003. Beneath the Moonlit Tide
Tetesan air terakhir jatuh dari pancuran mengenai bahuku, setelah aku menekan tuas keran shower. Embun tipis menempel di cermin kamar mandi, memperlihatkan pantulan samar diriku. Aku mengusap bagian yang memantulkan wajahku, sebelum mencondongkan tubuh agar lebih dekat dengan cermin.
Tidak ada kantung hitam di bawah mata, tidak ada raut wajah kelelahan di sana. Aku terlihat baik-baik saja dari luar, tetapi jauh di dalam diriku terdapat kebisingan yang sulit dikendalikan. Itu semua karena aku berhasil tidur di sepanjang perjalanan, hingga supir Uber harus membangunkanku ketika kami tiba di penginapan.
"Rupanya kau berhasil tidur nyenyak." Aku menjauh, setelah tersenyum miring. Wajah di cermin tampak tenang, tapi aku tahu lebih baik dari siapa pun. Ketenangan itu rapuh. "Ya, tidak perlu siapa pun memberitahuku bahwa aku baik-baik saja. Aku hanya butuh mereka mempercayai kebohongan itu."
Aku memilin ujung handuk, menggigit bibir sesaat sebelum keluar dari kamar mandi untuk berganti pakaian.
Ponselku tergeletak di atas tempat tidur, sedari tadi terus-menerus berdering memperlihatkan nama Julia di layarnya. Setelah berganti pakaian, aku meraih benda tersebut untuk menghubungi Julia, mengatakan bahwa dia tidak perlu khawatir karena aku tiba dengan selamat.
"Julia?" Aku memanggilnya, saat suara telepon yang diangkat terdengar.
"Kau sudah sampai dengan selamat? Apa perjalanannya baik-baik saja? Kau sudah makan dengan benar?"
Sebelah alisku terangkat, pertanyaan Julia sesuai dengan ekspektasi. Dia akan memperlakukanku seperti anak kecil, jika kami hanya berdua saja. "Semuanya baik-baik saja. Aku hanya tidur sepanjang perjalanan."
Aku meraih segelas teh yang kubuat selagi menelepon Julia, menyeruputnya sedikit membiarkan kehangatannya mengalir di tenggorokan. Memberikan efek relaksasi pada tubuhku yang masih kelelahan akibat perjalanan. "Dan aku sudah makan roti daging," lanjutku, "Sekarang, giliranmu, bagaimana denganmu?"
Di seberang sana, Julia tertawa kecil. Namun, samar-samar terdengar suara pria di balik tawanya. Itu pasti Rafayel.
Aku melirik jam di ponsel yang pengaturannya masih mengikuti waktu New York. Sudah pukul lima pagi di sana. Kemungkinan mereka sengaja tidak tidur, selagi menunggu kabarku.
"Rafayel memasak untukku. Tapi pada akhirnya, kami memesan piza karena aku mengacaukan prosesnya."
Lagi-lagi, aku mendengar suara Rafayel dari kejauhan. Entah apa yang dia katakan, tapi itu terdengar seperti seseorang yang mengeluh.
Aku menatap ke luar jendela yang berhubungan langsung dengan pantai, menyandarkan tubuh ke kursi, memejamkan mata--bukan untuk tidur, melainkan untuk menangkap suara yang lebih halus. Deru ombak berulang menjadi latar yang mengiringi kesunyian dini hari. "Julia, apa aku boleh menutup teleponnya? Karena kau pasti tidak akan suka kalau aku tiba-tiba pulang di keesokan harinya."
"Kau tidak boleh pulang sebelum bulan depan!" Julia berseru, hingga kedua alisku menyatu karena suaranya menusuk telinga. "Ingat, Charlotte, ini bukan liburan, tapi misi untuk menata kembali masa depanmu."
Aku menarik napas pelan. "Bukankah ini sama saja dengan melarikan diri?" bisikku yang nyaris tidak terdengar karena ditujukan pada diri sendiri.
"Charlotte, di depan semua orang, kau selalu memintaku untuk tetap tegar. Kematian ibu, bukanlah akhir, tapi awal untuk bertanggung jawab pada diri masing-masing."
Aku tidak menyahut perkataan Julia. Itu memang ucapanku, dia hanya mengulang untuk memperlihatkan betapa kuatnya aku di depan orang lain.
"Itu hanya topeng, Julia." Aku membayangkan sedang berdiri di depan lemari penuh laci yang isinya ratusan topeng citra baik versi diriku. "Cuma kau yang tahu dan ... Mr. Henri."
Julia terdiam. Aku juga melakukan hal serupa. Namun, tanganku mulai meremas ujung pakaian. Ini berlangsung selama beberapa menit hingga embusan napas Julia terdengar.
"Aku tahu," katanya, "tapi aku berharap kau juga berusaha untuk dirimu sendiri."
Aku mengangguk, meski Julia tidak melihatnya.
"Jadwal penerbanganku besok jam sepuluh pagi. Aku akan menghubungi lagi sesampainya di Athena."
Lagi-lagi, aku mengangguk, meski remasan di ujung pakaianku semakin kuat saja. "Jaga dirimu."
Hanya itu yang kukatakan untuk Julia, sebelum dia memutuskan panggilan dan keheningan menyambut.
Aku bangkit dari tempat dudukku, membawa segelas teh, berencana untuk membaca novel kesukaan ayahku--karya pertama ibuku. Ini adalah kisah cinta mereka dan setiap kali membutuhkan dukungan, ayahku ada di sana, seakan berbicara denganku, menguatkanku di dalam pikiranku.
Angin dingin berembus menerpa kulitku, membawa aroma garam yang khas bercampur dengan tanah basah dan daun-daun pinus. Seharusnya, suasana ini menenangkan. Namun, semakin sunyi keadaan di sekelilingku, semakin ribut isi kepalaku.
Aku membuka pintu dan melangkah ke luar. Teras kayu kabin terasa cukup dingin di bawah telapak kakiku. Aku menarik tali ayunan dan duduk di atasnya setelah meletakkan secangkir teh di meja kecil di sampingku. Halaman demi halaman, kubaca novel tua milik ibuku, seakan sedang berbicara dengan ayah melalui sudut pandang wanita itu.
Biasanya--jika itu adalah novel lain--aku akan menandai dan memberikan catatan kecil, tentang apa saja yang terlintas di pikiranku termasuk kekurangan, ide tambahan atau pun kesan. Namun, khusus yang ini aku tidak pernah melakukannya, meski pun ibuku selalu memaksa.
Aku hendak menyesap tehku, saat tenggorokanku mulai mengering akibat suhu dingin. Namun, sesuatu di kejauhan menarik perhatianku.
Di bibir pantai, di bawah pantulan cahaya bulan, samar-samar kulihat sesuatu tergeletak di antara ombak yang menjilati pasir. Aku menyipitkan mata, mencoba memastikan bentuknya. Bukan sebatang kayu yang hanyut, bukan juga sekumpulan rumput laut yang terdampar. Ada sesuatu yang berbeda dan semakin aku memperhatikannya, semakin jantungku berdetak tak wajar.
"Tidak. Itu memang sebatang kayu." Aku mencoba mengelak pikiranku. "Bukan juga sampah atau apapun itu." Namun, kegelisahan tidak mampu dipungkiri. Jantungku mulai berdetak tak keruan, keringat dingin mulai membasahi telapak kaki dan tangan.
Aku meletakkan cangkir teh tanpa suara, menandai halaman bukuku secara refleks sebelum berdiri. Angin berembus lebih kencang, membuat rambutku menari di udara saat aku menuruni beberapa anak tangga teras.
"Ya, Tuhan, apa yang sedang kulakukan?" Suaraku nyaris parau. Seharusnya aku tidak perlu memastikan, tetapi rasa penasaran telah mengalahkan segalanya. "Kuharap itu memang sebatang kayu atau tumpukan rumput laut."
Sayangnya, kakiku gemetar saat secara perlahan semuanya menjadi semakin jelas. Jantungku seperti sedang melakukan aktivitas berat, hingga debarannya terasa menyakitkan.
Aku tahu bahwa sebaiknya aku berpaling, kembali ke kabin dan berpikir seolah tidak terjadi apapun.
Akan tetapi, semakin dekat, semakin jelas apa yang kulihat.
Mustahil untuk mengabaikannya karena itu ....
... adalah sosok manusia.
Aku berhenti sejenak. Napasku tercekat. Kedua tanganku meremas ujung pakaian dengan gelisah.
Seseorang terbaring di sana--setengah tubuhnya digenangi air laut, wajahnya tak terlihat dari sudut ini.
Dan ketika akhirnya aku berdiri di tepi ombak, cukup dekat untuk melihat lebih jelas--jantungku berdegup lebih kencang.
Manusia itu tak bergerak. Pakaiannya basah kuyup, menempel pada tubuhnya seperti lapisan es tipis. Bibirnya membiru, dan napasnya--jika dia masih memilikinya--terdengar terlalu pelan untuk seorang manusia yang masih hidup.
Aku menelan ludah.
"Kau sudah tidak bisa kembali." Aku berlutut menghampirinya. Meski tubuhku gemetar, aku memutuskan bergegas meletakkan kepalanya di pangkuanku, memeriksa denyut nadinya.
Dia masih hidup.
Sudut mataku juga sempat melihat jarinya sedikit bergerak. "Bertahanlah," bisikku, meski suaraku tak yakin bisa mengalahkan deru ombak.
Aku berusaha bangkit, dengan mempertahankan posisi kepalanya agar tidak terendam air laut, berusaha membawanya menjauh dari bibir pantai untuk memberikan pertolongan pertama.
Akan tetapi, belum sempat kulakukan hal tersebut, sesuatu justru menarik tanganku dan dengan gerakan yang begitu cepat, pria itu sudah berada di atasku.
Tubuhnya menggigil.
Sorot matanya mengarah padaku. Penuh waspada.
Seperti sebilah pisau yang siap menusukku. Membunuhku.
Sayangnya, ini bukan sekadar metafora. Ini nyata. Aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tulang rusukku.
"Jangan bergerak. Jangan berteriak." Suara pria itu serak, pelan, tapi jelas.
Aku menelan ludah. Sesaat juga tidak bisa bernapas. Bukan karena dinginnya logam yang menyentuh kulitku, tapi karena tatapan matanya. Tatapan seseorang yang berada di batas antara hidup dan mati.
Tangan dingin pria itu mencengkram pinggangku, jari-jarinya sekeras baja, menarikku lebih dekat tanpa memiliki secuil kepedulian.
"Dengar baik-baik." Dia berbisik di telingaku, nada suaranya begitu tenang, tetapi mengintimidasi. "Aku tidak punya waktu untuk menjelaskan, tapi kalau kau masih menyayangi nyawamu, ikuti saja permainanku."
Aku tidak bisa melakukan apapun. Seperti benda mati yang bisa digunakan sesuka hati. Nyawaku berada di ujung logam dingin ini, tetapi separuhnya sudah hilang akibat tatapan tajam pria itu.
Dia mengembuskan napas panjang--meninggalkan kepulan asap yang menandakan betapa rendah suhu tubuhnya--sebelum menempelkan bibirnya di bibirku.
Rasa garam dari air laut, dingin bibirnya yang seperti bongkahan es, membuka paksa mulutku seakan kami adalah pasangan di tepi pantai.
Akan tetapi, ini bukan ciuman yang seperti itu. Ini hanyalah sebuah tekanan, paksaan, dan kasar. Seolah aku adalah alat untuknya bersembunyi sebab sudut mataku menangkap beberapa orang asing bertubuh besar.
Tatapan mereka menyusuri seluruh bibir pantai. Samar-samar aku mendengar pembicaraan mereka, tetapi tidak bisa memastikan apa yang dibicarakan. Pria itu juga menatap ke arah mereka, aku bisa merasakannya. Akan tetapi, sebelum aku berusaha menjauh untuk meminta pertolongan--atau mungkin--melarikan diri, dia menarik tengkukku.
Mencengkramnya dengan sangat kuat.
Dan kedua alisku menyatu sebagai reaksi dari rasa sakit.
Pria itu menciumku semakin dalam, mempertahankan ilusi agar kami terlihat seperti pasangan mesra yang hanya sedang menikmati suasana pantai. Beberapa detik terasa terlalu lama. Air mata keluar di sudut mataku yang terpejam, hingga beberapa pria asing bertubuh besar itu pergi, dia melepaskanku.
Aku terhuyung ke belakang. Air laut memasuki hidungku hingga meninggalkan rasa perih. Wajahku memanas saat melihat pria itu berdiri menggunakan lututnya, tepat berada di atasku.
Bukan rasa malu atau terangsang yang kurasakan, melainkan marah dan merasa terhina.
Pria itu menatapku, cukup lama, tapi aku tidak bisa mengartikan tatapan tersebut. Dia hanya menyipitkan mata dengan bibir tertutup rapat, membentuk garis horizontal hingga membentuk garis rahang yang tegas. Tetesan air laut sesekali berjatuhan di ujung rambutnya, tetapi menghilang seolah tertiup angin sebelum sempat menyentuhku.
"Lihat? Kau masih hidup." Nada suaranya tidak menyiratkan penyesalan atau permohonan maaf. Yang terlihat hanya sorot mata itu semakin menggelap, mengalahkan cahaya pagi yang mulai memberikan warna keemasan di ujung langit.
Dia bangkit dari tempatnya, berdiri tegak di sisiku. Tangannya bergerak, seakan ingin membantuku bangkit. Namun, ia mengurungkan hal tersebut dan justru berpaling, melangkah--terseok-seok--memunggungiku.
Aku ingin mengejarnya, menampar wajahnya, dan mengancamnya untuk melaporkan tindakan ini sebagai tindakan pelecehan, tapi semua itu hanya keinginan belaka karena seluruh tubuhku telah kehilangan fungsinya untuk beberapa saat.
Bukan hanya gemetar hebat. Ini lebih parah karena mengangkat tanganku, untuk menghalau cahaya pagi yang menyilaukan saja, tidak sanggup kulakukan.
Aku ke sini untuk mencari sesuatu yang hilang dalam diriku. Tapi kenapa harus dimulai dengan cara seperti ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro