008. Heartstrings and Chains
Orang-orang di sekitar kami sibuk dengan urusan masing-masing, tidak peduli bahwa ada dua manusia yang bergerak melawan arus--satu mengejar, sementara yang lain terus melangkah tanpa menoleh.
Langkahku terseok-seok, mengikuti bayangan Caleb yang semakin menjauh. Di tengah keramaian siang hari, aku berusaha mengejar, meskipun beberapa kali kehilangan jejaknya.
Caleb terus berjalan, cepat dan tanpa ragu, seakan memiliki tujuan yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri. Derap langkah kami berpadu dengan riuh kendaraan yang berlalu-lalang. Kabut telah menghilang sepenuhnya, dan kota kembali berdenyut dengan ritme yang normal—suhu yang lebih hangat memanjakan mereka yang melanjutkan rutinitas. Namun, hangatnya matahari tidak memberi efek yang sama padaku. Bukan hanya karena aku tak terbiasa mengikuti seseorang seperti ini, tetapi juga karena ini pertama kalinya aku menjadi seorang penguntit.
"Dia tidak menjawab telepon itu. Panggilan yang hanya berupa deretan angka," gumamku, berjalan melewati deretan toko yang dipadati pengunjung. "Terlalu aneh, jika hanya menatap layarnya saja telah membuatnya terlihat terpengaruh."
Di ujung jajaran toko, Caleb berbelok. Aku berhenti sejenak, mengintip, memastikan apakah dia masih di sana. Namun, dia tidak berhenti. Sebaliknya, dia melompati pagar kawat—tanpa ragu, tanpa menoleh—seolah sudah biasa melakukan hal semacam itu.
Aku menatap pagar tinggi itu. Bukan berarti aku tidak bisa melompati penghalang seperti ini, tetapi jelas ini bukan keahlianku. Jadi, aku mengambil jalur lain—merayap melewati celah di bagian bawah pagar, yang untungnya cukup untuk tubuhku.
Aku tidak bisa kembali. Aku sudah sejauh ini, dan aku tidak ingat jalan pulang.
Aku bangkit dan berlari kecil, berusaha menjaga langkahku tetap ringan. Hingga akhirnya, di sebuah sudut jalan yang sepi, Caleb berhenti. Begitu saja.
Aku menelan ludah, berdiri beberapa langkah di belakangnya, menyembunyikan diri di tempat yang cukup aman untuk tetap mengamatinya tanpa menarik perhatian.
"Apa yang dia lakukan di sini?" bisikku pelan, napasku masih tersengal-sengal.
Di sudut jalan ini hanya ada kami berdua. Aku bisa melihat bahunya naik-turun—napasnya cepat, tidak stabil.
Tatapanku menyapu sekitar, mencari sesuatu yang bisa menjelaskan mengapa Caleb berhenti. Namun, lima menit berlalu. Lalu lima belas menit. Tidak ada apa pun selain deru angin yang berembus dan suara kendaraan yang terdengar semakin jauh.
Kedua tanganku mulai meremas ujung bajuku, kelembapan menyelimuti telapak tanganku. Aku mulai bertanya-tanya—apakah Caleb sadar aku mengikutinya? Apakah dia sedang menungguku keluar dari tempat persembunyian? Atau dia benar-benar menunggu seseorang?
Pikiranku bercabang, di antara keinginan untuk mundur dan keinginan untuk tetap di sini. Napasku sesak. Keringat dingin mulai bercucuran. Dan Caleb masih berdiri di sana—punggungnya menghadapku, tidak bergerak sedikit pun.
"Sungguh, kau sedang menunggu apa?"
Aku menggigit bibir bawah, sadar bahwa pertanyaan itu bukan untuknya. Itu hanya suara dalam kepalaku, bergema di antara rasa cemas dan penasaran.
Tarik napas. Embuskan perlahan melalui mulut selama tiga puluh detik. Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri dengan pola pernapasan yang selama ini membantuku menjernihkan pikiran.
Aku hanya ingin tahu siapa Caleb sebenarnya. Itu saja. Tapi kini, aku bahkan tidak tahu apakah aku akan menemukan jawaban atau malah tersesat lebih jauh.
Dan saat itulah--setelah kedua mataku terbuka--aku melihat sesuatu yang seharusnya tidak kulihat.
Sosok-sosok berpakaian gelap.
Empat orang—dan satu lagi, berdiri di hadapan Caleb.
Seketika, tubuhku menegang. Aku menutup mulut dengan kedua tangan, menekannya kuat-kuat agar tak mengeluarkan suara sedikit pun.
Aku bisa mendengar mereka berbicara, meski kata-kata mereka tak jelas. Suara mereka samar, terdengar seperti dengungan lebah di tengah musim semi. Tapi dari ekspresi lawan bicara Caleb, aku tahu ini bukan percakapan biasa. Ada sesuatu yang lebih dari itu. Sesuatu yang berbahaya.
Apa yang membawa Caleb ke sini? Siapa mereka? Apa mereka bagian yang mengejar Caleb saat itu?
Darahku membeku. Napasku tercekat saat salah satu dari mereka melayangkan pukulan ke wajah Caleb.
Aku ingin berteriak. Aku ingin berlari. Tapi tubuhku tak bisa digerakkan.
Caleb nyaris jatuh, tapi dia terlihat tidak membiarkan hal itu terjadi.
Akan tetapi, lebih dari itu, seharusnya aku tidak berada di sini.
Sekarang aku mengerti. Mungkin, inilah alasan Caleb tidak menjawab panggilan teleponnya. Alasan dia tidak banyak bicara dan memintaku untuk mengingatnya secara perlahan. Ada sesuatu yang lebih besar--yang bisa saja tak mampu kuterima sekaligus--seperti ini hanyalah bagian kecil dari partikel bom waktu miliknya.
Sinar matahari yang terik tidak mampu menghangatkan tubuhku yang mulai menggigil. Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh Caleb, tanpa belas kasihan. Lututku melemas menyaksikannya. Kakiku terasa seperti dicor beton, berat dan tidak bisa digerakkan. Aku mencoba membuka mulut—berteriak, meminta tolong—tetapi suara itu terperangkap di tenggorokanku.
Lalu, di tengah kekacauan ini, sesuatu menghantam pikiranku.
Sebuah kenangan.
Anak laki-laki itu.
Lalu luka ditubuhnya. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi secara kebetulan. Ini seperti di dalam mimpi yang terealisasi dengan nyata.
Aku terjebak. Ketakutan itu tidak asing. Kebingungan ini tidak memiliki jalan keluar.
Tapi, bagaimana jika ... tidak, Charlotte! Jangan terlalu berpikir sekarang.
Aku memaksa diriku kembali ke realitas, dan yang kulihat berikutnya membuat dadaku mencelos. Caleb terbaring di atas aspal, seperti sebongkah batu yang memiliki nyawa.
Orang-orang itu berdiri mengelilinginya. Pemimpinnya berjongkok di hadapan Caleb, mengatakan sesuatu yang terlihat seperti ancaman. Aku tak bisa menangkap semua kata-katanya, tapi aku tahu ini bukan peringatan kosong.
Tarik napas. Embuskan.
Satu.
Dua.
Tiga.
Lima.
Aku menelan ludah, mengepalkan kedua tangan. Baru setelah aku yakin mereka telah pergi, aku bergerak. Kakiku terseret, napasku semakin berat seiring dengan jarak yang semakin dekat di antara kami. Aku lupa bagaimana caranya bernapas dengan benar. Aku bahkan lupa bagaimana caranya berjalan tanpa merasa akan jatuh.
Dan ketika aku akhirnya berlutut di samping Caleb, segalanya terasa begitu buruk.
Pakaiannya berantakan, wajahnya penuh luka, dan kedua matanya terpejam. Noda merah membentuk titik-titik acak di sekitarnya, membuatku menyesal karena tidak berbuat apa-apa selain menjadi penonton.
"Caleb..." suaraku bergetar. Aku menyentuh rambutnya, mencoba melihat reaksinya. Namun, dia tetap diam, tidak memberikan tanda-tanda bahwa dia mendengar suaraku.
Aku menahan napas. Mencari embusan napasnya di wajahku.
"Caleb..."
Ini lebih buruk dari yang kubayangkan.
Aku bahkan lebih memilih saat dia menciumku paksa di pantai—setidaknya saat itu, dia masih memiliki tenaga untuk melawanku.
Sekarang...
Kemana perginya kekuatan itu?
Siapa sebenarnya mereka?
Hentikan, Charlotte, kau harus membawanya pergi.
"Kumohon, Caleb..." suaraku nyaris tak terdengar, sementara tanganku meremas tangannya, mencoba memberinya sedikit kehangatan. "Tetaplah terjaga."
Dan saat itu juga, Caleb membuka matanya.
Sebuah tatapan—campuran antara rasa syukur dan ... penghakiman.
Aku tahu ini adalah kesalahan. Tidak ada satu orang pun yang ingin diperlakukan seperti yang kulakukan sekarang.
Tapi aku sudah melangkah terlalu jauh. Sudah masuk terlalu dalam.
"Maaf," bisikku, tanpa tahu apakah itu untuknya, atau untuk diriku sendiri.
Air mataku jatuh begitu saja. Caleb mengangkat tangan, menyentuh wajahku, menghapus jejak cairan yang mengalir di pipiku. Bau besi merasuk ke dalam rongga hidungku, menciptakan rasa sakit yang sukar dijelaskan. Lalu, dia menarikku lebih dekat.
"Bantu aku berdiri," bisiknya tepat di telingaku.
Dan seperti tamparan ke realitas, kesadaranku kembali.
Aku mengangguk pelan kemudian mengalungkan lengan Caleb di bahuku. Membantunya berdiri dan aku tahu, dia hanya menyerahkan separuh beban tubuhnya padaku. Tanpa banyak bicara kami berjalan, terseok-seok meninggalkan sudut jalan.
Di tengah keramaian, orang-orang yang awalnya tidak peduli akhirnya memerhatikan kami. Mereka menatap dalam diam, menilai melalui pikiran masing-masing, dan menerka apa yang baru saja terjadi. Namun, itu lebih baik karena aku tidak yakin bisa menjelaskannya.
Di trotoar, pikiranku kembali terbelah dan tatapanku silih berganti menatap taksi yang beberapa kali melintas. Ke mana aku harus membawa Caleb? Rumah sakit, kabin atau tempat tinggalnya.
Aku tidak tahu banyak hal tentang Caleb, jika membawanya ke rumah sakit itu akan memancing orang lain untuk terlibat--yang belum tentu, dia menginginkannya. Lalu tempat tinggalnya? Itu mustahil, mereka pasti telah mencari tahu segala hal tentang Caleb.
"Kabin." Suara Caleb terdengar serak, tetapi tenang hingga aku nyaris tidak mendengarnya karena tenggelam oleh suara-suara di kepalaku.
Aku menoleh ke arahnya.
"Hanya kau yang mengetahui hal ini," katanya dengan tatapan putus asa. "Aku tidak bisa percaya siapa pun kecuali kau."
Otakku membeku. Perkataan Caleb seolah menembus setiap sel dalam tubuhku. Dia percaya padaku, tidak ada orang lain, dan aku telah melewati batas dengan mengikutinya hanya karena aku ingin mengenalnya.
Aku menelan ludah, membasahi kerongkongan yang mengering. Aku bukan siapa-siapa. Aku bahkan tidak tahu harus mulai dari mana, tapi Caleb memilihku--sejak awal seperti itu--dan tanpa sadar aku melakukan hal serupa.
Aku menerimanya. Aku membiarkan Caleb melangkah masuk ke duniaku, membiarkan pria itu membangun kembali kenangan yang nyaris kulupakan.
Bukankah ini takdir? Aku menatapnya dalam diam, mencoba masuk ke dalam sorot mata keabuannya lalu aku menemukan jawaban itu.
Jawaban yang membuatku harus mengangguk. "Baiklah," bisikku seperti embusan angin yang menerbangkan ranting-ranting pohon pinus.
Aku mengulurkan salah satu tanganku, menghentikan taksi yang lewat dan aku membawa Caleb ke kabinku.
Yang dia anggap sebagai tempat teraman untuk kondisinya saat ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro