Bab 20. Telepon Asing
Happy reading 😍
🌷🌷🌷
“Makasih, Kak,” ucap Miya sesaat sebelum membuka pintu mobil.
“Your welcome. Miya, I think you need a friend. I’m ready to be your firend. Someday, if you need someone to talk to. Just call me, okay?”
Miya terdiam. Keningnya mengernyit, menatap lelaki di balik kemudi itu dengan tajam sebelum menutup pintu dengan sedikit keras. Tanpa bicara langsung melangkah cepat masuk ke dalam rumah.
Arzan mengembuskan napas perlahan. Dia tahu, sikapnya sudah melewati batasan. Arzan memaklumi sikap Miya yang defensif. Entah apa yang dipikirkannya. Hanya saja sorot mata penuh luka yang berusaha disembunyikan wanita berhijab itu selalu saja menariknya untuk mendekat. Arzan merutuki dirinya dalam hati. Dia bahkan tidak tahu status Miya seperti apa.
***
Dada Miya bergemuruh menahan emosi. Mandi air hangat pun tak mampu meredam emosinya. Dia merasa perkataan dan sikap Arzan sudah melewati batasan.
Miya melangkah mendekati ranjang. Ciara sudah terlelap saat Miya sampai di rumah. Melihat putrinya yang terlelap seperti ini membuat rasa bersalahnya menyeruak. Hatinya sungguh berkecamuk. Rasa marah dan rasa bersalah mengimpitnya begitu dalam. Jiwanya amat lelah. Ingin rasanya menjerit menumpahkan semua emosi yang bersarang di dadanya.
Miya duduk di sisi pembaringan, tangannya terulur mengusap rambut ikal Ciara. Jemarinya menyelusup dan memainkan untaian mahkota sang putri dengan sudut mata yang basah.
Hampir dua minggu ini Miya pulang terlambat. Beban tugas kuliah dan praktikum, serta ujian akhir yang sudah di depan mata membuat waktunya untuk Ciara sangat berkurang. Kadang dia berpikir dan menertawakan kebodohannya sendiri. Menjadi boneka demi sebuah ambisi Dirga yang sangat menginginkan keturunannya berprofesi dokter.
Sambil mengusap kepala Ciara, ingatan Miya langsung melayang saat satu bulan yang lalu. Dia memutuskan untuk tidak kuliah selama tiga hari karena Ciara demam. Dirga yang mau berangkat ke rumah sakit langsung menegur Miya yang pagi itu menyuapi Ciara yang sedang bermain boneka.
“Kenapa nggak kuliah?” tanya Dirga dengan wajah dingin.
“Ciara demam, Pa. Sudah tiga hari—“
“Papa tahu Ciara sakit, mamamu juga sudah cerita. Papa lihat anakmu sudah membaik, harusnya kamu bisa kuliah mengejar semua ketinggalanmu. Lagi pula ada Mama yang jagain Ciara. Dia juga sudah dikasih obat, nanti juga sembuh.” Dirga menyorot tajam ke arah Miya.⁰
“Tapi, Pa—“
“Ah, sudah! Jangan beralasan. Ini masih pagi, sebaiknya kamu siap-siap berangkat kuliah.
Miya menatap papanya dengan pandangan tidak percaya. Wajah sang papa terlihat serius. Kata-kata yang sudah di ujung lidahnya kembali ditelannya bulat-bulat. Percuma mendebat seorang Dirga Hutomo yang sedang mengeluarkan titahnya. Miya hanya bisa terdiam saat Dirga memanggil Riana guna menjaga Ciara.
Suara ketukan pintu membuyarkan ingatan Miya. Tampak wajah Fadhil yang nyengir menyembul di balik pintu. Raut Miya langsung berubah masam melihat adiknya yang melangkah mendekat.
“Adek jahat! Ngapain nitipin Kakak ke orang asing?” dengkus Miya.
“Ma-af! Adek juga nggak tau kalo mobil tiba-tiba mogok. Lagian hape Kakak juga nggak bisa dihubungi. Malah Cia yang angkat.” Fadhil berusaha membela diri. “Lagian dokter Arzan baik, kok. Fadhil suka ngobrol sama dia orangnya ramah. Ganteng lagi.” Fadhil mengedipkan satu matanya berusaha menggoda Miya.
“Dek!” Miya mendelik ke arah Fadhil.
“iya, adek minta maaf.” Fadhil tidak berani melanjutkan pembicaraan lagi.
“Sebaiknya Adek keluar. Kakak mau istirahat. Capek.”
Melihat wajah sang Kakak yang sudah memerah menahan kesal membuatnya memilih diam. Kakaknya sekarang sangat sensitif. Fadhil tahu bahwa membicarakan laki-laki lain tidak disukai Miya. Dia kemudian melangkah keluar dari kamar dan menutup pintu perlahan.
Miya kemudian berbaring di sisi putrinya, seraya memeluk Ciara yang sedang nyenyak. Berulang kali mengecup pipi putrinya perlahan. Dia tersenyum melihat Ciara yang menggeliat pelan, dan berusaha merapikan selimut yang menutupi tubuh putrinya. Hal yang paling disukainya adalah memandang wajah Ciara yang damai seperti ini.
Bagaimana mungkin Miya bisa melupakan wajah Galen jika duplikatnya sedang terlelap di hadapannya. Rasa rindu kembali menghampiri dirinya. Gelombang kenangan membanjiri ruang memorinya. “Di mana kamu, Ga?” lirihnya dengan dada yang semakin sesak. Keletihan yang teramat sangat membuat manik Miya terasa berat dan merenggutnya ke alam mimpi.
“Mama kapan kita pulang? Cia mau ketemu Papa!”
Miya tersentak. Tangannya yang sedang menyisiri rambut Ciara langsung berhenti. Dia langsung duduķ bersimpuh di hadapan Ciara. Membelai pipi chubby dan mengecupnya sekilas. “Mama juga kangen Papa,” ucapnya seraya memeluk putrinya. “Kita pasti pulang, Sayaaang,” bisiknya berulang-ulang dengan lirih.
Miya tersenyum menatap putrinya yang menggemaskan dalam balutan rok berenda motif polkadot. “Cantik!” ucap Miya sesaat setelah memakaikan bando unicorn permintaan Ciara. Tangan Miya kemudian menggandeng Cia untuk bersiap turun untuk sarapan bersama. Wanita itu sudah siap dengan menenteng ransel berisi perlengkapan kuliahnya.
Langkah Miya terhenti saat mendengar suara ponselnya berdering. Matanya memicing mendapati nomor asing di ponselnya. Dengan enggan, dia mengusap layar dan mengucap salam.
“Mbak Miya ... Mami, Mbak,” lirih suara seorang wanita sambil terisak. “Mami meninggal tadi malam—“
“Bu Endang! Ini beneran Bu Endang, ya?” pekik Miya seraya menutup menutup tak percaya.
“I-iya, Mbak. Ini saya. Mami, Mbak ... m-maaf, saya takut. Sebenernya saya dilarang ngasih tau Mbak. Tapi saya nggak tega. Saya—“
“Sudah cukup, Bu. Saya bilang nggak usah dikasih tahu ....” Sesaat kemudian terdengar suara laki-laki dan ponsel dimatikan.
“Galen! Ya, Allah! Itu suara Galen!” Miya memekik tidak percaya sambil memandangi ponselnya. Otaknya berusaha mencerna percakapan yang baru saja terjadi. “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun ... Mamiii,” desisnya tertahan. Dengan gemetar, Miya kembali menekan panggilan ulang ke nomor yang baru saja meneleponnya. Mati. Berkali-kali dia mencoba hasilnya tetap sama. Tidak ada panggilan tersambung.
Miya menatap Ciara yang kebingungan seraya menggigiti bibir bawahnya. Pandangannya mengedar ke penjuru kamar. Miya berubah panik. Dia tidak mungkin salah dengar. “Itu tadi suara Galen. Apa yang sebenarnya terjadi, Ya Allah?” jeritnya dalam hati.
Dengan tangan gemetar, dia meraih tas besar di atas lemari. Miya segera memasukkan baju-bajunya dan Ciara secara asal ke dalam tas. Dengan menggendong putrinya dan menenteng tas besar, Miya menuruni tangga dengan cepat.
“Miya, ada apa, Nak? Kenapa bawa tas. Miya mau ke mana?” Riana langsung beranjak dari meja makan dan menghampiri Miya dengan kebingungan.
“Mau ke mana, Kamu?” Suara Dirga menggelegar membuat semua orang terkejut.
“Pa ... Ma ... Miya harus pulang sekarang. Mamì ... Mami meninggal. Miya harus ketemu Galen, Ma. Barusan ada telepon–“
“Kamu nggak akan kemana-mana!” bentak Dirga. Dia langsung merenggut tas besar yang di bawa Miya dan melemparnya keras.
“Paaa ....” Riana menyentuh tangan Dirga, mencoba meredam murka sang suami.
“Diam, Kamu, Ma! Mama nggak usah ikut campur!” tangan Dirga langsung menepis jemari Riana.
Sesaat kemudian pandangannya menyorot tajam ke arah Miya. “Masuk!” Dirga menarik dan mencengkeram erat tangan Miya.
“Tolong Miya, Paaa ... Miya harus pulang. Miya mau ketemu Galen, Paaa ....” Miya memohon sambil duduk bersimpuh memegangi kaki Dirga. Air matanya berlomba turun hingga membasahi hijabnya. “Tolong izinkan Miya, Paaa ...,” rintihnya pilu.
“Huwaaa! Mamaaa!” Ciara memekik sambil menangis ketakutan. Riana dengan sigap langsung menggendong cucunya.
“Masuk Kamu. Naik!” Dirga menyeret Miya naik ke tangga menuju kamarnya.
“Pa! Tolong jangan kasar sama Kakak. Itu anak Papa. Demi Tuhan!” pekik Fadhil geram. Dia dari tadi mencoba memupuk kesabaran melihat pemandangan di hadapannya. Namun, papanya sudah keterlaluan. Fadhil kemudian melesat naik dan memeluk Miya yang histeris. “Ayo, Kak. Kita turuti Papa dulu. Baiknya kita ke kamar dulu. Kakak perlu menenangkan diri.” Dengan perlahan Fadhil membimbing Miya menuju kamarnya. Mereka kini duduk bersisian di ranjang.
“Tapi Kakak harus pulang, Dek. Kakak mau ketemu Galen. Dia pasti butuh Kakak, Dek ....” Miya mengiba dengan terisak.
“Iyaaa ... nanti kita pikirkan lagi. Kakak tenang dulu, ya,” bujuk Fadhil dengan lembut. Fadhil mendongak saat tangan Dirga menyentuh bahunya. Dia melangkah keluar saat Dirga memberi kode dengan dagunya.
“Papa rasa, kamu harus menenangkan diri dan mendinginkan kepalamu. Memikirkan kembali idemu yang konyol itu.” Dirga berkata dengan dingin, dan berbalik. Sesaat kemudian terdengar suara pintu dikunci.
Miya yang tersadar, segera berlari menuju pintu. Dia menggedor-gedor pintu dan berusaha membuka handle pintu dengan panik. “Papaaa! Tolong bukain pintunya, Pa. Tolooong! Miya harus pulang. Miya harus ketemu Dirga, Pa ... tolooong!” jeritnya di balik pintu. Tubuh Miya merosot, luruh di lantai dengan hati hancur berkeping. Bahunya begetar hebat. Sesekali tangannya menggedor pintu dan berteriaķ putus asa.
Sementara itu, sosok Dirga berdiri tegap membelakangi pintu dengan wajah tanpa ekspresi. Telinganya seakan-akan tuli mendengar jeritan permohonan putrinya.
Di bawah tangga, Riana menggendong Ciara menatap ke atas dengan wajah basah. Di sisinya, Fadhil berdiri mematung dengan rahang mengeras. Tangannya mengepal erat dengan dada bergemuruh. Memaki dirinya sendiri yang tidak berdaya melihat ketidakadilan di rumah ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro