Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8

Arga masih awas menyasar pada Keyara dan Andra yang tengah berbincang. Putri kecil Andra masih menggenggam erat tangan Andra sebelum akhirnya ia mau melepas genggamannya dan meraih tangan Keyara. Gadi kecil itu lalu menghambur bersama teman-temannya. Keyara pun berbalik, hendak melangkah, tapi tiba-tiba ia berhenti karena Andra seperti memanggilnya. Sampai di sini Arga semakin kesal. Ia rasa Andra tak seharusnya gencar mendekati Keyara sementara ia dan Keyara belum resmi bercerai.

Melihat keduanya berbincang, Arga mencari cara bagaimana untuk bergabung dengan mereka tanpa mengundang tanda tanya di benak Keyara. Ia teringat jika nanti malam ada undangan makan malam dari komunitas pengusaha muda untuk merayakan ulang tahun komunitas itu. Terlintas satu ide di kepalanya. Sebenarnya ia berniat untuk pergi memenuhi undangan itu tanpa Keyara. Namun, kali ini ia ubah rencananya.

Arga turun dari mobil, menyebrang jalan, dan berjalan mendekat ke arah Andra dan Keyara.

Kedatangan Arga membuat Keyara terkejut. Ini adalah kali pertama Arga datang ke sekolahnya. Ia bertanya-tanya ada gerangan apa Arga menemuinya di sekolah.

Andra tak kalah terkejut. Ia bisa melihat netra tajam Arga yang seakan menyorotkan ketegasan. Ekspresi muka sahabatnya itu pun begitu datar. Sejak Andra mengutarakan kejujurannya akan ketertarikannya pada Keyara, ia merasa Arga memang merentangkan jarak dan menjauh darinya.

"Key, aku ke sini karena kebetulan lewat jalan sini dan ada satu hal yang ingin aku sampaikan."

Keyara masih terpaku. Nada bicara Arga begitu lembut, tak seperti biasanya. Dia menduga jika Arga tengah menjaga sikap karena ada Andra di situ.

"Ada apa, Mas?" tanya Keyara singkat.

Arga melirik Andra sekilas, lalu kembali memusatkan pandangannya pada Keyara.

"Nanti malam kita ada undangan makan malam. Kamu nanti pulang lebih awal, ya." Satu senyum terlukis di wajah Arga. Ini membuat Keyara sedikit terkejut. Ia meyakinkan diri sendiri jika sosok yang berdiri di hadapannya benar-benar Arga, suami yang sering mengabaikannya.

Keyara mengangguk. "Iya, Mas."

Arga menoleh pada Andra yang masih berdiri tegak dengan satu tangannya masuk ke saku celananya. Arga tahu, raut wajah Andra menunjukkan rasa tak sukanya. Arga berpikir jika Andra juga diundang makan malam karena mereka sama-sama anggota di komunitas itu.

"Hai, Andra, sudah lama?" Arga mencoba bersikap biasa meski ia muak melihat keagresifan Andra.

Andra menggeleng pelan dengan senyum yang juga sedikit dipaksakan.

"Belum begitu lama."

"Anak kamu tadi sudah masuk, 'kan?" tanya Arga lagi.

"Iya, dia baru saja masuk."

"Sudah tidak ada urusan lagi, 'kan?"

Pertanyaan Arga kali ini membuat Andra bungkam sesaat. Ia tahu ke arah mana pertanyaan Arga bermuara. Satu hal yang ia tangkap, sahabatnya ini ingin ia undur diri.

"Iya, tadi aku dan Keyara cuma ngobrol bentar."

"Kalau ngobrol hal yang nggak penting mending nggak usah. Urusan pekerjaan masih banyak. Key juga harus siap-siap mengajar." Arga kembali tersenyum. Kali ini senyum culas yang terlihat sangat menyebalkan di mata Andra.

Andra tahu, Arga cemburu. Pria itu mungkin baru menyadari betapa berharganya istrinya setelah ia meminta izin pada Arga untuk mendekati Keyara jika nanti mereka benar-benar bercerai.

"Aku pamit dulu. Benar kata Arga masih banyak pekerjaan." Andra tersenyum tipis. Ia berbalik tanpa mengucap apa-apa lagi.

Keyara merasa heran dengan sikap Arga. Apakah Arga cemburu? Atau ia semata menunjukkan wibawanya sebagai suami? Perubahan Arga ini membuat Keyara bertanya-tanya.

Arga menatap Keyara, masih dengan gurat wajahnya yang dingin.

"Apa setiap kali Andra mengantar anaknya kalian akan ngobrol dulu? Kenapa dia tidak langsung pulang dan kenapa kamu tidak langsung masuk kelas?" Arga mencecar, masih dengan nada datarnya.

"Apa ada yang salah kalau wali murid berbincang untuk menanyakan perkembangan putrinya? Dan kami tidak pernah berbincang lama." Keyara menyipitkan matanya. Ia masih merasa Arga begitu aneh. Dulu dia acuh tak acuh, kini ia seakan menunjukkan kekuatannya untuk mengaturnya.

Arga terkekeh. "Jangan terlalu polos, Key! Itu hanya modus saja biar dia bisa bicara sama kamu. Sebaiknya kamu jaga profesionalisme kamu. Apa ada wali murid lain yang mengajak guru anaknya berbincang di jam-jam pagi? Sedang gurunya ini harus segera menyiapkan diri sebelum mengajar?"

Keyara hendak membalas, tapi bibirnya kembali terkatup. Ia tak menyalahkan perkataan Arga.

"Dan kamu juga nggak usah ganjen dan nggak usah melayani Andra. Kamu bisa bilang kalau kamu mau persiapan mengajar, 'kan? Kenapa harus berbincang dengannya di jam-jam sibuk?" cercaran Arga kembali membuat Keyara menyipitkan matanya, memikirkan kesalahannya ada di mana.

"Mas Andra tadi bertanya soal perkembangan Sella. Apa iya aku harus menghindar dan tidak menjawab?"

"Dia bilang menyukaimu, Key. Seharusnya setelah tahu fakta itu, kamu menjauh. Bukan malah semakin memberi harapan." Arga sedikit meninggikan suara.

Keyara melirik ke keadaan sekitar, memastikan tidak ada yang tengah mengawasinya atau mendengar perbincangannya dan Arga. Pandangannya tertambat pada murid-muridnya yang tengah bermain perosotan, ayunan, dan jungkat-jungkit.

"Aku tidak memberikan harapan. Aku tidak ganjen. Aku hanya berusaha bersikap sopan pada wali murid. Jujur saja, Mas Arga cemburu, 'kan?" tatapan Keyara seakan tepat menancap di bola mata Arga.

Arga merasa tertohok. Ia tak bisa membantah di batinnya, tapi di depan Keyara tentu ia tak mau mengakui. Arga berpikir jika ia hanya tak suka jika Andra mendekati Keyara selama wanita itu masih berstatus istrinya.

"Cemburu? Yang benar saja. Aku hanya nggak suka lihat Andra mendekati kamu sementara kamu masih berstatus istriku." Arga menyeringai. Ia berusaha menutupi apa yang ia rasakan.

"Istri siapa, Mas?" Keyara mengernyitkan alis. Selama ini, Arga tak pernah menganggapnya istri. Rasanya aneh ketika ia mendengar pria itu menyebutnya "istriku".

Arga hendak bicara, tapi ia urungkan. Rasa-rasanya Keyara benar-benar berubah menjadi sosok yang mengesalkan. Arga mencari-cari di mana kepasrahan dan mata sendu yang sering kali wanita itu tunjukkan? Kenapa sosok itu berbeda?

"Aku ke kantor dulu." Arga bicara datar dan berbalik. Ia melihat ke kanan kiri menunggu jalan sepi lalu menyeberang jalan menuju mobilnya.

Keyara masih mematung, menatap derap langkah Arga yang semakin jauh. Ia tak tahu harus bereaksi senang atau biasa saja melihat perubahan Arga yang sedikit demi sedikit menyadari kehadirannya. Ia tetap tak ingin berharap. Ia tak mau berakhir patah hati. Ia tahu, perpisahannya dan Arga hanya tinggal menunggu waktu.

******

Suasana ballroom terlihat ramai dengan banyaknya tamu undangan. Dekorasi ruangan tampak elegan dengan nuansa putih dan pink yang mendominasi. Keyara mengenakan gaun yang lebih baik dibanding saat makan malam di butik Mutia. Gaun itu tidak kebesaran, ia juga menyapu wajahnya dengan make up minimalis, tapi tetap terlihat memukau. Arga pun mengakui jika istrinya tampak lebih anggun dan cantik.

Andra turut hadir, begitu juga dengan Mutia. Arga sedikit terkejut melihat cinta pertamanya ada di acara itu karena yang ia tahu, gadis itu bukan anggota komunitas.

"Selamat malam Arga, Key." Mutia tersenyum penuh arti. Ia mendatangi tempat di mana Arga dan Key duduk. Ia turut bergabung.

Keyara mengamati Mutia yang terlihat cantik dengan gaun bertabur Swarovski di ujung rok bawah dan kerah setengah lingkaran. Namun, ketika mata itu mengarah pada Keyara, ada kebencian yang belum jua sirna.

"Kamu anggota komunitas ini? Kok, aku baru tahu, ya?" Arga memicingkan matanya. Ia memang belum pernah melihat Mutia menghadiri acara-acara komunitas.

"Aku belum lama gabung. Kurang lebih semingguan ini. Aku tertarik dengan visi dan misi komunitas ini. Karena itu, aku mendaftarkan diri untuk menjadi anggotanya." Mutia mengembangkan senyum terbaik. Senyum yang dulu begitu disukai Arga. Namun, kali ini Arga tak bisa mengaguminya lebih jauh. Ia melirik Keyara yang duduk di sebelahnya dan menyadarkan akan status mereka yang belum berakhir.

Tak lama kemudian, Andra pun datang menghampiri. Ia menyapa Keyara dan Arga, lalu berkenalan dengan Mutia. Andra terpesona akan kecantikan Keyara yang malam ini seolah lebih terpancar. Wanita itu tampak tenang, tak banyak bicara, tapi sikapnya ini justru membuat Andra semakin mengagumi. Namun, setelah ia menoleh Arga yang bahkan menghindari untuk membuat kontak mata dengannya, Andra menyadari jika ia mengagumi wanita bersuami. Dia tak akan membiarkan rasa kagum itu tumbuh menjadi cinta.

Teman Arga yang lain, Kenzo dan adiknya, Reyna juga turut bergabung. Setelah ketua komunitas memberi sambutan, acara dilanjutkan dengan makan malam diiringi alunan musik dan lagu-lagu manis yang dibawakan oleh penyanyi-penyanyi lokal.

"Melihat usaha butik Mutia berkembang pesat, sepertinya aku jadi tertarik untuk bisnis di fashion juga. Mungkin Keyara juga ingin mencoba? Kita bisa kerja sama?" Reyna melirik Keyara yang tengah memotong steak di hadapannya.

Keyara mengulas senyum. "Aku tidak tahu banyak tentang fashion. Selera fashion-ku tidak sebaik perempuan lain."

"Gaya berbusana kamu bagus, kok. Aku suka gaun yang kamu kenakan. Simple, tapi elegan dan warnanya juga bagus." Reyna melayangkan pujian yang memang tulus dari hatinya. Ia menilai Keyara cukup pandai memadupadankan pakaian.

"Bagus? Gaun ini tidak cocok untuk Keyara karena kurus. Coba kalau badan Keyara lebih berisi, mungkin akan cocok. Aku juga kurang suka dengan kalung mutiara yang dikenakan Keyara. Modelnya pasaran, banyak sekali yang punya kalung mutiara seperti ini." Mutia mengamati penampilan Keyara. Baginya wanita itu terlalu memaksakan diri untuk tampil anggun dan berkelas. Di matanya Keyara tetaplah Keyara. Gadis arogan, kasar, dan paling dibenci.

Semua mata tertuju pada Keyara dan membuat wanita itu tak nyaman. Ia merasa Mutia sudah jauh berubah. Dulu gadis itu tak pernah merendahkan orang lain. Kini, sosok itu jauh berbeda.

"Gaun ini, ibu mertua yang membelikan. Mungkin memang tidak cocok untuk saya karena gaun ini terlalu cantik untuk saya. Sebenarnya tujuan dibuat gaun yang cantik dan elegan itu untuk mempercantik penampilan pemakai. Sayangnya, kadang orang seolah mengklaim bahwa gaun yang bagus hanya untuk orang tertentu saja. Yang menurut mereka fisiknya tidak sesuai, tidak berhak mengenakan gaun itu. Ini namanya body shaming." Keyara bicara tegas. Sesekali netra tajamnya mengarah pada Mutia.

Semua yang mendengarkan penuturan Keyara terdiam. Bahkan Arga pun tak menyangka jika Keyara mampu membalas ucapan Mutia dengan kata-katanya yang tak kalah tajam.

"Lalu soal kalung mutiara ini ...." Keyara memegang kalung yang melingkar cantik di lehernya.

"Kalung ini memang banyak di pasaran, model pasaran, dan banyak yang punya. Sebenarnya kalung ini punya sejarah penting untuk saya. Kalung ini pemberian remaja lima belas tahun yang jadi korban bullying. Saya menjadi volunteer di komunitas anti-bullying dan sering mendengarkan curhatan mereka. Anak ini mengidap leukemia. Dari dia saya belajar banyak. Bagaimana dia bertahan menghadapi bullying dan bagaimana dia berdamai keadaannya, ini memberikan inspirasi yang luar biasa. Namanya Alia. Dia meninggal dua bulan yang lalu." Mata Keyara berkaca mengingat kenangan indah yang pernah tertoreh bersama Alia.

Lagi-lagi semua pun bungkam, tak terkecuali Mutia. Gadis itu hanya mampu terkatup tanpa tahu harus membalas apa.

"Ya, Allah, kasihan anak itu. Dia sudah tenang di sana. Pasti orang tuanya sangat kehilangan," balas Reyna pelan.

"Oya, tadi kamu bilang kalau kamu volunteer di komunitas anti-bullying? Ini hebat karena zaman sekarang rasanya hanya sedikit orang yang mau menjadi volunteer membantu orang lain. Kebanyakan menjadikan uang sebagai prioritas." Kenzo menatap Keyara dengan binar kekaguman. Jika tidak ingat bahwa Keyara sudah bersuami, rasanya ia ingin meminta kontak Keyara karena ia juga tertarik dengan komunitas-komunitas sosial yang concern membantu sesama.

"Saya tidak hebat. Saya hanya ingin bermanfaat untuk orang lain. Di masa lalu saya pun pernah menjadi pelaku bullying, karena itu saya ingin menebus semua kesalahan saya. Saya ingin mengabdikan diri untuk membantu orang-orang yang menjadi korban bullying. Mungkin tidak banyak yang bisa saya lakukan, tapi setidaknya saya bisa menjadi tempat mereka bercerita."

Andra menatap Keyara dalam. Rasa kagum itu tak jua luntur. Semakin ia coba untuk mengubur, semakin dalam kekaguman yang ia rasakan. Arga menyadari tatapan Andra yang terus bermuara pada istrinya. Ada rasa kesal dan ia tak menyukai Keyara bicara panjang lebar jika tujuannya ingin memikat perhatian laki-laki lain.

"Semua orang pernah berbuat salah, Key. Apa yang kamu lakukan sekarang sangat menginspirasi. Kamu bisa belajar dari kesalahan di masa lalu dan sekarang berubah menjadi sosok yang jauh lebih baik." Andra melebarkan senyum. Binar kekaguman itu belum jua sirna.

"Aku masih harus banyak belajar, Mas." Keyara membalas dengan senyum tipis. Arga semakin kesal melihatnya.

"Sayangnya meski pelaku bullying sudah berubah lebih baik, tapi mental korban bullying tidak semudah itu untuk diperbaiki. Luka dan trauma itu akan terbawa sampai kapan pun. Aku sebagai contoh nyata korban bullying yang masih menyimpan trauma itu." Mutia menatap Keyara tajam masih dengan sorot kebencian yang tak jua terkikis.

Keyara menatap balik Mutia tajam. "Lalu menurutmu apa tidak ada kesempatan bagi pelaku bullying untuk memperbaiki diri? Sedang Tuhan saja Maha Mengampuni kesalahan umatNya."

Mutia tersenyum sinis. "Bukan tidak ada kesempatan, tapi saya tipe orang yang susah melupakan sakit hati dan tidak akan begitu saja percaya dengan perubahan seseorang. Tabiat itu susah diubah."

"Kalau memang seperti itu, masalahnya ada di kamu. Masa lalu tidak bisa diubah. Berdamai dengannya adalah salah satu hal yang membuat kita tenang." Keyara membalas kembali ucapan Mutia. Arga merasa sosok Keyara saat ini benar-benar berubah, tak lagi menunjukkan kelemahannya.

"Kamu nggak pernah ada di posisiku, Key. Kamu nggak tahu betapa sulitnya untuk berdamai dengan masa lalu. Tidak semudah itu untuk berdamai dan memaafkan." Mutia berkata penuh penekanan hingga memancing orang untuk memerhatikannya.

"Lalu apa yang baru saja kamu lakukan, Mutia? Mengatakan gaun yang aku kenakan tidak pantas karena badanku kurus, apa kamu nggak sadar ini body shaming yang menurutku efeknya tak jauh beda dengan bullying. Kamu nggak ingin aku berdamai dengan kata-katamu?" Keyara tak gentar. Ia rasa sudah saatnya ia speak up dan menghargai dirinya sendiri dengan tidak membiarkan orang lain menginjak-injak harga dirinya.

"Kamu sebut itu body shaming? Tidak ada istilah menghina di kata-kataku. Aku hanya berusaha bicara jujur. Kata-kataku tidak kasar. Kamu saja yang terlalu baper dan berlebihan!" tandas Mutia.

"Sering kali seseorang tidak sadar bahwa yang ia ucapkan melukai orang lain. Aku tidak pernah membenarkan perbuatanku di masa lalu dan aku juga tidak membenarkan perbuatanmu saat ini atas dasar trauma dan luka di masa lalu. Semua orang punya luka."

Mutia tak menyangka Keyara berani untuk terus menyangkalnya. Ia mengalihkan tatapannya pada Arga.

"Arga, apa kamu tahu cara mengajari istri kamu?" Mutia menajamkan matanya. Hatinya bergemuruh kebencian yang semakin menguat untuk Keyara.

Arga berada di situasi yang sulit. Ia tak mau melukai Mutia jika ia membela Keyara dan ia juga tak ingin menyalahkan Keyara di depan teman-temannya. Ia raih tangan Keyara.

"Kami pulang dulu." Arga menggandeng Keyara dan menuntunnya untuk keluar meninggalkan ruangan.

Keyara mengikuti langkah Arga yang tergesa-gesa. Ketika mereka sudah berada di mobil dan melaju pun tak ada sepatah dua kata. Arga fokus mengemudi tanpa sedikit pun menoleh ke arah Sang Istri. Keyara pun terdiam. Ia bisa melihat kilat kemarahan di bola mata Arga.

Setiba di rumah, Arga menarik tangan istrinya menaiki tangga. Bundanya sudah tidur dan ini menjadi kesempatan untuknya bicara banyak dengan Keyara. Dari cengkeraman Arga yang terasa begitu kuat, Keyara tahu jika suaminya marah.

Arga membuka pintu kamar lalu mendorong tubuh Keyara dan menghimpitnya di dinding. Kedua tangannya mengunci tubuh istrinya dan sorot matanya masih menghunus pada wajah tenang Keyara.

"Kamu sengaja membuatku malu?" Arga memelankan suaranya agar tak terdengar oleh Arimbi. Namun, kata-kata itu tetaplah penuh penekanan.

"Membuat malu seperti apa?" Keyara masih berusaha tenang.

"Kamu tidak sadar dengan apa yang kamu lakukan di acara makan malam tadi? Kamu mengacaukan suasana dan terus membalas Mutia. Kamu menyudutkan Mutia. Apa tidak cukup puas dengan apa yang kamu lakukan di masa lalu?"

Keyara menatap Arga penuh selidik. Memang menyakitkan kala ia masih bisa menemukan bara cinta di mata Arga setiap kali membicarakan Mutia.

"Aku tidak akan membalas ucapannya jika dia tidak memulai lebih dulu. Aku tak mau diinjak-injak. Aku memang jahat di masa lalu, tapi aku punya hak untuk memperbaiki diri dan dihargai. Aku tidak suka disudutkan apalagi jika membawa fisik dan menilai penampilanku."

"Kenapa kamu tidak diam seperti biasanya? Kenapa kamu begitu agresif untuk menyerang Mutia? Atau kamu ingin mencari muka di depan teman-temanku? Ah, iya, kamu sedang berusaha menarik perhatian Andra?"

Keyara menatap Arga lebih tajam.

"Kenapa selalu bawa-bawa Mas Andra? Aku sedang tidak mencari perhatian siapa pun. Dan kenapa Mas lebih membela Mutia dibanding istri Mas sendiri?"

Arga tergugu. Belum sempat ia membalas, Keyara lebih dulu menyela.

"Ah, iya, Mas Arga tidak pernah menganggapku istri. Wajar kalau Mas lebih membelanya. Mas juga masih mencintainya."

"Tidak usah mengalihkan pembicaraan. Intinya aku tidak suka dengan sikap kamu di acara makan malam tadi dan aku tidak suka kamu mencari perhatian orang lain dengan cerita tentang aktivitasmu, meninggikan diri kamu sendiri!"

Keyara memicingkan matanya. "Aku tidak meninggikan diri sendiri. Aku hanya berusaha menjelaskan karena Mutia yang Mas kagumi itu mengkritisi penampilanku."

"Kenapa kamu melawan? Kenapa tidak seperti biasanya? Kamu biasanya diam dan mengalah. Kenapa sekarang kamu terus melawan?" Arga mendekatkan wajahnya hingga jarak itu kian terpangkas.

Keyara mematung dengan debaran yang merajai. Embusan napas Arga menyapu wajahnya. Keyara gugup, tapi ia berusaha tenang.

Arga berusaha mengendalikan diri meski ia merasa gregetan dan bahkan membayangkan jika ia mendaratkan kecupan di bibir Keyara lalu melumatnya panas untuk menyalurkan kekesalannya. Perlahan ia turunkan kedua tangannya yang ia sandarkan di dinding. Ia bergerak mundur dan berjalan menjauh dari Keyara.

Keyara terpaku dengan segala rasa yang tak terdefinisikan. Ia mengatur napasnya. Rasa sakit karena Arga masih mencintai Mutia seolah berbaur dengan debaran yang terus berkecamuk.

******

Masih berminat dengan cerita ini? Hehe

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro