Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Beliau

Pekerjaan saya tentang berpindah. Saya ada untuk menciptakan perpindahan. Kendati begitu, bukan berarti saya tak punya tempat menetap. Saya punya. Dan saya tidak sendiri di sana, ada Beliau juga.

Dulu, sebelum ini, sebelum bertemu Beliau, saat saya masih gendut dan banyak karat (sekarang juga sih), pekerjaan saya juga tentang berpindah. Bedanya, kalau dulu ada trayek, sekarang sudah enggak. Dulu trayek saya dari Dipatiukur sampai Leuwipanjang. Pada saat itu adalah hari yang penuh jalan-jalan, sama seperti sekarang. Hanya saja, dulu saya tak pernah bertemu kecoa luar angkasa, kucing dari kamar paling berantakan di dunia, dan hal-hal lain yang tak bisa kautemukan jika masih berada di darat.

Dulu lebih sering bertemu becak, Umi Yuyun si pedagang ikan, dan mobil sedan dengan bemper rendah yang menyapa:

"HALO GENDUT! HALO! MASIH BISA HIDUP, YA? HATI-HATI DI JALAN, NANTI KETA--"

BRAK!

Dulu kegiatan saya begitu. Dulu. Saat saya masih jadi bus dalam kota. Lalu, saya terbang.

*****

Sebagai bus Damri biasa, yang mendengar melalui kaki-kaki di dalam saya, mendengar suara Beliau adalah keinginan terbesar yang dulu saya inginkan. Dulu saya berpikir kalau teman seperjalanan itu harus sering bicara--supaya akrab, supaya tidak canggung, supaya-supaya lainnya. Tapi masalahnya, Beliau melayang!

Kaki kecil Beliau tak pernah menyentuh darat. Kedua kaki kecil itu selalu melayang. Tak cuma itu. Beliau juga tidak bernapas. Kedua hidungnya yg kecil seolah hidung buatan: kecil, dengan dua lubang simetris, dan tak bergerak.

Ah, ketika itu saya mengira perlu agar Beliau bicara. Saya pikir begitu, saya kira penting. Penting, karena bakalan canggung kan kalau cuma saling diam dengan orang lain? Perlu, karena kalau terus-terusan diam, nanti bakal bosan di tengah jalan. Namun, apa sih yang penting dan perlu bagi kita? Bukannya kita lebih sering bingung membedakan apa yang kita butuh dengan yg kita ingin? Jangan-jangan, apa yang penting dan dianggap perlu, selama ini tak benar-benar begitu--tak lebih dari rasa ingin?

Namun, pada saat itu saya masih berharap banyak bisa mendengar Beliau bicara. Saya memandang Beliau. Siapa tahu nanti capek melayang, terus turun dan saya bisa mendengar suara melalui kaki-kaki kecilnya.

Tapi Beliau tak pernah turun, terus melayang, sebagaimana seperti kedua mata bulatnya yang terus menatap, tak pernah berkedip dan berhenti memperhatikan.

Saya, pada saat itu, bingung bagaimana agar Beliau bisa bicara. Sepanjang hari bingung, tak menentu, sehingga lebih sering menembakkan asap hitam dari knalpot.

Tapi Beliau, sebagaimana yang saya katakan sebelumnya, selalu memperhatikan. Dan beliau memperhatikan saya. Sesaat kemudian, dari balik mantel kebesaran yg dipakainya, Beliau mengeluarkan beberapa pintalan benang serta jarum yg lalu dibiarkan melayang. Kemudian tangan kecilnya pun dengan lincah bergerak meraih benda-benda terbang itu. Meraih ke sana, meraih ke sini. Jahit di situ, ikat di sini. Ketika tangan kecil Beliau berhenti bergerak, lantai saya sudah berselubung selimut dengan corak warna-warni karya beliau.

Itu barangkali cara terbaik mengungkapkan tanda sayang. Dan dari situ, saya paham, bahwa yang terpenting bukan bagaimana perasaan itu diungkapkan. Yang terpenting adalah bagaimana perasaan itu dirasakan. Dan saya rasa, komunikasi yang terbaik adalah saling mengerti, bukan saling bicara.

Ah, Beliau tak pernah abai pada hal sekecil apa pun, bahkan kepada makhluk gendut seperti saya, yang pada zaman ini sudah dipensiunkan dari jalanan. Bisa apa saya kalau tanpa Beliau, selain kentut banyak-banyak di tengah jalan?

*****

Beliau yang istimewa. Saya, kendatipun atas seizin Beliau, sehingga bisa terbang, tetaplah bus Damri biasa. Mampu untuk terbang tak berarti menjadikan saya istimewa. Bahkan, sekalipun nanti Beliau menjadikan saya agak kurus serta antikarat, saya tetaplah saya: masih bus biasa.

Sedangkan Beliau, tak seperti saya, berbeda. Bahkan, meski jika tak bisa melayang, walau nanti kemampuan menahan napasnya hilang, Beliau tetaplah Beliau. Bukan kemampuan-kemampuan anehnya yang menjadikan Beliau istimewa, melainkan Beliau itu sendiri. Beliau dan segala tindak tanduknya.

Saya, yang adalah bus biasa ini memang selalu tidak mengerti. Dan Beliau kadang-kadang juga sulit dimengerti.

Misalnya dulu, ketika saya sempat punya teman seperjalanan lainnya. Namanya Nadezhda, dipanggil Nad. Dia seekor kecoa, tapi bukan kecoa biasa--dia kecoa bule!

Saya, Beliau, dan Nad sempat menjadi teman bertualang bersama. Kami pergi ke tempat-tempat luar biasa, ke masa lalu, masa kini, dan tempat lain yang tak bisa dijangkau jika kau hanya bus biasa yang tak seberuntung aku, sehingga tak pernah bertemu Beliau.

Kami sempat bersenang-senang bersama, sampai pada akhirnya Beliau menghukum mati Nad ketika Nad memiliki ketidakpercayaan pada keistimewaan Beliau, dan menolak yakin bahwa Beliau mampu melakukan hal-hal luar biasa lainnya kecuali pada hal tertentu yg sudah diperlihatkan.

Saat itu saya sedih terhadap sikap Nad. Mungkin karena dia lebih pandai berhitung dia jadi begitu. Saya, yang tidak pandai berhitung dan sering kentut, barangkali tak akan pernah mengerti. Atau mungkin, justru memang seharusnya saya tidak pernah mengerti.

Karena pada akhirnya, alasan di balik dimatikannya Nad justru bukan karena Beliau tersinggung keistimewaannya tidak diakui. Sudah saya bilang, bukan keistimewaanlah yg menjadikan Beliau istimewa, melainkan Beliau itu sendiri. Bahkan, Beliau sama sekali tak butuh dianggap istimewa, karena istimewa adalah sifat lahiriah Beliau. Nad justru dimatikan karena saya.

Sayalah penyebab Beliau mematikan Nad. Kesedihan saya ketika mendengar ketidakpercayaan Nad-lah yang mendorong kemarahan Beliau.

Ah, Beliau. Betapa sayangnya dia pada makhluk lain. Bahkan, perasaan sayang Beliau selalu lebih besar dari seluruh perasaan makhluk dikumpulkan menjadi satu. Beliau selalu memberi lebih dari yang diterima. Dan Beliau tahu itu. Tapi Beliau tak pernah berhenti memberi lebih.

*****

Saya selalu menyayangi Beliau. Sebagaimana saya yang selalu menyayangi Pak Kondektur yang jadi teman jalan-jalan saya ketika perjalanan saya masih sebatas trayek Dipatiukur-Leuwipanjang.

Barangkali, memang rasa sayang saya kepada Beliau kalah besar dari sayang Beliau kepada saya. Tetapi paling tidak, perasaan sayang saya tulus. Setulus perasaan sesuatu yg terlahir istimewa kepada sesuatu yg gendut dan banyak karat.

Tetapi, tak selamanya perasaan sayang selalu disenangi Beliau. Ada jenis perasaan sayang yang tak disukai Beliau, dan saya tahu itu melalui cerita-cerita di tempat persinggahan ketika kami mampir di tengah perjalanan:

Dulu, sebelum sama saya, Beliau punya teman yang menyayanginya. Teramat sayang, bahkan sampai-sampai hanya Beliau yang disayanginya. Dan itu salah.

Menyayangi Beliau memang penting. Tapi, menyayangi segala yg disayangi Beliau jauh lebih penting. Dan bagi mereka yang hatinya mampu menyayangi sebanyak mungkin, akan mendapat tempat untuk disayangi lebih banyak oleh Beliau.

*****

Dan sekarang, saya masih bersama Beliau. Saya, si gendut berkarat ini, siapa yang menduga akan jadi teman seperjalanan Beliau sampai sekarang.

Saya, yang tak sepandai Nad dalam berhitung, tak pula bagus bentuk dan enak dilihat, sering kentut tiba-tiba, bisa bertahan dan terus-terusan menemani Beliau yang istimewa.

Beliau yang istimewa, rasanya terlalu baik untuk bus seperti saya. Begitulah pikir saya.

Tetapi, Beliau justru menatap saya. Matanya yang bulat besar memperhatikan. Dan Beliau tersenyum, lalu perhatian Beliau kembali teralih kepada dunia. Beliau kembali memperhatikan, dan selalu memperhatikan, segalanya ....




Catatan: Cerpen ini adalah bentuk apresiasi terhadap novel "Semua Ikan di Langit". Maaf kalau kualitasnya jelek :" Jangan lupa beli novelnya yaaaaaaaa;)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro