Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 3


Beloved

Arsen & Fherlyn

###

Part 3

###


Karena kebutaan informasi tentang keberadaan cucu yang baru diketahuinya, Keydo memaksa putri bungsunya itu untuk membuka mulut menceritakan semuanya sedetail mungkin, sebelum mengerahkan seluruh anak buah untuk mencari anak Fherlyn. Bagaimana cara mencari bayi yang bahkan belum pernah ia lihat bentuknya. Anaknya itu bahkan tak membawa ponsel atau lembaran foto yang bergambar cucunya. Cucu? Mendadak ia merasa bertahun-tahun lebih tua karena kata itu.

Finar sering mengungkit kata itu, membayangkan bagaimana jika mereka memiliki cucu, tapi saat semua benar-benar menjadi kenyataan, mendadak dirinya menjadi gugup.

"Jadi, kau pergi keluar negeri empat tahun lalu untuk menyembunyikan kehamilanmu?" Pertanyaan Finar memecah keheningan yang menegangkan tersebut. Tubuh tak bisa bergerak karena kedua lengan Fherlyn yang memenjara tubuhnya dari arah samping.

Kepala Fherlyn yang tertunduk dalam-dalam mengangguk pelan. Kedua tangannya yang memeluk Finar semakin erat. Bersiap-siap mendengarkan ledakan kemurkaan papanya karena anggukan kepalanya.

"Siapa ayah dari anakmu?!"

Fherlyn membungkam. Menutup mulutnya rapat-rapat.

"Katakan, Fherlyn!" geram Keydo. "Berani sekali pria itu bersikap tak bertanggung jawab kepada anakku."

Jawaban papanya yang mencengangkan Fherlyn membuat wanita itu terdongak dengan keras. Ia pikir papanya akan menyalahkan dirinya karena tidak bisa menjaga diri dan membuatnya hamil di luar nikah. Bukannya menyalahkan pria yang telah menghamilinya.

Tidak, ia tidak boleh menyeret Arsen dalam masalahnya dengan keluarganya. Melihat reaksi papanya saat ini, Fherlyn tahu papanya itu akan mendobrak pintu rumah Arsen, menghajar pria itu hingga babak belur sebelum meminta pertanggungjawaban karena telah menodai putri kesayangan keluarga mereka. Dan mamanya yang lembut ini, juga pasti akan bicara baik-baik dengan Arsen untuk mencari jalan keluar. Pertanggungjawaban dan jalan keluar yang hanya akan mengarah pada satu jalan. Yaitu pernikahan.

Fherlyn tidak menginginkan hal itu. Arsen juga. Mereka memiliki dua keinginan yang tidak bisa disatukan.

"Ini bukan kesalahannya. Dia tidak tahu apa-apa tentang anak kami."

"Kupikir aku tahu darimana ketololan itu menurun." Keydo melirik sinis ke arah Finar. Yang langsung melotot lebar-lebar ke arahnya. Apa pun permasalahan yang terjadi di antara anaknya dan si ayah bayi, Fherlyn tentu memilih mengalah dan membiarkan penderitaan itu untuk dirinya sendiri. Sama seperti Finar. Klise.

"Tapi kau masih ingat dengan jelas wajah ayah dari anakmu, kan?" Keydo menatap lekat-lekat tatapan Fherlyn. Mencari apa pun yang bisa dijadikan petunjuk di manik coklat terang itu. Satu-satunya hal yang ia syukuri di antara kekurangan-kekurangan putrinya adalah karena tak pandai berbohong.

Fherlyn memejamkan matanya dan menundukkan kepala lagi demi menghindari tatapan menusuk papanya yang seolah membaca buku di wajahnya. Ia tahu trik itu.

"Hm, baiklah." Keydo bersandar di punggung sofa. Setelah lari dari tanggung jawab dan sekarang pria entah siapa itu mendapatkan perlindungan dari putrinya? Tidak semudah itu. "Papa bisa menyelidiki satu persatu pria yang pernah dekat atau bahkan hanya sekedar menyapamu di jalan dan menginterogasi mereka satu persatu untuk mengakui perbuatan pengecutnya. Kaupikir papa akan melepaskannya semudah itu, Fherlyn? Tidak, papa akan membuatnya membayar ...."

"Tidak, Pa," potong Fherlyn dengan panik. Kemudian ia memutar tubuhnya menghadap mamanya dan menangis lagi. "Ma, dia ... dia akan mengambil anak Fherlyn jika tahu Adara anaknya."

"Ya, kemungkinan dia tahu anakmu dan menculiknya saat ini. Apa kau masih tak ingin mengatakan pada papa siapa ayah dari anakmu?" sahut Keydo mulai tak sabaran.

"Dia tidak tahu keberadaan Adara, Pa. Itu tidak mungkin."

"Kau pernah bertemu dengannya setelah kembali ke negara ini?"

Fherlyn lalu terdiam. Keningnya berkerut sangat dalam mengingat pertemuannya dengan Arsen kemarin. Tapi pertemuan itu singkat dan Arsen tak mungkin mengetahui keberadaan Adara dan menculiknya. Lalu Fherlyn menggeleng sekali.

Keydo menggeram dengan gemas pada putrinya yang ... sedikit kurang pintar. "Gelengan kepalamu tak sejujur matamu, nak," dengus Keydo sambil mengangkat ponselnya yang tergeletak di meja. Panggilannya dijawab di deringan pertama dan ia langsung memerintah. "Periksa cctv apartemen anakku. Cari tahu ke mana saja dia pergi dan siapa saja yang ditemuinya setelah kembali ...."

Mata Fherlyn membelalak kaget dan bergegas melompat untuk meraih ponsel di tangan Keydo. "Pa?" mohonnya sambil menahan kedua tangan papanya dalam genggamannya lalu menempelkannya di bibir. Matanya yang basah menyiratkan permohonan yang sangat.

Keydo melotot pada Fherlyn ketika ponsel dalam genggamannya jatuh ke lantai. Menolak rasa iba yang menyeruak di hatinya dengan ekspresi Fherlyn. Putrinya itu perlu menyingkirkan sedikit kekurangpintarannya. "Papa harus membunuhnya karena berani ..."

"Dia ayah dari cucumu," sergah Finar dengan lirih tapi tatapannya keras penuh peringatan ke arah Keydo.

"Tapi tetap saja dia berani menghamili anakku dengan cara tidak bertanggung jawab seperti ini."

"Kau membuat semuanya semakin rumit!" sergah Finar pada Keydo. "Kita bisa bicara baik-baik." Finar menarik Fherlyn untuk kembali duduk di sebelahnya.

Keydo menghela napas panjang. Bicara baik-baik? Siapa yang bisa tenang saat putrimu memberi kabar gila ini dalam sekali kejutan besar? Cucunya, masuk dalam daftar salah satu anak di luar nikah? Dan anaknya, menjadi orang tua tunggal tanpa ikatan pernikahan yang sah? Di saat perjuangannya bertahun-tahun lalu yang mempertahankan pernikahan untuk tetap utuh dan berada di jalur yang benar. Bagaimana karma semacam ini datang di hidupnya.

Keydo berhasil menata gejolak emosi di hatinya di hitungan ke lima. Dengan suara yang dipaksa melunak, Keydo kembali bertanya, "Jadi, siapa ayahnya?"

Fherlyn masih membungkam, isakannya tertahan di matanya berkaca.

Finar menepuk pundak Fherlyn, mengangguk meyakinkan putrinya untuk menjawab pertanyaan Keydo.

"Aa ..." Fherlyn terhenti. Menggeleng lalu menangis lagi.

Keydo menghela napas keras. Mulai tak sabar.

Sekali lagi Finar meyakinkan putrinya. "Jika memang dia ada hubungannya dengan penculikan ini, kita harus menyelesaikannya secara baik-baik, Fherlyn. Tapi jika memang penculikan ini tidak ada hubungannya dengan dia, kami ..." Finar menatap Keydo sekali sebelum melanjutkan. "... kami berjanji akan menuruti apa pun keinginanmu untuk masa depan anak kalian."

Cukup sudah! Keydo menepuk keras pinggiran sofa tempatnya terduduk dengan ekspresi penuh kemurkaan.

"Tapi papa tidak bisa berjanji untuk tidak membunuhnya!" ancam Keydo kemudian ketika Finar mendelik lagi ke arahnya. "Cepat atau lambat papa akan mengetahuinya. Jadi lebih baik kau mengatakannya sekarang dan semakin cepat kami tahu, semakin cepat pula anakmu ditemukan. Apa kau mengerti keadaan genting ini, Fherlyn?"

Fherlyn mengerjap. Kesadarannya seakan telah kembali ketika papanya mengungkit tentang menemukan anaknya dengan cepat. Adara saat ini pasti kebingungan mencari dirinya, reflek bibirnya terbuka mengucapkan satu nama yang sudah mengakar di lubuk hatinya yang terdalam. "Arsen."

"Siapa?" Keydo memasang telinganya baik-baik karena suara Fherlyn yang sangat lirih dan bercampur tangisan membuatnya tak tertangkap telinganya dengan baik.

"Ar ... sen." Fherlyn sedikit mengeraskan suaranya dengan terbata. "Namanya Arsen."

"Arsen Atmadja, Arsen Sagara, Arsen siapa, Fherlyn?" tanya Keydo gemas pada putrinya itu. Ada ratusan Arsen di kota ini.

"Arsen ... Mahendra," gugup Fherlyn.

Mata Keydo menyipit tajam pada Fherlyn. Arsen Mahendra? Nama itu seakan sering berseliweran di pikirannya. "Sepertinya aku tak asing dengan nama itu."

"Dia bossmu, kan?" Mata Keydo menyipit curiga. Tentu saja Keydo mengingatnya dengan sangat jelas. Itu kejadian empat tahun yang lalu ketika putrinya yang dengan keras kepala menolak belajar di perusahaan dan malah memilih perusahaan lain untuk bekerja. Jadi, inilah yang terjadi ketika kau membantah putusan orang tua.

Fherlyn mengangguk pelan.

"Apa dia meniduri semua sekretarisnya?" sengit Keydo.

Fherlyn menggeleng. "Kami ... itu hanya kecelakaan, Pa."

Keydo mendengus sinis. "Tak ada gunanya kau berbohong, Fherlyn."

"Tuan?" Seorang pelayan muncul menyeruak pembicaraan keluarga tersebut dengan ekspresi ragu dan waswas melihat ekspresi si tuan besar yang memberengut penuh awan gelap.

"Ya, ada apa, Bik?" tanya Finar dengan lembut.

"Ada tamu di depan."

"Siapa?"

"Arsen Mahendra, Nyonya."

***

"Jadi, kau yang menghamili anakku?" Kepalan tangan Keydo yang mengeras bisa ia pastikan menyentuh wajah arogan nan songong yang ada di seberang meja itu. Jika bukan karena istrinya yang duduk di samping, mengalungkan kedua lengan dan menempelkan wajah di lengan kanannya, diniatkan memang untuk menjaga kestabilan emosi di dadanya. Menghindari baku hantam yang memang sudah direncanakan kepalanya begitu mendengar nama sialan itu keluar dari mulut pelayannya.

Keydo sudah tak peduli lagi jika mereka berdua tampak konyol duduk bersempit-sempitan di sofa tunggal di hadapan Arsen, sedangkan sofa panjang yang ditempati oleh Fherlyn begitu luas dan kosong. Gadis yang malang, ah tidak. Putrinya sekarang sudah tak gadis lagi mengingat kesuciannya sudah dinodai oleh pria brengsek yang duduk di seberang sana. Sepertinya Keydo bisa dengan mudah membanting meja di hadapannya dalam dua detik lalu menghajar habis-habisan dan menghancurkan wajah sialan tampan itu.

Kepala Fherlyn terus menunduk saat Keydo menyeret anaknya memasuki ruang tamu dan mengambil tempat sejauh mungkin dengan tamu tak diundangnya. Meringkuk ketakutan di sudut sofa dan Keydo yakin leher putrinya itu akan kram dalam hitungan menit jika tetap keras kepala mempertahankan posisi bebalnya itu.

Kembali tatapan membunuh Keydo terpusat ke arah Arsen, tak sungkan menunjukkan sikap permusuhan yang begitu kentara dan tak peduli jika kebenciannya membuat pria itu tersinggung.

"Tidak berlebihan jika saya mengatakan anak Anda yang merayu saya lebih dulu, Tuan Ellard." Arsen menatap Fherlyn dan tersenyum simpul menyiratkan maksud tersembunyi ketika bertanya khusus untuk wanita itu. "Benar, kan, Sayang?"

Kepala Fherlyn terangkat dan matanya membeliak kaget dengan jawaban serta pertanyaan yang diucapkan dengan begitu ringan oleh Arsen. Terutama dengan panggilan sayang yang dulu selalu diucapkan Arsen ketika mereka berdua berada di atas ranjang. Seolah pria itu sengaja menelanjanginya di hadapan keluarganya.

"Sayang?" Keydo menoleh ke arah Fherlyn lagi. Kali ini dengan kedua bola mata yang hampir keluar. Putrinya itu langsung menunduk dan tak berani membalas tatapan matanya lebih dari satu detik.

"Kaupikir aku percaya bualanmu?" Keydo masih berusaha membela putrinya meski keraguan sudah bisa dipastikan begitu melihat dengan jelas reaksi Fherlyn. Saat putrinya ketahuan menyembunyikan salah satu kecerobohan darinya.

"Empat tahun yang lalu tepat tanggal delapan Mei. Sepertinya di ruangan saya ada cctv, mungkin saya bisa mencari dan menunjukkan pada Anda sebagai bukti. Tapi ..." Arsen berhenti sesaat untuk melirik ke arah Fherlyn yang tampak tak bisa berkutik lalu kembali ke arah Keydo Ellard. "Saya takut Anda kecewa karena ternyata selama ini Anda keliru mengenali putri polos dan rapuh Anda ternyata tidak sepolos seperti yang Anda kira."

"Kurang ajar!" Tubuh Keydo sudah hendak melompat ke arah Arsen, tapi beban di lengan kanan yang menariknya membuat pantatnya kembali tersungkur di sofa.

Fherlyn tersentak kaget dengan suara keras papanya yang menggemparkan setiap sudut ruangan membuat tubuhnya semakin beringsut ke punggung sofa. Beruntung mamanya melakukan tugasnya dengan baik sebagai penawar kemurkaan papanya. Terkadang dia merasa iri dengan kisah cinta kedua orang tuanya. Mencintai dan dicintai. Keinginan seperti itulah yang menjerumuskannya ke lubang gelap sakit hati karena kekecewaannya terhadap Arsen. Arsen tidak akan pernah memberinya cinta seperti yang ia harapkan. Pria itu hanya tahu cara dicintai tanpa tahu bagaimana harus membalas perasaan cinta yang ia berikan dengan tulus. Atau dirinya yang terlalu bodoh karena mencintai manusia kasar dan tak punya perasaan seperti Arsen?

"Tenanglah, Keydo," bisik Finar. "Pria kuat adalah pria yang mampu menahan amarahnya, ingat mantramu. Kendalikan dirimu." Finar membisik di telinga Keydo. Lalu menghitung angkat satu, dua, tiga dan seterusnya yang membuat Keydo semakin gusar.

Telinga Keydo gatal dengan ocehan Finar, dan hanya mampu menahan geramannya di tenggorokan. Kobaran api dalam hatinya tak akan padam hanya karena menghitung satu sampai sepuluh. Tapi ia terpaksa menahan sekuat tenaganya demi istri tercinta, yang menatap penuh permohonan di mata berkilau yang menjadi titik kelemahannya. Mengalah adalah satu-satunya jalan untuk keharmonisan rumah tangganya dengan Finar.

"Lagipula ..." Finar lebih mendekatkan bibirnya di telinga Keydo. "Dia sangat tampan."

"Apa?!" Keydo memutar kepala dan mendelik lebar-lebar ke arah Finar dengan tatapan kecemburuan yang berkobar di manik gelapnya. Sempat-sempatnya istrinya itu memuji pria lain di hadapannya dan di saat amarah bergolak membakar hatinya.

"Dan kaya. Itu yang terpenting." Finar segera mengoreksi dengan cepat ketika tatapan, geraman, dan gestur kecemburuan memenuhi Keydo. "Tidak buruk untuk jadi seorang menantu maksudku." Finar memperbaiki kalimatnya meski terdengar tak meyakinkan. Sebagai seorang wanita ia mengakui ketampanan calon menantunya tersebut.

"Kau?!" geram Keydo.

Finar tak peduli pada kemarahan Keydo lagi. Tiba-tiba menarik tangannya lepas dari lengan Keydo dan memutar tubuh menghadap Arsen. Memasang senyum ringan dan mengangguk mengerti. "Kami percaya kaupunya buktinya. Fherlyn terkadang ... sedikit ceroboh dan tak berpikir sebelum bertindak."

"Ma!!!" rengek Fherlyn tak terima. Bukannya membela, mamanya malah mempermalukan dan memojokkannya di hadapan Arsen.

Arsen membalas senyum Finar dengan ramah dan mengangguk menyetujui. Walaupun merasa sangsi dengan kata 'terkadang'. 'Fherlyn selalu sangat ceroboh dan tak pernah berpikir sebelum bertindak,' itu kalimat yang sangat tepat.

"Tapi itu tak membantah fakta bahwa kau telah merusak kesucian anakku dan angkat tangan dari tanggung jawabmu," sergah Keydo yang kali ini bukan hanya marah pada Arsen tapi juga sangat kesal pada Finar. "Kau memanfaatkan jabatanmu untuk bertindak semena-mena pada bawahanmu. Berapa banyak sekretarismu yang sudah kautiduri?"

"Hanya Fherlyn, Tuan Ellard." Jawaban Arsen ringan dan tegas. "Kami melakukannya atas dasar suka sama suka. Sama sekali tidak ada paksaan saat saya membawa putri Anda ke atas ranjang dan menanggalkan pakaiannya satu per ..."

"Diam kau!!!" Keydo tak tahan saat bayangan-bayangan kalimat Arsen terpampang jelas di benaknya. Putrinya dan pria yang sialan tampan itu yang saling merayu, saling menyentuh dan membakar, lalu .... aarrggghhh. Keydo tak sanggup menampilakan gambaran-gambaran panas itu meski bukti dari kedekatan hubungan mereka sudah membuahkan seorang bayi yang bahkan belum pernah ia jumpai.

Fherlyn pun yang hanya mampu tertunduk di sudut sofa, memejamkan mata erat-erat. Pipinya memerah mengingat semua kenangan panasnya saat bersama Arsen dan di saat yang bersamaan ia bisa merasakan tusukan tajam dari tatapan papanya menembus kepalanya yang membuatnya malu luar biasa. Papanya dan Arsen tak henti-hentinya bergantian mempermalukan dirinya.1

'Sialan kau, Arsen!' umpat Fherlyn dalam hati. Apa pria itu tak punya rasa malu, membeberkan urusan ranjang mereka di hadapan orang tuanya seperti ini? ratapnya dalam hati.

Teriakan Keydo tak membuat Arsen berhenti begitu saja. Ia melanjutkan ceritanya. "Dan tentang tanggung jawab, sebaiknya Anda menarik kata-kata Anda, Tuan Ellard yang terhormat. Karena sungguh, saya adalah pria yang bertanggung jawab dan saya sama sekali tidak angkat tangan saat Fherlyn datang kepada saya dan mengatakan bahwa dia hamil dan mengandung anak saya kemudian meminta saya untuk tidak meninggalkannya sendirian menanggung beban anak kami. Di detik itu juga saya dengan sadar mengakui kesalahan saya dan sepenuhnya akan bertanggung jawab atas hidup mereka berdua."

Keydo terdiam. Merasa sangat marah dengan kata-kata Arsen yang begitu mantap keluar dari bibir pria itu. Saat mengucapkannya, Arsen sama sekali tidak melepas tatapan mata darinya. Setiap kata-kata pria itu juga penuh keyakinan. Diucapkan dengan sangat tenang dan lancar. Keydo tak menemukan setitik pun kecurigaan yang mengartikan sebuah kebohongan dalam pernyataan Arsen.

'Sialan!'

"Saya sama sekali tidak lari dari tanggung jawab dan sudah mengatakan pada Fherlyn untuk memberitahu Anda sekeluarga dan menetapkan tanggal pernikahan kami. Fherlyn memberi saya tanggal yang tadinya saya pikir ditetapkan dari keputusan bulat satu keluarga. Saya mengakui kekeliruan yang satu itu. Fherlyn bersikeras melarang saya datang ke rumah ini da menemui Anda semua untuk mengajukan lamaran secara benar."

Keydo dan Finar menatap Fherlyn secara bersamaan, dan kebisuan dan ketakutan di wajah Fherlyn hanya semakin membenarkan pembelaan Arsen. Entah kebodohan macam apa yang sudah mengakar di otak anak mereka itu.

"Kemudian satu hari menjelang hari pernikahan. Butik mengirim gaun pengantin kami ke rumah dengan sepucuk surat yang mematahkan hati saya. Juga tertulis bahwa dia telah membunuh anak saya," lanjut Arsen. Memasang ekspesi sakit hati yang dibuat-buat sambil menyentuh dada. Hanya sesaat sebelum kemudian wajah arogan dan dingin kembali menghiasi wajahnya yang sesungguhnya.

"Apa?!" Kesiap kaget menghentak jantung Finar hingga membuat tubuhnya tersentak ke belakang dan membentur punggung sofa dengan tangan menempel di dada. Mendadak kepalanya berdenyut dan jantungnya berhenti bernapas. "Membunuh?"

Fherlyn menggeleng-gelengkan kepalanya dengan keras.

"Bukankah ... bukankah kaubilang anakmu masih hidup?" Finar menatap tak percaya ke arah Fherlyn dengan napas terengah.

Fherlyn menggigit bibir bagian dalamnya. Kali ini tusukan tatapan Arsen serasa membelah kepalanya. Selesai sudah, pria itu kini mengetahui keberadaan Adaranya. "Fherlyn hanya berbohong, Ma. Fherlyn tak bersungguh-sungguh melakukannya."

"Jadi, kau mengakui bahwa anakku masih hidup?" Arsen bertanya. "Tadinya aku berpikir membutuhkan usaha yang lebih keras untuk membuatmu mengaku, Fherlyn."

Fherlyn tak berani menoleh ke arah Arsen.

"Dan kau menculik anakmu sendiri," putus Keydo.

Fherlyn membelalak tak percaya. "Kau yang menculik Aara?"

Arsen tersenyum tipis. "Menculik? Itu terlalu kasar."

"Apa yang kauinginkan?" Mata Keydo mengunci tatapan Arsen. Pria itu datang ke rumah ini sudah tentu bukan sekedar menunjukkan diri penuh kebanggaan untuk memberitahu karena telah berhasil meniduri dan menghamili putri tunggal seorang Keydo Ellard, kan? Niatnya sudah tergambar jelas di mata dan kesombongan pria itu.

Arsen diam sejenak. Tampak berpikir lalu seringai samar menghiasi sudut bibirnya ketika menjawab, "Mungkin ... sebuah pernikahan."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro