Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

007. Chasing Shadows

"Sampai kapan kau akan terus menunggu, Charlie."

Kedua mataku terbuka. Tersadar dalam tidurku setelah mendengar kalimat yang terasa nyata. Kalimat yang diucapkan dengan tenang, tetapi berhasil masuk ke dalam pikiranku yang terlelap. Aku berbaring dalam posisi miring, menghadap jam digital di atas nakas yang menunjukkan angka sepuluh pagi. Jendela masih tertutup rapat, membuat titik cahaya matahari memaksa masuk melalui celah-celah kecil, sedikit meredupkan kabut yang masih menutupi dunia luar.

Di balik punggungku, aku mendengar suara aktivitas seseorang. Dia bersenandung, dengan nada yang samar, tetapi ada sesuatu yang terasa begitu akrab. Suara itu seolah miliknya--atau lebih tepatnya, versi dirinya yang pernah aku dengar. Cahaya keemasan mulai memecah kabut tipis dari celah jendela, memberikan kehangatan yang mengalir perlahan hingga ke ujung kakiku, sementara partikel-partikel debu berterbangan lembut di udara yang hangat.

Kabin penginapan tipe studio selalu tidak cocok untuk menerima orang asing untuk menginap. Namun, aku--di bawah pengaruh alkohol--justru melakukannya. Aku tak yakin apa yang kuucapkan hingga Caleb bisa berada di sini. Aku hanya bisa mengingat bahwa aku memohon padanya dan ketika kesadaranku telah pulih, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Selain menjadi sebatang kayu selagi pikiranku bekerja, menciptakan suara-suara.

"Sampai kapan kau akan terus menunggu, Charlie."

Aku menghela napas panjang selagi mengulang kalimat tersebut di dalam pikiranku. Mengulang bagaimana suara itu terdengar dan bagaimana intonasinya.

Saat itu, sebelum aku berhasil terjaga, aku sempat bermimpi. Aku duduk seorang diri di tepi dermaga tua di sungai Bronx. Airnya berwarna kecoklatan akibat perubahan ekosistem. Kedua kakiku berada di dalamnya, membentuk gradasi dengan nuansa hangat karena kulitku tidak pucat, tetapi coklat seperti kayu manis.

Aku tidak melakukan apapun di sana, hanya duduk sambil menatap matahari terbenam di balik pohon-pohon menjulang dan taman kota. Telingaku, senantiasa mendengar kesibukan kota yang khas dan aku tahu, meski tidak melakukan apapun, aku sedang melakukan penantian. Menunggu seseorang yang aku tidak tahu siapa.

Lalu suara itu datang, seperti embusan angin yang menerpa seluruh kulitku. Menelusup ke dalam pikiranku. Suara yang memelukku dari dalam, hingga membuatku terjaga dan terjebak dalam satu pertanyaan mutlak.

Siapa?

Jantungku berdebar. Kedua tangan refleks menarik ujung selimut dan meremasnya karena tidak mampu menemukan jawaban.

Seharusnya tidak perlu memikirkan hal itu. Mimpi hanya bunga tidur atau kenangan di masa lalu yang pernah dilakukan. Tapi bagaimana hal itu bisa terjadi saat kutahu bahwa pemilik suara itu adalah--

"Aku tahu kau sudah bangun." Suara Caleb memutus pikiranku, membenarkan jawaban yang sebelumnya menerima banyak pengelakan. "Charlie, apa tidurmu nyenyak?"

Dia berdiri menjulang di ujung kakiku, aku bisa merasakan kehadirannya tanpa harus bangkit dari tempat tidurku yang nyaman.

Dan aku tidak menjawab. Hanya mengangguk karena tidak tahu harus bersikap apa. Keberadaan Caleb membuatku merasa asing. Dia baru saja berdiri di teras duniaku, tetapi pengaruhnya seperti akan menguasaiku cepat atau lambat. Terlebih karena saat ini, kulitku mulai berkeringat dengan tidak nyaman.

"Aku akan pergi," katanya sambil menggenggam pergelangan tangannya setinggi dada. "Ada sarapan di meja makan, kau bisa menyantapnya di saat kau siap."

Caleb berbalik, langkahnya ringan tanpa suara menuju pintu kabin. Saat dia membuka pintu, suara ombak terdengar jelas, meskipun kabut pagi belum sepenuhnya menghilang. Aku menatapnya dalam diam, perlahan-lahan bangkit dari posisi berbaring--menunggu pintu itu tertutup kembali--menyisakan kesunyian yang khas.

Aku bangkit, berjalan ke jendela, mengintip Caleb. Pria itu berdiri di teras kabin, menatap laut yang kelihatan masih diselimuti kabut tipis, dan sekilas aku menemukan senyum tipis di wajahnya. Namun, hal itu hanya terjadi selama beberapa detik karena ekspresi datarnya kembali menguasai.

Caleb menoleh ke belakang--ke arahku--membuatku bergerak mundur, hingga tumitku menghantam kaki tempat tidur.

Seharusnya, aku mengaduh karena itu adalah reaksi normalnya saat rasa nyeri menjalar. Namun, aku berusaha tidak melakukannya demi menyembunyikan keberadaanku. Menggunakan kedua tangan, aku menutup mulutku dan bergegas pergi ke meja makan lalu aku melihatnya.

Menu sarapan sederhana yang sudah lama tidak kusantap.

"Telur, bacon, roti bakar." Aku menatap hidangan itu, rasa lapar menyeruak, lalu tanpa sadar aku tersenyum. Merasa cukup senang hanya karena sesuatu yang sederhana.

Aku menarik kursi, ingin segera menyantap hidangan tersebut. Membayangkan renyahnya roti bakar dan bacon serta kelembutan scramble egg, sungguh menggugah selera. Terlebih, seingatku, aku sudah cukup lama tidak menikmati sarapan klasik ini. Namun, pergerakanku seketika terhenti--tepat di saat tangan kananku menyentuh garpu dan pisau--lenganku menggantung di udara.

Kecemasan itu datang, tanpa tahu diri, seakan mereka tidak akan membiarkanku merasa lebih baik.

Aku meletakkan kembali alat makanku di atas meja, bangkit dari tempat dudukku, dan melangkah lebar menuju pintu kabin.

"Caleb!" Aku membuka pintu kabin, selagi memanggil nama pria itu dan menemukannya berdiri di atas permukaan pasir--di antara para pengunjung yang bersiap untuk berjemur, saat matahari berhasil mengalahkan kabut.

Di depan pintu langkahku tertahan, kulitku meremang saat hembusan angin laut menyapu kulitku. Pandanganku tidak berpaling ke mana pun, hanya tertuju pada Caleb yang masih berdiri di tepi pantai. Tubuhnya tegap, seolah ada sebuah rahasia besar di ujung lautan yang diselimuti kabut tipis.

"Caleb!" Aku memanggilnya lagi, tetapi sepertinya suaraku tenggelam oleh deburan ombak, sehingga memaksaku untuk menghampirinya.

Aku berdiri di sisinya, awalnya ikut menatap ke arah laut--mencoba mencari tahu apa yang dipikirkan Caleb saat itu. Namun, hanya sebentar. Tujuanku adalah Caleb, bukan laut atau sinar matahari pertama.

"Kita harus makan bersama."

Dia menoleh, kedua matanya menyipit, dan itu membuatku menyesal karena mengatakannya.

"Kau ... tidak ingin?" Suaraku bergetar dan semakin jelas, ketika aku mengatakannya. Bahkan tanpa sadar tanganku meremas ujung pakaianku. "Akan kuberikan seluruh baconnya untukmu."

Caleb tidak menjawab, hanya menatapku, dan itu semakin membuatku tidak nyaman. Apa aku terkesan memaksa? Seharusnya, aku bertanya terlebih dahulu dan bukannya langsung meminta tanpa memberikan pilihan.

"Terima kasih." Caleb menundukkan sedikit punggungnya, hingga jarak kami menjadi sedikit lebih dekat. "Tapi aku tidak punya sosis sapi untuk ditukar."

Sesaat, perkataan Caleb membuatku terdiam. Sosis sapi. Itu kata kuncinya. Aku tidak terlalu menyukai bacon, tapi itu dulu sebelum usiaku menginjak tiga belas tahun. Setiap kali ibuku memasak sarapan dengan menu klasik itu, aku akan selalu menyisihkan bagian tersebut--hal yang kulakukan sebagai bentuk kasih sayangku kepada hewan yang pernah menjadi peliharaanku. Namun, mati karena terkena penyakit.

"Kau ...." Aku menggigit bibir bawahku, kedua ibu jariku saling bertaut, bergetar saat mereka berusaha menahan kegelisahan yang mulai merayapi setiap inci tubuhku. "Tidak masalah, kau, tidak perlu menukar apapun," kataku berbohong sebab bukan itu yang sebenarnya ingin kukatakan.

Ada banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan padanya, pertanyaan yang tak bisa kuungkapkan begitu saja. Siapa sebenarnya Caleb? Mengapa suaranya bisa masuk ke dalam mimpiku? Bagaimana bisa dia tahu tentang hal-hal kecil yang bahkan aku sendiri hampir lupa? Namun, aku tidak yakin bisa melakukannya karena Caleb--dia justru mengusap rambutku lembut, menatap langsung ke arah mataku, dan tersenyum hangat.

Senyuman yang melelehkan hatiku. Menciptakan kerinduan jika aku kehilangannya. Namun, tidak cukup untuk memancing keberanian dalam diriku.

"Baiklah."

Aku terkesiap. Menegang karena jawabannya dan juga karena aku telah membuka halaman untuk terjebak dalam kecanggungan selanjutnya.

Caleb meraih tanganku, menggenggamnya tanpa keraguan dan menuntunku untuk mengikutinya masuk ke dalam kabin. Seolah tempat itu adalah tempatnya juga. Seolah dia telah berkunjung beberapa kali, hingga tidak perlu menungguku.

Setibanya kami di meja makan, aku refleks melepaskan genggaman Caleb untuk mengambil perlengkapan makan. Namun, sebelum sempat melakukan hal tersebut dia menahanku dengan mengeratkan genggamannya, selagi menarik kursi.

"Tunggulah di sini."

Caleb melangkah menuju rak penyimpanan alat makan, mengambilnya dan meletakkan mereka di atas meja. Aku memerhatikan setiap pergerakannya lalu ke sekeliling ruangan ini, bahkan di setiap sudutnya. Padahal, baru satu malam, tapi keberadaan pria itu seperti telah beberapa kali melakukan hal tersebut.

Seakan-akan dia sudah sering melakukannya terhadap wanita lain. Tentu saja. Bukankah akan lebih aneh jika tidak ada wanita di sampingnya?

Dia duduk di hadapanku, memindahkan seluruh bacon ke atas piringnya, sebelum memberikan piring berisi scramble eggs dan roti bakar kepadaku. Namun, aku bukan manusia serakah sehingga--sama seperti yang ia lakukan--aku membagi dua scramble eggs serta roti bakarku.

"Seharusnya itu bagianmu," katanya.

Aku menggeleng pelan, sebelum menjawab, "Salahku karena tidak membeli bahan makanan layak untuk disantap."

Lagi-lagi berbohong. Aku membaginya bukan murni karena ingin berbagi, aku hanya ingin terlihat sopan, tidak ingin terkesan memikirkan diri sendiri, dan aku tahu, aku tidak bisa membiarkan semua ini menggantung terlalu lama.

Di hadapanku, Caleb mulai menyantap hidangannya. Gerakan pria itu tenang, santai, sedikit pun terlihat tidak terganggu dengan keberadaanku. Hal yang berbanding terbalik denganku, aku tidak bisa menyentuh makananku. Pikiranku terlalu penuh untuk sekadar memaksa agar tanganku bergerak.

Yang kulakukan hanya menatap Caleb. Awalnya aku mengamati rambut abu-abu itu lalu ke bagian keningnya yang halus, dan entah bagaimana aku memikirkan apa yang ada di dalamnya.

Pria itu terlalu tenang, seperti sedang menahan diri. Dia tidak banyak bicara, ucapannya terukur, seakan memilih kata dengan cermat sebelum diucapkan. Aku biasa menuliskan sikap ini sebagai sosok yang misterius, seperti bom waktu yang akan meledakkan orang-orang di sekitarnya karena rahasia dalam dirinya yang ternyata lebih besar.

Dan sejujurnya, saat pikiran itu terlintas, aku khawatir. Sebesar apa bom waktu yang ia simpan. Apakah dia sengaja memberikan petunjuk-petunjuk kecil agar aku bisa lebih siap? Seperti karangan bunga Forget Me Not yang telah rusak sebelumnya dan kuabaikan di atas meja, Caleb menatanya kembali dengan memilah yang terbaik lalu meletakkan mereka di dalam gelas.

Lalu bacon--bagaimana harus mengatakannya, agar kau mau menjelaskannya? Apa yang harus kulakukan? Ini hanya hal kecil, tetapi semua yang dia berikan adalah sesuatu yang telah lama kutinggalkan.

"Kau masih punya kebiasaan menatap orang seperti itu."

Suara Caleb membuatku tersentak, seperti tertangkap basah, mengelak pun terasa mustahil.

"Apa kau berhasil mendapatkan sesuatu?"

Dia tersenyum miring, tidak menatapku, hanya fokus menyantap makanan yang seharusnya bisa diselesaikan dalam waktu singkat.

"Sungguh seperti Charlie."

Akhirnya dia menatap ke arahku, selagi memasukkan potongan kecil roti bakar ke dalam mulutnya.

Aku mendorong punggungku pada sandaran kursi, ujung-ujung jari kakiku bergerak secara acak demi mengusir ketidaknyamanan. Jika aku mengalihkan pandangan, itu menandakan bahwa aku menyerah.

Caleb seolah menantangku, menilai sejauh mana keberanianku. Suara-suara dalam pikiranku mendesak agar aku segera menyelesaikannya. Namun, sebagian dari diriku khawatir bagaimana jika dia adalah bom waktu yang tidak bisa dibendung dampaknya?

Aku menggenggam erat garpu dan pisau. Pikiranku telah menemukan jalan buntu, hingga beranggapan bahwa membelah kepalanya, memecahkan otaknya menjadi bagian-bagian kecil akan terasa lebih baik, daripada terjebak dalam situasi ini.

Katakan, Charlotte!

Katakan!

Katakan!

Dimulai dari Charlie!

Anak laki-laki itu!

Arom lavender!

Otakku terasa penuh oleh tuntutan. Aku menggigit bibir bawahku, telapak tanganku berkeringat.

Kau sudah tidak waras, Charlotte!

Hentikan omong kosong ini!

Dia hanya berprilaku normal, tapi kau menilai berlebihan!

"God." Suaraku lirih terdengar. Air mataku tiba-tiba menetes yang entah mengapa hal itu harus terjadi. Aku ingin menghapusnya, tetapi Caleb melakukannya lebih dulu. "Maaf."

"Aku bisa pergi kalau kau merasa tidak nyaman."

Aku tidak ingin kau pergi. Seharusnya aku mengatakan itu dengan lugas. Kau tidak boleh pergi sebelum tujuanku selesai. Seharusnya aku tidak menundukkan kepala.

Caleb bangkit dari kursinya, menghampiriku, dan di luar dugaan dia berlutut di sisiku. Tangannya yang hangat menarik daguku agar mengarah padanya lalu suara itu terdengar mendamaikan.

Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi saat itu juga aku memutuskan untuk menyela, "Apa yang harus kulakukan?" Keringat dingin mulai bermunculan di permukaan kulitku. Pikiranku bergemuruh, semakin bising hingga membuatku kesulitan memilih kata. "Aku ... ingin hadiah." Aku menelan ludah, kerongkonganku kering, dan suaraku serak. "Siapa kau sebenarnya?"

Caleb mengusap rahangku, menyentuh sebagian pipiku, membuat kedua mataku tertutup untuk meresap seluruh kehangatannya, sekaligus menahan air mata tidak jatuh lagi di pipiku. Namun, upaya ini tidak bekerja, mereka tetap memaksakan diri keluar melewati bendungan yang kubangun.

Aku tidak pernah menangis di hadapan orang lain. Tidak sekali pun kecuali di hadapan Julia. Dan hari ini, Caleb--dengan tindakan dan sikap kecilnya--berhasil mendapatkan posisi itu. Seakan aku telah menyerah dengan sesuatu yang tidak pasti.

Caleb menyeka air mataku dan saat kedua tangannya berada di sisi wajahku, ia berkata, "It's ok, I'm sure you can figure out who I am on your own."

Tidak!

Aku tidak bisa menerima jawaban seperti itu. Aku ingin mendesaknya. Mendesak Caleb untuk mengatakan siapa dirinya. Namun, ucapannya menahanku, mengunci mulutku, dan memaksa logikaku untuk menerimanya secara sukarela dengan rasa bersalah. Mengapa aku bisa melupakan orang ini? Sejauh apa hubungan kami?

Kedua alisku menyatu akibat perasaan tidak nyaman ini. Hatiku terasa sakit, padahal Caleb mungkin bermaksud baik.

Dia mengusap kepalaku, saat kami mendengar ponselnya bergetar. Pria itu bangkit dari posisinya dan mengatakan bahwa ia akan kembali menemuiku.

Tapi, tidak, aku tidak bisa diam saja. Meski awalnya aku hanya duduk menatap kepergian Caleb, aku memaksakan diri untuk melangkah.

Mengikutinya, tanpa kutahu apa yang akan kutemukan setelah ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro