18
Perjalanan kembali dari rumah kakek Bella dipenuhi suasana yang tegang. Bella menyetir sambil sesekali melirik Dona dengan tatapan kesal. Di lampu merah, ia akhirnya memecah keheningan.
"Kenapa kamu bilang aku yang nembak duluan, Don?" tanyanya dengan nada tajam.
Dona mencoba membela diri. "Kan aku bingung! Kamu nggak briefing soal itu. Aku jawab aja yang paling logis."
Bella mendengus. "Logis? Jadi menurutmu aku tipe orang yang bakal nembak duluan?"
Dona mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah chat. "Ini buktinya, Dok. Kamu ngajak aku pacaran duluan. Lihat tuh, jelas-jelas kamu yang bilang."
Bella menatap layar ponsel itu dengan tatapan tak percaya. Chat itu memang ada: pesan singkat dari dirinya yang meminta Dona untuk menjadi pacarnya, meskipun itu hanya pura-pura. Ia mendesah, merasa tidak bisa lagi berargumen.
"Oke, fine. Aku yang nembak duluan. Tapi kamu nggak perlu terang-terangan bilang itu ke Kakek. Aku kelihatan desperate banget jadinya," kata Bella sambil memutar matanya.
Dona tertawa kecil, tapi segera meredam tawanya ketika melihat ekspresi Bella yang masih kesal. "Maaf, maaf. Aku nggak bermaksud bikin kamu malu, kok."
Sesampainya di depan kos Dona, Bella mematikan mesin mobilnya. Ia menatap kos kecil itu dengan pandangan sekilas sebelum beralih menatap Dona. "Don, ini tempat tinggalmu?" tanyanya.
"Iya, Dok. Memangnya kenapa?" Dona terlihat bingung.
Bella menggeleng. "Nggak apa-apa. Aku cuma heran gimana caranya kamu bisa tetap fokus belajar di tempat sekecil ini."
Dona tersenyum tipis. "Kalau niatnya besar, tempat sekecil apa pun nggak jadi masalah."
Bella memandanginya sejenak sebelum mengangguk. "Aku yakin kamu bakal lulus UKMPPD, Don. Kamu udah kerja keras banget, dan aku tahu kamu punya kemampuan. Jadi jangan ragu."
Dona terkejut mendengar nada suara Bella yang tulus dan penuh semangat. Ini sisi Bella yang jarang ia lihat—sisi yang tidak sinis atau dingin, melainkan hangat dan suportif. Ia tidak tahu harus berkata apa.
"Terima kasih, Dok. Aku bakal ingat itu," jawab Dona akhirnya.
Bella mengangguk, lalu membuka pintu mobilnya. "Aku mau pastikan kamu masuk dengan selamat. Ayo."
Mereka berjalan bersama ke pintu kos, dan sebelum Dona masuk, Bella menambahkan, "Besok, kalau kamu perlu sesuatu, kabarin aku. Jangan sungkan."
Dona tersenyum, merasa dihargai oleh orang yang sebelumnya ia anggap hanya dingin dan angkuh. "Iya, Dok. Terima kasih sekali lagi."
Bella hanya mengangguk, lalu kembali ke mobilnya. Dona memandang kepergian Bella dengan perasaan yang campur aduk. Ia tidak pernah menyangka, di balik sikap dingin Bella, ternyata ada sisi yang peduli dan mendukung.
Di dalam kosnya, Dona merenung. Hubungan pura-pura ini mungkin dimulai dengan keterpaksaan, tetapi ia merasa mulai melihat Bella sebagai seseorang yang lebih dari sekadar partner sandiwara. Dan itu membuat segalanya menjadi lebih rumit.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro