006. Unspoken Sentiments
Caleb.
Nama itu telah tertanam dalam pikiranku seolah-olah ia selalu ada di sana, hanya terkubur di balik kabut yang belum bisa kutembus. Aku tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu tentang namanya yang terasa begitu berharga. Seperti penghargaan luar biasa yang tidak kumengerti alasan keberadaannya--hanya saja, aku tahu aku menerimanya tanpa sedikit pun penyangkalan.
Lebih dari itu, aku juga ingin memeluknya. Ingin membiarkan diriku tenggelam dalam kehangatan yang samar-samar kurasakan darinya. Tapi aku tidak bisa. Itu terlalu dini, terlalu asing bagi logikaku, meskipun hatiku berkata sebaliknya.
Jadi aku hanya berdiri di sana, menatapnya. Membiarkan tangan dinginnya menyentuh pipiku.
Secara fisik memang dingin, tetapi untuk rasa, aku mendapatkan kehangatan dari sentuhan Caleb. Kini aku mengerti makna dari perkataan Sylus; malam ini bukan tentang mencari, tetapi merasakan. Hanya sebuah nama dan sentuhan sederhana, aku seperti berada di tepi bayang-bayang pria ini, bersama dengan pilihan untuk menyambut atau pergi.
Mataku menyapu wajahnya, menghafal setiap lekuk, setiap bayangan yang terbentuk oleh cahaya lampu jalan. Mata abu-abu Caleb tampak selaras dengan warna rambutnya, menciptakan gradasi lembut di bawah langit malam yang kelam. Di antara gerimis yang turun perlahan, dia terlihat seperti ilusi yang nyaris lenyap jika aku berkedip terlalu lama.
Aku tidak tahu siapa dia dalam hidupku. Aku tidak tahu kenapa aku merasa seperti ini.
Tapi aku tahu satu hal: Aku ingin mengingatnya.
"Apa kau sudah selesai mengamatiku?"
Aku terkejut, suara Caleb terdengar jelas di telinga hingga kedua mataku mengerjap. "Aku ... tidak melakukan apapun." Langkah kakiku bergerak mundur, menjaga jarak, berusaha menjadi tidak terbaca olehnya.
Caleb menegakkan tubuhnya dengan senyum tipis yang jauh dari dugaanku. Kupikir dia akan tersinggung, tetapi itu tidak terjadi karena pria itu kini mengulurkan tangan kanannya ke arahku. "Aku akan mengantarmu pulang."
Aku menatap uluran tangannya. Menimbang-nimbang apa yang harus kulakukan karena di bawah pengaruh alkohol. Aku tidak ingin satu malam singkat terjadi di antara kita, hanya karena aku mabuk.
Akan tetapi, bukankah aku sudah memberikan celah kepadanya jauh sebelum hal ini terjadi? Caleb bisa saja menyentuhku--yang waktu itu tidak sadarkan diri--saat dirinya mengangkat tubuhku ke dalam kabin. Seharusnya ia memang bisa, tapi pria itu tidak melakukan apapun selain meletakkan tubuhku di tempat tidur, mungkin mengganti pakaianku yang basah akibat air laut, dan mungkin juga menyelimutiku agar tidak kedinginan.
Tidak apa-apa, satu kesalahan bukan berarti keburukan untuk selamanya. Suara dalam diriku menekankan hal itu, sehingga langkah kakiku kembali mendekati Caleb, membalas uluran tangannya dan membiarkan genggamannya membungkus tanganku.
"Terima kasih," kataku pelan dan sopan.
Caleb hanya mengangguk kemudian membawa kami berjalan bersisian di trotoar. Tetesan gerimis yang awalnya terasa tipis dan lembut, kini berubah menjadi semakin deras. Mereka yang mengenai kami telah meninggalkan jejak basah di pakaian. Aku menengadah untuk menangkap setiap detailnya, berusaha mengingat momen ini hingga ke bagian hal terkecil.
Dan tangan lain Caleb berada di atas kepalaku. Membuatku cukup terkejut karena aku tidak menyangka, dia akan bersikap sejauh ini. Ini bukan adegan romantis yang biasa kutulis dalam novelku--yang akan membuat si tokoh wanita merasakan kupu-kupu berterbangan di dalam perutnya. Diriku terlalu rumit untuk menerima hal manis tersebut sebab yang kudapatkan hanyalah setumpuk pengelakan, keraguan, dan sedikit kekhawatiran.
Meskipun ini, mungkin, hanyalah bagian awalnya.
Aku menoleh ke arah Caleb, mencoba membaca pikirannya. Namun, ekspresi datarnya terlalu piawai untuk menyembunyikan isi kepalanya. Tatapan Caleb hanya fokus pada jalan yang ia ambil dan dengan posisi seperti ini, aku seperti telah memberikan kepercayaan bahwa dia tidak akan membuatku tersesat.
"Caleb ...." Aku membisikkan namanya, tidak berharap dia akan mendengarnya. Namun, jantungku sudah berdetak kencang dan pikiranku bergemuruh.
Langkah kakiku terus bergerak, mengikuti ritme miliknya dan ketika ia berhenti, aku tersadar bahwa kami telah sampai, di depan mobil yang pintunya telah terbuka.
"Masuklah," katanya setenang aliran sungai Bronx, sebelum tangan kami saling berpisah, seakan dirinya tidak memaksa jika aku tiba-tiba saja berubah pikiran. "Akan terasa lebih hangat di dalam."
Aku menatap jok mobil yang ia persilakan untukku. Berwarna hitam dan mengkilap, aroma lavender kembali menyerbu indera penciumanku hingga paru-paru terasa penuh. Lalu aku menemukan sesuatu--yang mungkin bisa terlewatkan di mata orang lain karena ukurannya terlalu kecil, serta diletakkan di tempat tidak biasa.
Di bagian speedometer, aku menemukan sekuntum bunga Forget Me Not yang dilapisi resin. Hal itu membuatku bertanya-tanya, tetapi kuurungkan karena aku tidak ingin bersikap tidak sopan.
Hanya nama. Itu sudah cukup untuk hari ini.
"Terima kasih." Aku tersenyum tipis ke arah Caleb kemudian menuruti perintahnya untuk masuk ke dalam mobil.
Dan Caleb tidak menjawab. Hanya anggukan tipis sebelum pria itu menutup pintu lalu melangkah lebar ke sisi kemudi mobil.
Dari dalam, aku mengikuti pergerakan Caleb. Memerhatikan bagaimana cara pria itu melangkah, di antara kaca mobil yang membentuk pola abstrak akibat tetesan hujan. Aku mengembuskan napas pelan, sambil memeluk diri sendiri, membiarkan udara hangat dari dalam mobil meresap ke dalam kulitku yang dingin.
Dan saat itulah, sebelum suara mesin mobil terdengar, sesuatu yang hangat serta berat jatuh di atas pundakku.
Aku menoleh, sedikit terkejut.
Caleb duduk di kursi pengemudi, satu tangan memegang kemudi, sementara tangan lainnya yang baru saja menyelimuti tubuhku dengan mantelnya, kini kembali ke sisi tubuhnya. Gerakannya begitu wajar, begitu sederhana, seakan ini bukan sesuatu yang perlu dipertanyakan.
Aku membuka mulut, berniat mengatakan sesuatu--entah itu ucapan terima kasih atau sekadar menolak karena dia pasti lebih membutuhkannya dibanding aku--tapi saat aku menangkap sorot matanya, kata-kata itu lenyap begitu saja.
Mata abu-abunya tampak tenang, nyaris tak terbaca dalam cahaya temaram kabin mobil. Tidak ada perintah, tidak ada desakan, tetapi kehadiran mantel itu di tubuhku berbicara lebih banyak daripada yang perlu diucapkan.
Aku menunduk, merapatkan mantel itu lebih erat di sekeliling tubuhku. Aromanya samar--bukan aroma parfum yang menusuk, tapi sesuatu yang lebih halus, lebih personal. Aroma lavender dan sedikit sentuhan manis dari bunga Forget Me Not. Sesuatu yang tidak seharusnya aku perhatikan, tetapi kini telah terlanjur tertanam dalam ingatan.
Aku tidak tahu apakah ini hanya tentang mantel atau ada hal lain yang sedang berusaha dia sampaikan lewat tindakan sederhana ini. Namun, aku memilih untuk tidak bertanya.
Untuk malam ini, aku akan menerima kehangatan ini, tanpa menuntut jawaban lebih jauh.
Hanya nama. Itu sudah cukup. Aku mengulang kalimat tersebut beberapa kali dalam benakku, meski sisi lain dari diriku mendesak penjelasan dan kepastian.
Aku merapatkan kedua kelopak mataku, membiarkan perasaan kantuk menguasai, dan memutuskan terlelap dalam kehangatan sementara.
Dan samar-samar, aku masih mendengar pertanyaan Caleb tentang ke mana dia harus membawaku. Saat itu aku tidak yakin jawaban apa yang meluncur dari bibirku. Namun, aku mempercayai bahwa ucapanku berlandaskan tanggung jawab.
... karena aku tidak ingin ada malam singkat, meski alkohol telah melemahkan sebagian dari diriku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro