Part 2: Perselisihan 2
Kulirik jam dinding, jarum pendeknya berada di angka sepuluh. Jika Hadi di rumah, aku selalu mengunci diri di kamar. Bertemu dengannya adalah hal yang sangat kuhindari.Terkadang aku sering merindui Azzam. Lelaki yang bertutur lembut dan selalu menjaga diri saat kami bersama, sehingga meyakinkanku jika dia adalah pilihan terbaik yang pantas kunanti. Entah bagiamana kabarnya sekarang, aku tidak pernah menghubungi dia lagi setelah sah menjadi istri Hadi. Aku masih tahu tentang dosa, tak baik seorang perempuan bersuami berhubungan dengan lelaki lain walau hanya sekadar bertegur sapa. Sengaja aku menghilang, karena tak ingin menyakiti hati Azzam dan mengganggu pendidikan master-nya. Walaupun rasa sakit itu telah kutorehkan saat kabar pernikahan kusampaikan padanya dulu.
Sibuk dengan pikiran yang melalangbuana, perutku bernyanyi berulang kali. Aku memang sudah lapar sejak tadi. Namun, seperti biasa, aku akan menahannya hingga jadwal Hadi makan terlewati. Lelaki itu terbiasa duduk di meja makan pukul delapan malam. Ia akan menghabiskan waktu setengah jam bahkan lebih hanya untuk menikmati makan malamnya. Sementara aku ogah untuk duduk semeja. Jika pun lapar, aku sudah terbiasa menunda hingga lelaki itu beranjak dari dapur.
Setelah melaksanakan salat Isya, aku pun beranjak ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Sejak awal tinggal serumah, aku tidak pernah mengurusi segala keperluan Hadi. Begitu yang ia minta. Lelaki itu melarangku untuk berlaku layaknya seorang istri. Tidak boleh mempersiapkan makanan dan lain sebagainya. Kami akan mengerjakannya masing-masing. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah karena belum mendapatkan pekerjaan. Jika soal uang, Hadi memberikan untukku selama status masih pengangguran. Namun, hanya sebatas itu, tidak untuk hal-hal lain.
Selain aku dan Hadi. Di rumah juga ada seorang wanita paruh baya yang ikut membantu urusan rumah tangga. Mbok Mi begitu kami memanggilnya. Dialah yang membantu Hadi selama ini. Wanita itu akan datang setiap pagi dan pulang menjelang sore. Dia hanya melayani Hadi, bukan aku.
Aku berjalan ke arah dapur. Perut mulai terasa perih karena rasa lapar yang terus mengikis. Saat membuka pintu kamar, aku mendengar suara orang yang sedang berbicara dari arah ruang tamu. Kedengarannya seperti suara Hadi. Aku tak peduli, perut diminta untuk segera diisi. Setiba di dapur, aku membuka tempat penanak nasi. Apa yang terjadi? Nasi yang siang tadi kutanak tidak bersisa. Seingatku setelah makan siang tadi, masih ada sisanya untuk makan malam. Atau memang aku yang lupa? Karena lapar yang terus menyiksa, aku berpindah melihat isi lemari dapur, ada beberapa bungkus stok mie instan. Aku pun mulai mengeksekusinya.
Beberapa menit kemudian, mie kuah soto siap untuk dilahap. Aku sama sekali tak menyadari kehadiran Hadi yang telah duduk di kursi tepat di depanku.
"Masih ada?" Pertanyaannya membuatku tersedak.
"Apa? Kenapa kamu di sini? Bukannya jam malammu di meja makan telah usai? Sekarang giliranku." Aku berkata ketus. Tersisa rasa perih di hidung karena kuah mie instan yang pedas. Aku meneguk air yang baru sjaa kuambil dari mesin pendingin beberapa kali.
"Aroma kuah sotonya membangunkan cacing yang sudah tidur." Lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke arah mangkuk mie kuahku.
"Ya, sudah. Kamu masak sendiri. Aku mau ke kamar." Aku pun beranjak dari meja makan. Sisa mie yang masih banyak ikut serta kuangkut beserta gelas air minum. Bisa hilang selera makan jika di dapur berduaan dengan Hadi. Kehadirannya membuat mood-ku hilang seketika. Lelaki itu memang membawa aura negatif bagiku.
"Oya, kamu makan nasi yang telah kumasak?" Aku berbalik badan dan melihat ke arah Hadi yang sedang membuka lemari tempat mie instan tersimpan.
"Ya, Mbok Mih tidak datang hari ini. Aku juga lupa membeli makanan tadi," ujarnya tanpa melihat ke arahku.
"Bukan urusanku!"
Mbok Mih memang tidak datang, hari ini dia meminta izin karena mengantar anaknya ke pesantren. Aku merasa aneh saja dengan Hadi. Dia yang membuat peraturan, tapi dia yang lebih sering melanggar. Berbeda denganku, satu peraturan saja harus tertib kulaksanakan. Tidak boleh macam-macam.
"Minggu depan aku akan menikah. Tiara akan tinggal di sini bersama kita." Suara Hadi masih terdengar dari arah dapur. Aku tak peduli. Lagi pula rumah ini juga bukan milikku. Mereka bebas mau berbuat apa saja.
***
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro