Part 5
Beloved
Arsen & Fherlyn
###
Part 5
###
"Apa dia laki-laki?" Fania Sagara tampak antusias dengan kabar pernikahan mendadak cucunya, Fherlyn. Seakan belum cukup kejutan itu membuat senyum di wajah tua yang masih tampak cantik itu, kabar mengenai anak Fherlyn yang tersembunyi membuatnya hampir melompat kegirangan di tubuh rentanya.
"Atau perempuan?" Hana Ellard yang duduk di sebelahnya Finar pun menyahut tak kalah antusiasnya. Menggoyang pundak Fherlyn untuk menjawab pertanyaannya dengan tak sabaran.
"Siapa namanya?" tanya Fania lagi.
"Maaa!!!!" Keydo dan Finar memanggil bersamaan. Menyesalkan memberitahu kabar bahagia itu segera setelah Fherlyn memutuskan pilihan untuk menikah tadi sore. Mamanya dan mertuanya langsung mengunjungi rumah mereka sore itu juga. Bersama dua koper besar masing-masing karena ingin tinggal di rumahnya sampai menjelang pernikahan. Bersikap begitu heboh seolah ini adalah kabar bahagia yang telah ditunggu-tunggu puluhan tahun lamanya dan patut dirayakan tujuh hari tujuh malam.
"Di mana Fherlyn? Setidaknya mama ingin tahu nama dan fotonya." Hana mengedarkan pandangan di sekitar ruang keluarga yang luas, mencari sosok cucunya karena sejak ia dan Fania datang bersamaan, cucunya ittu belum menampakkan batang hidungnya sama sekali. Baru seminggu yang lalu ia bertemu dengan Fherlyn dan menjodohkan cucunya dengan cucu dari temannya, yang ditolak secara halus olrh Fherlyn. Ternyata karena Fherlyn ingin memberinya kejutan heboh ini. Hatinya seakan meledak dengan kabar gembira tersebut.
"Ini bukan saat yang tepat menanyakan hal itu, Ma," jelas Keydo dengan kesabaran tingkat tingginya menahan rasa jengkelnya pada kedua wanita berumur yang masih begitu lincah bangkit dari duduk dan dengan kompak hendak menuju kamar Fherlyn di lantai dua.
"Tenanglah, Keydo. Terlalu sering marah dan bersikap serius hanya akan membuatmu semakin tua. Biasanya kecepatan itu akan bertambah setelah kau memiliki cucu," timpal Fania. "Sebaiknya kau menahan kesabaranmu dengan lebih giat karena cucumu tak bisa ditahan kemunculannya."
"Keydo tidak setua itu, Ma," ketus Keydo. Merasa tak berdaya dengan ejekan mamanya. Jika sudah seperti ini, acara keluarga yang diinginkan Fherlyn otomatis tak akan terjadi. Karena acara keluarga bagi Fania Sagara dan Hana Ellard itu termasuk mengundang teman atau kenalan sepupu-sepupu jauh yang bahkan belum pernah ia ataupun Fherlyn temui.
"Biarkan mama dan Hana yang akan mengurus semua keperluan pernikahan Fherlyn. Kau dan Finar hanya perlu duduk manis sampai hari pernikahan. Undangan, konsep, cincin, catering dan lain-lainnya akan menjadi urusan kami berdua. Benar, kan, Hana?" Fania meminta dukungan Hana, yang pasti tak akan pernah ditolak oleh Keydo.
"Tapi, Ma."
"Sshhh ..." Hana meletakkan telunjuknya di bibir. "Kau masih bisa melakukannya untuk cucumu nanti. Kami sudah tua, jadi ..."
Keydo mendesah keras memotong kalimat mamanya. "Lakukanlah yang kalian inginkan," ujarnya menyerah. Ia tak sanggup mendengarkan kata selanjutnya yang akan diucapkan oleh mamanya itu.
"Ya, memang kami akan melakukannya," putus Fania sambil berlalu pergi.
Keydo masih bisa mendengar tentang Fania yang meminta pendapat Hana untuk meminta desainer kondang yang baru-baru ini bercerai karena suaminya berselingkuh. Memutar matanya dengan jengah. Sempat-sempatnya mereka bergosip.
"Kemana mama?" tanya Finar yang baru saja muncul dari arah dapur dengan nampan berisi dua gelas jus jeruk dan potongan buah-buah di piring.
Keydo melirik arah tangga yang menuju lantai dua. "Lihatlah siapa yang memberi ide untuk memberitahu mereka?" sindir Keydo. Mengambil piring berisi potongan buah-buahan dari nampan sebelum Finar sempat meletakkannya di meja.
"Lalu, apa kau juga ingin menyembunyikan pernikahan anak kita dari orang tua kita?" Finar meletakkan nampan di meja dan mengambil tempat duduk samping Keydo. Berdecak ketika melihat Keydo membungkuk ke arah meja untuk menyisihkan potongan apel ke nampan dan mulai menyantap isi piring. "Kau benar-benar pemilih, ya?"
"Aku alergi buah itu, Finar. Kau tahu, kan?" Bahkan untuk mengucapkan namanya saja membuat tubuh Keydo seperti merinding. Tindakan apa pun yang dilakukan Finar untuk mengakrabkan dirinya dan buah itu tak pernah berhasil sekali pun. Mungkin karena Finar yang tak ahli dengan urusan dapur, tapi ia lebih memilih melahap makanan tak berbentuk yang disajikan oleh Finar –kecuali olahan yang berbahan apel- ketimbang makan makanan di restoran bintang lima.
"Tidak menyukai sesuatu bukan berarti alergi, Keydo."
"Aku ... memiliki trauma tersendiri dengan buah itu." Sepertinya itu kata yang paling tepat. "Dan aku bertanya-tanya, kenapa kedua anakku tidak memiliki trauma yang sama pada buah itu. Kau tahu aku mengalami trauma ini karena mereka berdua, kan?"
Finar tertawa kecil. "Mungkin ... itu karma."
***
Arsen membalas tawa ceria balita yang sedang duduk di kursi makan bayi yang baru dibelinya tadi siang. Tangannya terjulur membersihkan butiran nasi yang menempel di sudut bibir mungil itu.
Adara Gavrilla Mahendra. Putri kecil miliknya yang seketika merampas seluruh hatinya saat pertama kali mereka bertatap muka. Sama seperti yang dilakukan ibu anak ini. Di sana, di wajah mungil replika dirinya, sama sekali tidak ada bentuk fisik Fherlyn yang menurun pada anaknya. Tetapi ia bisa melihat dengan jelas wajah Fherlyn di sana. Melihat cinta begitu besar yang diberikan Fherlyn untuknya.
Ck, wanita itu terlalu ekspresif. Membuat Arsen sulit untuk abai dan mengusir pemikiran tentang Fherlyn begitu saja.
"Mana mama?" Suara tanya khas anak-anak membuat hati Arsen berdesir, meski ada sedikit keresahan saat mencari jawaban dari pertanyaan tersebut.
"Mama?" Arsen mengerutkan kening sedikit, masih berpikir keras dan berusaha tak terlihat seperti memaksa mencari jawaban. "Apa kauingin bicara dengan mama?"
Adara mengangguk antusias dengan senyum lebar memenuhi wajah.
"Habiskan makananmu dan kita akan menelpon mama."
Dengan bersemangat, Adara menyuapkan sisa makanannya yang tinggal setengah. Meski dengan cara yang berantakan dan membuat butiran-butiran nasi serta lauknya terjatuh di meja makan.
"Bawa dia ke kamarku setelah selesai," perintahnya pada pengasuh baru Adara. Beruntung, Adara adalah anak yang cepat akrab dengan orang baru. Saat ia tiba-tiba datang menjemput anak itu dan memperkenalkan diri sebagai seorang papa, Adara menyambut dengan sukacita meski terlihat sedikit ketakutan. Dan ketakutan itu tak berbekas setelah ia menunjukkan gambar-gambar dirinya dan Fherlyn. Mendekati anak itu dengan kelembutan dan kehangatan yang muncul begitu saja. Mungkin itu adalah naluri seorang ayah yang baru muncul ketika mengetahui bahwa kini dirinya benar-benar seorang ayah dari seorang anak mungil yang memiliki senyum menawan ini.
Bagaimana pun, hubungan darah tak akan pernah begitu saja terlupakan. Ikatan batin yang mereka berdua rasakan tak pernah berbohong meskipun anak itu masih belum bisa memanggilnya dengan sebutan papa. Adara pasti begitu merindukan sosok seorang ayah sebagai pelindung untuk merasa aman.
Namun, sepertinya Arsen tak perlu menelpon Fherlyn untuk menepati janji yang tak sengaja dibuatnya pada Adara. Tadi ia kebingungan mencarikan jawaban yang tepat, dan membiarkan Fherlyn mengambil alih adalah pilihan yang aman.
Arsen belum mengenal dengan baik Adara. Pertanyaan ringan anak itu saja sudah membuat kepalanya berpikir keras. Takut jika sedikit saja ia melakukan kesalahan, Adara akan ketakutan dan memposisikan dirinya sebagai pembohong di hidup anak itu.
Membiarkan layar ponselnya berkedip selama beberapa saat dan menikmati nama Fherlyn sebagai penelepon tertera di sana. Getaran itu berhenti selama beberapa detik, lalu kembali muncul nama Fherlyn tepat ketika ia membuka pintu kamar mandi.
Arsen meletakkan ponselnya di pinggiran wastafel. Membuka seluruh pakaiannya sambil berjalan ke bilik kaca dan menyalakan shower. Membiarkan air shower mengguyur tubuhnya yang berkeringat. Matanya tak berpaling dari kedipan di layar ponselnya. Menikmati pemandangan itu dari jauh.
Sepuluh menit kemudian, Arsen menggeser pintu kaca tersebut dan meraih handuk untuk dililitkan di pinggang sambil melangkah mendekati wastafel. Menatap layar ponselnya yang masih tak berhenti berkedip.
Dengan seringai tipis tersungging di bibir, Arsen meraih ponsel tersebut dan menggeser tombol hijau sebelum menempelkannya di telinga.
"Kau benar-benar tak menyerah, ya?" decak Arsen sebagai salam pembuka.
"Kau sengaja mengabaikanku."
Arsen terkekeh. "Aku hanya suka melihat ponselku berkedip. Memperlihatkan padaku bagaimana putus asanya dirimu dan lagi-lagi hanya akulah yang akan kaumintai pertolongan."
Tak ada jawaban dari seberang.
"Benar, kan, sayang?"
Cubitan keras menekan dada Fherlyn. Ia bisa merasakan seringai yang tersungging tinggi di sudut bibir Arsen meski tak dapat melihatnya. Merasa begitu kesal pada Arsen sekaligus dirinya sendiri. Ia memang begitu putus asa dan lagi-lagi hanya Arsen tempatnya berlari. Pria itu akan menolongnya, tapi lagi dan lagi ia akan meminta lebih.
Pria itu sengaja membiarkan panggilannya, menikmati keputus-asaan dirinya. Menatap dirinya sebagai seorang pengemis yang pengecut. Memohon iba pada Arsen lalu berkhianat. Fherlyn tak akan menyangkal tuduhan atau merubah cara pandang dan pemikiran Arsen tentang dirinya. Ia takut hatinya yang masih berserakan kembali dihajar badai, dan tak sanggup bertahan.
"Benar, kan, sayang?"
Fherlyn menarik napasnya dalam-dalam. Sayang, jantungnya berdebar dan ia tak sanggup lagi berdiri di antara kedua lututnya yang melemah. Ia meraih punggung sofa yang ada di dekatnya dan terduduk. Ada getaran dalam panggilan sayang yang diucapkan Arsen, seakan hembusan napas panas pria itu benar-benar menyentuh telinganya dan merayap ke hatinya yang dipenuhi kerinduan. Oleh suara pria itu, oleh kehangatan pria itu, oleh sentuhan ...
Fherlyn menggoyangkan kepalanya dengan keras. Melenyapkan pikirannya yang mulai tak karuan.
"Aku ..." Fherlyn menelan ludahnya ketika suaranya mendadak berubah serak. "Aku ... ingin bicara dengan Aara."
"Kauyakin hanya Aara?"
"Apa kauingin aku ingin bicara denganmu?" balas Fherlyn menahan suaranya agar tak bergetar.
Arsen terkekeh. "Kupikir kau menjadikan anakku sebagai alasan untuk mengupas rindumu padaku secara pribadi. Kau tahu, pertemuan kita tadi pagi sedikit tidak pribadi dengan keberadaan keluargamu. Juga lamarannya. Seharusnya aku melamarmu di ... hotel atau di pantai. Seperti kebanyakan yang wanita inginkan untuk mengabadikan momen lamaran mereka dengan sikap sentimentil."
Hati Fherlyn mencelos, ejekan Arsen membuatnya ingin menangis tapi tak ada air mata yang keluar. Pria itu benar-benar mengolok-olok ketololannya. Mengejeknya hingga ia tak sanggup melawan meski hanya dengan sepatah kata pun.
"Apa cincinnya pas?"
Fherlyn menunduk, menatap jari manisnya yang sudah dilingkari cincin pemberian Arsen. Neneknya yang memaksanya mengenakan cincin itu ketika melihat kotak cincinnya tergeletak di nakas. Mengatakan bahwa tunangannya bisa lari meninggalkannya jika tidak mengenakan cincin itu menjelang hari pernikahan. Oh ya? Pemikiran macam apa itu? Fherlyn bahkan tak peduli jika Arsen lari dari pernikahan mereka sekaligus hidupnya.
"Itu cincin pernikahan kita empat tahun yang lalu, yang baru kusadari ternyata masih ada di laci meja kerjaku. Aku tiba-tiba mendapat kabar tentang keberadaan anakku dan karena aku harus cepat mengurus berkas untuk memasukkannya sebagai anggota keluargaku, sepertinya menikahimu akan sedikit membantu memberi kejelasan tentang asal usulnya di masa mendatang."
Hati Fherlyn rasanya sudah tak bisa remuk redam lagi. Arsen sengaja menyakiti hatinya dengan tusukan demi tusukan untuk menyiksa batinnya hingga ia tak sanggup lagi bernapas oleh rasa sakit. Seolah membalas pengkhianatan yang sudah mendarah daging di nadi Arsen. Tetapi Fherlyn tak memahami kenapa pria itu ingin membalas perbuatannya empat tahun yang lalu?
Sudah jelas bahwa Fherlyn dan anak mereka hanyalah beban bagi pria itu. Bukankah bagus jika mereka berdua menyingkir drai hidup Arsen dan membiarkan pria itu hidup dengan kebahagiaannya sendiri. Dan kalaupun tiba-tiba pria itu menemukan bahwa anak mereka masih hidup dan ia ternyata mampu berdiri di hadapan pria itu tanpa merepotkan Arsen, seharusnya Arsen merasa begitu lega. Karena tak perlu lagi mengorbankan hidupnya untuknya dan Adara.
"Setidaknya aku tidak boleh bersikap egois dan melenyapkanmu dari ingatan anakku, bukan?" sindiran Arsen kali ini tepat menusuk di jantung Fherlyn.
"Aku ingin bicara dengan Aara," lirih Fherlyn dengan nada memohon. Ia tak sanggup lagi mendengar penghinaan Arsen lebih jauh lagi.
Tak ada sahutan dari seberang, dan Fherlyn menyerah untuk menyapa putri kecilnya. Ia hanya khawatir, putri kecilnya itu akan bertanya-tanya ke mana dirinya. Kenapa tidak mengantarnya gosok gigi? Kenapa tidak membantunya memakai piyama? Kenapa tidak membacakan cerita?
"Kumohon..." Permohonan itu keluar begitu saja melewati bibir Fherlyn. Berlumur keputus-asaan yang begitu kental. Sesibuk apa pun ia karena pekerjaannya, tak sekali pun Fherlyn pernah melewatkan malam tanpa melihat wajah putrinya. Ia tak yakin malam ini akan bisa tidur nyenyak ketika putrinya semata wayangnya berada jauh darinya.
"Aku suka mendengarmu memohon," kekeh Arsen. "Terutama saat kau telanjang di bawahku."
Fherlyn menurunkan ponselnya dan menekan tombol merah yang sewarna dengan pipinya. Wajahnya memanas dan jantungnya berdegup sangat kencang hingga ia berpikir degupannya akan sampai di telinga Arsen, itulah sebabnya ia memutus panggilan tersebut sebagai langkah pertama menghindari kemungkinan tersebut.
Kedua tangannya menyentuh dadanya, mencoba menghentikan reaksi tubuhnya yang bergejolak. Kata-kata Arsen membawa kembali ingatan-ingatan panas yang pernah membuat mereka berdua sangat dekat. Lebih dekat dari hembusan napas mereka sendiri.
Butuh lebih dari dua menit bagi Fherlyn untuk menenangkan hatinya. Lalu panggilan video dari Arsen yang menggetarkan ponsel dalam genggamannya membuatnya tertegun. Fherlyn mengetuk-ngetukkan telunjuknya di pinggiran ponsel dengan gugup. Dipenuhi dilema menyesakkan untuk menjawab panggilan tersebut atau tidak. Tak tahan dengan dilema dan getaran yang seolah menyerangnya tanpa ampun, Fherlyn menggeser tombol hijau. Menguatkan hati untuk hinaan Arsen yang berikutnya. Karena sepertinya memilih diam dan menerima semua perlakuan pria itu adalah satu-satunya jalan baginya untuk tetap mempertahankan posisinya di hidup Adara.
"Hallo, Mama," sapaan suara khas anak-anak yang meluncur ke gendang telinga Fherlyn membuatnya bernapas dengan lega. Wajah mungil dengan senyum yang seolah abadi di sana memenuhi layar ponselnya. Mata Fherlyn berkaca, menahan keinginan untuk menyentuh dan mengecup pipi gembul itu.
"Hai, sayang." Fherlyn melambaikan tangannya ke arah layar. Membalas senyum putrinya dengan tak kalah lebarnya. "Apa anak mama baik-baik saja hari ini?"
"Aara di rumah papa. Kenapa Mama tidak menjemput Aara?"
"Mama ... mama sedang pergi ke rumah kakek dan nenek Aara."
"Kakek Aara?" Kerutan dalam muncul di dahi Adara.
"Ya." Fherlyn mengangguk sambil menahan isak tangis yang hendak keluar. Ia telah menjauhkan semua keluarganya dari Adara, dan di saat yang bersamaan Adara tiba-tiba harus mengenal mereka dalam kurun waktu yang sangat singkat. Tentu saja putrinya itu akan terkejut.
"Aara punya kakek?"
"Ya." Lagi Fherlyn mengangguk. Matanya mengerjap agar air mata tak menetes. "Juga nenek."
"Seperti yang di foto?"
Kali ini Fherlyn hanya mengangguk.
"Kapan mama menjemput Aara? Aara ingin ke rumah kakek dan nenek."
Fherlyn tertegun mencari jawaban. Ia tak bisa menjanjikan sesuatu yang tak bisa ia tepati. Arsen tentu tak akan membiarkan Adara dibawa ke rumahnya. Pria itu sudah mengatakan akan membiarkannya bertemu dengan Adara hanya setelah sebuah pernikahan di antara mereka terjadi atau tidak sama sekali. Dan pernikahan masih sepuluh hari lagi. "Mama ... mama ..."
"Besok mama akan menemui Aara di rumah papa. Tapi, kakek dan nenek Aara saat ini sedang sibuk. Aara mau menunggu kakek dan nenek?" Suara Arsen yang terdengar melegakan Fherlyn. Meski ia terkejut Arsen membiarkannya bertemu Adara dengan cara tak terduga seperti ini.
Adara tampak diam sejenak sambil menoleh ke arah samping. Menatap sosok Arsen yang tak terlihat di layar ponsel Fherlyn. Lalu kepala anak itu mengangguk dua kali dan kembali menatap ke arah mamanya.
Fherlyn pun melanjutkan percakapan singkat mereka seperti biasa saat sebelum tidur dan menceritakan cerita singkat. Karena sepertinya anak itu terlalu lelah mungkin karena menyesuaikan diri di tempat baru, Adara tertidur sebelum Fherlyn menyelesaikan ceritanya.
***
Di Dreame udah tamat, ya. Langsung cek di sana kalo ga sabar nunggu nexxt part.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro