Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

sampang •| aizawa shouta

"Misi kali ini akan melibatkan orang-orang dari pemerintahan," Kata Tsukauchi, memberi penjelasan tentang misi yang akan segera dijalani.

"Untuk para pahlawan divisi penyerang dua akan dipimpin oleh Aizawa, bekerja sama dengan [name] dari Kejaksaan Kota Tokyo."

Sang Detektif berlanjut memberi penjelasan, detail berkas terus dibagikan pada tiap-tiap manusia yang bertanggung jawab.

"[name],"

"Iya, sensei?"

Tatapan Aizawa tak pernah berubah, selalu tampak sayu. Tak pernah terlihat antusias kala melihat hal-hal baru.

"Kita disini bekerja sebagai rekan. Berhenti memanggilku sensei."

Gadis itu terkekeh manis. "Baik, Shouta."

Tidak. Bukan. Maksud Aizawa adalah [name] harus memanggilnya dengan nama pahlawan. Eraser Head. Bukannya menyebutkan nama depan, dengan nada sedemikianrupa pula.

"Terserah kau saja."

· • —– ٠ ✤ ٠ —– • ·

sampang /sam·pang (3)/

ark p

sempat;
pernah;
sekiranya

· • —– ٠ ✤ ٠ —– • ·

Lima belas. Beda jarak usia [name] dan Aizawa. Angka yang bisa saja membawa petaka, dua digit yang diharapkan tetap menggeret bahagia.

Seumur hidupnya, [name] sudah beberapa kali berpacaran dengan lelaki. Namun akhirnya selalu putus lagi, berakhir menyakiti hati sendiri. Gadis itu pun tak pernah menaruh perasaan barang sedikitpun pada guru semasa sekolahnya, apalagi seorang Aizawa Shouta.

[name] hanya sedikit tersentuh setiap kali Aizawa terlihat menenangkan Midoriya yang seringkali menyalahkan diri sendiri. Kelas terkutuk, beberapa siswa lain dari jurusan pahlawan bahkan sampai mengatai begitu. Terlebih dari jurusan umum, kelas [name] sendiri. Habisnya, lagi-lagi Midoriya melibatkan diri.

Tapi perassan itu hanya sepintas saja. Tak mengandung arti apa-apa, jauh dari rasa suka apalagi cinta. [name] hanya menaruh sedikit perhatian pada Aizawa sejak itu, sampai dirinya lulus dan kini menimba ilmu di Universitas Tokyo. Fakultas Hukum, meraih gelar magister dalam kurun waktu lima tahun. Melanjutkan pekerjaan sebagai ketua penyidik pada Kejaksaan Kota sampai sekarang.

Sebagaimana dua orang yang dipertemukan kemudian membawa pertemuan-pertemuan lainnya, Aizawa dan [name] pertama kali menapaki takdir bersama saat pernikahan Present Mic berlangsung.

Satu tahun lalu, saat usia [name] masih sembilan belas. Belas dan puluh seakan memiliki jurang yang dalam sebagai pembatas segala kemungkinan yang ads. Norma dan stigma. Rasa dan asa.

"Sensei?"

"Hm? Oh." Aizawa bergumam pelan. "[name] ya?"

"Iya! Masih ingat rupanya?"

Laki-laki itu menatap agak lama, "Kau tak banyak berubah."

"Ya, mau berubah jadi apa memangnya? Angling Dharma?"

Malam itu, seutas senyum menggantung pada bibir Aizawa.

Percakapan mereka terbilang ringan, berbicara tentang pekerjaan dan mengeluh perihal bagaimana membosankannya kehidupan satu sama lain berlangsung. Berkali-kali Aizawa ingatkan, jangan memanggil sensei karena status itu sudah tidak relevan. Namun si perempuan malah menganggapnya sebagai candaan, meneruskan panggilan dengan niat sedikit menggoda.

Tak disangka-sangka, keduanya kembali dipertemukan pada lain keadaan. Seperti beberapa bulan setelahnya, Aizawa dan [name] mendapat tugas bersama dalam sebuah penyergapan sindikat mafia yang ternyata masih berhubungan dengan Shigaraki Tomura.

"Hati-hati," Aizawa berkata tanpa menatap. "Jangan gegabah."

[name] mundur selangkah, "Oke. Aku maju setelah kau selesai saja."

Misi itu berjalan lancar, meskipun [name] sempat terluka karena kecerobohannya sendiri. Membawa omelan ketus dari sang rekan, menghembuskan rumor bahwa mereka punya hubungan.

Hari demi hari tak pernah terlewati tanpa mengabari. Tak tahu kenapa, setiap [name] ingin memutuskan percakapan Aizawa selalu berlanjut memberi pertanyaan. Atau sekedar meminta saran, laki-laki itu tak punya teman dekat banyak-banyak. Rekan serta kenalannya bejibun, namun manusia yang dipercaya ikut menemaninya dalam menyelami segala rahasia yang tak ia ungkap pada mata dunia, hanya sedikit orang.

[name], entah bagaimana, menjadi salah satu dan yang terdekat.

"Shouta, tahun ini aku akan menginjak dua puluh!"

"Hm, gitu." Suara seraknya terdengar kian kentara saat mata melirik jam dinding, pukul satu dini hari. "Kau mau kado?"

"Sebenernya nggak usah juga gapapa. Tapi kalau kamu maksa sih, aku gak boleh nolak."

Dengusan geli terdengar berlawanan dengan tawa ringan. Malam itu, [name] sampai pada titik nyaman. Hatinya terasa ada pada posisi yang tepat menemukan seorang manusia yang mengisi kekosongan.

"[name],"

"Ya?"

Hening terasa ringan, canggung sudah terusir sejak lama kala komunikasi terjadi antara mereka berdua. Setiap waktu yang dilewati bersama, mau itu sunyi senyap tenggelam dalam gelapnya malam, atau berisik suara manusia ditengah gersang pada jam siang, Aizawa dan [name] selalu pada posisi nyaman. Kalau ada topik ya mengobrol, tidak ada pun diam-diam saja. Tak ada masalah.

"Ulang tahunmu nanti, kau sudah bukan belasan ya."

"Iya, benar." Gadis itu berbaring diatas kasur, "Memangnya kenapa, sensei?"

"Hm." Helaan nafas terdengar lemas, "Tidak. Aku hanya memikirkan hadiah apa yang cocok untuk seorang perempuan tua."

"Iiih! Aku nggak se-!"

"Sudah, ya. Malam. Mimpi indah."

Telepon dimatikan sepihak. Pada akhirnya, [name] selalu berpikir yang tidak-tidak. Bagaimana jika Aizawa hanya mempermainkannya? Laki-laki itu terlihat tanggung setiap kali ditanya soal hubungan dengan [name], disebut sesuatu tidak tapi dilabeli teman biasa pun bukan.

Pikiran negatif buru-buru ditepis jauh. Hatinya kembari menghangat, buru-buru ingin menginjak usia dua puluh agar bisa tahu Aizawa akan memberi hadiah apa.

》《

Tiga hari setelahnya, pintu apartemen [name] diketuk dengan seorang kurir yang memberikan sebuah amplop. Gadis itu sedikit bingung pada awalnya, diingat-ingat memang tidak sedang menunggu pesanan apa-apa. Lalu seutas senyum terpatri pada bibir kala nama pengirim terdeteksi indra penglihat.

Dari Aizawa Shouta.

'[name], sayang. Dengarkan saya.

Saya tahu kamu menyukai saya, saya juga menaruh perasaan yang sama.

Namun, kalau saya melamar kamu dalam waktu dekat rasanya terlalu tiba-tiba. Saya masih merasa kita belum dan entah kapan akan bisa. Kamu terlalu berharga untuk saya campuri kehidupannya sembarangan, masa depanmu terlihat cerah. [name], kamu pantas mendapat yang lebih baik dari sekedar seorang saya.

Lalu, saya terpepet waktu.

Orang tua saya sudah bulak-balik menyuruh pernikahan agar segera dilaksanakan. Kata mereka saya kelewat tua, sudah waktunya meninggalkan urusan dunia dan fokus menata keluarga.

Padahal saya baru tiga puluh lima. Aneh, ya? Kamu saja baru menginjak dua puluh. Kamu dansaya sudah sama-sama dewasa, sayangnya kita hanya berakhir dipertemukan tanpa dipersatukan.

Saya juga ingin meminta maaf karena memilih tanggal pernikahan yang sama dengan hari lahir kamu. Saya mau kamu betulan benci dengan saya setelah ini, saya harap kamu bisa bergerak melepaskan segalanya sesudah perasaanmu tumpah saat ini.

Terakhir, saya hanya ingin kamu tahu, [name]. Perasaan kamu benar. Perasaan kamu terbalas.

Saya akan tetap menyayangimu sebagaimana seorang sensei menyayangi muridnya.

Semoga kamu selalu menemukan bahagiamu. Dimanapun. Siapapun.

Meskipun bukan saya.'

[name], mengeraskan rahang, kedua pasang mata mendadak buram. Setitik. Dua titik air mata telah meloloskan diri dari kelopak, jatuh menuruni pipi sampai salah satu menyatu dengan bibir pucat.

Surat disimpan pada meja untuk melihat lembar apa yang ada di belakang.

Sepucuk undangan pernikahan.




Rabu, [Birthday Date/Month] 2021.
Aizawa Shouta, Emi Fukukado.





[] end.










gak tau kenapa doyan aja baca cerita romance yang berbau age gap :(
sakit hatinya beda bray.

oiya, ini alurnya kecepetan di akhir. apa bikin book misah aja ya 😮

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro