PROLOG
"Berbahagialah di pelukan Tuhan," ujar Bapak Pendeta, terdengar mendamaikan di tengah kesunyian.
Tanganku menggenggam erat sapu tangan penuh cairan duka, kedua mata menatap lurus ke tumpukan tanah yang perlahan tapi pasti mulai menutupi peti mati. Ibu, kau sudah tidak sakit lagi. Temuilah ayah dan lepaskan seluruh kerinduan kalian. Aku menarik napas lalu mengembuskannya, sambil menatap pigura foto ibu yang dipegang Julia, adikku satu-satunya.
Penampilan Julia tidak jauh berbeda denganku hari ini. Raut wajah kami sama-sama kacau, make up yang digunakan pun hanya untuk formalitas saja, pakaian serba hitam selalu menunjukkan kesuraman. Yang berbeda hanyalah Julia menumpahkan segala kesedihan, sedangkan aku memilih bertahan. Bapak Pendeta dengan kebijaksanaannya menutup upacara pemakaman dengan doa.
Julia menangis di pelukanku--lagi--aku hanya bisa menepuk pundaknya, sekadar menguatkan. Sama seperti beberapa rekan, tetangga, dan teman kami yang satu per satu mengucapkan kalimat belasengkawa, sebelum kembali ke rumah mereka masing-masing.
Saat pelayat terakhir pergi, aku menyadari sesuatu. Pemakaman bukan akhir dari kesedihan. Ini hanya awal dari perjuanganku untuk menjalani hari-hari tanpa ibu.
"Ayo, kita pulang, Julia." Aku merenggangkan pelukan di tubuh Julia dan menggunakan ibu jari, kuhapus air mata di pipinya. "Kepergian ibu, bukan akhir dari segalanya. Ini adalah awal untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab sepenuhnya."
"Yeah, tapi ...." Julia menggantung kalimatnya, selagi melirik ke arah gunungan kecil tanah basah bertabur bunga. "Aku tetap menyesalinya. Seharusnya, aku tidak pergi saat ibu melarangku."
Aku tersenyum datar kemudian mengusap bahu Julia, lalu berujar, "Kalau kau benar-benar menyesal, jadikan penyesalan itu sebagai pembelajaran. Kau atau aku, di hari tua nanti, harus tetap bersama, mengerti?"
Julia mengangguk dan secara naluriah kedua alisku menyatu. Tembok di dada yang kubangun sekokoh mungkin terasa tak bisa menampung sesaknya kesedihan ini. Aku harus segera pergi, ke mana pun yang hanya ada diriku jadi kugenggam tangan Julia erat-erat dan dengan hati-hati, membawa gadis itu ke dalam mobil.
Kami melangkah berdampingan, Julia masih saja sering membersihkan kesedihannya hingga sapu tangan tak lagi terlihat mampu membersihkan sisanya. Namun, ketika sisa beberapa langkah menuju mobil, langkahku melambat tanpa alasan yang jelas. Ada sesuatu di udara—entah perasaan tidak nyaman atau sekadar firasat aneh yang merayapi punggungku.
Lalu aku melihatnya.
Di bawah salah satu pohon rindang yang tak jauh dari pemakaman, seorang pria berdiri dengan separuh wajah tertutup payung berwarna hitam. Setelan berwarna senada yang ia kenakan terlihat rapi, bahkan terlalu rapi untuk seseorang yang sekadar menghadiri pemakaman. Dari tempatku berada, aku bisa menangkap bentuk rahangnya yang tegas, bibirnya yang membentuk garis horizontal, hingga tanpa melihat pun aku bisa merasakan tatapan tajam—yang terlalu dalam untuk sekadar pelayat biasa.
Langkahku terhenti. Aku tidak mengenalnya. Setidaknya, aku yakin tidak pernah melihatnya sebelumnya.
"Ada apa?" Julia bertanya lirih, suaranya masih serak oleh tangis.
Aku menggeleng pelan, tetapi mataku tetap terpaku pada pria itu. Seolah menyadari perhatianku, ia sedikit mengangkat payungya. Sekilas, aku bisa melihat wajahnya yang tegas dan tatapan yang... entah bagaimana terasa familiar.
Lalu, secepat bayangan yang tertiup angin, pria itu berbalik dan berjalan pergi tanpa sepatah kata pun.
Aku hampir melangkah mengejarnya, tetapi jemari Julia yang menggenggam lenganku menahanku di tempat.
"Kita pulang?" tanya Julia, suara lembutnya membawaku kembali ke kenyataan.
Aku menarik napas, mengalihkan pandangan ke arah pria itu sekali lagi. Kosong. Ia sudah menghilang di balik deretan makam, menyisakan tanda tanya yang menyesakkan dada.
"Ya," gumamku akhirnya, menggenggam tangan Julia lebih erat.
Namun, bahkan setelah kami masuk ke dalam mobil, bayangan pria itu masih tertinggal di kepalaku.
Siapa dia? Dan kenapa tatapannya seolah mengatakan bahwa ia mengenalku?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro