Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Dua

BAB 2

Tiga puluh detik setelah kakinya tertimpa helm Samudera yang dipegangnya, Bening akhirnya kembali pada satu kesadaran penuh. Dari bibir mungilnya terucap pelan kata, "Aduh" yang membuat Samudera terkekeh menyaksikan tampang bingung kasir cantik itu.

"Udah lama jatuhnya baru bilang aduh sekarang." Samudera mengangsurkan kembali helm yang baru ia pungut kepada Bening.

"Sakitnya baru kerasa sekarang."

Samudera menggelengkan kepala, lalu dengan perlahan menaiki motor sport-nya sebelum menoleh lagi kepada Bening, "Yuk, naik, ajaknya, masih sambil tertawa.

Bening menghela napas, lalu tanpa ragu menginjak footstep motor sebelum menaikinya. "Bang Dera kalau bercanda nggak kira-kira, ih. Bikin orang jantungan." Bening bersungut-sungut pelan, lalu berpegangan pada pundak Samudera yang kembali fokus ke jalanan.

Setelah motor meraung lembut usai distarter, ia menanggapi ucapan Bening, "Yang bercanda siapa? Aku serius, lho, nembak kamu, Ning. Kamu mau nggak jadi pacar aku?"

Untuk kali kedua, Bening terdiam. Ini nggak mungkin, kan? Masa Bang Dera suka aku sampai nembak begini? Aduh, Cucu, doa lo makbul banget. Lain kali doain naik pangkat, dong. Bosen jadi kasir terus.

"Tuh, kan, nggak jawab. Mau apa nggak?"

Suara Samudera kembali menyadarkan Bening. "Dih, Abang, mah. Nembak modelnya ginian. Nggak romantis." Bening menggerutu.

Samudera terkekeh. "Mau yang romantis? Langsung ketemu abah kamu, mau?"

Pekikan kecil terdengar dan Samudera tahu ia telah membuat Bening salah tingkah.

"Bang, lutut Adek lemes, nggak bisa diginiin."

Samudera tertawa lagi.

Motor yang mereka tumpangi sudah keluar dari pelataran parkir Maret-Maret dan bergerak menuju arah Petukangan. Samudera akan mengantar Bening pulang. Rumah mereka searah walau sebelum ini, seperti kata Bening, pria itu tidak pernah mengajaknya pulang bersama. Butuh acara khusus dan Bening tidak menyangka kalau kejadian itu adalah aksi tembak-menembak di atas motor. Dia harus menjawab apa, coba?

"Pilihannya cuma iya." Samudera menjawab enteng.

Deru motor dan helm menghambat suaranya menjadi lebih nyaring, tetapi Bening mampu menangkap maksud perkataannya. Bening memukul pelan belikat kanan Samudera yang berada paling dekat dengan tangannya. "Abang, ih, nggak ngasih waktu buat mikir dulu."

Samudera menggeleng. Kaca spion sebelah kiri motor kemudian ia arahkan ke belakang agar bisa melihat wajah Bening tanpa perlu menoleh.

Mata Bening berserobok dengan tatapan Samudera. Seketika ia salah tingkah dan dengan cepat melengos ke arah samping kanannya.

"Nggak setiap hari aku nembak cewek yang aku suka, lho."

Ingatkan Bening untuk memberi cendol alias bar hijau tanda reputasi baik untuk pemegang akun CucuNenek yang mendoakan hal baik untuknya pagi tadi. "Bang Dera suka siapa?" Bening mulai bicara sedikit keras karena selain suara bising motor, deru angin, dan helm meredam suaranya hingga tidak begitu terdengar di telinga Samudera.

"Kamu, dong."

Bening menggigit bibirnya. "Bohong."

"Aku serius, Bening cantik. Sudah naksir kamu sejak tahun kemaren."

Sembari menahan rona merah dan rasa malu di dada, Bening berteriak lagi, "Bohong. Bohong. Bohong. Aku nggak percaya omongan Abang."

Samudera menggeleng lagi. Ia lalu membuka kaca helm dan menarik napas dalam-dalam sebelum mengucapkan sesuatu yang membuat semua orang menoleh kepadanya. "Samudera cinta Bening!" Ia berteriak dengan lantang.

Bening merasa kepalanya pusing. Ini pertama kalinya ada pria yang menembaknya di tengah jalan sambil berteriak keras. Malunya minta ampun dan ia tidak bisa menahan diri untuk menutupi wajah. Meskipun begitu, Bening tidak bisa berbohong bahwa ia senang setengah mati hingga rasanya ingin meloncat kegirangan. Bisa-bisa, dia mendapat tambahan nama baru sebelum nama lengkapnya, almarhumah.

Bang Dera suka sama aku sejak lama? Gilingan! Gilingan! Ulekan! Ulekan! Ya Amplop!

"Jawab, dong, Ning." Suara Samudera kembali terdengar setelah beberapa menit dalam keheningan karena Bening sibuk merayakan kemenangannya dalam hati.

"Kalau aku bilang, iya, memangnya Bang Dera mau apa?"

Mereka berhenti di sebuah persimpangan lampu merah. Samudera kembali melirik Bening dari spion motor. "Mau jadi pacar kamu, Ning." Ia tersenyum memamerkan giginya yang putih dan rapi tanpa perlu sentuhan kawat, veneer, atau bleaching sekalipun.

Bening kemudian nyaris megap-megap, kesulitan untuk bernapas. Ternyata begini rasanya ditembak orang yang dia suka, membuat dia gemetaran, tetapi girang bukan main. Yiha!

***

Saat tiba di pelataran rumah, Bening menemukan pemandangan aneh yang tak biasa. Beberapa mobil dan motor terparkir. Ia bahkan bisa melihat beberapa sepupu laki-lakinya berdiri tidak jauh dari pintu rumah dengan pakaian rapi, mulai dari batik, koko hingga kemeja seperti sedang menunggu seseorang. Ketika ia menyerahkan helm yang dipakainya kepada Samudera, mereka bertatapan sambil menahan rasa ingin tahu.

"Ada apa, Ning?" Samudera menaruh helm pemberian Bening di motornya.

Bening menggeleng, "Nggak tahu, Bang. Abah nggak ngabar-ngabarin apa-apa pagi tadi. Aku, kok, cemas, ya?"

Samudera yang sama bingungnya dengan Bening pun tidak bisa bicara banyak.

"Abang mau mampir?" Bening menawari dengan sopan. Aneh rasanya di hari pertama ia menerima cinta Samudera, tetapi malah mengusir pria itu saat ada acara di rumahnya. Meski Bening sendiri tidak tahu apa yang sedang terjadi.

Samudera menggeleng pelan. "Makasih. Masih mau balik lagi ke toko. Aku lembur hari ini."

Bening menatapnya tidak percaya. "Lembur, kok, nganter aku, sih, Bang?"

Samudera mengusap pelan puncak kepala Bening yang masih disanggul cepol khas pramuniaga Maret-Maret. "Kan mau nembak kamu. Udah berhasil misinya. Sekarang mau balik lagi. Besok aku jemput, ya. Pulangnya juga aku anter."

Sambil tersipu, Bening mengangguk. "Hati-hati, Bang."

Samudera menstarter kembali motornya. Sebelum berlalu, Samudera mengeluarkan sesuatu dari saku celananya, ponsel Bening yang tadi ia sembunyikan. "Ini HP kamu. Ntar kalau ada waktu kosong, kita chat, ya. Jangan forum terus diapelin. Pacar kamu juga."

Pacar? Pacar? Pacar? Hilal di depan mata, oi.

Bening menggigit bibir saat Samudera tersenyum untuk terakhir kali dan berseru, "Dadah, Pacar!"

Bening hampir pingsan karena kata-kata itu. Mimpi apa dia semalam? Ditembak gebetan yang selama ini ia incar dan impikan siang malam. Bahkan, dia sudah merangkai nama mereka berdua jadi satu. Samudera Bening. Cocok bukan main. Mana ada samudera butek, apalagi keruh? Samudera itu harus bening.

Ya ampun, seneng banget. Cihuy.

"Teh Kinan, ditungguin dari tadi, ih."

Sebuah suara menyadarkan Bening bahwa orang-orang yang berada di dalam rumahnya saat ini datang dalam suasana tidak lazim. Apalagi saat melihat Antari, sepupunya di Bekasi datang dan menarik tangannya.

"Tari, kenapa ke sini? Ini ada apaan? Abah sakit?"

Bening menyejajarkan dirinya dengan Antari yang berjalan semakin cepat. Ketika ia masuk rumah, beberapa orang asing tak dikenal menoleh kepada Bening, termasuk sosok perempuan berusia lebih dari lima puluh tahun dengan jilbab rapi dan riasan wajah alami yang menyambutnya.

"Ini, teh, yang namanya Kinan?" Ia tersenyum antusias sambil memeluk Bening.

Antari mengangguk cepat. "Iya, Bu. Ini Teteh Kinanti."

Bening yang masih berada dalam pelukan wanita yang tidak ia kenal itu menoleh heran kepada Antari. Ia ingin sekali memuntahkan banyak pertanyaan, tetapi semua itu seakan-akan tertelan saat ia melihat abah kesayangannya duduk bersila di sebelah seorang pria muda yang seperti tamu lain, tidak ia kenal. Pakaian mereka berdua membuat Bening bertambah bingung.

Abah kenapa pakai batik, kain sarung, sama peci? Itu siapa cowok yang pakai jas? Ini acara apaan?

Seorang wanita lain muncul dari belakang. Ucapannya kemudian menjadi bom yang membuat Bening tidak sanggup berdiri lagi. "Ayo, calon pengantin wanitanya udah pulang. Mari dirias dulu, bentar lagi akad nikahnya dimulai."

"Akad nikah? Siapa yang mau nikah?" Bening mulai mencicit ketakutan. Ia tidak bisa berpikir apa pun kecuali tentang Samudera dan kenangan mereka setengah jam terakhir.

"Lho, calon pengantin, kok, bingung? Yang mau nikah, kan, kamu, Kinanti." Suara wanita tua yang masih memeluknya sambil tersenyum itu menjadi hal terakhir yang Bening ketahui sebelum ia kehilangan kesadaran.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro