5
Dona berdiri di depan cermin kamar kosnya, memandang dirinya sendiri dengan cermat. Ia sudah mencukur habis bulu di tangan dan kakinya yang biasanya hanya ia sembunyikan dengan filter aplikasi. Kulitnya kini terlihat mulus, setidaknya cukup untuk tampil meyakinkan sebagai Bella Mooi.
“Semua demi uang kontrak itu,” gumamnya, mencoba menyemangati diri.
Ranselnya sudah siap. Ia harus naik kereta ke Jogja terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan ke Bali dengan pesawat. Semua itu dilakukan untuk menyembunyikan asal-usulnya yang sebenarnya dari Surabaya. Identitasnya sebagai Bella Mooi harus tetap misterius, dan ia tak ingin siapa pun menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari Ahmad Ramadona.
Perjalanan panjang itu melelahkan. Duduk di kereta ekonomi selama berjam-jam, kemudian menunggu di bandara untuk penerbangan berikutnya. Tapi saat pesawat mendarat di Bali dan Dona menghirup udara hangat Pulau Dewata, ia merasa sedikit lebih ringan.
“Ini saatnya,” katanya pada dirinya sendiri.
Dona langsung menuju lokasi acara launching skincare Reno, sebuah hotel mewah yang berdiri megah di tepi pantai. Ia sudah berdandan maksimal sebagai Bella Mooi: riasan flawless, rambut panjang hitam tergerai, dan pakaian modis yang menguatkan citranya sebagai beauty influencer papan atas.
Di lobi hotel, Reno menyambutnya dengan senyuman lebar. “Bella Mooi! Terima kasih sudah datang. Kamu luar biasa.”
Dona membalas dengan senyuman kecil, hanya mengangguk. Ia mengangkat papan tulis kecilnya yang sudah ia persiapkan: “Senang bisa bergabung. Apa rencananya hari ini?”
Reno membaca tulisan itu dengan tawa kecil. “Kamu benar-benar menjaga konsep misterius itu, ya? Bagus. Ini unik.”
Reno memimpin Dona ke ruang pertemuan, tempat tim lain sudah berkumpul. Di antara mereka, seorang wanita berdiri dengan sikap tenang namun memancarkan wibawa. Dona tertegun sejenak. Wajah wanita itu… hampir seperti bayangannya di cermin.
“Ini sepupuku, Isabella Prawirohadjo,” Reno memperkenalkan. “Dia dokter kulit dan konsultan produk kami.”
Bella menatap Dona dengan mata penuh analisis, namun ekspresinya tetap dingin. “Halo,” sapa Bella singkat, dengan nada profesional.
Dona merasa gugup, tapi ia segera mengangkat papan tulisnya lagi: “Apa kabar, Dokter Isabella? Sudah lama saya ingin bertemu Anda.”
Bella mengerutkan kening. “Kamu tahu saya?”
Dona menulis lagi: “Saya dulu penggemar akun Instagram Anda. Tapi akun itu tiba-tiba hilang. Kenapa Anda sudah tidak pernah live lagi?”
Pertanyaan itu membuat Bella sedikit tersentuh. Tak ada yang bertanya padanya soal akun Instagram itu selama ini, terutama dengan nada yang tampak tulus.
“Sudah bosan mainan media sosial,” jawab Bella singkat. “Saya lebih fokus pada karier saya sekarang.”
Dona tersenyum kecil, menulis: “Sayang sekali. Saya suka konten-konten Anda. Anda menginspirasi banyak orang, termasuk saya.”
Bella tidak bisa menahan senyum tipis. Kata-kata itu, meski sederhana, terasa tulus dan mengingatkannya pada masa-masa ia merasa bahagia berinteraksi dengan para pengikutnya.
Namun, rasa ingin tahu Bella muncul. Ia menyipitkan mata dan bertanya, “Kenapa kamu nggak ngomong langsung? Kenapa pakai papan tulis?”
Dona menulis cepat, senyumnya penuh rahasia: “Karena ini konsep saya. Saya harus menjaga misteri.”
Bella mengangguk, meski tidak sepenuhnya paham. Tapi ia bisa menghargai komitmen Dona terhadap citra yang ia bangun.
“Baiklah,” kata Bella. “Kita lihat apa kamu bisa bertahan dengan konsep itu.”
Dona mengangguk penuh percaya diri, meski di dalam hatinya, ia merasa sedang berjalan di atas tali tipis yang bisa putus kapan saja.
***
Votes dan komen ya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro