Divorbia
Lima belas tahun. Lima belas tahun rupanya tidak cukup lama untuk membangun pondasi rumah tangga yang kita susun atas dasar cinta. Ah, aku lupa. Katamu cinta itu seperti es batu. Menggigit ketika dia baru dikeluarkan dari lemari es. Lalu menguap lenyap seiring waktu.
Tiga. Tiga buah hati rupanya belum cukup menahan hatimu tetap pada hatiku. Apakah kau lupa dulu selepas SMA, kau yang memintaku menjadi istrimu? Lihat ini cincin kawin ibumu yang kau lingkarkan di jariku sebagai mas kawin kita waktu itu. Masih aku kenakan.
Ah, sayangku. Kehilangan dan ditinggalkan hanya memiliki satu rasa. Getir. Kau masih ada. Namun cintamu tidak. Kau masih di sini. Namun hatimu tidak. Hal itu sudah cukup memberiku rasa getir. Maka dari itu kubiarkan saja kau mengemasi sisa barangmu dari rumah yang selama lima belas tahun menjadi tempat kita pulang. Katamu rumah ini untukku dan anak-anak saja.
Palu sudah diketuk tiga kali bulan lalu setelah upayamu meminta rujuk aku tampik. Hanya satu tuntutanmu yang aku setujui. Mengambil anak-anak ketika akhir pekan dan mengembalikan padaku ketika senin tiba.
Kau menangis. Aku tahu itu. Kau menangis setiap kali melihat bungsu kita yang baru berusia sepuluh bulan. Aku tahu kaupun kerap berbisik di telinganya meminta maaf. Aku juga. Maafkan bunda, malaikat kecil.
"Aku sangat kehilanganmu dan anak-anak" katamu suatu Senin ketika mengembalikan anak-anak padaku.
Aku diam sambil meraih bungsu kita dari pelukanmu. Aku diam memendam aneka rasa yang bergumul dalam hatiku. Kau sudah bukan suamiku lagi, jadi untuk apa aku memperlihatkan kerapuhanku padamu? Mungkin penyesalanmu itu bisa kau simpan untuk kau ceritakan pada anak-anak kelak.
Katamu dulu seindah apapun sebuah kisah cinta, pasti memiliki akhir. Dan dulu kau begitu yakin ini akhir kisah kita. Kau yang berhenti mencintaiku, ketika aku masih mencintaimu dulu.
Setelah Senin itu, kau hanya mengantar anak-anak sampai di depan gang. Bungsu kau suruh sulung kita yang baru tiga belas tahun itu yang menggendong. Ketika aku membukakan pagar rumah dan menyambut kepulangan tiga malaikat kita, aku bisa melihatmu di ujung jalan itu memperhatikan kami. Memastikan anak-anak sampai kepada ibunya dengan selamat.
Terimakasih untuk lima belas tahun terindah yang pernah aku rasakan. Kau mengakhirinya dengan memberikan rasa sakit yang hingga kin masih aku tanggung.
Maafkan bunda, malaikat-malaikat kecil. Maafkan Ayah dan Bunda.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro