05] (Not) be Alone
"Aku berharap Luke akan membalas perasanmu."
Perkataan itu lagi-lagi mengusikku hingga lamunan terhenti ketika Luke memangil namaku berulang kali.
"Alamat rumah lo dimana?" tanyanya berfokus dengan jalanan yang dilalui. Ya. Jika bukan karena Elora, dia tak akan mau bersamaku saat ini.
"Perumahan Frandes," jawabku selagi menunjukkan rute denah. Beberapa persimpangan jalan lagi yang harus dilewati. Beruntungnya, jarak yang ditempuh tidak terlalu.
Setelah itu kami kembali terdiam. Aku membuka kaca spion sedikit terbuka mengulurkan tangan memainkan hempusan angin yang menusuk kulitku.
"Tangan lo nyakut di truk, gue lepas tangan," tegur Luke. Aku buru-buru mendongak ke arahnya reflek memasukkan tanganku kembali. Suara decitan dari kaca spion tertutup terdengar jelas. Luke menekan tombol otomatis lalu mencibir, "Takut, lo?"
Aku melotot sempurna. Yang benar saja?! Kenapa aku tidak menghiraukannya?
"A-aku minta maaf perihal tadi."
Kalimat itu lolos dari bibirku. Aku menahan rasa gugup dengan menduduk dan memainkan kuku panjangku. Hanya itu yang aku bisa aku lakukan. Taruh mana nih, muka?
"Gue ancungin jempol buat keberanian lo," disela itu, Luke mengancungkan jempol ke arahku. Apa aku harus berbangga diri?
"Hekm. Itu ...."
"Lo sendirian?" celah Luke. Bertanya kepadaku seolah mengalihkan topik. Aku pun mengangguk. Mengingat perjalanan sudah mencapai taman kompleks perumahanku. Aku turun dari mobilnya. Sebelum mengucapkan terima kasih, Luke mengatakan sesuatu kepadaku, "Mulai sekarang lo gak sendirian lagi."
Aku mengerutkan kening. Bagaimana pun, sendiri adalah duniaku diantara banyaknya keramaian disekitarku.
"Ya. Sekarang lo gak sendiri. Karena ada gue. Gue masih tahap jadi teman. Don't know in the future."
***
Sendiri. Berulang kali ku rasakan. Rasanya tetap sama, tidak ada yang merubah pandanganku. Atau aku yang telah terbiasa terlarut dalam kesendirian?
Selagi mengintai keadaan rumah, asisten rumah tangga yang kerap ku panggil 'Bibi' itu menyapaku. "Maaf, Non! Bibi lagi masak di dapur. Makan siang juga udah di atas meja makan. Kata Tuan, sama Nona hari ini gak pulang malam."
"Iya, Bi. Gak papa. Aku nunggu Mama sama Papa, aja! Lagian gak laper juga," ujarku meringis beralih membuka salah satu majalah terbaru. Dalam hatiku bertanya, tidak biasa mereka mengumumkan pulang lebih awal.
'The official book karrier and parent.'
Aku membulak-balikan majalah tersebut--tidak lan sebuah biografi. Salah satu halaman menarik perhatianku. Dimana, tampaknya sebuah foto keluarga. Disana, aku--sewaktu kecil berkepang dua dengan menunjukkan gigi kecil ku dihadapan kamera. Terlihat seperti keluarga harmonis.
Aku kembali menutup majalah tersebut mengembalikan ke tempat semula dengan terburu-buru saat mengetahui seseorang tidak jauh dari sekitarku. Itulah Mamaku dengan penampilan yang selalu terkesan fashionebel.
"Nyatanya, kamu pulang lebih cepet daripada Mama," ujarnya diikuti dengan keberadaan Papa, yang masih mengenakan seragam kantor.
Sedikit ku perlihatkan nama mereka. Fonseca, adalah nama Mamaku. Begitu juga dengan Antonio, adalah Papaku. Papa, yang sebagai produser di salah satu agency entertaiment.
Hatiku sedikit mencetus, ketika mengingat status karier mereka--Tidak beda jauh dengan Mamaku, yang mempunyai karier gemilang di deretan public figure. Seperti balon yang siap meletus kapan saja. Aku terlalu cukup sadar ini untuk tidak memperlihatkan penampilanku yang jauh dari kata sempurna dengan mereka.
Lihat! Jerawatku bermunculan satu anak lagi! Jika tidak mencegahnya, bisa-bisa akan menjadi jerawat memandel. Berwarna merah mercolok dan itu sangat memalukan. Aku tak bisa menambah ternak terlalu banyak.
Aku yang kini sedang berada dihadapan cermin, segera bangkit dari tempat duduk bergegas menuju toilet.
Jika tidak mengontrol kecepatan lariku. Bisa-bisa aku menabrak Papa, yang barusaja menemuiku dan Mama berada.
Lah. Lah. Padahal Papa bawa bingkisan," ujarnya terdengar jelas.
Aku tertawa mendengar hal itu. Kemudian aku berteriak, "Tunggu sebentar, Pa!"
Sesampai di wastafel, aku membasuh mukaku dengan sabun pencuci wajah. Membilasnya dengan air mengalir. Serasa lebih fresh, aku kembali menemui kedua orang tuaku yang kini menungguku di ruang makan.
Papa mengulurkan kotak berwarna hijau tosca itu kepadaku. Aku segera membukanya tak sabaran. Terkadang, aku bertingkah seperti anak kecil. Tanpa dirasa, mereka pun saling tersenyum.
"Cantik, 'kan?" Mama memujiku setelah memakaika sweeather berwarna hijau tosca itu. "Jangan lupa besok di pakai, daripada ganggur di lemari."
Aku terkekeh kecil mengaca diriku sendiri dihapan cermin persegi panjang. Bagiku, diriku terlihat sempurna. Mungkin itu adalah salah satu cara mencintai diri sendiri.
***
Entah mengapa, hari ini aku sangatlah antusias. Menerjang pagi dengan memperbaiki penampilanku. Meski tiada yang berubah, aku harus merasakan perubahan itu sendiri.
Sweather hijau tosca, yang semalam diberikan oleh Papa, hari ini melilit sempurna di tubuhku. Mungkin, itu yang membuatku terasa berbeda.
Aku tersenyum memperlihatkan sweather yang ku pakai di pagi ini--sengaja ku masukkan bagaian bawah sweather dengan setelan rok panjang putih tulang. Setelah semua selesai, aku mengenakan tas selempang. Tidak lupa dengan rambut panjangku yang selalu berkuncir ketika berada di area kampus.
"Ma! Pa! Aku mau berangkat. Ada mapel kelas pagi," teriakku dari tangga.
Terkadang aku merasakan kesedirian dan terasa kesepian, ketika mereka sibuk dengan urusan pekerjaan. Terkadang pula, aku bersyukur bisa menciptakan momen seperti pagi ini.
"Papa juga mau ke agensi."
Aku terbatuk mendengarnya. Membuatku segera mengemasi kotak makanku lebih cepat. "Belle. Berangkat dulu!"
Sesampai di Dreamland University, aku menarik nafas ngos-ngosanku. Dikarenakan di perjalanan tidak sengaja bertemu dengan seekor anjing liar. Bukan malah terdiam, agar tidak menarik perhatian. Tetapi, aku terlalu takut hingga lari terlebih dahulu. Jelas, itu akan membuatnya seolah aku mengajaknya bermain. Mengejarku hingga ufuk dunia. Beruntungnya, satpam perumahan lain menghentikan anjing mengongong yang sibuk mengejarku itu.
Setidaknya kali ini, nafasku lebih baik. Hanya segelincir murid yang berlalu lalang di area koridor. Pemandangan yang selalu kunantikan di Dreamland University adalah tim basket. Seseorang yang ku kagumi, maupun tim dalam kelompok.
Langkahku tidak berbelok menuju ruangan kelas meski hanya selangkah membelokan kaki, aku telah berada ruangan kelas. Aku memilih untuk tetap berjalan lurus. Apalagi yang kulihat saat ini Luke, seseorang yang menjadi secret admirer-ku itu kini sedang memainkan basket di lapangan.
Aku sedikit heran dengannya. Apa rutinitas sehari-harinya, hanya memainkan bola basket? Medribing bola dari lawan, lalu memasukkan bola ke dalam ring, hingga mendapatkan poin.
"Belle?"
Hingga aku tidak menyadari seseorang entah sejak kapan, berdiri tidak jauh dari tempatku saat ini berada. Aku segera mengalihkan arah, membuang fokusku terhadap Luke di lapangan.
"Bagaimana kamu bisa kemari?" Rasanya nihil. Jika itu adalah orang yang sama.
***
A/N
Klo ngerasa ada yang beda
nama kampusnya, aku jelasin lagi.
fiksnya mulai dari chpter ini😭👍
so, maapkeun karena di chptr sebelumnya, aku belum ganti wkwk
btw, makasi udah mampir smpek sini
semoga betah, ya!🙏
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro