Believe
Semua bermula saat aku melihat lelaki itu tengah berjongkok di depan gedung apartemenku. Tangannya yang berisi sosis berukuran kecil, tampak terulur mengarah pada seekor anak anjing tak terurus.
Ini bukan pertama kali aku mengamati lelaki itu dan bukan pertama kalinya pula dia menangkapku sedang mengamatinya. Jadi meski kupikir ia mengetahui kebiasaan ini, bukan berarti semua akan berjalan mudah seperti pada drama ....
... karena nyatanya, aku masih belum mengetahui nama lelaki itu. Dan dia juga terlihat tidak tertarik untuk menanyakan alasanku yang setiap hari mengamatinya.
Atau mungkin anak anjing yang biasa dia panggil Pipoy itu lebih menarik, daripada aku.
Entahlah ... aku tidak tahu apa yang dia pikirkan. Namun, malam ini akan kubuat semuanya menjadi lebih berbeda.
Aku akan menanyakan nama lelaki itu dan ....
... akan kuutarakan bahwa aku ingin mengenalnya atau mungkin akan kuutarakan perasaanku juga.
Yeah, kuharap dia tidak akan terkejut karena sekarang, aku sudah berdiri tepat di sisinya.
"Hai," sapaku. "Apa dia peliharaanmu?"
Dia menoleh ke arahku lalu memberikan senyuman yang ... boleh kukatakan tampak renyah seperti kau memakan popcorn paling lezat sedunia. "Lebih tepatnya, dia adalah temanku."
"Popey. Aku sering mendengar kau memanggilnya dengan sebutan itu," kataku lagi yang sebenarnya mulai kebingungan bagaimana cara agar bisa berkenalan dengannya.
"Mau menyuapinya sosis? Kupikir dia menyukaimu."
Aku mengambil potongan sosis di tangan lelaki itu, menghancurkannya menjadi lebih kecil dan mulai menyuapi Popey.
"Aku, Ndi. Jika kau tidak keberatan untuk mengetahui namaku dan jika kau—"
"Seong Wu. Itu namaku, salam kenal, Ndi," ujarnya—Seong Wo, sembari menampilkan senyum renyahnya. Favoritku. "Akhirnya kau menghampiriku juga."
"Karena kau terlihat menyayangi Popey." Aku kembali mengambil potongan sosis di tangan Seong Wo kemudian memberikannya pada Popey. "Apa kau tidak berniat untuk membawanya pulang?"
Seong Wo menggeleng pelan, raut wajahnya tampak sedih.
"Kau baik-baik saja?"
Menggeleng pelan, Seong Wo berkata, "Tempat tinggalku tidak mengijinkan untuk memelihara hewan."
"Kalau begitu kau harus memberinya kalung agar tidak ada yang mengira bahwa Popey—"
"Ndi ...." Seong Wo memotong ucapanku, sekaligus menggantung kalimatnya dan aku menunggu.
Dalam keadaan sedang menerka-nerka. Pasalnya Seong Wo semakin memancarkan ekspresi kesedihannya dan aku sungguh ingin mengetahuinya.
"Tidak semudah itu. Jika kau memiliki, maka kau menolak jika seseorang mengambilnya dan ... aku membenci yang namanya kehilangan," kata Seong Wo dengan nada bicara terlampau pelan kemudian bangkit dari posisinya.
Aku mengikuti Seong Wo, berdiri di sisinya, mencoba menyelami jalan berpikir lelaki itu.
Ekspresi itu ... aku tidak pernah melihatnya selama menjadi seorang pengamat. Seong Wo selalu menampilkan ekspresi hangat dan penuh kasih sayang setiap kali bertemu dengan Popey.
Namun, sekarang ... sepertinya sesuatu telah terjadi dan aku telah mengacaukan suasana hati Seong Wo sejak pertemuan pertama.
Kuharap ini bukanlah pertemuan pertama dan terakhir kami.
"Maafkan aku," ujarku terburu-buru sembari membungkuk sembilan puluh derajat.
Seong Wo menyentuh kedua pundakku dan tanpa ia sadari telah memberikan kejutan listrik dalam dadaku. Aku mengangkat kepalaku, memberanikan diri untuk menatap matanya dalam-dalam lalu ....
... sepasang mata itu tampak berkaca-kaca.
"Tidak apa-apa," ujarnya lalu membantuku untuk berdiri tegak. Seong Wo mengusap wajahnya dengan kedua tangan kemudian kulihat ia menarik napas panjang. "Aku hanya terlalu sentimental. Mian, Ndi."
"Semoga kau baik-baik saja," ucapku penuh penyesalan dan sesuatu yang tidak pernah kubayangkan pun terjadi malam ini.
Setelah Seong Wo memperbaiki letak tas ranselnya, ia menarikku ke dalam pelukannya dan ....
... kuharap ia tidak menyadari seberapa kuat detak jantungku sekarang.
"Maaf, memelukmu secara tiba-tiba dan jika kau ingin memukul karena ketidaksopananku ini lakukanlah setelah aku melepaskannya," pinta Seong Wo dengan suara yang terdengar serak.
Aku hanya mengangguk. Tidak tahu harus melakukan apa selain mengingat kuat-kuat aroma Seong Wo.
"Seong Wo."
"Gomawo ... dari semua yang ada di sini, hanya kau yang memerhatikanku dan berani menegurku jadi ...."
Lagi, Seong Wo menggantung kalimatnya. Ia melepas pelukan kami dan sepasang netra itu menatapku dalam lalu menyipit seiring dengan senyum renyah itu.
"Mari bertemu lagi besok," ujar Seong Wo sambil mendaratkan ciuman secepat cahaya di keningku dan ia berlari, tertawa lalu melambaikan tangan.
Kupikir Seong Wo adalah lelaki kejam, tidak bertanggung jawab, dan ... jantungku semakin bertalu-talu.
Ciuman itu terlalu singkat untuk diingat, tetapi seharusnya Seong Wo tahu bahwa hal tersebut telah memupuk harapan yang tinggi tentangnya.
Malam itu, aku menaruh harapan bahwa Seong Wo juga memiliki perasaan yang sama denganku.
Dan setelah malam pertama perkenalan kami, Seong Wo akhirnya tidak lagi sendirian saat memberi makan Popey karena kini aku menemaninya. Kami saling bercengkrama, membicarakan banyak hal kemudian ....
... tidak jarang Seong Wo memberikan sentuhan kecil yang membuat jantungku berdebar.
Salah satunya adalah, saat cuaca benar-benar berada pada titik terdingin. Seong Wo melilitkan syal-nya untukku membawakan penutup telinga yang katanya sempat ia beli di dekat stasiun kereta.
Aku sangat tersanjung dengan perhatian kecil itu karena aku pun sadar, Seong Wo juga kedinginan hingga bibirnya gemetar dan wajahnya memucat.
"Kau pucat. Apa kau mau istirahat sejenak di apartemenku? Atau setidaknya—"
"Aku baik-baik saja. Ini memang warna kulit asliku," jawab Seong Wo yang aku tahu adalah suatu kebohongan jadi, secara inisiatif aku meminta Seong Wo untuk menunggu sejenak.
Ya, hanya sejenak karena waktu yang kubutuhkan hanyalah sekitar lima menit untuk membawakannya minuman gingseng. Aku tidak bisa melihat Seong Wo kedingan seperti itu jadi, aku juga memberikannya mantel milik ayah dan syal.
Syal itu spesial karena aku yang membuatnya dan memang kuperuntukkan kepada Seong Wo.
Kuharap ia tahu bahwa aku menyelipkan pesan tersembunyi di syal itu.
"Terima kasih," kata Seong Wo saat aku membantunya memasangkan syal dan dia kembali berjongkok—memberi Popey sosis, sebelum anak anjing itu menggonggong. "Kau tidak seharusnya—"
"Aku menyukaimu, Seong Wo," ujarku dengan ucapan yang terlampau cepat lalu menggigit bibirku.
Kulihat Seong Wo membeku. Ia bahkan tidak berkedip dan bernapas beberapa saat.
"Ndi, apa kau tahu arti kalimat itu?"
"Aku ... sudah memendamnya terlalu lama."
"Mian, aku tidak bisa menjawabnya sekarang."
Aku meneguk saliva kuat-kuat. Firasatku memburuk, tetapi hatiku tetap memiliki keyakinan bahwa—
"Aku harus pulang sekarang." Membungkukkan sedikit badannya, Seong Wo pun pergi begitu saja—meninggalkanku, tanpa salam perpisahan seperti biasa.
Perasaanku berubah kalut, tetapi semua telah terlanjur dan aku tidak boleh berhenti seperti ini. Jadi ... aku mengejar Seong Wo, menahan lengannya dan berdir tepat di hadapan lelaki itu.
"Aku akan menunggu jawabanmu, Seong Wo." Itu tekadku dan kuyakin Seong Wo bisa melihatnya.
Akan tetapi, hatiku kembali dipatahkan saat Seong Wo menjauhkan tanganku di lengannya dan berkata, "Jika aku tidak kembali, apa kau akan tetap menungguku?"
"Aku yakin kau akan kembali. Seperti yang kau lakukan terhadap Popey."
Seong Wo meniakkan sebelah alisnya. Ada senyum samar di sana, tetapi matanya memancarkan kesedihan itu lagi. "Kau menyamakan dirimu seperti seekor anak anjing, Ndi."
"Aku memercayai keyakinanku," jawabku tegas dan anggukan samar adalah respon singkat yang diberikan Seong Wo.
Hingga akhirnya, tanpa mengucapkan apa pun lagi ... ia pergi begitu saja.
Air mataku menetes dan percayalah, itu bukan berarti bahwa aku sedang patah hati. Aku hanya ... tersanjung dengan keberanianku yang mengungkapkan perasaan, meski menerima penolakan. Namun, masih memiliki keyakinan bahwa Seong Wo akan menjawabnya.
Setidaknya ... besok malam. Aku akan menerima jawabannya.
... atau lusa.
Dan malam ketujuh pun tiba. Namun, Seong Wo masih belum kembali menemui Popey. Tidak mungkin dia akan mengorbankan Popey hanya karena menolak bertemu denganku. Lagi pula, Seong Wo juga bukan lelaki yang seperti demikian jadi ....
Percayalah, aku masih menunggu Seong Wo. Menjemput malam penuh penantian dan menggantikan tugas Seong Wo untuk memberi Popey sosis.
Beruntung, Popey masih bersamaku dan menjadi salah satu alasanku untuk menanti Seong Wo karena sekarang, hatiku mulai meragu, rapuh, dan semakin merasa sakit.
"Kuharap kau tidak meninggalkanku seperti ini, Seong Wo," bisikku, seolah Seong Wo bisa mendengarnya sembari menyuapi Popey.
Malam keseratus, tanpa sadar air mataku menetes, Seong Wo masih belum menampakkan kehadirannya. Hingga untuk pertama kali, di hadapan Popey, aku menangis tersedu-sedu.
Aku merindukan Seong Wo dan sekarang jawaban itu bukanlah hal penting. Aku hanya ....
... ingin semuanya kembali seperti sedia kala.
Aku ingin melihat senyuman dan tawa renyah milik Seong Wo.
Aku ingin mendengar suaranya berbincang dengan Popey.
Dan ... tiba-tiba saja cahaya yang menyilaukan mata, menghampiriku.
Aku menurunkan tanganku yang sebelumnya menjadi penghalau cahaya tersebut lalu, ketika melihat sumber cahaya tersebut ....
... apa yang kurindukan tampak berdiri tegap di hadapanku.
"Aku pasti telah melukaimu terlalu dalam," ucap Seong Wo dan tanpa menunggu apa pun, aku langsung memeluknya.
Aku menangis sejadi-jadinya dan kudengar ia tertawa, sembari menepuk-nepuk punggungku. "Maaf telah membuatmu menunggu terlalu lama, tapi ...."—Seong Wo menarik tubuhnya mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna navy dan membukany—"will you marry me?"
Empat kata satu kalimat, aku tidak bisa mengatakan apa pun selain menangis lagi dan langsung memeluk Seong Wo. Ia jelas tahu jawabannya jadi aku hanya memberikan jari manisku, membiarkan Seong Wo memasangkan cincin paling indah yang pernah kuterima.
"Saranghaeyo, Ndi," kata Seong Wo dan aku hanya bisa mengangguk lalu memeluk Seong Wo.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro