
005. The Stranger's Allure
Ps. Disarankan untuk mendengarkan lagu I See You by MISIOO untuk menambahkan chemistri di paragraf akhir.
***
Selama dua hari terakhir, aku merasa telah menghabiskan waktu dengan sia-sia. Berkeliaran tanpa tujuan, hanya untuk menonton orang lain, dan di malam hari akan menghabiskan waktu di bar--sekadar mencoba saran Mrs. Hannagan untuk terlibat dengan orang asing. Sejujurnya, aku nyaris lupa bahwa tujuanku ke California adalah untuk menghidupkan kembali tulisanku.
Yang artinya untuk memudahkan tugas tersebut, aku butuh sesuatu--dalam hal ini adalah alkohol--untuk membuatku lebih berani bertindak, menyapa mereka, sekadar mengajak berbicara, tanpa merasa terlalu banyak khawatir. Sejauh ini cara tersebut memang berhasil. Namun, bukan berarti tanpa risiko karena orang brengsek--yang memanfaatkan orang mabuk--selalu ada di mana pun.
Hanya lima gelas. Kau harus tetap memiliki separuh kesadaran karena ini pekerjaan. Itu adalah peringatan self control yang kutanamkan di dalam kepala, setiap kali menginjakkan kaki pertama di lantai bar.
Aku tersenyum tipis kepada pria yang berbaik hati mengambil kursinya di sampingku, tanpa menungguku untuk berinisiatif. Dia memperkenalkan dirinya sebagai Sylus, seorang pengusaha properti, tengah berlibur dari kepenatan kota Moscow. Aku memutuskan bertahan--berbicara--dengannya sebab ada sesuatu yang menarik pada kisahnya, hingga diam-diam ponselku sudah bekerja untuk merekam pembicaraan ini.
"Aku tahu ini konyol," ujar Sylus, memutar gelas Vodkanya. "Tapi karena kita sama-sama mabuk, kurasa tak masalah mengatakannya." Ia meneguk sisa minumannya, lalu menatap kosong ke meja. "Aku tak percaya reinkarnasi. Mungkin kau juga tidak. Tapi saat bicara tentang tunanganku ... rasanya aku sudah mengenalnya jauh sebelum aku lahir."
"Sebagian orang memang memercayainya." Aku menggerakkan telunjuk di atas meja, membuat pola seperti menggaruk. "Tapi bagaimana kau bisa merasakan hal itu?" Tatapanku beralih pada rambutnya yang diwarnai seputih perak.
Aku mengenali tanda itu--usaha menyembunyikan diri yang terlalu familiar bagiku. Mewarnai rambut bukan hanya tentang estetika atau sekadar ingin terlihat berbeda--terkadang, itu adalah usaha untuk menciptakan jarak dari diri sendiri. Untuk menjadi seseorang yang berbeda dari versi aslinya, yang mungkin terlalu lemah, terlalu rentan, atau terlalu mudah dibaca. Aku melihat itu dalam diri Sylus. Rambutnya yang seputih perak bukan sekadar pilihan gaya; itu adalah bentuk pertahanan, upaya mengaburkan sesuatu yang tak ingin ia ungkapkan.
Aku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ia sembunyikan? Apakah menarik untuk kuangkat kisahnya? Apakah akan membuat nyawa dalam tulisanku kembali?
Akan tetapi, Sylus hanya membicarakan tentang tunangannya. Tentang betapa pria itu jatuh cinta, hingga membuat gadis itu tidak nyaman lalu berpaling dengan lelaki lain. Mungkin itu adalah sebagian dari masa lalu yang ingin ia buang jauh-jauh. Mungkin ada identitas yang tidak ingin dia akui. Atau mungkin, seperti aku, Sylus juga seorang pelarian yang mencari cara untuk menipu dirinya sendiri agar percaya bahwa perubahan warna dapat mengubah seseorang sepenuhnya.
Aku pernah mempertimbangkan hal yang sama. Membayangkan bagaimana jika aku mengecat rambutku—hitam pekat seperti bayangan, atau merah darah yang menyala—apakah aku akan merasa lebih baik? Apakah itu akan membantuku menjadi yang paling dominan untuk diriku sendiri?
Tapi aku tahu jawabannya. Sekeras apa pun aku mencoba menutupi diri, warna asliku akan selalu menunggu untuk kembali muncul.
"Aku ... mungkin akan terlihat seperti orang bodoh jika mengatakannya, tapi karena kau--Charlotte--adalah orang asing, kita tidak akan bertemu lagi. Jadi biar kukatakan, bahwa selama ini yang kulakukan hanyalah mengamati, menjaganya dari jauh, dan akan menjadi yang terdepan jika dia terluka."
Tangan kananku yang kuletakkan di atas meja terkepal kuat. Ucapan Sylus seakan membawaku ke suatu tempat tak kasat mata yang jauh di lubuk hatiku. Aku tersentuh atas pernyataan cinta luar biasa ini, meski itu bukan untukku.
"Seharusnya, dia merasa bersyukur karena dicintai sebagaimana dirinya." Aku mengatakannya dengan suara parau, sebelum mengalihkan pandangan ke arah lantai yang dipenuhi cahaya warna-warni dari lampu neon.
Ya, seharusnya, semua orang bisa bersyukur.
Aku meraih segelas Vodka milikku dan ini akan menjadi yang kelima. Meminumnya dalam sekali tegukan demi menekan kecemasan yang seharusnya tidak ada malam ini. Entah siapa anak laki-laki itu dan siapa pria berbahaya beraroma lavender itu, mereka tentu bukan orang yang sama karena mimpi hanyalah bunga tidur.
Dan, bukankah seharusnya aku bisa lebih fokus dengan alasanku datang ke tempat ini? Diriku mengangguk, meski tidak kuperlihatkan secara gamblang. "Ini bukan sekadar obrolan biasa, Charlotte." Aku menatap gelas kosong yang terkungkung dalam genggamanku, memerhatikan pantulan diriku di permukaannya. "Kau harus fokus. Setidaknya mendapatkan hasil, setelah dua malam terjebak dalam pikiran orang asing itu."
"Charlotte." Suara Sylus terdengar rendah memanggil namaku.
Aku mendongak dan menemukan dia sedang menatapku dengan intens. Apa yang sedang dipikirkannya sekarang? Apa dia sedang berusaha membacaku?
Tanganku mulai berkeringat, tetapi berusaha meletakkan gelas kosong dengan perlahan. Sebisa mungkin melakukan hal tersebut dengan hati-hati, agar tidak memberikan celah kepada Sylus.
"Ada hal yang ingin kukatakan sebelum kita mengakhiri ini." Dia masih menatapku, seolah ingin memecahkan teka-teki dari kerumitanku. Jarinya bermain-main di ujung gelas Vodka, membentuk pola lingkaran mengikuti bentuk aslinya. "Aku menyukai perempuan sepertimu, Charlotte. Cerdas, penuh misteri… dan sendirian."
Tidak. Jantungku berdetak cepat. Ini adalah kalimat klise yang sering kutemukan--atau bahkan kutuliskan--pada kisah romansa dewasa. Ini adalah bualan berbalut rayuan. Meski dalam pengaruh alkohol dan pikiranku melambat, aku masih mampu mengetahui ke mana arah pembicaraan ini.
Aku menatap Sylus, langsung ke kedua matanya yang berwarna biru gelap. Senyum miring tergambar jelas pada wajah dengan garis rahang sempurna. Senyum yang berbeda dengan sebelumnya--tidak tampak santai--terlihat lebih dalam, lebih mengundang. Aku tidak langsung menjauh, tapi aku juga tidak mendekat. Yang kulakukan hanya menunggu, agar aku tidak salah paham karena berkesimpulan terlalu cepat.
"Begitu pula denganku," jawabku pelan dan sopan. Aku berusaha menyembunyikan pikiran negatif, agar tidak melakukan hal kasar yang mungkin akan menyinggung. "Kau ... ketulusanmu pasti akan terbayarkan."
Sylus menggeser tangannya, meletakkannya di atas meja dengan jarak sangat dekat dengan tanganku. "Terima kasih. Kau adalah bagian terbaikku malam ini."
Ujung jari kami saling bersentuhan, ringan, dan intens, hingga memengaruhi ritme napasku. Aku tidak ingin Sylus salah paham, tetapi aku juga tidak ingin menyinggungnya jadi dengan suara pelan, aku berkata, "Maafkan aku, Sylus, tapi, aku ke sini bukan untuk mencari itu."
Aku menjauhkan tanganku, bersiap untuk pergi. Namun, dia menahanku dengan berdiri di hadapanku, mengurungku dengan kedua lengannya. Wajahnya mendekat dan tatapan kami saling bertemu.
"Aku tahu, Charlotte. Malam ini bukan tentang mencari. Ini hanya tentang merasakan."
Aku bisa merasakan embusan napasnya menyapu ujung hidungku. Menandakan betapa dekat jarak di antara kami berdua. Aku harus mengakhiri semua ini--harus--dan ketika kedua tanganku akan mendorong tubuh Sylus, sesuatu menyentuh pinggangku.
Kupikir itu adalah milik Sylus, tetapi tidak.
Tangan itu adalah miliknya.
"Apa tanganmu masih baik-baik saja?"
Suaranya membuat Sylus menjauh dan kehadirannya mengubah drastis atmosfer di antara kami.
Pria berbahaya yang menciumku secara paksa, pria yang juga menyelamatkanku dari insiden nyaris tertabrak mobil, dan pria yang memiliki aroma lavender serupa seperti di mimpiku. Kupikir kami tidak akan bertemu lagi.
Dia tidak mengatakan apa pun lagi, tidak juga menarikku pergi atau melakukan gerakan yang berlebihan. Dia hanya berdiri di sana, melingkarkan lengannya di pinggangku, jarak kami cukup dekat hingga tubuhnya hampir menyentuhku, nyaris seperti ingin menyampaikan bahwa dia bukan seseorang yang bisa diabaikan.
Sylus mengangkat alis, seolah menilai situasi. "Dan kau siapa?"
Dia hanya menyeringai, tanpa mengalihkan pandangan ke arah Sylus. "Seseorang yang tidak peduli untuk mengenalkan dirinya padamu."
"Huh?" Sylus tertawa mengejek, terlihat tidak senang dengan apa yang didengar barusan. Kedua tangannya dia masukkan ke dalam saku celana, seolah ada sesuatu di dalam sana yang mungkin akan ia gunakan jika diperlukan. "Apa kau sedang mengatakan omong kosong?"
Lalu dia mengalihkan pandangannya ke arahku.
Ini adalah titik kelemahanku. Ditatap seperti ini, membuatku merasa seperti noda kecil yang mencemari kanvas bersih, mencolok tetapi tidak berarti, sesuatu yang seharusnya dihapus agar tidak mengganggu harmoni.
Tatapan Sylus tidak bersahabat seperti sebelumnya karena yang kurasakan saat ini adalah sorot mata menghakimi, terlalu menilai--seolah mencoba mengupas lapisanku satu per satu, mencari sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak yakin ada di sana.
Sedangkan pria itu, dia tidak melakukan apa pun. Tidak menatap, tidak pula bertindak berlebihan. Namun, tangannya yang memeluk pinggangku terasa memberitahuku bahwa dia telah mengklaim tempat ini.
Ia tidak perlu menilai, tidak perlu mencari—karena dia sudah tahu. Seolah keberadaanku, caraku bernapas, bahkan kegelisahan yang kutahan, semuanya sudah menjadi bagian dari pemahamannya yang tak terucapkan.
Aku menoleh, mencoba memahami pemikiran ini. Namun, dia justru melepaskan lengannya dari pinggangku--hal yang sebenarnya tidak kuharapkan. "Aku menunggu di luar. Kalau kau masih punya akal sehat, kau akan mengikutiku."
Itu bukan ancaman, bukan juga permintaan. Itu hanya sebuah pernyataan--dan aku tidak tahu mana yang lebih buruk.
Yang ada hanyalah kehadirannya yang menuntut tanpa kata-kata, menciptakan batas tak kasat mata yang kurasakan dari sentuhan tangannya di pinggangku--tidak menyakitkan, tidak memaksa, tapi ada.
Seolah mengingatkan bahwa aku telah berada di dalam lingkarannya. Entah sejak kapan, entah dengan cara apa, tetapi aku tahu satu hal pasti: dia tidak berusaha membuatku tetap di sini.
Dia hanya menunggu.
Menunggu untuk melihat apakah aku akan pergi. Atau jika pada akhirnya, aku akan menerima kenyataan bahwa aku tidak bisa.
"Maaf," kataku pada akhirnya lalu menoleh ke arah Sylus. "Apa yang kukatakan memang benar. Aku ke sini hanya untuk mencari teman mengobrol. Terima kasih untuk waktu yang berharga, Sylus."
Aku meraih tas jinjing milikku kemudian beranjak dari tempat duduk. Tidak ada interaksi formal saat aku meninggalkan Sylus karena aku langsung meninggalkan bar dan menemukan dia, tengah berdiri di bawah lampu jalan. Cahaya kuning menyinari pria itu, memperlihatkan detail tetesan gerimis yang berjatuhan di sekitarnya. Sesekali asap putih turut keluar dari embusan napasnya, menandakan betapa dingin cuaca malam ini.
Aku menghampirinya, dengan langkahku yang tidak terlalu seimbang. Meski tidak tahu harus melakukan apa, aku menatapnya, berdiri di hadapannya dan tanganku terulur untuk menggenggam tangannya yang nyaris sedingin es. Namun, tidak seburuk saat aku menemukannya di bibir pantai.
"Terima kasih." Mungkin itu adalah hal terbaik yang bisa kukatakan, setelah alkohol berhasil membantuku menyusun kejadian-kejadian yang tidak sengaja kulewatkan. "Aku ... mungkin belum bisa mengingatmu sekarang, tapi,"--aku menggigit bibir, berhati-hati untuk melanjutkannya--"kuharap, aku bisa mengingatnya. Mengingatmu."
Pria itu tersenyum tipis lalu menyentuh pipiku dengan tangan kanannya dan berbisik lembut--tepat di telingaku, "Caleb. Itu hadiah untukmu."
***
Sebenarnya gak mau nulis notes, tapi aku kupikir aku harus berbagi hal kecil ini 😁
Ada yang main Love and Deepspace? Aku main game ini dari tahun lalu dan cinta pertamaku adalah Zayne. Namun, semenjak Caleb kembali aku gak bisa mengabaikannya karena dia teman masa kecilku (😁) yang pada akhirnya membuatku gak bisa lepas begitu saja.
Bisa dibilang, aku--mungkin--agak terobsesi dengan Caleb, terutama setelah mengikuti kisahnya yang kupikir gak kalah besar cintanya dengan Zayne.
Hasilnya, inilah yang terjadi. Aku menuliskan namanya di sini, menjadikannya tokoh utama untuk memuaskan perasaanku padanya.
Jadi terima kasih buat yang mau membaca sampai sejauh ini, meski kutahu cerita ini masih memiliki kekurangan. ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro