasi kepalaku, "kau hanya perlu memberiku charm dengan angka baru setiap tahunnya dan menganggapnya sebagai hadiah."
Parker berdecak ketika dia menutup pintu dan menyampirkan mantelnya di atas dudukan. "Kau baru saja menghancurkan rencanaku tentang semua hari ulang tahunmu di masa depan," gerutunya dan aku tertawa. "Aku ingin kau tahu, aku menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan ini."
"Kau pintar, aku akan memujimu untuk yang satu itu," aku mengakuinya, "tapi aku masih lebih pintar." Parker baru saja akan memulai perdebatan ketika ayah dan Rosemary memasuki lorong dan aku segera menuju ke arah mereka, menyeret beruang raksasa di belakangku. "Coba tebak apa yang diberikan Parker padaku."
ayah dan Rosemary menoleh saat mendengar suaraku. Beruang itu terlalu besar, terlalu sulit untuk disembunyikan untuk membuatnya luput dari perhatian mereka dan ayah spontan tertawa sementara Rosemary ternganga.
"Apa-apaan itu?" Rosemary berseru.
"Ini pengawalku," aku terkikik, melingkarkan lengan beruang di sekelilingku. Aku sama sekali tidak pendek, tetapi beruang ini masih menjulang tinggi di atasku. "Tinggal membekalinya dengan senjata dan rompi anti peluru dan dia akan siap untuk tugasnya."
"Ngomong-ngomong soal itu," terdengar suara Parker dari belakangku, "apakah kita memiliki rencana untuk malam ini? Karena aku ingin mengajak Isla keluar."
Telingaku langsung bersemangat saat mendengar kata-katanya karena tempat yang menjadi pilihan Parker selalu menyenangkan. Entah karena itu atau memang akunya saja yang terlalu mudah merasa senang, tetapi apa pun alasannya, aku tidak sabar untuk mengetahui apa yang ada di dalam pikirannya.
Aku menatap ayah dengan sorot penuh permohonan dan dia tersenyum padaku sebelum mengedikkan bahunya. "Kue ulang tahun dan perayaan biasanya, tapi kita selalu bisa melakukannya besok-besok."
"Itu kalau kita masih hidup besok," tambah Rosemary, dengan sikap acuh tak acuh seperti biasanya yang sering membuatku tertawa. Dia memang sarkastik dan cerdik dalam segala hal, tetapi aku sudah terbiasa dengannya sehingga aku selalu menganggapnya lucu. "Karena pengawal Isla sepertinya tidak keberatan untuk menyantap kita semua sebagai hidangan sarapan paginya."
Mata Rosemary mendelik dan aku nyengir. Wanita itu sering kali terlalu serius dan hampir tidak pernah tersenyum, tetapi itu memang sudah menjadi pembawaan naturalnya. Dia adalah pengacara sukses pada masanya; seorang ibu tegas dan tak pernah berbasa-basi yang kini memupuk harapan tinggi untuk putranya. Parker suatu hari nanti akan mengikuti jejaknya, kurasa. Namun, aku cukup senang kakakku itu belum kehilangan sifat kekanak-kanakannya atau melampaui momen ketidakdewasaan sejauh ini.
Dia sekarang berbicara dengan orang tua kami, dan kupikir dia mungkin sedang memberi tahu mereka tentang harinya di sekolah. Aku memutuskan untuk pergi mendahuluinya. Tidak mudah membawa beruang ini ke atas, tetapi suara Parker tiba-tiba menghentikanku.
"Hei, Isla!"
Aku membungkukkan tubuhku di samping susuran tangga untuk menatapnya. "Iya?"
"Ini acara formal. Itu artinya tidak ada orang amatir," tambah Parker, nyengir ketika aku spontan mengerang sebagai balasan.
Menggerutu pelan, aku berjalan kembali ke kamarku dan menutup pintu di belakangku. Aku menemukan tempat yang cocok untuk boneka beruangku—di antara meja samping tempat tidur dan meja belajar—dan menyadarkannya di dinding. Aku segera melepas seluruh pakaianku, hanya menyisakan bra dan celana dalam. Lantas membuka pintu lemari pakaian dan menatap kosong ke tumpukan pakaian di dalamnya.
Aku belum pernah pergi ke banyak acara formal sebelumnya. Rosemary tidak pernah mengajak ayah atau aku; karena alasan sederhana yaitu ayah dan aku adalah semacam paket terikat dari perselingkuhan di luar pernikahannya. Ini rumit, serumit kehidupan orang kaya pada umumnya, tetapi untuk menyederhanakannya—Rosemary adalah tropaeum uxor (istri trofi) Martin Collins, tetapi wanita itu bersama ayahku telah saling jatuh cinta selama hampir enam tahun sekarang.
Martin tahu tentang ini tetapi dia tidak peduli, selama mereka bisa menyembunyikannya. Parker pernah berkata bahwa ayahnya juga tidak berada di posisi yang tepat untuk menghakiminya, karena Martin juga memiliki serangkaian perselingkuhan sampai dia jatuh sakit setahun yang lalu. Baik Rosemary dan Parker mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya sejak itu.
Aku cukup mengerti situasinya, kurasa, tetapi ada saat-saat di mana ketika aku melihat kursi Parker kosong atau ayahku di dapur membuat makan malam tanpa Rosemary, dan aku merasakan sesuatu di dalam hatiku bagai ditarik keluar secara paksa. Martin adalah bom waktu yang hanya tinggal beberapa bulan lagi. Aku sama takutnya dengan Rosemary dan Parker kala membayangkan pria itu sekarat—meskipun dalam artian yang sangat berbeda.
Ketika dia akhirnya pergi dari dunia ini—selanjutnya apa? Apa yang akan terjadi pada kami berempat? Apakah Rosemary akan tinggal di sini dan menikah dengan ayah secara sah?
Dia bisa saja melakukannya—kami semua tahu dia sanggup melakukan itu—tetapi itu artinya dia akan menjadi Moore dan bukan lagi Collins, dan nantinya tidak akan memiliki kuasa atas saham atau—katakanlah apa pun di perusahaan. Rosemary bisa saja menyerahkan semuanya demi cinta, kurasa, tetapi akankah dia berpikir cinta selama enam tahunnya ini layak untuk ditukar dengan kehidupan penuh keberuntungannya?
Aku tidak suka memikirkan jawabannya.
Jadi, aku berusaha dengan kuat mendorong gagasan itu dari pikiranku, aku memilah-milah sekian banyak gaun malam yang kumiliki—semua berkat Rosemary, yang selalu memastikan lemari pakaianku terisi dengan baik selama bertahun-tahun. Apa pun naluri keibuan yang tidak dimilikinya, Rosemary akan mengimbangi itu dengan memberi banyak materi dan selama bertahun-tahun ini aku cukup paham—itu adalah caranya menunjukkan kasih sayang.
Memilih gaun sabrina berwarna putih yang menarik perhatianku dalam sekejap di antara sekian banyak gaun malam berwarna hitam, biru tua, dan hijau, aku mengenakannya sebelum kemudian mengenakan sepasang sepatu hak tinggi berwarna perak. Selebihnya serba sederhana—riasan ringan yang kupelajari sendiri dari video Youtube; rambutku yang berwarna kastanye diikat dengan kucir kuda tinggi; tanpa aksesoris lain selain gelang charm dari Parker.
Aku memutuskan bahwa aku sudah siap. Entah mengapa memandang ke cermin selalu memberiku perasaan mual, tetapi pada akhirnya aku tetap melirik sekilas ke cermin kamar mandi dan memaksakan diriku untuk tersenyum—yang mana lebih tampak seperti sedang meringis, remaja enam belas tahun mana yang tidak canggung di saat-saat seperti ini?
Parker sudah mengenakan setelan yang baru saja disetrika saat aku turun. Dia sedang membaca buku dari salah satu mata pelajaran di kampusnya; kerutan kecil terukir di antara alisnya. Aku menghela napas. Dia baru berusia sembilan belas tahun, tetapi dia sudah terlalu serius dan dewasa untuk usianya. Terkadang kurasa sepertinya dia tumbuh terlalu cepat.
"Di mana kereta labu dan pengawal tikusku?" Tuntutku main-main saat aku meniti tangga dengan susah payah. Baru dua menit berdiri di atas heels ini dan aku sudah merasa seperti sedang berjalan di atas egrang selama berjam-jam. Siapa pun yang mengatakan bahwa cantik itu sakit, dia sangat benar. Namun, aku berusaha tetap tersenyum cerah, senyumku sering kali berhasil menular pada wajahnya juga. "Cinderella membutuhkan rombongannya."
Parker mengangkat alisnya seakan menggoda ke arahku. "Aku memiliki limusin panjang yang sedang menunggu di luar sana, tetapi jika kau ingin labu, aku akan mencari tahu apakah ibu masih memilikinya di dapur."
Aku memelototinya dan dia menyeringai. Mata abu-abunya bergerak menyapu gaunku sebelum dia mengangguk setuju.
"Kau terlihat cantik," katanya dengan tulus, "dan aku tidak mengatakan ini hanya karena ini hari ulang tahunmu atau karena kau adik perempuanku."
Mendengar itu darinya, aku tahu itu adalah pujian yang sangat tulis. Dia selalu sopan, tetapi juga jujur, dan dia tidak pernah memujiku kecuali dia bersungguh-sungguh. Dia mengulurkan lengannya kepadaku dan aku menyelipkan tanganku di lekukan sikunya. Langkah kakiku tidak stabil karena heels payah ini dan aku agak khawatir kalau aku telah menancapkan kuku-kuku milikku ke lengannya agak terlalu dalam dari yang sewajarnya. Namun sekali lagi, kalaulah dia merasakan rasa sakit atas apa pun, dia pasti akan menyembunyikannya.
Parker dan aku terus mengobrol dengan seru di sepanjang perjalanan. Aku memberi tahu dia tentang proyek sekolahku dan kelas akting, sementara dia membuatku bosan dengan kelas-kelasnya sendiri di kampus. Katanya, itu adalah perbincangan yang sepadan untuk semua persoalan remeh gadis remaja yang selalu kuceritakan padanya setiap hari.
Aku terkejut ketika mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti. Sopirnya membukakan pintu untuk kami dan aku keluar dengan terhuyung, melihat sekeliling dengan bingung. "Di mana kita?"
"Apakah kau ingat, waktu kecil, kau selalu ingin pergi ke pesta dansa?" Ketika aku mengangguk kebingungan, senyumnya melebar dan dia menunjuk ke bangunan di depan kami. "Nikmati dunia dongengmu, tuan putri."
Rahangku terjatuh. "Kau menyelenggarakan pesta untukku?"
"Aku tidak melakukan semua itu," dia menjelaskan, dengan agak malu-malu, "kau tahu Stella? Gadis yang pestanya dulu kuhadiri di SMA? Dia mengadakan pesta terbaik dan aku menghubunginya agar bisa membuat ini untukmu."
"Tapi teman-temanku memberitahuku bahwa aku akan mengadakan pesta pada hari Sabtu—"
"—ini pesta yang berbeda," Parker menyelaku dengan lembut, dengan senyum meyakinkan. "Ini kamuflase, jadi tidak ada seorang pun di sini yang sebenarnya tahu ini hari ulang tahunmu; aku tahu kau membenci keriuhan semacam ini. Mereka datang ke sini karena mereka pikir ini acara amal—yah itu benar; ini memang acara amal untuk pembangunan tempat penampungan tunawisma dan beberapa rumah sakit yang didanai secara pribadi. Dan aku tahu kau selalu ingin aku melakukan sesuatu yang berhubungan dengan acara amal jadi ini adalah salah satunya. Tapi konsep pestanya juga adalah abad pertengahan, dansa dan musik yang lembut, seperti yang selalu kau inginkan."
Seketika aku merasa begitu terberkati, kehabisan kata-kata dan rasanya seolah ada gumpalan besar di tenggorokanku. Aku tidak tahu apakah aku harus menangis karena aku sungguh tersentuh, atau berterima kasih kepadanya sedalam-dalamnya dan berjanji untuk serius memberinya sebuah hadiah pada hari ulang tahunnya nanti, daripada membelikan sebungkus keripik bodoh lagi dan membaginya sebagai hadiah.
Aku pasti tampak seolah sudah sangat siap untuk menangis, karena Parker kini menyeringai. "Kalau kau ingin meraung, aku akan pergi dari sini."
"Kau menyebalkan," aku mendengus, mengalihkan pandangan darinya ke arah pintu masuk utama. Sangat jelas acara di sana adalah acara formal, terlebih para pria dengan tuksedo yang berdiri di ambang pintu sebagai indikasinya. Orang-orang masih hilir mudik, tetapi sekarang jumlahnya semakin sedikit dan aku menduga acara itu pasti sudah dimulai sejak beberapa waktu yang lalu.
Parker menarik lenganku. "Ayo, bayi besarku."
Aku mengikutinya berjalan ke gedung dan aula utama, tempat pesta itu berlangsung lancar. Kemudian aku berhenti dan menatap dengan heran. Aku belum pernah ke pesta-pesta seperti ini sebelumnya, jadi aku tidak memiliki pengetahuan apa-apa untuk membandingkannya, tetapi pesta ini terlihat sangat menakjubkan. Mataku menyapu seluruh penjuru ruangan, berhenti sejenak untuk mengagumi lampu gantung yang indah di atas sana yang dilengkapi dengan lampu redup yang sempurna. Tempat ini didekorasi dengan warna-warna pastel, biru dan lavender muda, serta warna krim yang lembut. Sepertinya juga ada cukup banyak makanan untuk memberi makan satu atau dua pasukan; dan apakah itu fountain cokelat di sudut sana? Ah, tentu saja, dengan bagian depan dan tengah yang sudah diatur menjadi area berdansa untuk para pasangan dengan irama selembut sutra dari sekelompok pemusik yang dimainkan secara langsung.
"Jadi apa yang kau pikirkan?" Terdengar suara Parker dari sampingku. Dia menyelipkan sebuah gelas flute ke tanganku, cairan oranye mencolok di sana sangat kontras dengan gelas berisikan cairan berwarna merah gelap di tangannya.
"Bagaimana menurutku?" Aku mengulangnya, sedikit keras. Secara keseluruhan segalanya tampak sangat mewah dan sempurna, aku tidak bisa lebih bahagia lagi. "Katakan pada Stella bahwa dia telah mengalahkan dirinya sendiri, dan terima kasih untuknya. Dan terima kasih juga, karena aku tahu semua sentuhan kecil ini benar-benar dirimu."
"Asal kau bahagia, putri," dia membalasnya dengan ringan. Parker mengarahkanku ke tempat duduk kami dan aku duduk, segera melepas heels yang kukenakan di bawah meja. "Ngomong-ngomong, aku harus meninggalkanmu selama beberapa menit—kepala salah satu penerima acara amal kami ingin berbicara denganku. Apakah kau akan baik-baik saja sendirian untuk sementara waktu?"
"Tentu saja. Aku akan bersenang-senang dengan diriku sendiri, jangan khawatir tentangku."
"Aku hanya akan berada di sekitar sana," dia menunjuk ke ceruk kecil tempat beberapa pria berjas hitam berbicara. Aku mengangguk dan dia berdiri. "Jangan jatuh ke fountain cokelat itu," ujarnya dari balik bahunya, dan dia langsung berbalik sebelum aku sempat memberinya jari tengah secara sembunyi-sembunyi.
Aku mengenakan heels-ku lagi. Aku harus berkeliling. Peluang seperti ini hanya datang sekali seumur hidup. Tidak setiap hari aku bisa melenggang di acara formal semacam ini tanpa orang bertanya-tanya apakah aku ada di sana untuk menimbulkan masalah.
Pemberhentian pertamaku adalah fountain cokelat tadi—karena ini benar-benar air mancur cokelat, dan tidak akan ada orang yang bisa mengabaikannya. Melenggang langsung ke arah sana, menyiramkan cokelat di atas stroberi dan kue red velvet, dan terus menikmatinya seakan tak ada hari esok. Orang itu adalah gadis enam belas tahun ini, diriku.
Aku begitu asyik menunaikan misiku hingga tidak menyadari kehadiran seseorang di belakangku, sampai akhirnya aku mendengar satu suara maskulin berkata, "Aku tidak tahu apakah itu stroberi yang dicelupkan ke dalam cokelat atau cokelat yang dicelupkan ke dalam stroberi."
Aku berputar dengan cepat, mata melebar dan garpu yang jatuh ke piring saat menyadari tidak hanya satu, bukan juga dua, tetapi tiga orang berdiri di belakangku. Laki-laki yang sebelumnya bertanya itu tampak menahan geli, tetapi kedua laki-laki lainnya tampak agak pasif.
"Cokelat yang dicelupkan ke dalam stroberi," kataku, lantas memaksa bibir yang terkatup rapat ini mengulas senyuman di wajahku. Jangan sampai aku memperlihatkan jejak cokelat apa pun menempel di gigiku. "Cokelat harus selalu menjadi bahan utama."
Laki-laki itu menyeringai lebar. "Aku sepenuhnya setuju. Sekarang minggirlah, Sayang, karena aku juga butuh menikmati cokelatnya."
Aku dengan cepat mengambil beberapa langkah ke belakang, jengah ketika menyadari diriku ternyata terlalu memonopoli fountain ini. Berdiri agak ke samping, dengan punggung menempel di dinding, aku menikmati waktuku dengan menyantap sisa kue yang sudah basah kuyup dengan cokelat di atas piringku.
Yang membuatku cemas, laki-laki itu segera melenggang ke arahku setelah mengambil piring baru bersama dua laki-laki lainnya. Mereka semua terlihat ramah, tetapi aku sama sekali tidak bermaksud menarik perhatian pada diriku.
"Pesta yang brilian, bukan?" kata laki-laki yang sama, rambut ikalnya yang pirang jatuh ke matanya saat dia berbicara. Aku senang saat yang lainnya tidak memperhatikanku karena mereka sepertinya sedang dalam perbincangan seru sendiri. "Aku berharap ada lebih banyak fountain cokelat di sini, tentu saja, karena tampaknya kita akan kekurangan," dia menatapku dengan tatapan penuh makna dan aku tersipu malu.
"Aku tidak akan memakan semuanya," aku membela diri, "hanya saja aku belum pernah melihat yang seperti itu sebelumnya."
"Kau tamu istimewanya kalau begitu?" Ini diucapkan oleh salah satu temannya dan aku terlambat menyadari bahwa meskipun mereka tampaknya tidak tertarik, mereka dapat mendengarku juga.
"Tentu saja," aku sedikit melambaikan tangan, lalu memindai cepat ke seluruh penjuru ruangan untuk mencari Parker. Aku tidak keberatan dengan keberadaan para laki-laki ini karena jelas mereka hanya ingin bersikap ramah, tetapi ini akan menjadi masalah. Mereka berusaha mencari tahu dari mana aku berasal dan aku tidak seharusnya mengungkapkan bahwa aku adalah saudara tiri Parker.
Itu adalah perjanjian tak terucapkan ketika Rosemary dan Parker mulai tinggal bersama ayah dan aku. Bayangkan apa yang akan dipikirkan dunia jika mereka tahu bahwa Rosemary Collins, istri terhormat pengacara para selebritas terkenal Martin Collins, memiliki keluarga lain? Baik ayah maupun aku tidak ingin menanggung beban akibat serangan pemberitaan itu.
Sayangnya, Parker tidak ditemukan di mana pun dan aku hanya bisa menekan diriku lebih rapat ke dinding ketika seseorang lainnya bertanya kepadaku, "dari keluarga manakah kau berasal?"
Ya, aku dalam masalah. "Um, yah. Aku lebih tepatnya hanya tamu undangan—semacam itu di dalam daftar, tetapi bukan bagian dari organisasi mana pun—" Aku terhenti ketika sesosok bayangan mendekati kami. Bukan Parker, seperti yang kuharapkan, tetapi sesosok laki-laki yang lain.
Dengan wajah serupawan malaikat; mata tajam, cerdas dan rambut hitam acak-acakan; dia sangat tampan, tipikal para pembuat patah hati. Ada karisma tertentu darinya yang membuatku langsung menyadari bahwa dia adalah seseorang yang penting. Seseorang yang sangat penting—mungkin bahkan lebih dari Parker, yang tidak pernah menghiraukannya. Dia tampak agak familier, seakan aku pernah melihatnya sebelumnya, meskipun tidak dalam kehidupan nyata.
"Aku benar-benar minta maaf karena menyela," dia sama sekali tidak terdengar bersalah dan aku bisa melihat ekspresi sinis di wajahnya, "tetapi apakah ada di antara kalian yang ingin mengajak gadis ini untuk berdansa?" Ada sesuatu yang janggal dalam nada bicaranya, seolah dia mengintimidasi mereka semua untuk mengatakan hal sebaliknya.
Mereka tidak menjawab. Sebagian besar dari mereka bergerak mundur, kecuali laki-laki berambut pirang yang hanya tersenyum. "Kau merusak semua kesenanganku, Kade," katanya, dengan cara berlebihan yang membuatku tersenyum tipis. Di alam semesta paralel lain, mungkin, kita bisa bersahabat. Tapi tidak ketika aku masih menjadi rahasia kecil Rosemary.
Laki-laki bernama Kade itu tidak tampak geli. "Well, ya, Parker ingin bicara sebentar denganmu."
"Dasar sialan," si rambut pirang itu bergumam pelan sebelum menjauh.
Aku hampir tertawa. Aku sangat tergoda untuk mengungkapkan bahwa Parker, orang yang baru saja dihinanya, adalah kakak tiriku.
"Jadi?" Suara Kade menembus pikiranku begitu tiba-tiba dan pandanganku bergerak cepat untuk menemui tatapannya. Dia melontarkan setengah senyuman, setengah seringai yang menggerakkan semacam emosi aneh di dalam diriku yang rasanya terlalu rumit untuk didefinisikan. "Aku masih menunggu jawabanmu."
Aku menelan ludah. "Aku—" suaraku kecil, "—aku tidak tahu bagaimana caranya berdansa, jujur saja."
Mengambil dua langkah cepat ke depan, dia mengambil alih piring dari tanganku, meletakkannya di atas meja di samping kami. Aku tidak bisa tidak memperhatikan, bahwa bahkan dengan sepatu berhak setinggi ini, tinggiku tak bisa mencapai dagunya. Bahunya lebar dan harum tubuhnya adalah sesuatu yang segar.
"Aku akan mengajarimu," gumamnya pelan dan mengulurkan tangannya.
Aku menatapnya dengan ragu. Aku memiliki dua pilihan untuk menjawabnya. Aku bisa mengatakan tidak dan berlari kembali menuju Parker, menghabiskan sisa malam itu dengannya dan menertawakan para gadis yang memiliki selera mode konyol atau para laki-laki yang mendapat penolakan terlalu dini.
Atau ini bisa disebut semacam momen inisiasi untuk menjadi orang dewasa. Setiap orang berdansa setidaknya sekali dalam hidup mereka. Aku bisa menganggap ini sebagai semacam kisah dongengku. Hanya untuk yang terakhir kalinya, sebelum aku tumbuh dewasa.
Jadi aku mengambil napas dalam-dalam dan menyelipkan tanganku ke tangannya. Jari-jarinya menggenggam tanganku dengan lembut, seolah aku adalah boneka rapuh yang dibuat untuk dipatahkan. Saat dia membawaku menuju ke lantai dansa, lampu-lampu gemerlap memendarkan berbagai gradasi setiap warna; alunan piano lembut menggema di dinding dengan nada-nada manis yang menenangkan; aku tidak bisa tidak terhanyut dalam keajaiban semua itu.
Sangat mudah untuk terjebak ke dalamnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro