1. Rain
Angin berhembus mesra membelai rambutnya yang panjang tergerai. Perlahan gadis yang masih mengenakan seragam sekolah itu memejamkan mata sipitnya menikmati suasana siang mendekati sore di lapangan sekolah ini.
Hari ini dia masih di Sekolah, bukan untuk Ekskul ataupun rapat organisasi. Dia hanya ingin menunggu sore di Sekolah ini. Toh, suasana di rumah dan di sekolah sama saja. Sama-sama sepi.
Pasalnya, orang tua dan Kakak satu-satunya sibuk bekerja. Paling hanya Ibunya yang ada di rumah kalau sudah jam 2 siang begini. Tapi tetap saja Dia merasa kesepian.
Rista side~
Saat ini aku sedang duduk menatap lapangan basket di depan mataku. Tak ada apa-apa. Hanya ring basket dan garis-garis lapangan. Dan juga tak ada siapa-siapa yang bermain disana. Sebenarnya aku sedang berimajinasi.
Berimajinasi tentang seorang pangeran melamarku dengan bola basket. Lucu ya. Hahahahaha. Bodoh! Imajinasi yang tak bermutu.
Sayup-sayupku mendengar langkah kaki di belakang. Seingatku saat ini hanya ada aku yang masih belum pulang dari area sekolah ini. Tapi barusanku mendengar langkah kaki. Menurut yang pernahku dengar, sekolahku itu rada angker. Dan tiba-tiba bulu kudukku meremang. Lalu aku menoleh ke belakang dan melihat sesosok makhluk tampan.
Lalu dia juga memandangku dengan wajah datar. Apakah dia manusia? Mengapa wajahnya tanpa ekspresi? Ditangan kanannya dia memegang bola basket yang agak lusuh. Kemeja sekolahnya sudah tak karuan. Kancing atasnya terbuka dua, hingga menampilkan dada polosnya yang seksi. Dasinya juga sudah tak terpasang sempurna.
Tak lama kemudian dia mulai memainkan bola basket yang dipegangnya dari tadi. Lantas dia berlari dan melempar bola basket kedalam ring basket. Dia berhenti sambil memperhatikan bola yang dia lempar tadi. Akhirnya bola itu masuk ke dalam ring itu. Lalu dia tersenyum penuh kemenangan. Manisnya.
Setan mana yang memiliki senyum semanis itu? Eh mana ada setan napak dan menggiring bola basket? Akupun menghela napas lega, setidaknya dia masih manusia. Tapi, apakah dia manusia baik-baik atau memiliki maksud jahat terhadapku? Pikiran buruk mulai merasukiku, lagi.
Saat aku sedang sibuk dengan pikiran anehku, dia melihat ke arahku dan tersenyum padaku. Manis sekali. Tak mungkin ada penjahat yang memiliki senyum bak malaikat seperti dia. Secara reflek aku membalas senyumnya.
Dia berjalan ke arahku. Dan aku mulai panik. Jangan-jangan dia membawa pisau? Oh tidak!
"Hai, sedang apa sendirian disini? Belum pulang?" ucap pria itu sambil tersenyum ke arahku.
"Eh iya. Aku belum ingin pulang ke rumah," ucapku sambil tersenyum terpaksa padanya.
Dia duduk disampingku. Dan melirikku. Dia tersenyum. Tanpa sadar aku terpesona dengan tahi lalatnya yang bertengger didagunya itu. Tahi lalat itu menambah kesan tampan pada pria itu.
"Eh namamu Rista kan?" pria itu mulai bertanya. Aku menoleh ke arahnya.
"Iya".
"Okey Rista, Namaku Takuya," ucapnya memperkenalkan diri.
"Salam kenal," ucapku seraya membalas jabatan tanganya.
Takuya? Nama itu sering aku dengar saat teman-teman wanita sekelasku sedang bergosip. Dan nama itu seringkali jadi topik pembicaraan. Detik ini aku baru mengetahui siapa makhluk pemilik nama yang sering orang bicarakan itu. Walau kami satu sekolah. Tapi jujur saja ini kali pertama kita bertatapan serius dengannya.
"Eh si Shin suka sama elu," Aku membelalak tak percaya. Bukan karena pernyataannya barusan. Yang membuatku kaget adalah dia mengenakan bahasa gaul, lu-gua seperti itu. Aku sebenarnya tak masalah memakai bahasa seperti itu, soalnya di rumahpun aku mamakai bahasa seperti itu. Tapi aku belum terbiasa memakai bahasa 'itu' untuk orang yang baru ku kenal.
"Hah? Ngaco lu," dengan terpaksa aku mamakai bahasa yang serupa dengannya. Toh, agar tidak ada kekakuan diantara kita. Dan lagi, dia sepertinya nyaman memakai bahasa seperti itu.
Jawaban berupa sanggahan itu di dasari atas perlakuan Shin terhadapku. Selama ini Shin selalu mengganggu hidupku. Membuatku kesal menjadi salah satu hobbynya. Dan sialnya aku tak suka atas kelakuannya terhadapku. Maka dari itu aku menyanggah pernyataannya barusan. Semoga itu hanya karangan Takuya saja.
Lalu pria itu hanya tersenyum miring. Aku tak tahu senyum itu bertujuan untuk apa. Dan aku tak mau terlalu memikirkan pria aneh disampingku ini.
.
.
Clak
Air terjatuh dari langit.
Eh ini hujan.
Aku dan Takuya berlari mencari tempat teduh. Dan akhirnya kami beteduh di depan kelas XII IPS 1 yang letaknya tak begitu jauh dari lapangan basket yang sedang kami duduki tadi. Sehingga kami tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di tempat teduh itu. Walaupun Pakaian kami sedikit basah. Yang penting sekarang kami sudah tak kehujanan.
Kami berdiri bersebelahan sambil memandangi hujan yang turun bergerombol menghantam bumi. Aku perlahan mengedarkan pandangan ke sekitar. Tanpa disengaja aku bertemu pandang dengan Takuya. Tak lama kemudian kami tertawa.
Tinggi badanku yang tak terlalu menjulang seperti Takuya sehingga saat aku berdiri di dekatnya, aku hanya bisa melihat dadanya saja. Jika aku ingin melihat wajahnya aku harus sedikit mendongkak.
'Bodoh' mungkin kata itu yang akan orang ucapkan ketika melihat kami masih di sekolah dan menunggu hujan. Padahal sebelumnya masih cerah. Kalau saja kami tak membuang-buang waktu berdiam diri di sekolah mungkin saat ini kami sedang menikmati hangatnya berada didalam rumah. Yak kami memang bodoh!
Perlahan aku mengosok-gosok lenganku berharap bisa menemukan kehangatan dengan cara seperti ini. Karena saat ini hawa dingin mulai terasa.
Sejak tadi kami berbincang banyak hal. Tentang tugas. Sekolah. Alamat rumah. Nomor hape(?) Dan apa saja. Banyak.
Hingga kami tersadar hari sudah mulai sore. Dan kami masih di sekolah. Hujanpun belum berhenti. Bagaimana caranya aku pulang? Sedangkan dirumah, Ibu pasti sedang menungguku dengan cemas. Aku mulai gelisah.
"Gue pulang duluan yah. Sudah sore soalnya," dan akupun mulai beranjak pergi dari hadapannya.
"Eh tunggu," Takuya meraih tanganku, "ini masih hujan nanti lu sakit".
"Gue ga peduli. Nunggu hujan reda itu sesuatu yang ga pasti. Gimana kalau hujannya malah makin gede? Kita akan terus terusan disini gitu sampai hujannya reda? Bahkan sampai malampun? Gue gamau pulang malam," jelasku.
"Gue takut", ucapku lirih.
"Yaudah Gue anterin lu ke rumah. Kita hujan-hujanan bareng,"ucapnya sambil menatapku
"Tapi..." Ucapanku menggantung. Takuya menarik tanganku dan kami mulai menerjang hujan. Dia membawa tubuhku berlari mengikuti langkah kakinya yang panjang. Huahhh basahhhh.
Hingga sampailah kami diparkiran sekolah. Takuya memberikanku helm untuk pakai. Dan Akupun memakainya.
***
-----------------
Hujan itu cara Tuhan memperkenalkanku dengan Kau.
-----------------
TBC
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro