Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 27. Masa Lalu Arzan

Happy reading, Genks😘

🌷🌷🌷

Arzan menatap Miya bersamaan dengan wanita itu bepaling. Pandangan mereka bertemu. Sesaat kemudian Arzan tersenyum kecil. “Just ask. I guest, you have so many question about me in your head.” Lelaki itu sudah menduga sejak menjemput Miya, wanita itu memandangnya sedikit berbeda. Dee pasti sudah membocorkan rahasia kecilnya, pikir Arzan.
Miya menimbang sejenak. Tebakan Arzan benar seratus persen. Sejak Dee menceritakan tentang masa lalu Arzan, hatinya dipenuhi tanya. Gelombang penasaran menghantamnya hingga Miya melupakan permasalahannya sendiri. Pada akhirnya bibir yang selama ini terkunci pun melepas tanya kepada lelaki di balik kemudi. “Benarkah yang dikatakan Mbak Dee?”
Yah, Miya memanggil psikiater wanita yang terpaut jarak tiga belas tahun darinya itu dengan sebutan Mbak. Panggilan khas Jawa seperti asal Deanira Sukmawati, nama panjang Dee.
“Yup,” angguk Arzan sambil melirik Miya. Pandangan Arzan kembali menekuri jalanan di hadapannya. Sesampainya lampu merah, lelaki itu menghentikan mobilnya. Mengembuskan napas panjang, memori Arzan terbang pada masa terburuk hidupnya. Bayangan seorang gadis berambut panjang dengan wajah sendu menari-nari dalam ingatannya. Wanita lembut yang menemani hari-harinya semenjak kuliah.
It’s a long strory ....” Arzan memulai kisahnya bersamaan dengan lampu yang menyala hijau, dia melajukan mobilnya perlahan. “Aku bahkan sudah berencana melamarnya saat itu. Kami sudah pacaran lama, sejak kuliah. Setelah mendapat gelar dokter, aku begitu berambisi mengejar karier dan uang. Aku hanya ingin membahagiakan Alesha. Menikahinya dengan memberi kehidupan yang mapan dari sendiri.”
Miya menyimak setiap ucapan Arzan. Dia menangkap kegetiran dari suara laki-laki berkaca mata itu.
I’m sorry ... is it okay ... ber-aku kamu?” tanya Arzan menunjuk dirinya sendiri yang langsung diangguki Miya. Dia pun melanjutkan ceritanya. “Aku begitu sibuk sehingga tidak memperhatikan perubahan yang terjadi pada Alesha. Dia terlihat lebih kurus. Tapi ketika aku bertanya, Alesha hanya berkilah kelelahan karena mempersiapkan skripsinya. Yah, aku berencana melamarnya setelah lulus. Hingga suatu saat, dia pamit akan liburan ke US dengan mamanya ke rumah tantenya yang tinggal di sana.”
Arzan terdiam sejenak. Berkali-kali menghela napas guna meredam dadanya tiba-tiba menjadi sesak. Laki-laki itu melepas kaca matanya dan mengusap ujung matanya sekilas. “Aku bahkan tidak curiga ketika dia bilang mau memperpanjang liburan. Kami bahkan masih rutin bertukar kabar lewat telpon. Alesha selalu bisa memberi alasan logis tiap kali aku bertanya kenapa suaranya begitu lemah. Cuaca dingin karena salju, alasan habis menangis karena kangen and many other logical reason. Dan aku seperti orang bodoh yang percaya saja karena tawa Alesha tidak pernah berubah. Dia selalu tertawa riang tiap kali telpon.”
Shit!” Tiba-tiba Arzan memukul kemudi dengan geram hingga tanpa sengaja klakson berbunyi nyaring. Hal itu membuat Miya terkejut dan secara refleks memegang lengan Arzan yang terbalut jaket. Wanita itu mencengkeram lengan jaket Arzan hingga membuat Arzan merasa bersalah.
Arzan menepikan mobilnya di sebuah coffe shop terdekat. Dia membuka seat belt seraya berpaling ke arah Miya. “Aku bener-bener butuh kafein sekarang. Is it okay? Aku akan bilang ke Tante Riana kalo kita akan terlambat.”
Laki-laki berjaket hitam itu turun dari mobil dan berjalan memutar untuk membukakan pintu Miya. Keduanya beriringan masuk ke kedai kopi bernuansa industrial. Ruangan kafe yang luas dengan dominasi warna abu-abu dengan aksen hitam di pilar-pilarnya ditambah langit-langit yang tinggi menjadikan tempat nongkrong yang estetik.
Arzan mengajak Miya duduk di meja yang terletak di sudut ruangan. Beruntung kafe belum terlalu ramai sehingga mereka lebih leluasa berbicara. Setelah pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi, keduanya saling bertemu pandang. Miya menunggu laki-laki itu bicara dengan rasa penasaran yang membuncah.
Arzan memerlukan waktu beberapa saat sebelum melanjutkan ceritanya. Matanya memejam sejenak. “Alesha begitu pintar menyembunyikan kebenaran. Dia ternyata sakit parah. Alesha ... mengidap kanker ovarium stadium lanjut. Dan ... aku baru tau setelah dia pulang dalam keadaan ... tak bernyawa.” Suara Arzan begitu lirih dan bergetar. Tangannya mengepal erat. Gelombang amarah dan tusukan rasa bersalah kembali menyerangnya. Dia berkali-kali berusaha mengembuskan napas panjang seraya beristigfar lirih.
Miya tersentak. Dia membekap mulutnya dengan menggunakan kedua tangannya. Tangannya menjulur ingin menyentuh Arzan, namun ditariknya kembali. Dadanya dipenuhi rasa bersalah karena dirinya, Arzan membuka luka lamanya. “Ma-af ... aku nggak tahu. Sungguh ... maaf ....”
Arzan menatap Miya dengan sendu. Bibirnya tersenyum tipis. “No, it’s not your fault. Mungkin sudah saatnya aku membagi cerita ini kepada seseorang. Dee pernah bilang jika kamu sudah bisa menceritakan masa lalumu dengan lepas itu berarti kamu sehat. Waras istilah Dee,” kekeh Arzan dengan getir. “Shit! It’s happened five years ago. Tapi rasanya masih nyeri di sini,” tunjuk Arzan ke dadanya.
Please ... jangan memaksakan diri, Kak.” Pandangan Miya ikut memburam melihat kondisi Arzan.
Nope! Aku harus bisa cerita sampe selesai.” Arzan meyakinkan dirinya. Dia sudah melewati ini semua dan tidak akan kalah dengan perasaan sentimentil sialan ini. “Alesha ternyata pergi ke US untuk berobat dan dia tidak sampai operasi karena kondisinya yang terus menurun drastis. Sistem imun di tubuhnya melemah hingga akhirnya dia mengembuskan napas terakhirnya di sana.”
Obrolan mereka terjeda saat waiter datang membawa pesanan. Arzan meminta Miya agar mengisi perut terlebih dulu, namun langsung di tolak oleh Miya. Wanita itu memilih menyesap capuccino iced sedikit demi membasahi tenggorokan yang kering.
Arzan pun memilih meneguk sedikit americano miliknya dan melanjutkan percakapan. “Kamu bisa bayangkan betapa gilanya aku, saat tiba-tiba ditelpon mamanya Alesha mengabarkan bahwa dia telah meninggal. Saat dua hari kemudian jenazahnya datang, aku bener-bener sudah gila. Menangis histeris seperti orang kesurupan. Menyalahkan diri sendiri. Mengurung diri berbulan-bulan dan banyak hal gila lainnya. Alesha hanya meninggalkan sebuah surat permohonan maaf buatku,” lirihnya.
Miya tercekat sampai tak mampu berkata-kata. Dia sungguh tak menyangka bahwa kondisi Arzan dulu separah itu. Kehilangan orang yang kita cintai memang bisa menghancurkan dunia pasangannya.
“Makanlah. Sudah keburu dingin,” ucap Arzan seraya mendorong chicken steak yang mulai dingin ke hadapan Miya. Tak lama keduanya menikmati hidangan dalam diam. Tenggelam dalam pusara pikiran masing-masing.
Setelah selesai makan, Arzan segera mengajak Miya untuk pulang. Laki-laki itu teringat akan Ciara, dan merasa kasihan terhadap gadis kecil itu. Dia berharap Miya segera bisa membuka ruang hatinya dan bangkit kembali dari rasa terpuruknya. Ada jiwa kecil yang tak berdosa yang merindukan pelukan mamanya.
***
Jemari Miya bergerak dengan luwes menggoreskan sketsa busana dibantu dengan stylus pen di layar tablet. Petrikor menguar ke udara, jejak-jejak hujan terlihat di halaman. Miya mengeratkan kardigan yang dipakainya. Udara terasa lebih dingin meskipun hujan sudah berlalu sore tadi. Miya beranjak menuju jendela kamarnya, dan menutupnya.
Miya sungguh menyukai aroma tanah basah setelah hujan lebat yang mengguyur bumi. Sejak tadi, dia sengaja membiarkan jendela kamarnya terbuka lebar. Indra penciumannya dimanjakan oleh petrikor, sementara tangannya bergerak membuat sketsa busana pengantin muslim.
Waktu sudah jam delapan malam, Miya memutuskan untuk beristirahat sejenak. Tanpa terasa sudah dua jam, dia berdiam diri di sofa kamarnya dengan tablet di tangan. Rasa letih mendera tubuhnya, namun hatinya bahagia. Akhirnya, dirinya bisa kembali mendesain seperti dulu.
Setelah empat bulan menjalani terapi dengan Mbak Dee, hatinya lebih lapang. Pada akhirnya tablet pemberian Arzan bermanfaat, setelah beberapa lama hanya menjadi penghuni laci mejanya. Kini, hati dan otaknya bisa selaras kembali dengan jemarinya. Dalam dua jam, Miya bisa menciptakan dua rancangan uang berbeda. Rasanya sungguh menyenangkan.
“Mamaaa!” Pintu kamar terbuka dengan keras. Ciara langsung menghambur ke arah sang mama. Di belakangnya Riana berdiri bersandar di pintu yang terbuka sambil mengamati cucunya.
Miya merentangkan tangan dan menyambut Ciara dalam pelukan. Dia menciumi pipi gembil putrinya bertubi-tubi hingga Ciara terkikik geli. “Sudah mainnya sama Nenek?”
Gadis itu mengangguk cepat. “Cia ngantuk, mau bobok sama Mama,” rengek Ciara.
“Oke. Cia siap-siap sikat gigi dulu. Mama beresin ini sebentar, ya.” Miya kemudian membereskan buku-buku dan tablet yang tergeletak di sofa. Sebelum masuk kamar mandi, Miya menatap Riana dan bibirnya mengucapkan terima kasih tanpa suara.
Miya mengusap-usap kepala Ciara yang sudah terlelap sepuluh menit yang lalu. Tiba-tiba, sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Bibirnya tersenyum saat mengetahui sang pengirim pesan. Dengan cepat, Miya membuka laman percakapan.

Kak Arzan:
[How was your day?]
[Sori, belum bisa mampir. Agak hectic di rs]
Miya:
[Gak papa, Kak. Take your time]
Kak Arzan:
[Lusa aku antar ke Mbak Dee. Aku libur. Sekalian ajak Ciara main]
Miya:
[Oke]

Arzan tidak pernah lupa mengabsen Miya setiap hari. Setiap malam, lelaki itu pasti berkirim pesan atau meneleponnya sekedar memastikan keadaannya. Secara rutin, seminggu sekali mengantarkan Miya untuk berkonsultasi ke rumah Dee.
Bila ada waktu kosong, lelaki itu pasti muncul di rumahnya. Menghabiskan waktu bermain dengan Ciara maupun ngobrol dengan Riana atau Fadhil. Jika tidak, Arzan akan bercerita tentang apa saja dan Miya dengan tekun menyimak perkataannya. Dari situ, Miya jadi tahu bahwa Alesha adalah alasan Arzan mendalami patologi anatomi.
“Kenapa bukan bedah onkologi seperti Papa?” tanya Miya saat itu.
Cause I do love biochemistry so much,” tegasnya.
Miya merasa Arzan kini sudah menjadi dari bagian dari hidupnya. Serupa malaikat penolong, Arzan lah yang mengulurkan tali bagi Miya, hingga bisa merangkak dari lubang keterpurukan. Rasanya ucapan terima kasih tidak akan pernah cukup Miya berikan kepada Arzan.
***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro