009. Fragile Trust
Aku membantunya masuk ke dalam kabin dengan langkah terseok-seok, pintu tertutup di belakang kami, menghalangi pandangan mata di luar sana yang menaruh perhatian pada kami. Cahaya matahari menembus jendela, menciptakan siluet tubuh Caleb yang condong ke arahku—membuatku semakin sadar betapa buruk keadaannya.
Aku membimbingnya ke sofa. Dia jatuh duduk dengan napas tersengal, tubuhnya sedikit merosot, seolah memasrahkan dirinya di sana. Tanganku gemetar saat berjongkok di depannya, mataku menelusuri luka-luka di tubuhnya, mencoba mencari tahu mana yang harus kuatasi lebih dulu.
"Jangan banyak bergerak," bisikku, lebih kepada diriku sendiri daripada dirinya.
Caleb tidak menjawab. Dia hanya bersandar, matanya terpejam sejenak, seolah mengatakan bahwa apapun yang kulakukan kepadanya akan berakhir baik-baik saja. Namun, aku tidak yakin dengan hal itu. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat luka di sudut bibirnya, darah kering di pelipisnya, serta memar gelap yang mulai terbentuk di sepanjang rahangnya.
Itu yang terlihat. Belum termasuk di balik kemejanya. Aku sungguh tidak berharap ada hal terburuk di dalam sana.
Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha mengabaikan ketakutan yang masih mencengkeram dadaku. Ini bukan pertama kalinya aku melihat seseorang terluka, tapi untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar tidak berdaya.
Aku bergegas ke dapur kecil, meraih kotak P3K dari lemari. Jari-jariku bergerak cepat, mencari kasa, antiseptik, dan kain bersih dengan gerakan terburu-buru. Saat kembali ke ruang tamu, wadah berisi air di tanganku bergetar sedikit, mencerminkan ketegangan yang masih menggantung di udara.
Aku duduk di sampingnya, mengambil napas pelan sebelum akhirnya berbicara. "Aku akan membersihkan lukamu," ucapku, memastikan Caleb mendengarnya sebelum aku memulai.
Darah mengalir dari pelipisnya, menetes ke tulang pipinya yang lebam. Napasku tersengal saat menekan kain kasa ke luka itu, tetapi tangan ini terlalu gemetar untuk tetap stabil. Apakah aku melakukannya dengan benar? Bagaimana jika aku malah menyakitinya lebih jauh?
Aku menelan ludah, mencoba mengabaikan rasa takut yang mencekik dadaku. "Maaf, ini akan sedikit perih," gumamku, nyaris tak terdengar.
Caleb membuka matanya, menatapku, dengan netra gelap penuh keterbukaan, tetapi juga sesuatu yang lain—sesuatu yang tak bisa kupahami sepenuhnya. Dia tidak mengeluh, tidak menepis tanganku, hanya membiarkanku merawatnya. Tapi itu justru membuat kecemasanku semakin menjadi. Apa dia diam karena mempercayaiku, atau karena dia terlalu lemah untuk mengeluh bahkan menolak? Sungguh, aku lebih memilih dia mengeluh, mengatakan sesuatu, atau memperlihatkan ekspresi kesakitan agar aku bisa mengetahui letak kesalahanku.
Aku meremas jemariku yang basah oleh antiseptik. Ada begitu banyak hal yang bisa salah—aku mungkin menekan terlalu keras, atau justru terlalu pelan sehingga lukanya tidak bersih sepenuhnya. Luka-luka itu ... apakah dia akan baik-baik saja? Aku ingin bertanya, tapi lidahku kelu. Jika aku bertanya, bukankah itu hanya menunjukkan betapa tidak kompetennya aku?
Tiba-tiba, Caleb mengangkat tangannya dan menyentuh pergelangan tanganku yang masih sibuk bekerja. Jemarinya hangat di kulitku yang dingin. "Terima kasih," ucapnya, suaranya serak tetapi tegas.
Aku mengangguk kecil, tetapi rasa khawatir segera menyerang pikiranku. Apakah dia benar-benar berterima kasih, atau hanya mengatakannya untuk membuatku merasa lebih baik? Apa aku benar-benar membantu, atau aku hanya menjadi beban lain baginya? Kepalaku terlalu penuh, suara-suara itu terlalu bising, hingga tubuhku mulai berkeringat tidak nyaman.
Aku menatap luka yang baru saja kubersihkan, dan untuk sesaat, udara di sekitarku terasa terlalu berat. Luka itu masih ada. Aku sudah melakukan yang terbaik, tetapi tetap saja, darah sempat mengalir. Seperti biasa, aku merasa usahaku tidak cukup.
Aku menarik napas, berusaha menekan semua pikiran itu ke sudut terdalam benakku. Ini bukan tentang aku. Caleb butuh pertolongan, dan aku harus fokus. Namun, tetap saja ... suara di dalam kepalaku berbisik bahwa aku tidak cukup baik.
"Tekan lagi lukanya."
Caleb meraih tanganku yang terhenti di udara, jari-jariku nyaris menyentuh pelipisnya. Dengan gerakan pelan, tapi pasti, dia menuntunku, menekan jemariku ke luka itu—seolah memastikan aku tidak ragu.
Pandangan kami seharusnya bertemu. Jika aku menuliskan kisah ini, seharusnya memang begitu. Kami akan berbicara melalui tatapan yang berakhir pada adegan romantis dan jika memungkinkan, akan ada adegan ranjang. Namun, ini bukanlah mereka yang aku ciptakan di lembaran kertas. Ini adalah aku dengan segala ketidaknyamanan yang membuatku harus mengalihkan pandangan.
Tatapan Caleb begitu kentara. Seolah sedang membuka lapisan-lapisan pada diriku. Menganalisa isi kepalaku, embusan napasku, kegelisahanku, dan--aku menyerah.
Aku menarik tanganku. Berusaha mengalihkan situasi tidak nyaman ini dengan mengambil perban, mengguntingnya menjadi potongan kecil, sebelum menempelkannya di pelipis Caleb. Meskipun tanganku gemetar.
"Apa kau merasa lebih nyaman?" tanyaku setelah tanganku menjauh beberapa senti dari pelipis Caleb.
"Seharusnya itu adalah pertanyaan yang lebih cocok untukmu, Charlie," kata Caleb dengan nada lembut. Namun, ada sesuatu yang tidak bisa diabaikan dalam tatapannya yang penuh harapan. "Tapi jika kau merasa nyaman denganku sekarang, itu sudah cukup, 'kan? Aku ingin selalu memastikan kau tidak merasakan cemas yang berlebihan itu."
Aku terdiam sejenak. Tidak menyangka bahwa Caleb akan menjawab dengan cara seperti itu, di saat aku bermaksud menanyakan keberadaan perban di pelipisnya. Dia memperhatikanku, mengetahui diriku lebih baik tanpa aku harus mengatakannya, bahkan tidak menghakimiku ketika hal itu mungkin tidak akan membuatnya nyaman.
Sejenak aku merasa seolah dunia ini hanya ada aku dan dia—dan aku tidak tahu apakah itu perasaan yang aku inginkan. Aku menggigit bibir bawahku, napasku berat karena memikirkan ketukan-ketukan halus di hatiku.
Caleb tetap menatapku, seakan menantikan jawaban keluar dari bibirku. Tatapan itu seolah memantulkan perasaan yang sulit untuk kupahami, tetapi harus kuterima karena terdapat kesungguhan di dalam sana.
Aku ingin selalu memastikan kau tidak merasakan cemas yang berlebihan itu.
Aku menarik tanganku, meletakkannya di pangkuan kemudian meremasnya. Ucapan Caleb lantas berputar-putar di kepalaku, seperti debu yang tidak berhenti melayang. Entah kenapa, perasaan aneh mulai merayap dalam diriku, rasa hangat yang memberikan kenyamanan. Namun, tak seharusnya hadir dalam situasi seperti ini.
"Charlie." Caleb memanggilku. Menyebutkan nama kecil itu yang bahkan terdengar lebih lembut, daripada ketika ayah memanggilku. Namun, ini bukan tentang kelembutan. Ini tentang apa yang dia harapkan dariku. "Apa kau masih mengkhawatirkan keberadaanku?"
Pertanyaan itu terdengar menusukku dari dalam. Meski lembut, tapi meninggalkan kesan bahwa aku selalu berusaha membohongi diri sendiri. Kenapa aku masih bertahan untuk meragukan Caleb? Padahal, aku sudah membiarkannya melakukan hal baik untukku. Membiarkanku menyelusup masuk ke dunianya, tanpa memiliki persetujuan dan jika melihat dari sisi tersebut, bukankah dia seharusnya marah?
Tapi Caleb tidak melakukan hal itu. Dia memercayaiku. Tetap bersikap lembut dan lebih memerhatikanku, daripada dirinya yang jelas terlihat lebih buruk.
Aku menarik napas panjang. Perasaan aneh itu semakin menguasai. Seperti cengkraman lembut yang tak bisa kulawan, kata-kata Caleb mengisi ruang di antara kami dengan janji yang sulit untuk ditanggapi. Namun, aku tahu, bahwa aku hanya perlu menjawab bahwa--"Tidak,"--aku menggeleng pelan--"seharusnya aku bisa memercayaimu."
Caleb meraih kedua tanganku, membungkusnya dalam genggaman hangat yang rentan.
Sedangkan aku membiarkan hal itu terjadi. Aku menunggunya mengatakan sesuatu karena lidahku terasa kebas. Namun, dia tidak melakukannya, seakan menginginkan penjelasan lebih lanjut.
"Dan ...." Aku menelan ludah, jantungku berdetak kencang, dan ritme napasku kacau. "Hanya kau yang membuatku merasa lebih baik."
Caleb tersenyum tipis kemudian membebaskan salah satu tangannya di tanganku. "Tentu saja, Charlie," katanya, suaranya dalam dan penuh kepastian. "Aku adalah satu-satunya yang benar-benar mengerti dirimu. Semua orang lain di luar sana hanya akan menyakiti dan meninggalkanmu. Hanya aku yang akan selalu ada di sini, untuk melindungimu, untuk memastikan kamu tidak pernah merasa sendirian lagi."
Ia menyentuh tengkukku dengan perlahan tetapi pasti, ibu jarinya menyapu halus garis rahangku, dan dia mendekatkan tubuhnya padaku.
Kulitku meremang mendapatkan perlakuan seperti itu. Terutama karena menyadari bahwa ini adalah gestur yang menandakan ia ingin menciumku. Aku menutup kedua mata--mempersilakan dirinya bertindak lebih jauh--meski tubuhku gemetar. Sentuhan Caleb membakar setiap inchi kulitku, menciptakan sensasi panas tanpa kendali.
"Terlebih, karena pada akhirnya, aku berhasil menemukanmu."
Kedua mataku terbuka, saat suara Caleb terdengar lebih rendah, nyaris seperti bisikan yang hanya ingin kudengar seorang diri. Aku bisa merasakan embusan napasnya di telingaku, hangat, menelusup ke setiap celah kulit yang terbuka. Itu bukan sekadar suara biasa—itu adalah suara yang sengaja diperlambat, dikontrol, seolah dia ingin kata-katanya merasuk lebih dalam ke pikiranku.
"Aku sudah menduga kau akan mengikutiku."
Napasku tercekat, selagi Caleb tersenyum puas, menatapku saat wajah kami saling berhadapan. Dan aku seharusnya tidak membalas tatapan tersebut--tidak, setelah aku menjadi terlalu percaya diri seperti tadi--tapi sebaliknya, aku justru melakukan hal itu lebih lama dari harapanku. Aku ingin memeriksa tatapannya yang begitu intens, yang memiliki banyak arti—mereka yang hanya memantulkan bayangan diriku, seolah mereka telah mengetahui setiap gerakan tubuhku, pikiranku, setiap detak jantungku.
Dia tidak sedang menebak, tidak sedang mengira-ngira. Caleb sudah tahu. Sejak awal.
"Aku hanya ingin kau tetap aman," ucapnya lagi, suaranya lembut, sama seperti saat tangannya bergerak, menggenggam jemariku dengan kelembutan yang kontras dengan luka-lukanya. "Itulah mengapa, aku hanya memperlihatkan punggungku saat mereka menemuiku." Caleb tidak menekan, tidak memaksakan cengkeraman. Tapi itulah yang membuatnya terasa lebih kuat—seakan dia memberiku pilihan untuk menarik diri, tapi pada saat yang sama, ia tahu aku tidak akan melakukannya.
Lantas siapa kau sebenarnya? Kenapa harus menjamin keamananku? Siapa mereka? Aku berharap aku bisa menanyakannya, tetapi hal itu selalu terjebak di dalam pikiranku. Terutama jika mengingat pertemuan pertama kami, aku menyadari bahwa Caleb mungkin sedang menghindari bahaya yang lebih besar.
Dan untuk memecah keheningan ini, aku hanya mampu mengucapkan, "Maaf."
Maaf dengan suara teramat pelan.
Maaf dengan perasaan menyesal karena telah membawanya dalam posisi sulit.
Maaf karena jika aku tidak berada di sana, mungkin Caleb tidak akan berakhir seburuk ini.
Serta maaf karena tidak bisa berbuat banyak untuknya.
Caleb menarikku ke dalam pelukannya. Tangannya mengusap lembut kepalaku dan dalam posisi itu, aku bersyukur karena dia tetap menenangkanku.
"Tidak apa-apa, berkat kau, aku jadi tidak merasa sendirian lagi saat berhadapan dengan mereka."
Mendengar ucapan Caleb, aku merasakan sesuatu di dalam diriku yang tidak pernah kulihat sebelumnya—perasaan bahwa aku mungkin telah bergantung pada Caleb, lebih dari yang dia lakukan terhadapku.
Sudah lama aku merasa seperti orang yang tidak cukup baik, tidak mampu melakukan apapun dengan benar, selalu terjebak dalam ketakutan bahwa aku akan mengecewakan orang lain. Tapi Caleb ... dia seolah memberi rasa aman dalam keadaannya yang rapuh. Dia berbicara seolah segala kecemasanku bisa hilang jika aku hanya bersandar padanya lebih jauh. Tapi apakah itu benar-benar yang aku inginkan? Atau apakah aku hanya takut untuk merasakan kehilangan lagi jika Caleb menjauh?
Aku tidak tahu mana yang pasti. Hanya mampu memastikan bahwa Caleb--secara perlahan, telah memasuki kekosongan dalam diriku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro