Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02

Dia, Kuncoro Hadi.

Walau namanya terdengar njawani, Kun memiliki semua ciri-ciri keturunan Tionghoa. Kulit putih, mata sipit yang cenderung sayu, wajah khas Asia Timur ... semua ini sudah cukup membuat orang mengalihkan pandangan kepadanya.

Aku memanggilnya Ko Kun. Kelasku di sebelah kantin, jadi dia sering lewat kelasku saat istirahat siang. Kadang-kadang, dia menyempatkan diri untuk menengok adiknya—seorang kutu buku yang sering dirundung teman-teman sekelas.

Di sekolah plural seperti sekolahku, hanya ada 3 murid Tionghoa di angkatanku. Yang menyedihkan, masing-masing seperti menjaga jarak dan berbicara seperlunya. Setahuku, demikian pula yang terjadi di angkatan senior. Hanya Kun yang lebih terbuka karena dirinya cukup aktif di OSIS dan beberapa kegiatan.

Mungkin hanya Kun yang membuatku betah tinggal di sekolah itu. Bisa dibilang, dia juga membuatku bersemangat memilih ekstra kulikuler. Karena kami tidak seangkatan, hanya di ekstra kulikuler saja kesempatanku bersama-sama dengan Kun.

Sayangnya, aku tidak mungkin memilih ekstra kulikuler karate. Meski aku penasaran, Mama sering wanti-wanti. Mama bilang, anak perempuan tidak boleh bersepeda atau bela diri. Nanti bakalan ada yang robek. Dulu, aku tidak tahu apa yang dimaksud Mama. Belakangan, aku baru mengerti kalau perempuan punya harta berharga bernama 'selaput dara' alias keperawanan.

"Itu sangat penting kalau kamu mau menikah," kata Mama, "Perempuan itu harus tetap suci. Kalau tidak, semua orang akan meremehkan. Tahu, nggak ... pernah Mama datang ke pesta pernikahan, kamar pengantinnya tidak berbau harum. Nah, itu saja sudah jadi omongan orang. Perempuan nggak perawan itu 'kotor', Yas. Amit-amit, kalau bisa kamu harus jaga diri biar suamimu nanti tidak kecewa."

Ok.

Demi mempertahankan si 'selaput dara' ini, aku terpaksa menelan keinginan ikut ekstra kulikuler karate. Aku pun diam-diam menyelidiki ekskul lain yang diikuti Kun.

Lalu, di sanalah aku ... ruang jurnalistik.

Sebenarnya, itu hanya ruang kelas yang meja dan kursinya disusun ulang. Meja-meja dan kursi-kursi disusun kembali sehingga membentuk huruf 'U'. Di depan, nantinya akan ada Kakak Pengajar yang membimbing anggota ekskul.

Aku melihat sekumpulan siswa (laki-laki) yang kebanyakan berkaca mata. Tentu saja, adik Kun ada di sana. Melihatku datang, adik Kun itu langsung menenggelamkan wajah di balik selembar koran.

"Lho, Yas. Ada apa?" Kun menghampiriku.

"Aku ingin lihat-lihat, Ko," kataku malu-malu, "Maunya, pilih ekskul jurnalistik ini. Tapi, masih bingung."

"Bingung? Bingung kenapa?"

Aku menyengir sambil deg-degan sendiri. Sejujurnya, selama ini aku hanya menurut kata Mama Papa. Tumben setelah masuk SMA ini, aku mencoba mengambil keputusan sendiri, dan ini sangat membingungkan.

"Aku ... aku ingin mencoba sesuatu yang baru, Ko," kataku akhirnya.

"Oh, itu bagus banget. Kalau mau maju, kamu memang harus mencoba sesuatu yang baru," Kun mengulurkan tangan seraya mengulang memperkenalkan diri, "Kuncoro Hadi. Koordinator Liputan."

Aku tergelak lalu menerima uluran tangannya. Dia kemudian mengenalkan anggota-anggota ekskul yang lain dan menjelaskan apa tugas mereka di sini.

Sayangnya, entah mengapa, aku merasa semua penjelasan Kun itu hanya berlalu begitu saja. Hatiku diam-diam sibuk memperhatikan gerak bibir dan lirik matanya, sementara debaran jantungku menanti-nanti ... kapankah sepasang mata sayu itu akan memandangku.

*

Kecintaan Kun pada jurnalistik akhirnya ikut menular padaku. Ternyata, jurnalistik tidak semudah kelihatannya. Kami dituntut kreatif dalam menyampaikan informasi. Selain itu, ditekankan pentingnya tanggung jawab menampilkan fakta-fakta dan tindakan obyektif dalam setiap pemberitaan. Kami, jurnalis harus berdiri di pihak yang netral, begitu yang dijelaskan Pak Suradi—pembina ekskul jurnalistik.

Agak sulit mengikuti dasar-dasar jurnalistik. Ilmu kepenulisanku tidak terlalu baik. Aku harus belajar menuliskan kalimat dan paragraph sesuai EYD. Ini sangat membutuhkan ketelitian.

Untungnya, Kun sering membantuku. Sebagai koordinator liputan, dia membantuku menyunting berita dan mengajarkan membuat kerangka yang baik dalam menyusun berita.

Dari ekskul jurnalistik, aku jadi makin sering bertemu Kun. Kun sering menitip surat ke adiknya, mengajakku nongkrong di gerobak Kang Wawan sepulang sekolah. Hatiku selalu berdebar di jam pelajaran terakhir. Aku berharap jam akan berputar lebih cepat agar aku bisa segera bertemu dengan Kun.

"Kang, pesan bakso 2, ya. Satu pedas, satu nggak," pesan Kun pada Kang Wawan.

"Sip, atuh ... Mas! Ih, sama nenengnya lagi. Pasti yang nggak pedas buat nenengnya, ya," goda Kang Wawan.

Kun menggeleng sambil tersenyum geli.

Dengan sigap, Kang Wawan menyiapkan 2 mangkok bakso sesuai pesanan. Kedipan matanya turut menggodaku ketika dia menyodorkan baksonya.

"Silakan, atuh ... Neng. Bakso tidak pedas, sesuai pesanan Akang Tercinta."

"Ah, Kang Wawan apaan, sih," gerutuku dengan dada bergemuruh.

Aku dan Kun kemudian menikmati bakso bersama. Dari mulut kami, meluncur cerita tentang kejadian hari itu. Pak Idrus yang galak, Bu Ina yang penyayang, JJ yang ternyata pacaran backstreet sama Kak Agus, hingga kegiatan-kegiatan ekskul jurnalistik.

"Pak Suradi mengharuskanku mengundurkan diri di Catur Wulan kedua (sekolah dulu menggunakan sistem Catur Wulan. Setiap tahun ajaran terdiri dari 3 Catur Wulan), Yas," kata Kun, "Kata Pak Suradi, anak-anak kelas III harus fokus belajar untuk EBTANAS."

EBTANAS. Evaluasi Belajar Tingkat Akhir Nasional. Mendengar tentang ini, hatiku rasanya mencelus.

"Sayang banget, ya. Sebentar lagi, aku dan kamu harus pisah."

Aku tidak mengerti apa maksud perkataan Ko Kun. Yang kutahu, rasa dingin muncul di hatiku. Lirikan mata Kun membuat suasana hatiku bertambah muram.

"Ko Kun mau kuliah di mana?"

"Aku pengin kuliah Jurusan Hukum. Mungkin di UI. Mungkin di Trisakti." Kun menaruh mangkok bakso yang kosong lalu memijakkan 2 tangan di bangku panjang, "Itu cukup jauh dari sini. Mungkin, aku akan kost."

Kita akan jarang bertemu, kutahan kalimat ini di ujung bibirku, "Selamat belajar, ya ... Ko. Aku percaya, Koko pasti bisa mencapai cita-cita Koko."

Apakah aku sedang tersenyum? Tapi mengapa hatiku rasanya begitu sakit?

Kali ini, aku berharap waktu akan berjalan lebih lambat. Namun, tentu saja ... hal itu tidak pernah terjadi. Ketika libur EBTANAS, aku melamunkan Kun. Aku membayangkan, apa yang akan kulakukan jika tidak ada Kun di SMA. Apakah aku akan bisa mengikuti kegiatan ekskul dengan gembira? Apakah aku akan bisa nongkrong di gerobak bakso Kang Wawan sendirian?

Lalu, hari yang dinanti Kun itu pun tiba. Hari kelulusan.

Wajah Kun saat itu tidak akan pernah terlupakan. Senyum Kun terlihat cerah hari itu. Kemeja putihnya sudah penuh dengan coretan. Percikan cat malah sedikit mengotori rambutnya. Dia mendekatiku, lalu tertawa lepas. Dia menyentuh pipiku dengan telunjuknya, mengatakan sesuatu dalam bahasa Mandarin yang tidak kupahami.

"Rajin belajar, ya... Yas. Wo yao deng ni (aku akan menunggumu)," hanya ini yang kumengerti dari pesan Kuncoro.

*

Aku benci dengan waktu dan jarak. Kerinduan menyiksaku.

Tiap hari, aku mengingat keberadaan Kun di sekolah. Jam demi jam pelajaran berlalu dengan membosankan. Aku pun bertanya-tanya, mengapa perasaanku mendadak gundah tanpa bisa dihentikan.

Kun dan rinduku. Rasanya, hanya itu yang ada di dalam benakku. Jejak Kun menghilang seiring berlalunya waktu. Beberapa bulan, dia tidak pernah menghubungiku. Pelajaran demi pelajaran yang kian sulit menambah beban pikiranku. Perasaanku kacau. Aku begitu ingin bertemu Kun. Namun, adik Kun pun hanya bilang kalau Kun sedang sibuk pindahan dan kuliah.

Ketika pagi itu, Pak Pos datang, aku tidak bisa menahan air mata. Melihat nama pengirim Kuncoro Hadi membangkitkan seluruh semangatku. Aku mengikuti pelajaran dengan hati berbunga-bunga. Tak sabar rasanya pulang untuk membaca surat itu.

Sepucuk surat yang wangi menghapus semua kegelisahanku. Lukisan rumah dan bunga-bunga di kertas surat itu begitu indah, sementara tulisan Kuncoro menerbangkan anganku:

Dear Yasmin,

Aku sekarang tinggal di Petamburan. Kostku kecil tapi nyaman. Ada sebuah tempat tidur, lemari, meja dan kursi. Ini memang lebih kecil dari kamarku dan lebih panas. Tetapi, tidak apa-apa.

Kemarin-kemarin, aku tidak sanggup menuliskan surat untukmu. Aku terlalu marah dengan apa yang terjadi di OSPEK. Para mahasiswa senior benar-benar semena-mena! Beginikah perlakuan kakak kelas yang seharusnya menjadi teladan?

Yas, aku kangen kamu.

Bersama surat ini, kukirimkan semua rasa rinduku. Dengarlah dalam kaset yang kukirimkan, Yas. Aku berharap, kamu menyukainya.

Kuncoro Hadi.

PS: Kalau kamu tidak mengerti artinya, aku menuliskan arti lagu ini di bawah.

Aku mencium surat itu lalu memeluknya erat. Ah, Kun! Kun! Aku berbicara dan meracau seperti orang gila. Kumasukkan kaset ke dalam tape di kamar, lalu kunikmati denting gitar yang tidak terlalu jernih itu. Suara Kuncoro lembut dan merdu. Rasanya, semua tulangku lumer mendengar suaranya menyanyikan lagu Yi Lian You Meng:

Aku punya sebuah mimpi rahasia

Tidak tahu dengan siapa aku berbagi.

Berapa banyakkah rahasia di dalamnya,

Ingin tahu, tapi tak sanggup memahami.

Di luar jendela, embun malam itu terasa berat.

Kelopak bunga malam ini jatuh menjadi tumpukan.

Musim semi datang dan pergi tanpa jejak.

Hanya meninggalkan sebuah mimpi rahasia.

Siapakah yang dapat mengerti cinta tulusku?

Siapakah yang akan memberi kelembutan mendalam?

Kalau nanti kita kebetulan bertemu dan bersahabat,

Mari berbagi mimpi rahasia ini bersama.

*

Sejak itu, Kun rajin mengirimiku salam lewat radio. Lagu Chrisye, lagu Hanson bersaudara, lagu Reza Artamevia, lagu The Corrs ... semua disertai salam sayang dan kangen.

"Dari Kun di Ruang Rindu kepada Yasmin di SMA Bhineka. Tetap semangat belajarnya. Aku selalu menantimu. Cieee ... " kata sang penyiar, "Nah, Kawula Muda. Ini dia lagu yang dipesan Kun di Ruang Rindu tadi: Mungkinkah dari Stinky. Selamat mendengarkan!"

Setelah lagu diputar, akan ada telepon dari Kun, "Gimana, suka?"

"Lagunya jelek," aku sering berbohong.

"Pasti jelek kalau bukan aku yang nyanyi," jawab Kun sambil tertawa.

Hari-hariku cerah kembali berkat salam dan telepon dari Kun. Sayangnya, keadaan keluargaku tidaklah sebaik perjalanan cintaku.

Akhir tahun 1997, usaha Papa mulai mengalami masalah. Aku sendiri tidak mengerti apa yang terjadi. Wajah Papa seringkali kusut. Mama sendiri mulai melakukan penghematan besar-besaran.

Tahun Baru Imlek 1998, kami tidak bisa pulang ke Bali. Lebih tepatnya, tidak mampu karena biaya. Aku kecewa sekali. Bayangan bertemu kembali dengan sepupu-sepupuku hilang seketika. Padahal, aku sudah membayangkan akan makan satai lilit di beranda sambil mengobrol dengan Ayu dan Komang.

Ketika Kun meneleponku, aku segera mencurahkan kekesalanku padanya. Aku bercerita tentang keinginanku dan bagaimana kecewanya aku tidak bisa merayakan Tahun Baru Imlek.

"Yang sabar, Yas," Kun menanggapi keluhanku, "Saat ini, di mana-mana memang susah. Usaha Papa juga sedang ada hambatan."

"Tapi, Ko ...." Aku merengek.

"Dunia sekarang sedang dilanda krisis moneter. Banyak negara sedang berjuang keras agar bisa keluar dari krisis. Kupikir, Indonesia adalah salah satunya."

"Aku baru mendengar tentang itu."

"Makanya, kamu jangan ngambekan. Kasihan Papa Mama kamu, tuh," embusan napas Kun terdengar menyejukkan.

"Tapi sebal, Ko. Bukankah Tahun Baru Imlek itu perayaan paling menyedihkan?" aku masih ngeyel, "Kalau perayaan Natal dan Idul Fitri, stasiun-stasiun TV semua memberi ucapan selamat. Tapi, Imlek? Mau merayakannya saja harus izin tidak masuk sekolah."

"Hahaha. Terus kamu maunya gimana?"

"Aku ...."

"Ya, sudah. Kalau tahun ini kamu pengin ngerayain Imlek, rayain sama aku aja," Kun menanggapi dengan enteng.

"Eh, benaran, Ko?"

"Iya, tunggu aku, ya. Aku akan merayakannya bersama kamu."

*

Aku tidak berharap banyak di pagi Tahun Baru Imlek itu.

Mama membangunkanku lebih awal. Untuk hari istimewa ini, beliau memasakkan masakan khas Emak: masak campur.

Yang disebut masak campur itu adalah campuran jamur hitam, tahu kering, sedap malam, yang dimasukkan dalam kaldu lalu dicampur sayur-sayuran.

Aku makan dengan tidak berselera. Aku membayangkan Kun dan keluarganya sedang berkumpul bersama. Kerinduan akan keluarga di Bali mendadak membuat hatiku sesak. Baju baru, makanan enak, angpau ... menyedihkan sekali, tahun ini harus melewatkan semua itu.

Suara bel pintu kemudian menyadarkanku.

Mama membuka pintu. Tukang pos datang membawa sebuah amplop. Seperti biasa, ada namaku tertulis rapi di atas amplopnya.

"Yas ke kamar sebentar, ya ... Ma," kataku dengan pipi memanas.

Aku membuka amplop itu. Sebuah kartu ucapan dengan gambar ikan segera terlihat. Huruf-huruf Mandarinnya tidak bisa kubaca. Akan tetapi, aku bisa membaca tulisan Kun:

Kamu mengeluh kalau tidak ada ucapan tahun baru di TV.

Sekarang, aku akan mengucapkannya kepadamu.

恭喜发财, 身体健康, 万事如意

Semua harapan terbaikku untukmu.

Semoga ini bisa menghiburmu, Yas.

Tunggulah aku. Aku akan ke tempatmu.

Saat itu, aku akan mengatakan sesuatu padamu.

Kuncoro Hadi

*

"Xinnian kuaile, Yas," kata Kun sore itu, "Aku datang untuk menepati janji. Jadi rayain Imlek bareng aku, kan?"

Dia masih mengenakan pakaian merah yang dipakai bersilaturahmi. Senyum yang kulihat saat itu adalah senyuman terindah bagiku.

Aku berganti baju dengan tergesa-gesa. Mama spontan tersenyum melihat ada seorang pemuda mendatangi anak gadisnya.

"Ke mana aja selama ini, Ko?" cecarku langsung, "Kenapa tidak pernah datang mengunjungiku?"

"Maafkan aku, Yas. Aku benar-benar sibuk. Sibuk memikirkanmu."

Aku mencebik. Dasar!

"Apa kabar, Yas?"

"Baik," jawabku, "Koko gimana?"

"Kabarku baik, kok," senyum itu kembali terlihat di wajah Kun, "Akhir-akhir ini, aku cuma terkena satu penyakit."

Hah? Penyakit? "Penyakit apa, Ko? Apa parah?"

"Parah. Parah banget," Kun berdecak, "Nama penyakitnya: malarindu. Obatnya cuma satu: kamu."


Gongxi fachai, shenti jiankang, wan shi ru yi (semoga banyak rezeki, sehat selalu, semua masalah selesai dengan baik).


__________________________________________________

Cerita lengkap BERANDA KENANGAN bisa dibaca GRATIS di Cabaca.id.

Sudah tamat, lho ^^

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro