Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kucing Belang Tiga

Perkara kucing betina belang tiga yang kuberi makan itulah kemudian menjadi awal mula perkenalanku dengan lelaki tua itu. Aku belum ada dua bulan kontrak di sini, namun tiba - tiba suatu sore dia datang mengetuk pintu rumah.

"Kau yang memberi makan kucing itu sehingga dia jarang pulang ke rumah!" Hardiknya begitu pintu kubuka.

Aku yang dibentak sedemikian rupa hanya mampu melongo.

"Ngg, bapak ini siapa ya?" Aku benar-benar tidak punya petunjuk tentang siapa laki-laki tua yang berdiri di hadapanku ini. Meski agak bungkuk, aku bisa menebak ketika muda dulu pastilah ia adalah sosok laki-laki yang tinggi dan tegap.

"Lain kali kalau kulihat lagi kau beri makan si belang, awas saja!" Lelaki itu melanjutkan omelannya tanpa menjawab pertanyaanku.

Aku masih melongo di ambang pintu ketika dia berbalik pergi meninggalkan teras rumah kontrakanku. Demi menjawab rasa penasaran, aku tatap lekat-lekat punggungnya yang menghilang ke dalam rumah di ujung lorong.

Ooh.. Rupanya dia yang tinggal di rumah abu-abu itu.

Pikiranku kembali ke kejadian dua bulan yang lalu saat kepindahanku di lingkungan yang baru ini. Ketika sedang mengangkat barang-barang seekor kucing kampung belang tiga mengeong di teras rumah. Setelah menghabiskan makan siang, aku memberikan tulang ikan sisa makanku padanya.

Keesokan harinya kucing belang tiga itu datang lagi. Sebagai manusia yang baik hati dan budiman serta penyayang binatang akupun mencari apa saja yang kira-kira bisa diberikan kepada kucing kurus itu.

Aku tidak tahu kucing kampung itu ada yang punya. Kupikir kucing liar. Sejak kedatangan lelaki tua itu akupun tidak lagi berani memberi makan si belang. Takutnya kalau kenyang di rumahku, si belang tidak mau pulang ke rumah lelaki tua.

Hingga suatu ketika, dimana belang mengeong-ngeong dengan nada meratap yang sangat memilukan, aku kebingungan. Bukan karena tidak ada makanan, namun karena aku tahu kucing itu kelaparan. Aku menggendong kucing liar itu dalam dekapan dan membawanya pulang ke rumah lelaki tua yang ternyata lengang. Tidak ada siapapun di sana.

Setelah dua jam berlalu dan tidak ada tanda-tanda keberadaan si lelaki tua, aku membawa belang kembali ke rumah dan memberinya sisa susu instan yang kuminum tadi pagi.

"Minum ini dulu ya, Belang. Jangan kenyang-kenyang. Nanti laki-laki tua itu ngomel-ngomel lagi di sini!"

Sebenarnya bukan sekali ini rumah abu-abu di ujung jalan itu kosong. Dengar-dengar lelaki tua itu hanya hidup sebatang kara. Suatu ketika Belang pun pernah mengeong dengan nada meratap minta makan. Aku membawanya ke rumah abu-abu tersebut dengan maksud memberitahu kepada si lelaki tua bahwa sudah saatnya memberi makan si Belang. Saat itupun rumahnya lengang. Aku menunggu hampir satu jam lalu memutuskan pulang dengan membawa si Belang.  Aku beri dia susu instan secukupnya.

Hari berikutnya ketika kudapati Belang kembali mengeong di teras rumahku, aku menduga ia belum juga diberi makan. Maka akupun membawanya kembali ke rumah abu-abu yang ternyata masih juga tampak lengang. Aku memutuskan menunggu di teras rumah itu sambil bermain-main dengan si Belang. 45 menit kemudian lelaki tua itu muncul.

"Sedang apa kau?!" Tanyanya menghardik.

"Maaf pak, ini Belang sudah dua hari belum makan."

"Lalu kenapa tidak kau beri makan?" Tanyanya.

Sialan! Aku menggerutu dalam hati. Bukannya dia yang melarangku memberi makan?

"Apakah kau menungguku?" tanyanya lagi yang kubalas dengan anggukan.

"Terimakasih," gumamnya pelan.

"Terimakasih untuk apa?" Giliranku bertanya bingung.

"Terimakasih untuk menungguku dan percaya aku masih akan kembali." jawabnya. Aku melihat matanya berkaca-kaca. Ah, mungkin hanya khayalanku. Bagaimana mungkin mata yang nyalang itu bisa berkaca-kaca?

"Aku baru keluar dari rumah sakit," ujarnya lagi.

"Bapak sakit?"

Ia mengangguk. Rasa-rasanya setelah kejadian hari itu hubunganku dengan tetangga kompleksku tersebut semakin membaik.

"Lain kali kalau aku tidak pulang lebih dari dua hari kau beri saja dia makan." Lelaki itu berkata sambil membelai kepala Belang.

"Kenapa begitu Pak?"

"Sebab mungkin aku sudah mati."

Saat itu aku terkejut. Namun untuk kembali mempertanyakan maksud kata-katanya lebih jauh akupun sungkan.

Hari ini sudah hari ketiga Belang mengeong di teras rumahku. Setiap kali kubawa Belang ke rumah lelaki tua, rumah itu selalu tampak lengang. Sudah tiga hari ini Belang hanya kuberi susu instan. Mungkin ia sudah sangat kelaparan.

Di tengah ratapan si Belang, aku kemudian mendengar suara sirine dari ujung jalan. Aku berlari keluar dan mendapati ambulance berhenti di rumah abu-abu. Aku berlari seperti kesetanan mendekati ambulance.

"Ada apa?" tanyaku terengah engah mengatur napas.

"Jendral Purwanto meninggal dunia. Komplikasi." seorang tenaga medis menjawab pertanyaanku, "Keluarganya meminta agar disemayamkan di rumah ini saja."

Jendral Purwanto adalah lelaki tua yang menghardikku di hari pertama aku tinggal di kompleks ini. Ia lelaki tua bungkuk yang marah karena kucing kampung belang tiga yang awalnya sering menemaninya di rumah abu-abu jadi jarang datang karena kuberi makan. Aku menduga semasa muda dulu pastilah ia tinggi dan tegap sebab ia ada di garis depan pasukan perbatasan mengusir penjajah.

Ia adalah lelaki tua yang mata nyalangnya berkaca-kaca kemudian menangis ketika tempo hari tanpa kuminta dia menceritakan kisahnya. Bukan kisah peperangan di perbatasan. Namun, kisah cinta penantian tanpa ujung.

Aku bergegas balik badan dan berlari sekencang-kencangnya kembali ke rumahku. Belang masih mengeong di teras rumah. Aku bergegas mengambil ikan di dapur dan memberinya makan.

Lalu aku masuk ke kamar dan menangis sampai tertidur. Meratapi kepergian sang Jendral.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro