Bab 19. Menawarkan Pertemanan
Hai, Genks
Maaf, kemarin aku bolos apdet lagi🤧
Kondisi lagi nggak fit🙏
Yang mau kenalan sama dokter Arzan, ayok, sini
Happy reading
***
Seorang gadis yang mengenakan gamis biru mendekati bangku Miya saat jam kuliah usai. Gadis itu berdiri di sisi Miya yang sedang memasukkan peralatannya ke dalam tas. “Ayo, Kak, gabung sama temen-temen. Ada yang traktir ultah di coffee shop baru yang deket kampus.”
Miya berpaling. Menatap gadis bernama Ita seraya tersenyum tipis. “Maaf, Ita. Makasih atas tawarannya. Mungkin lain waktu, ya. Sekali lagi maaf, aku harus ke perpus.”
“Oke. Janji, ya, lain waktu Kak Miya harus ikutan,” rayu Ita.
Miya kembali tersenyum menanggapi permintaan Ita, demi tidak ingin menyakiti perasaan temannya. Kedua mahasiswi itu melangkah keluar kelas bersamaan. Sesampainya di luar, mereka berpisah saling melambaikan tangan menuju arah yang berbeda.
Sebenarnya, bukan hanya sekali teman-temannya mengajak untuk sekedar kumpul-kumpul atau mengerjakan tugas bersama. Namun, sebagian besar ditolaknya. Miya memang sengaja menjaga jarak dengan teman-temannya. Dirinya merasa tidak pantas lagi untuk sekadar hang out bareng. Apalagi dengan adanya Ciara. Satu hal yang patut Miya syukuri adalah teman-teman kuliahnya tetap bersikap baik kepadanya.
Begitu memasuki perpustakaan, Miya langsung menuju meja kosong yang agak tersembunyi. Dia langsung mengeluarkan notebook dan memasang earphone. Sesaat kemudian jemarinya bergerak lincah di atas keyboard guna menyelesaikan tugas biosains.
Dua minggu lagi sudah memasuki ujian akhir semester. Bulan ini menjadi paling sibuk bagi para mahasiswa. Beban tugas dan praktikum harus selesai dalam minggu ini. Pantang bagi Miya mengerjakan tugas di rumah. Saat di rumah, dia hanya ingin fokus dengan Ciara. Sebagai konsekuensi, Miya rela mengerjakan tugas dan belajar saat waktu kosong di sela jadwal kuliah.
Langit sudah berubah gelap saat Miya keluar kampus. Dia celingak-celinguk di parkiran mencari mobil Fadhil. Berpikir bahwa sang adik masih di jalan, Miya memilih menunggu sejenak.
Miya mulai gelisah karena sudah satu jam lebih menunggu, namun Fadhil belum kelihatan batang hidungnya. Kampus sudah sepi. Dia merutuk dalam hati, ponselnya tertinggal di rumah. Pagi tadi Miya tidak fokus karena Ciara rewel.
Miya berjalan mondar-mandir di bawah cahaya lampu. Dia tidak mungkin memesan ojek online. Setelah berpikir sejenak, Miya memutuskan untuk jalan ke depan dan mencari kendaraan untuk membawanya pulang.
Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan Miya. Seorang laki-laki keluar dari mobil dan mendekatinya. “Miya, kok jalan kaki? Nggak dijemput?”
Mata Miya memicing, silau akibat cahaya lampu yang menerpa wajahnya. Dia terkejut. “D-dokter Arzan?”
“Bukankah saya sudah memintamu untuk mengganti panggilan? Kita tidak berada di ruang kuliah.” Arzan terkekeh pelan.
Miya tertegun mendapati sosok Arzan yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Ada rasa canggung yang hadir dengan kehadiran laki-laki di dekatnya. Di satu sisi ada kelegaan melihat sosok yang dikenalnya di tengah kebingungan yang menimpanya. “Ma-maaf Dok, eh, Kak, boleh saya minta tolong? Boleh saya pinjem ponsel sebentar? Ehm, maksud saya ponsel saya ketinggalan jadi—“
“Sure!” Arzan langsung mengambil ponsel dalam saku dan menyerahkan kepada Miya.
Miya spontan menolak. Dia mendorong tangan Arzan kembali. “Minta tolong Kakak aja buat telepon Fadhil,” ucap Miya seraya menyebutkan serangkaian nomor telepon.
“Ya, halo Fadhil. Ini Arzan. Saya dimintain tolong Kakak kamu ....” Setelah mengucap salam Arzan berbicara sebentar dengan Fadhil. Dokter muda itu kemudian berpaling, menatap Miya dan berkata, “Fadhil mau bicara langsung.”
“Kamu di mana, Dek?” tanya Miya, begitu benda pipih itu menempel di telinga. “Waduh, terus Kakak gimana, Dek?”
Tak lama terdengar perdebatan kecil di telepon. Arzan hanya berdiri sambil bersedekap memandang wanita mungil berhijab hijau muda di hadapannya. Entah kenapa, melihat sorot rapuh di manik Miya membuat hatinya terusik. Begitu banyak tanya di benaknya, namun lelaki itu berusaha menyimpan semua sendiri.
“Fadhil mau bicara sama Kakak.” Miya menyerahkan ponsel yang tadi dipakainya. Bibirnya terlihat mengerucut menahan kesal.
“Ayo, naiklah!” Arzan memutar, membukakan pintu mobil dan membiarkan terbuka. “Fadhil sudah berpesan tidak mengizinkanmu naik taksi atau apa pun yang kamu pikirkan sekarang. Dia menitipkanmu secara khusus. Atau kamu mau berdiri di tengah jalan menunggu Fadhil yang lagi benerin mobilnya. Terserah aja.”
Begitu selesai bicara, Arzan langsung masuk dan duduk di balik kemudi. Tak lama kemudian, Miya masuk ke dalam mobil dengan sedikit menyentak. Bibir Arzan tertarik ke atas melihat wajah kesal wanita yang duduk di sampingnya.
Sepanjang perjalanan, Miya membuang pandang ke samping. Menatap deretan pertokoan yang dilewatinya. Hatinya menggerutu, entah siapa yang harus disalahkan. Dia yang lalai membawa ponsel atau mobil Fadhil yang tiba-tiba mogok.
“Ehm.”
Miya berpaling. Dia terkejut mendapati Arzan yang menatap ke arahnya. Dengan bingung, Miya bertanya, “Kenapa berhenti? Rumah saya masih jauh.”
“Saya lapar.” Laki-laki berkemeja biru muda itu langsung melepas seatbelt. Sebelum turun, Arzan menatap Miya. “Saya sudah kirim pesan ke Fadhil kita sedikit terlambat. Saya lihat kakanya sudah hampir pingsan kelaparan.”
Mata Miya membulat. Kekesalannya berlipat melihat laki-laki yang baru dikenalnya berbuat semaunya. “Mentang-mentang sudah kenal keluarganya jadi sok akrab!” gerutu Miya dalam hati.
Miya sengaja berdiam diri di mobil, membiarkan Arzan masuk ke restoran sendirian. Gengsinya menahan untuk turun meskipun cacing-cacing di perutnya sudah protes sejak tadi. Dia hanya bisa mengusap perutnya saat aroma seafood menghampiri indera penciumannya. Dari seluruh tempat makan, kenapa laki-laki itu berhenti di restoran seafood favoritnya dulu.
Tok. Tok. Tok.
Miya segera menurunkan kaca jendela. Menatap Arzan dengan sorot dingin.
“Tadi pemilik resto nyuruh saya minta maaf sama pacar yang lagi ngambek di mobil,” ucap Arzan dengan tenang.
Manik Miya melebar, wajahnya memerah. “Apa? Sepertinya pemilik tempat ini perlu diberi pelajaran!” Dengan emosi, Miya membuka pintu dan turun dengan mengentakkan kaki. Langkahnya lebar dan cepat memasuki restoran.
“Eh, apa ini? Kenapa Kakak dorong-dorong saya? Saya mau protes!” ucapnya kesal.
“Sssshhh. Sebentar, tolong ikut saya dulu. Emang kamu siap jadi tontonan orang sebanyak ini?” bisik Arzan.
Pandangan Miya mengedar. Menatap ke penjuru restoran yang dipenuhi pengunjung. Seketika keraguan menghampirinya.
“Ikut saya!”
Meskipun kesal, Miya melangkah mengikuti Arzan menuju satu meja kosong yang tersisa.
“Makanlah dulu. Saya tau kamu pasti lapar.” Arzan berkata sesaat setelah pelayan menghidangkan makanan.
Mata Miya mengerjap. Liurnya seketika terbit melihat olahan kepiting dan udang di hadapannya. Mengesampingkan rasa malu, Miya segera meraih kepiting yang sarat bumbu berwarna merah menggoda itu. Mulutnya berdecak saat lidahnya bertemu dengan daging kepiting yang gurih. Dia begitu menikmati sajian favoritnya dengan menjilati jemarinya yang penuh bumbu.
“Mau tambah lagi? Biar saya pesankan.”
“Eh, jangan. Sudah cukup.” Wajahnya memerah menahan malu ketika mengingat cara makannya yang melupakan tata krama. Bagaimana bisa dia melupakan Arzan? batinnya.
“Saya suka melihat cewek yang makan nggak pake jaim,” ucapnya sambil minum es kelapa muda.
“Jadi maksud Kakak, saya rakus?”
Tawa Arzan seketika meledak. Dia menggeleng pelan. “Nope! Sama sekali saya nggak mikir ke situ. Menurut saya, itu bagus. Dia nggak pencitraan. It’s so cute for me.”
Miya hanya diam. Dia tidak tahu harus berkomentar seperti apa. Mendadak suasana menjadi canggung.
Arzan berdeham. Lelaki itu membetulka posisi duduknya. “Ehm. Saya mau minta maaf tadi. Semua ucapan saya tadi sebenernya bohong. Itu hanya biar kamu mau turun.”
“Hah?” Mata Miya membulat tak percaya. “Kakak jahat sekali. Hampir saja saya melabrak orang nggak salah.”
“Maaf. Saya hanya ingin kita berteman.”
Miya tertawa dalam hati. Pertemanan model apa yang di harapkan laki-laki yang duduk di hadapannya saat ini?
***
Kok rasanya pengen nampol Arzan, yo. Ish, gombal banget nih Pak Dokter🙄🙄🙄
Malang, 26 Agustus 2020
Askina Hasna
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro