Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

004. Echoes of Lavender and Lies

"Kau selalu berusaha terlihat kuat, tapi sebenarnya rapuh."

Aku melihat seorang anak laki-laki sedang memasangkan plester di lenganku, setelah mengusir sekelompok anak lainnya yang senang menggangguku.

"Kau tidak boleh jauh-jauh dariku." Dia berujar lagi, selagi tangannya membenarkan ikatan rambutku yang berantakan. "Kau akan aman kalau ada aku."

Aku ingin melihat wajah anak laki-laki itu. Namun, seberapa keras aku berusaha, aku tidak bisa melihatnya. Hanya pelukan hangat yang terasa di saat tubuhku menggigil kedinginan.

"Karena kita cuma punya satu sama lain, kan?"

Dia mengusap lembut kepalaku, menyembunyikan wajahku di bahunya agar aku menangis di sana saja. Aroma lavender dari pakaiannya memenuhi rongga hidungku. Terasa menenangkan dan aku ingin sedikit lebih lama di dalam kedua lengannya.

Akan tetapi, aku tidak bisa melakukannya. Keingintahuan mengenai wajah anak laki-laki itu begitu kuat, tetapi seperti memiliki daya magnet yang begitu kuat aku tidak bisa melepaskan pelukan ini.

"Aku selalu ada untukmu, jadi tetaplah di sini."

Kalimat itu menyusup begitu dalam ke pikiranku, seakan terukir jelas di setiap sudut hatiku. Suara itu--begitu nyata, seolah berasal dari tempat yang begitu dekat. Aku membuka mata, mencari-cari di sekitar, mencoba menemukan sosok yang tadi mengucapkannya.

Namun, ruang kabin ini terasa begitu kosong. Tidak ada yang menyapaku dengan lembut. Tidak ada pelukan hangat yang menggantikan dingin tubuhku. Hanya ada gelap dan kesunyian.

Aku menatap langit-langit, perasaan aneh memenuhi dadaku. Kenapa aku merasa seolah-olah dia--orang itu--masih ada di sini? Suaranya ... begitu nyata. Namun, ketika aku membuka mata, hanya ada ruang kosong yang menatap kembali. Tidak ada siapa pun. Hanya aku seorang.

Jantungku berdetak cepat, tetapi aku berusaha mengabaikannya dengan bangkit dari posisi berbaring. Tubuhku di selimuti oleh kain cukup tebal yang jelas bukan milikku, pakaianku pun telah berubah tidak seperti yang kukenakan sebelumnya, dan ... sudut mataku menangkap secarik kertas di atas nakas.

Aku meraih benda tersebut, membacanya, dan langsung mengambil segelas air di dekatnya sesuai instruksi. Namun, aku tidak meminumnya, melainkan membuang cairan bening tersebut di washtafel. Dilihat dengan mata telanjang, memang terlihat hanya air biasa, tapi siapa yang bisa menjamin jika ada sesuatu di dalamnya.

Aku tidak mau ambil risiko. Tidak setelah kejadian di bibir pantai itu.

"Oh, God." Kedua tanganku menekan kuat tepi washtafel. Bayangan di bibir pantai secara perlahan mulai tersusun kembali, hingga terasa menyakitkan. "Apa yang harus kulakukan?" Aku menggigit bibir, napas menjadi putus-putus akibat pikiran yang berkecamuk.

Sebagian diriku ingin melaporkan kejadian ini. Namun, sebagian lainnya ragu--karena pria itu … dia tidak benar-benar pergi. Aku tidak bisa memungkiri bahwa sedikit demi sedikit, kepingan memori mulai tersusun rapi.

Terlebih ... siapa yang bisa mempercayai pengaduanku? "Aku hanya akan terlihat seperti gadis haus drama yang aneh karena pergi ke pantai saat dini hari." Aku menengadah, menatap langit-langit yang terlihat sedang menghakimiku melalui kebisuannya.

Apalagi ingatan di kepala terus mendesakku untuk membenarkan bahwa saat tubuhku kehilangan fungsi akibat syok, aku memang hanya mampu menatap punggungnya yang menjauh. Akan tetapi, ketika kesadaran mulai menipis--meski samar-samar--aku yakin, dia mengangkat tubuhku, membawaku ke kabinku.

Dan ... anehnya, saat itu, perasaan waspada tergantikan menjadi rasa aman.

Ada sesuatu dari sentuhannya. Tangan yang awalnya mencengkram kuat tengkukku, berubah menjadi selembut kapas saat mengangkat tubuhku. Jemari yang sekeras besi, terasa--

"Berhenti memikirkan omong kosong, Charlotte." Aku menggeleng, menampik segala pemikiran aneh yang bertentang dengan pemikiran lainnya. "Mustahil ada hal yang seperti itu," bisikku sambil menarik tuas keran air dan membasuh wajah.

Aku harus berhenti! Berhenti memikirkanya, meski--"Tuhan, kenapa aku masih bisa merasakan jejak sentuhannya?" Kedua mataku terpejam, selagi embusan napas panjang dan kasar terdengar dari diriku sendiri.

Kedua tanganku meremas ujung baju, sebelum akhirnya aku mengambil gelas baru untuk menenggak beberapa gelas air. Mungkin cairan ini bisa membantuku menjernihkan pikiran.

Sayangnya, apa yang kuharapkan memang tidak pernah berjalan mudah. Cairan itu memang berhasil menyegarkan tenggorokan, serta pikiranku. Namun, bukan berarti dia mampu menghapus suara di kepalaku yang terus membisikkan kemungkinan-kemungkinan buruk.

"Sebenarnya siapa pria itu?" Aku terduduk di lantai, bersandar pada laci dapur dan merapatkan lutut hingga menyentuh keningku. "Rasa aman apa ini? Apa aku sebodoh itu sampai membiarkan seseorang yang jelas berbahaya masuk ke dalam pikiranku?"

Aku selalu ada untukmu, jadi tetaplah di sini.

Suara di mimpiku--atau suara nyata yang entah berasal dari mana--kembali terngiang. Aku tidak bisa memastikan ucapan tersebut berasal dari siapa.

Yang kulakukan hanya menatap ujung kakiku dengan jari-jari terus bergerak acak akibat gelisah. Andai ibu masih ada, dia pasti akan menuntunku, membantu menata pikiranku hingga menjadi hal-hal logis. Namun, sekarang aku sendirian, hanya ada daftar musik pemberian Mr. Henri dan beberapa tindakan sederhana untuk menghadapi situasi ini.

Aku menarik napas panjang, mengembuskannya lewat mulut, sambil menghitung selama tiga puluh detik. Berulang kali kulakukan hal tersebut, hingga suara ketukan pintu membuatku terkejut.

"Siapa?" Aku refleks terbangun dan melihat ke arah pintu--yang anehnya lagi, tidak tertutup rapat--seakan seseorang, sebelumnya tengah mengamatiku. "Halo?" Pelan-pelan, aku membuka laci dapur, meraih pisau untuk berjaga-jaga.

Aku melangkah mendekat, napasku tertahan saat tanganku menyentuh kenop pintu. Meski tangan kananku menggenggam erat benda tajam yang siap melindungiku, aku tidak yakin apakah aku akan bisa melakukannya atau tidak. Aku hanya memaksakan diri, untuk membuka pintu dan ....

Seorang pria berseragam kurir berdiri di sana, membawa sebuah kotak berisi rangkaian bunga yang tertata rapi. Wangi manisnya langsung menyusup ke hidungku, begitu lembut namun menusuk.

"Pengantaran untuk Miss Charlie," katanya ramah, menyodorkan buket itu. "Dari pihak penginapan."

Aku mengernyit. "Penginapan?"

Kurir itu hanya tersenyum. "Ya, tertulis begitu di sistem kami."

Dengan ragu, aku mengambil bunga itu. Kelopak-kelopaknya berwarna biru pucat dengan sentuhan putih di bagian tengahnya—Forget-Me-Not.

Hatiku mencelos.

Bunga yang melambangkan: Kamu adalah satu-satunya untukku.

"Terima kasih." Aku yakin suaraku terdengar serak dan semakin diperjelas karena aku berdeham beberapa kali.

Akan tetapi, kurir itu tidak peduli. Dia hanya menjalankan tugasnya dengan menyodorkanku surat serah terima. "Silakan tanda tangan di sini, Miss."

Aku mengangguk lalu membubuhkan tanda tangan dan menutup pintu. Tatapanku hanya berpusat pada rangkaian bunga yang dirangkai sepenuh hati, aroma lavender mengudara di sekitar bunga tersebut, serta kartu ucapan kecil yang hanya bertuliskan nama Charlie.

Itu nama kecilku. Hanya sedikit orang yang mengetahui panggilan tersebut. Terlebih, setelah usiaku menginjak enam tahun, aku tidak membiarkan siapa pun memanggilku dengan nama tersebut karena ....

... ayahku menemui ajalnya, setelah menyebut nama tersebut.

Dan aku tidak bisa melupakan bagaimana suara dari kemalangan itu terdengar, melalui telepon.

"Tidak boleh terjadi begitu saja." Aku menggeleng pelan lalu segera meraih cardigan di dalam koper, mengenakannya dan meninggalkan kabin dengan membawa rangkaian bunga tersebut. "Aku harus memastikannya," kataku tegas, mengesampingkan kemungkinan-kemungkinan bahwa petugas penginapan akan menghakimiku.

Aku berdiri di depan pintu masuk gedung penginapan, beberapa petugas berlalu-lalang di hadapanku. Dari bahasa tubuh, mereka seperti ingin bertanya apa yang bisa mereka bantu. Namun, aku selalu mengalihkan pandangan, melangkah mondar-mandir dengan berpura-pura bermain ponsel atau menelepon seseorang.

Semua itu kulakukan untuk mengulur waktu. Menimbang-nimbang apakah keputusan untuk bertanya tentang pengirim bunga ini adalah benar atau tidak. Aku terlalu khawatir jika mereka menganggapku ingin pamer atau aneh.

"Tapi, bukankah aneh kalau pihak penginapan mengirimkan karangan bukan di hari pertama aku tiba di penginapan mereka?" Aku meremas ujung baju, sambil menatap layar ponsel yang telah menggelap.

Tarik napas, embuskan lewat mulut selama tiga puluh detik. Lakukan berulang kali untuk menjernihkan pikiranmu.

Aku menutup mata sambil menatap ke arah pantai yang jaraknya cukup jauh dari tempatku berada. Kuputuskan untuk menempelkan telepon di telinga, sekadar untuk berkamuflase agar orang-orang tidak menganggapku aneh karena mempraktikkan saran Mr. Henri.

Sembilan kali.

Sepuluh kali.

Kebisingan di kepalaku mulai berkurang. Aku membuka kedua mataku lalu bergegas berpaling, menuju meja resepsionis.

"Excuse me, Miss. May I help you?"

Aku berdeham, sebelum menjawab, "Err, ya, aku dari kabin nomor delapan." Suaraku serak, terdengar lebih jelas saat aku mencoba mengatakannya. "Aku hanya ingin bertanya," lanjutku dengan ragu, tetapi memaksakan diri untuk mengeluarkan buket bunga dan meletakkannya di atas meja. "Apa hari ini kalian mengirimkan karangan bunga untukku?"

Resepsionis itu tidak langsung menjawab. Dia lebih memilih menatap bunga itu sebentar sebelum kembali menatapku dan menjawab, "Karangan bunga, Miss? Dari pihak penginapan?"

Aku mengangguk, meski tidak nyaman dengan tatapan yang ia berikan. Itu terasa seperti sedang menilaiku, apakah yang kukatakan adalah kebenaran atau hanya kebohongan untuk mendapatkan perhatian. "Kurir tadi bilang ini dari penginapan."

Diam-diam, aku meremas ujung bajuku yang seharusnya itu adalah sapu tangan merah muda pemberian Julia. Namun, benda tersebut justru menghilang entah ke mana.

"Kami tidak memiliki catatan pengiriman bunga untuk tamu mana pun hari ini, Miss." Keningnya mengernyit, setelah mengetik sesuatu pada komputernya lalu dia menatapku lagi. "Apakah Anda yakin kurir itu mengatakan dari pihak penginapan?"

Apa aku salah dengar? Tapi aku yakin aku tidak melakukannya. Saat itu juga, jantungku berdebar seiring keringat dingin mulai bermunculan di permukaan kulitku. Bagaimana kalau yang dikatakan wanita itu benar? Bagaimana aku harus menanggapi hal ini?

"Ya, itu yang dia katakan..." Aku mengusap keringat yang pasti sudah terlihat jelas di keningku. Aku tidak suka situasi ini, wanita itu--setelah melihatku yang seperti ini--pasti telah mengatakan banyak hal tentangku di kepalanya. "Kalau begitu... apa mungkin ada orang lain yang menitipkannya ke penginapan untuk dikirimkan padaku?"

Dia menggeleng dengan sopan. "Biasanya, jika ada pengiriman pribadi, kami akan mencatat nama pengirim dan memberitahukan tamu sebelum menyerahkan barangnya. Saya bisa mengecek ulang untuk Anda, tetapi sejauh ini tidak ada laporan mengenai kiriman ini."

Aku mengembuskan napas panjang, sambil menatap buket di atas meja, pikiranku mulai berkecamuk. "Baiklah... kalau begitu, terima kasih," ujarku pelan lalu meninggalkan meja resepsionis.

Aku melangkah meninggalkan penginapan, sambil membawa rangkaian bunga tersebut, dan membiarkan bagaimana suara-suara di kepalaku memenuhi pikiran.

Siapa sebenarnya pengirim bunga ini? Apakah bunga ini memang untukku? Kenapa harus ada nama Charlie? Kenapa harus Forget Me Not? Dan kenapa semua kejadian di tempat ini seperti memiliki benang merah?

Terlalu banyak pertanyaan di benakku, begitu pula dengan jawaban-jawaban dan penyangkalan yang tidak mampu kukendalikan. Dalam diam, aku tidak mampu memilah mana yang masuk akal atau sekadar kecemasan berlebih.

Kedua tanganku menggenggam erat bunga tersebut. Ingatan tentang mimpi yang kualami dan pria itu--membawaku ke tempat tidur--kembali terngiang. Aroma lavender dari tubuh anak laki-laki itu terkesan familier, sama seperti aroma yang menguar dari bunga cantik ini.

Seolah diriku digiring paksa untuk mengingat sesuatu, tetapi aku tidak tahu apapun.

"Apa aku harus menghubungi Mr. Henri?" Aku bertanya pada diri sendiri, sambil menatap ke jajaran gedung pertokoan yang dibelakangnya terdapat jajaran pohon pinus. Keberadaan kabut tipis menyamarkan keberadaan mereka, tetapi siluetnya menandakan masih ada kehidupan di sana. "Mungkin Mr. Henri bisa membantuku membersihkan kabut tebal di dalam pikiranku ini."

Tangan kananku merogoh saku cardigan, mengambil ponsel yang tersimpan di dalamnya dan mulai mencoba menghubungi Mr. Henri. Namun, belum sempat hal itu kulakukan suara klakson mobil meraung tidak jauh dariku, dan aku merasa udara di paru-paruku lenyap.

Aku akan mati.

Mati.

Mati.

Namun, seseorang mencengkram kuat lenganku, menarikku dengan kasar, membuat tubuhku terhuyung hingga menghantam tubuhnya.

Dan aku mendengar deru napasnya di telingaku.

Tanganku gemetar, jantung berdebar kencang, bukan hanya karena hampir mati--tapi karena sentuhannya terasa familier.

Mengingatkanku pada sesuatu, tetapi tidak ada petunjuk yang terlintas di kepalaku.

"Sama seperti dulu, kau masih saja ceroboh," gumamnya lembut, menyapu ketegangan yang sempat mendominasi diriku. "Charlie."

Charlie?

Tanganku gemetar. Keterkejutan kembali merayap. Jantungku berdegup kencang. Terlebih karena aroma lavender dari tubuhnya memenuhi paru-paruku. Mengingatkanku pada mimpi itu.

Ragu-ragu aku mendongak, demi memastikan sosok yang membawa perasaan ini. Namun, betapa napasku seketika terhenti saat pandangan kami bertemu dan setelah sekuat tenaga memaksakan diri, aku berhasil mengeluarkan suaraku. "Kau ...."

Dia tersenyum tipis, hanya hitungan detik, sebelum bibirnya membentuk garis horizontal.

Tatapannya tajam, seolah akan menusukku. Sama seperti yang ia perlihatkan sebelumnya.

Dan lengannya memelukku, begitu erat, tetapi dengan rasa yang berbeda. Kali ini tidak ada ancaman, tidak ada kewaspadaan.

"Setidaknya kita impas," katanya lalu melepaskan genggamannya, sebelum memetik bunga Forget Me Not--yang rangkaiannya sudah berantakan--lalu menyelipkannya di telinga kananku. "Meski kau tidak mengingatku dengan benar."

"Apa yang ...." Aku tidak bisa melanjutkan perkataanku karena tidak tahu harus berkata bagaimana.

Lagi pula dia juga sudah berbalik, melangkah meninggalkanku bersama ribuan suara yang membicarakannya.

Menghakiminya.

Menghakimiku.

Memaksa agar aku berhenti merasa bahwa ini merupakan hal yang layak untuk kudapatkan.

Karena duniaku, tidak mungkin semudah cerita fiksi.

Dan dia ....

... adalah orang yang telah memperalatku untuk melindungi dirinya sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro