001 - A Void Waiting to Be Filled
Satu, setiap manusia yang hidup akan kembali kepada Sang Pemilik, yaitu Tuhan Jesus.
Dua, untuk mereka yang ditinggalkan pasti akan tenggelam dalam kesedihan, tapi berlarut-larut dalam kesedihan bukanlah hal yang disukai Tuhan.
Tiga, kau telah memaksa Julia untuk bangkit dari kesedihan yang artinya, kau pun harus kembali menghadapi kejamnya dunia tanpa orang tua.
Aku berdiri di depan kafe Ocean Ice Cream yang tempatnya bersebrangan dengan kantor Everstone Books. Langit dipenuhi awan kelabu yang menggantung rendah. Tetesan hujan turun secara tidak teratur, menambah kesan berat pada hari itu. Orang-orang melintasiku dengan payung di tangan mereka, sementara aku tidak membutuhkan payung. Aku telah--atau mungkin--tengah menghadapi badai tak kasat mata yang lebih berat dari apapun. Kedua tanganku mencengkram sapu tangan merah muda dengan harapan, benda tersebut mampu menyerap kegugupanku. Beberapa pengunjung melintasiku dan beberapa di antaranya melemparkan tatapan aneh karena sudah nyaris sepuluh menit, aku mematung di tempat yang sama.
"Tenanglah, Charlotte. Ini bukan pertama kalinya untukmu." Aku kembali mengatakan hal tersebut pada diri sendiri, padahal sepanjang perjalanan kalimat itu terus berputar di kepalaku. "Menerima penolakan itu wajar karena darinya, kau akan mencari ketidaksempurnaan untuk diperbaiki."
Aku mengembuskan napas lewat mulut, memasukkan sapu tangan ke dalam tas jinjing dan--berusaha--tersenyum, menatap pantulan diriku pada pintu kaca kafe.
Mrs. Hannagan--editor Everstone Books--rupanya sudah lebih dulu berada di dalam sana. Dia duduk di meja paling sudut, membelakangi pintu masuk, tetapi aku bisa mengenalinya karena tatanan rambut afro yang menjadi ciri khas wanita itu.
"Ya, Charlotte, temui saja, setidaknya Mrs. Hannagan adalah satu-satunya yang memberikan jawaban selain penolakan." Aku melangkah maju, membuka pintu kafe dan langsung menghampiri wanita berpakaian semi formal itu.
Terus terang, mengetahui apa yang tergeletak di atas meja Mrs. Hannagan jantungku lantas berdetak kencang. Tumpukan kertas di dalam map bening itu adalah proposal pengajuan novel baru milikku--yang telah kukerjakan selagi menjaga ibu di rumah sakit--yang selama itu juga mengalami banyak revisi karena selalu ditolak dan hari ini, Mrs. Hannagan memanggilku untuk mendiskusikannya.
Dan kuharap, Mrs. Hannagan adalah setitik cahaya harapan yang telah kutunggu-tunggu.
"Mrs. Hannagan," sapaku sambil berusaha tersenyum, meski menjadi baik-baik saja masih cukup sulit dilakukan semenjak kepergian ibu. "Lama tidak bertemu."
Mrs. Hannagan tersenyum. Ia lantas mempersilakan aku duduk di hadapannya, sambil berujar, "Oh, Charlotte, sudah lama juga tidak menemukan namamu di toko buku. Bagaimana kabarmu akhir-akhir ini?"
"Seperti yang Anda ketahui, aku sedang berusaha melanjutkan hidup, jadi aku tidak benar-benar tahu dengan kabar diriku sebenarnya."
"Aku mengerti. Aku turut berduka, Charlotte. Kehilangan ibumu pasti sangat berat." Mrs. Hannagan meraih tanganku, menggenggam hangat seolah sedang menyalurkan energi baik miliknya untukku. "Pasti sulit mengalami hari-hari selama masa perawatan, hingga akhirnya ia kembali kepada sang pemilik." Dia menatapku penuh simpati, jemarinya memijat lembut tanganku. "Tapi hidup tetap harus dijalani, bukan?"
"Ya, Mrs. Hannagan." Aku mengangguk, memberikan senyum kecil yang sopan. "Sudah seminggu berlalu. Kesedihan karena ditinggalkan tentu masih tersisa, tapi seperti yang Anda bilang hidup akan tetap dijalani, jadi ...." Kulepaskan tanganku dari genggaman Mrs. Hannagan. "Di sinilah aku, memenuhi panggilan Anda. Kuharap, aku akan mendengar kabar baik."
Mrs. Hannagan menyelipkan rambut afro-nya di balik telinga. Ia menarik napas panjang setelah mendengar pernyataanku. Aku tidak bisa menebak apa yang ada di pikirannya saat ini karena setelah beberapa kali bekerja dengan wanita itu, dugaanku tentang bahasa tubuh atau ekspresinya selalu salah.
"Charlotte," panggilnya sambil membuka lembaran kertas berisi proposal karya terbaruku.
Punggungku menegak, saat suara rendahnya memanggil namaku. Setelah sekian lama tidak mendapatkan panggilan dan hanya berujung pada penolakan, aku tidak bisa menyembunyikan kegugupan. Padahal, menulis telah menjadi pekerjaanku selama bertahun-tahun. Bahkan bisa dibilang telah mendarah daging, tapi ke mana semua ini?
"Apa kau baik-baik saja?" Mrs. Hannagan bertanya tanpa menatapku, pusat perhatiannya hanya terpaku pada proposal di atas meja. "Ini bukan pertanyaan tentang perasaan berkabung, tapi ini lebih tertuju pada pekerjaan, Miss Hayes."
Aku merasakan rahangku menegang. Bukan karena pertanyaan itu menyakitkan, tetapi karena aku tahu ke mana arahnya.
"Aku baik-baik saja," jawabku, mencoba terdengar tegas.
Mrs. Hannagan akhirnya mengangkat wajahnya, menatapku dengan sorot yang tajam namun tidak sepenuhnya dingin. "Charlotte, aku ingin berbicara jujur denganmu," katanya, jari-jarinya mengetuk permukaan meja. "Kau tahu aku selalu mengagumi caramu menulis. Detail, kuat, emosional-cerita-ceritamu selalu mampu membuat pembaca merasa mereka adalah bagian dari dunia yang kau ciptakan. Tapi kali ini... karyamu terasa kosong."
Aku menegang. "Kosong?"
"Ya." Mrs. Hannagan menarik napas dalam, lalu meletakkan proposal itu di antara kami. "Semua detail teknis ada di sini. Alurnya rapi, strukturnya kuat, bahkan plotnya memiliki potensi. Tapi tidak ada emosi di dalamnya, Charlotte. Tidak ada jiwa."
Aku menelan ludah.
"Apa yang kau rasakan saat menulis ini?" tanyanya, mencondongkan tubuhnya ke depan. "Apakah kau benar-benar larut dalam ceritanya? Atau kau hanya menulis karena ini satu-satunya hal yang bisa kau lakukan?"
Aku tidak langsung menjawab. Pertanyaan itu menyentakku lebih keras dari yang kukira.
Sejak ibuku sakit, aku memang tetap menulis. Aku memaksa diriku untuk tetap berkarya, tetap menghasilkan sesuatu, karena aku takut kalau berhenti, aku akan kehilangan lebih banyak hal. Aku sudah kehilangan ibuku-aku tidak ingin kehilangan diriku sendiri juga, termasuk kemampuan alami yang dia wariskan kepadaku. Tapi apakah itu berarti aku hanya menulis karena tuntutan?
Sejak aku kecil, dunia menulis sudah menjadi bagian dari hidupku, dan ibu-sebagai seorang penulis-selalu mengajarkanku tentang ketekunan dan kesempurnaan. Setiap kali aku merasa ragu atau kehilangan arah, ibu akan mengatakan, "Jangan berhenti, Charlotte. Kamu akan temukan jalannya. Ini bukan sekadar tentang menulis, tapi tentang menemukan siapa dirimu."
Aku ingat betul bagaimana ibu selalu menjadi komentator pertama untuk setiap tulisan yang kutulis. Wanita itu adalah sumber kritik terbaikku, mentor yang paling kuandalkan, hingga aku tidak menyadari bahwa aku telah bergantung padanya dan ketika kanker menggerogoti setiap sel dalam tubuhnya ....
... Mrs. Hannagan, dia mengatakan fakta. Aku memang hanya menulis adegan tanpa nyawa, semenjak ibuku tidak bisa menjadi tuntunanku, proses kreatif itu seolah hilang entah ke mana. Menulis, yang dulunya begitu alami, kini terasa seperti beban yang harus kutanggung sendiri.
"Charlotte," suara Mrs. Hannagan lebih lembut sekarang, seolah dia bisa membaca pikiranku. "Aku tahu kau berusaha. Aku tahu kau berjuang. Tapi kau butuh sesuatu untuk mengisi kembali jiwamu yang kosong."
Aku menggigit bibir. "Jadi... Apakah ini ditolak?"
Mrs. Hannagan tersenyum simpati. "Bukan sepenuhnya ditolak. Aku ingin memberimu kesempatan. Itu sebabnya aku mengajakmu bertemu di sini, bukan di kantor."
Aku mengernyit. "Kesempatan?"
"Ya." Dia menyandarkan punggungnya, melipat tangannya di atas meja. "Kau butuh inspirasi, Charlotte. Kau butuh sesuatu untuk membangkitkan kembali gairah menulismu."
Aku mengerutkan kening. "Maksud Anda?"
"Kau butuh pergi."
Aku terdiam.
"Kau sudah terlalu lama berada dalam siklus yang sama," lanjutnya. "Menjaga ibumu, menghadapi kehilangan, lalu memaksa diri untuk terus bekerja. Kau tidak memberi dirimu waktu untuk merasakan hidup kembali."
Aku tertawa kecil, tidak percaya. "Jadi... Anda menyuruhku berlibur?"
"Bukan sekadar berlibur," koreksinya. "Aku menyuruhmu mencari sesuatu yang bisa mengisi kekosongan di dalam dirimu. Sesuatu yang bisa membuatmu kembali merasakan dunia, bukan hanya mengamati dan mendeskripsikannya."
Aku menatapnya dalam diam.
"Ambil waktu untuk dirimu sendiri, Charlotte." Dia meraih cangkir kopinya dan menyesapnya pelan. "Aku ingin melihat tulisanmu kembali hidup. Sebagaimana seorang penulis Charlotte Hayes yang karyanya selalu berada di jajaran best seller, serta menjadi salah satu penulis favoritku. Dan untuk itu, kau harus membiarkan dirimu hidup lebih dulu."
Masih tidak ada kalimat yang keluar dari bibirku karena otakku sedang bekerja, mencerna perkataan Mrs. Hannagan. Wanita itu ingin aku pergi ke suatu tempat, menikmati hidup menjadi diri sendiri tanpa memikirkan beban, agar tulisanku menjadi lebih hidup. Pernyataan tersebut, seolah aku tengah terjebak di dalam lubang hitam yang tidak ada siapa pun kecuali ibuku, Julia, dan aku.
"Mrs. Hannagan." Aku mengenggam kedua tangan di atas pangkuanku, sebelum kembali berkata, "Apa kau menganggapku sedang berada di fase Writer's slump?"
Sejujurnya, aku tidak perlu bertanya karena telah mengetahui jawabannya. Namun, jauh di lubuk hati penyangkalan itu selalu ada dan sangat disayangkan, Mrs. Hannagan justru mengangguk.
Dan hal sederhana itu, membuat kedua mataku mulai berair.
"Jangan berkecil hati, Charlotte." Mrs. Hannagan mencondongkan tubuhnya, memangkas jarak di antara kami berdua, demi memberikan tatapan yang seakan-akan dia sedang menyelamatkanku dan bukan menghakimi. "Ini demi kebaikanmu. Selagi berpergian, cobalah temui orang-orang baru kenali permasalahan mereka karena setiap manusia itu memiliki kehidupan yang kompleks."
"Aku ... akan memikirkannya." Keraguan terdengar jelas saat aku mengucapkannya karena berpergian, di masa berkabung terasa kurang etis. Apalagi jika ini adalah sosok yang telah melahirkan dan merawatku.
"Ya, pikirkanlah dengan bijak." Ia mengangguk, selagi menepuk pelan lengan bagian atasku. "Karena mungkin sejauh ini kau hanya menjadi pengamat, bukan menjadi sosok pendukung yang terlibat."
"Ya, aku mengerti, Mrs. Hannagan," jawabku terdengar kosong dan jelas sekadar formalitas belaka. Aku memasukkan salah satu tangan di dalam tas, kembali meremas sapu tangan sebelum melanjutkan ucapanku. "Terima kasih masukannya, Mrs. Hannagan. Aku ... tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan Anda."
Aku bisa melihat kelegaan dari pancaran wajah Mrs. Hannagan, setelah mendengar jawabanku. Ia pun merapikan barang-barangnya, sedangkan aku hanya menatap dalam diam.
"Aku harus kembali ke kantor, jadi hubungi aku kapan saja saat kau membutuhkan bantuanku." Mrs. Hannagan menepuk pundakku sebelum meninggalkan kafe, aku menoleh ke arahnya sekadar menatap punggung wanita itu hingga bayangannya menghilang di balik pintu gedung Everstone Books.
Sekarang hanya tinggal aku sendiri bersama pikiran-pikiran yang berputar di kepala. Sebenarnya, aku ingin percaya bahwa ini keputusan yang tepat. Aku ingin percaya bahwa aku bisa menemukan kembali diriku. Tapi di dalam kepalaku, hanya ada suara ibu di hari-hari terakhirnya yang terus berkata: 'Kau tidak boleh berhenti.'
Aku memejamkan mata, sekali lagi meremas sapu tangan yang tersimpan di dalam tas dan dengan keadaan sadar, aku berujar, "Ya, ini memang demi kebaikanku."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro