Chapter 5
Arga menggenggam tangan wanita yang paling ia hormati, wanita yang dulu berjuang mempertaruhkan nyawa saat melahirkannya.
"Bunda, jangan sampai kecapaian lagi, ya." Arga menatap lembut wanita paruh baya yang terbaring lemah.
"Bundamu itu kalau ngerjain sesuatu suka lupa waktu. Yang bikin Ayah khawatir itu Bunda punya penyakit jantung. Ayah takut kenapa-kenapa." Atmaja duduk di sebelah istrinya. Ia bersyukur Sang Istri telah sadar setelah sempat pingsan. Kondisinya juga sudah lebih baik meski masih terlihat lemah.
"Ayahmu yang terlalu khawatir, Arga. Bunda cuma kelelahan biasa." Arimbi tersenyum. Ia tak ingin keluarganya khawatir.
Keyara bersyukur kondisi ibu mertuanya sudah membaik. Arimbi mengarahkan netranya pada menantu kesayangannya.
"Kamu dan Key jadi ikutan repot-repot ke sini."
"Sama sekali nggak repot, Bun." Keyara menarik satu senyum manis.
"Arga, Key, Ayah harus berangkat ke Australia untuk mengurus bisnis Ayah di sana. Ayah nggak bisa ninggalin Bunda tanpa pengawasan. Sedangkan Bunda nggak mau ikut ke Australia. Kondisi kesehatannya juga sedang tidak baik. Jadi Ayah ingin kalian menjaga Bunda. Nanti biar kalian tinggal di rumah kami atau Bunda yang tinggal di rumah kalian." Atmaja menatap Arga dan Keyara bergantian.
"Berapa lama Ayah di Australia nanti?" tanya Arga. Tentu ia tak keberatan jika bundanya ikut tinggal bersamanya. Namun, itu artinya ia dan Keyara harus berpura-pura bahwa pernikahan mereka baik-baik saja. Perceraian yang sempat dibahas Keyara, agaknya harus dibicarakan lain waktu, menunggu keadaan Arimbi benar-benar membaik.
"Mungkin satu sampai dua bulan, Arga. Kalian tidak keberatan, 'kan?"
Keyara menyunggingkan satu senyum. "Tentu tidak, Ayah. Saya senang jika Bunda ikut tinggal bersama kami."
Atmaja merasa lega.
Tak lama kemudian, datang seorang yang sangat Arga benci. Alvin Dirgantara, adik satu ayah yang berpenampilan nyentrik dengan tato di tangan kirinya dan tindik menghiasi telinga kirinya. Ia menghambur menjabat tangan Atmaja lalu memeluk Arimbi. Arga benci melihat keakraban Alvin dan orang tuanya. Lestari, ibu Alvin yang juga istri kedua Atmaja telah meninggal lima tahun yang lalu. Yang Arga tahu, bundanya dan Lestari tak pernah benar-benar akur meski di depan orang-orang, keduanya menunjukkan interaksi yang baik. Yang membuat Arga heran, Arimbi begitu mudah menerima anak dari istri kedua ayahnya. Di mata Arga, Alvin hanya mencari muka. Pemuda berandal itu memilih tinggal di kontrakan dan menggeluti usaha bengkel. Ia memiliki dua bengkel dan cukup laris. Memang ulet, tapi Arga tak suka dengan penampilannya yang urakan.
"Bunda gimana keadaan Bunda? Maaf, Alvin tadi baru tutup bengkel jadi telat ke sini."
"Tidak apa-apa, Alvin. Kamu nggak perlu khawatir. Ayahmu ini suka khawatiran. Bunda cuma pingsan karena kelelahan, semua anak-anaknya ditelepon." Arimbi tersenyum dan melirik Atmaja yang masih memasang tampang cemas.
"Ayah melakukan hal yang benar, Bunda. Memang seharusnya anak-anaknya dikabari." Alvin lega melihat Arimbi sudah membaik. Waktu Atmaja menghubunginya, Alvin khawatir bukan kepalang. Meski Arimbi bukan ibu kandungnya, tapi Alvin menghormati dan menyayangi Arimbi layaknya ibu kandung. Itulah yang membuat Arimbi mudah menerima kehadiran Alvin. Pemuda itu memang terlihat urakan di luar, tapi ia memiliki hati yang baik dan tulus.
Alvin menoleh ke arah Keyara dan Arga. Ia tersenyum tipis.
"Sudah lama Kak Arga dan Kak Key?" tanya Alvin santun. Ia tahu, Arga tak menyukainya. Namun, ia tetap menjaga hubungan baik dengan kakaknya.
"Nggak juga, Vin. Kami juga belum lama datang." Keyara menanggapi pertanyaan adik iparnya, sedangkan Arga sama sekali tak mau melirik Sang Adik.
Alvin melanjutkan percakapannya dengan Arimbi dan Atmaja. Pemuda nyentrik itu selalu bisa memecah kebekuan dengan candaannya yang selalu bisa membuat Arimbi dan Atmaja tertawa. Begitu juga dengan yang dirasakan Keyara, ia ikut terhibur dengan lelucon-lelucon yang dilontarkan Alvin.
Arga menggandeng Keyara keluar ruangan. Ia ingin bicara empat mata dengan Keyara mengenai rencana bundanya yang akan tinggal di rumah mereka.
Keyara tertegun memandang tangan Arga yang menggandengnya. Ada sesuatu yang menjalar dan membuatnya bergetar.
Arga memilih tempat agak jauh. Mereka duduk di bangku panjang yang ada di koridor lain.
"Key, Bunda akan tinggal bersama kita. Itu artinya kita harus berpura-pura baik-baik saja selama sebulan sampai dua bulan. Setelah Ayah kembali dari Australia, kita bicarakan lagi pembicaraan kita yang tertunda."
Keyara diam sejenak. Ia dan Arga sudah terbiasa berpura-pura baik-baik saja di depan mertuanya. Ia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk benar-benar memperbaiki hubungannya dengan Arga.
"Mas, apa boleh aku minta sesuatu?"
Arga menatap Keyara dengan pandangan bertanya. Ia pikir sekarang Keyara sering kali meminta sesuatu.
"Minta apa?"
"Aku ingin kita tidak hanya berpura-pura baik-baik saja di depan Bunda, tapi ketika tidak ada Bunda pun, kita berpura-pura baik-baik saja. Artinya kita benar-benar memainkan peran kita sebagai suami istri yang sebenarnya."
Arga mengernyitkan dahi. Ia belum mengetahui sepenuhnya maksud dari pembicaraan Keyara.
"Setelah masuk kamar, kita akan kembali menjadi orang asing. Kita tidur saling memunggungi dan jarang sekali bicara. Seingatku kita hampir tak pernah bicara dalam situasi normal dengan nada bicara yang normal. Aku selalu melihat kebencian di mata Mas Arga. Nada bicara Mas Arga kadang ketus, kadang datar, dan kadang meninggi." Keyara mengembuskan napas pelan.
Arga masih menunggu hingga Keyara selesai bicara.
"Aku ingin selama Bunda tinggal bersama kita, kita bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa di masa lalu. Kita pura-pura lupa akan masa lalu. Anggap saja Mas Arga tidak mengenalku di masa lalu. Dan kita benar-benar bersikap layaknya suami istri pada umumnya. Aku memasak untuk Mas Arga, Mas Arga pamitan setiap kali berangkat kerja, dan aku akan menjabat tangan Mas Arga. Kita akan menyempatkan waktu berbincang sebelum tidur. Jika Mas Arga tak mau bicara, mungkin bisa diawali dengan mendengarku bicara. Aku rasa ada banyak hal yang tidak diketahui Mas Arga tentang kehidupanku. Aku ingin Mas Arga mau mendengarku saat aku membicarakan suasana sekolah tempatku mengajar, pekerjaanku, atau apa saja. Aku juga akan mendengarkan semua perkataan Mas Arga. Aku ingin Mas Arga terbuka untuk berbincang tentang pekerjaan Mas Arga atau bahkan hal-hal yang terkesan sepele dan ringan."
Arga menyipitkan mata. Ia pikir ini permintaan yang sangat absurd mengingat hubungannya dan Keyara memang tidak pernah baik. Bagaimana bisa ia bersikap sebagai benar-benar suami dan mereka akan berpura-pura lupa pada masa lalu?
"Kita asing satu sama lain. Sebelum kita benar-benar berpisah, aku hanya ingin kita bisa sedikit mengenal pribadi masing-masing tanpa harus terpaku pada masa lalu. Aku juga ingin menciptakan kenangan yang baik dan indah sebelum kita berpisah di waktu yang tepat." Keyara mengakhiri kata-katanya. Ia menatap Arga datar. Ia tak yakin Arga akan menyetujui kesepakatan ini. Tidak ada salahnya mencoba. Ini adalah keinginan terpendam Keyara, di mana mereka bisa menjalin hubungan baik tanpa terganjal getirnya masa lalu. Setidaknya nanti, mereka berpisah secara baik dan tak menyimpan dendam atau kebencian.
Meski Arga merasa ini permintaan konyol, tapi ia menyanggupi. Ya ia anggap ini permintaan terakhir Keyara sebelum mereka berpisah.
******
Seminggu kemudian ....
Sejak Arimbi tinggal bersama Arga dan Keyara, hari-hari mendadak berubah asing, seperti tak mengenal rutinitas yang biasa. Ada yang berbeda dari interaksi Arga dan Keyara. Mereka berpura-pura harmonis, benar-benar mencerminkan suami istri yang rukun, sekalipun tidak di depan Arimbi. Mereka tidur sekamar, meski tidak saling menyentuh, tapi keduanya mulai belajar untuk membiasakan diri berbincang sebelum tidur.
Terkadang masih ada nada ketus, sikap datar, raut wajah yang dingin, nada yang tinggi, dan kebencian yang masih terselip kala Arga terngiang kembali akan masa lalu yang pahit. Namun, semua sedikit teredam setelah mendengar penuturan Keyara tentang dirinya, apa yang ia rasakan, dan rasa bersalah yang membuatnya takut menghadapi hari depan. Kondisi psikis yang terlalu kompleks menurut penilaian Arga. Laki-laki itu jarang berbicara. Ia lebih banyak mendengar.
"Aku kadang merasa takut berteman. Aku takut menyakiti teman-temanku. Aku hanya berteman sewajarnya dan aku tak punya teman dekat. Aku tak pernah curhat tentang masalah pribadiku. Keceriaan anak-anak di sekolah menjadi hiburan tersendiri untukku. Aku merasa hidupku lebih berarti ketika mereka nyaman berada di dekatku. Aku senang saat mendengar celotehan mereka yang sudah bisa gosok gigi sendiri atau bisa mandi sendiri. Aku juga senang melihat senyum mereka kala dijemput orang tua. Aku berharap, mereka memiliki waktu lebih lama untuk menghabiskan waktu bersama orang tua mereka." Keyara meremas jari-jari tangannya. Ia duduk berselonjor di ranjang. Sedangkan Arga terbaring di sebelahnya, dibatasi celah kosong. Mereka tetap menjaga jarak.
Arga mendengarkan, tapi tak menanggapi. Itu sudah cukup bagi Keyara. Sejujurnya, Keyara masih merasa gugup setiap kali memulai pembicaraan. Ia kadang merasa seperti tengah berbicara sendiri karena Arga tak merespons ucapannya. Namun, ia tetap bicara semata agar Arga sedikit mengenalnya. Ia ingin suaminya sedikit membuka hati dan pikiran, bahwa Keyara yang sekarang tak lagi sama dengan Keyara di masa lalu.
"Sekarang gantian Mas Arga bicara. Aku ingin tahu aktivitas Mas Arga di luar rumah." Keyara melirik Arga yang berbaring menatap langit-langit.
Arga diam terbaring dengan mata menengadah ke atas. Hatinya masih bergemuruh rasa yang tak terdefinisikan. Sebut saja hatinya mulai melunak meski masih penuh rutukan. Kebencian yang terlanjur mengakar tak semudah itu luntur dalam sandiwara palsu.
"Aku ngantuk, Key, lain kali saja aku bicara soal aktivitasku." Arga menjawab tanpa menoleh ke arah istrinya. Ia tak tahu, betapa wanita itu berharap Arga mau sedikit terbuka.
Keyara menahan kekecewaan. Asa yang sebelumnya melambung kini terpelanting. Ia sadar, akan sulit menormalkan hubungan mereka yang sedari awal sudah sangat buruk. Arga baginya tetaplah seperti bintang yang jauh, yang bisa ia lihat, tapi sulit untuk diraih. Atau dia seperti fatamorgana, semakin dikejar semakin mengabur.
Pernikahan yang ia jalani sudah begitu toxic dan mungkin tak bisa lagi diselamatkan. Berpura-pura sebagai benar-benar suami istri juga tak mudah untuk dijalankan.
Arga memiringkan badannya. Lagi-lagi mereka tidur saling memunggungi. Keyara terdiam. Helaan napasnya seperti terselip keputusasaan. Terkadang ada keinginan untuk terus berjuang, merajut kembali mimpi yang pernah terkubur. Namun, di sisi lain ia pun tahu, pernikahannya akan berakhir atau sejatinya memang telah berakhir. Tak ada lagi yang bisa direkatkan karena sejak awal, hati keduanya sudah retak. Keyara yang berusaha menambal lubang itu sepanjang waktu, sedangkan Arga yang membiarkannya patah, tak ada keinginan untuk mencoba menyambung segala yang sudah tercerai-berai.
******
Pagi menyingsing. Seperti biasa, Keyara cekatan mengerjakan semua. Ia menyiapkan pakaian kerja untuk Arga. Dan sejak kesepakatan itu, Arga tak lagi mengabaikan. Ia mengenakan pakaian pilihan Keyara, bahkan ia biarkan wanita itu membantunya memasang dasi.
Arga mematung layaknya patung di taman kota. Matanya menelisik ke arah Keyara yang tengah memasang dasi. Dalam beberapa hari ini, Arga mulai terbiasa akan jarak yang kian terpangkas kala mereka berinteraksi seperti ini. Mata itu masih sendu, tapi tak lagi sembab seperti biasanya. Tatapannya terhenti pada bibir Keyara yang ia lihat lain dari biasanya. Arga tahu, Keyara menyapu bibirnya dengan lipstik warna pink lembut yang membuat wajah itu lebih segar.
Keyara mengenakan dress rumahan, yang tidak lagi tampak kebesaran. Dress motif bunga-bunga kecil yang baru pertama kali Arga lihat. Rambut Keyara tergerai tanpa tatanan khusus. Namun, rambut itu terlihat rapi dengan warna hitam legam yang menambah kesan manis. Arga akui, wajah Keyara tidak bisa dikatakan pas-pasan. Dulu ia pun tahu, ada beberapa mahasiswa yang mengejarnya. Namun, perempuan itu terlalu angkuh, yang bahkan berani menolak dengan kata-kata kasar dibumbui nada merendahkan jika Sang Pria tidak cukup menarik di matanya. Satu dari sekian banyak alasan yang memicu julukan "arogan" tersemat di balik perangai Keyara yang bagi sebagian besar mahasiswa, memang begitu arogan dan menyebalkan.
Keyara merapikan kerah kemeja Arga. Jari-jarinya menurun dan menemukan ada satu kancing yang belum terpasang. Keyara memasang satu kancing itu, sementara netra Arga masih awas mengawasi.
Keyara bisa merasakan degup jantung Arga yang terdengar beraturan. Sesaat ia jejakkan telapak tangannya di dada bidang itu. Matanya menilik ke atas dan bertabrakan dengan netra Arga yang juga mengarah padanya. Mereka saling menatap sekian detik hingga panggilan Arimbi membangunkan keduanya dari atmosfer yang hampir saja melenakan, kala masing-masing menyadari akan indahnya rupa yang terpajang.
Keduanya sarapan bersama Arimbi dengan senyum yang mengembang sempurna. Wanita paruh baya itu tersenyum bahagia melihat putra dan menantunya begitu harmonis. Ia tak pernah tahu, bagaimana Arga dan Keyara bersusah payah membangun kesan positif tentang hubungan mereka.
Ketika Arga selesai sarapan dan berpamitan, Keyara meraih tangan suaminya untuk ia jabat dan ia cium. Arimbi mengamati keduanya.
"Arga, ayahmu selalu mencium Bunda ketika hendak bepergian. Kenapa kamu tidak melakukan hal yang sama pada istrimu?"
Arga terhenyak. Bibirnya sedikit menganga. Ia dan Keyara saling berpandangan, salah tingkah. Demi menyenangkan hati Arimbi, Arga mendaratkan kecupan di pipi Keyara. Untuk sesaat Keyara membeku. Kecupan pertama dari Arga di pipinya dan ini membuat dada Keyara berdebar tak karuan.
Arimbi tersenyum menatap pasangan itu malu-malu layaknya baru pertama kali jatuh cinta.
"Bun, Arga berangkat dulu, ya."
"Hati-hati, Arga."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Keyara mengantar Arga hingga pria itu masuk ke dalam mobil.
"Hati-hati, Mas." Senyum terukir lembut.
Arga tak menoleh juga tak menanggapi. Ia lajukan mobilnya tanpa peduli akan perasaan Keyara yang kembali terluka setelah sebelumnya menghangat karena kecupan Arga.
******
Terik matahari terasa semakin panas di siang yang cerah ini. Arga janjian makan siang bersama Andra. Kedua sahabat itu memang kerap menyempatkan waktu untuk bertemu kendati kesibukan mengikis waktu luang.
Andra terkejut mendengar penuturan Arga yang mengatakan ia dan Keyara tengah berpura-pura untuk menjalankan peran sebagai suami istri sungguhan di depan Arimbi.
"Keyara bilang, ia ingin menciptakan kenangan yang manis sebelum kami benar-benar berpisah. Ini terdengar lucu, 'kan? Sepanjang malam aku akan mendengarnya bicara dan satu per satu ranah privasiku sepertinya telah terjamah olehnya. Bahkan kemeja yang aku pakai juga dipilih olehnya." Arga menggeleng. Ia tak suka berpura-pura memainkan peran sebagai suami yang baik. Namun, ia harus menuruti kesepakatan itu.
Andra menghela napas. Ia tatap Arga tajam.
"Di tempat lain ada banyak laki-laki yang berharap memiliki istri cekatan seperti Keyara. Bukankah itu menyenangkan? Setiap hari ada yang menyiapkan makananmu, merapikan bajumu, menyiapkan segala keperluanmu, dan menyambutmu pulang. Ada banyak yang beristri, tapi tidak merasa punya istri karena istrinya terlalu sibuk. Harusnya kamu bersyukur."
Arga tersenyum sinis. "Bersyukur? Dari awal kamu tahu, aku tidak mencintai Keyara dan kami menikah karena dijodohkan."
"Kamu tidak mencintai Keyara atau kamu memang tidak mau jatuh padanya? Apa tidak ada sedikit pun rasa mengingat kalian tinggal seatap? Apa kamu tidak tersentuh dengan kebaikannya?"
Arga menatap Andra tajam dengan kernyitan di dahi yang melukiskan rasa heran.
"Apa rasa itu bisa datang sementara kamu begitu membenci seseorang? Cinta tidak bisa dipaksakan."
Andra meneguk teh manis di hadapannya lalu kembali memusatkan penglihatannya pada sahabat yang ia sebut tak tahu caranya bersyukur.
"Ya, cinta tidak bisa dipaksakan. Hanya saja aku heran, perempuan yang menurutku sangat amat baik seperti Keyara, dengan segala ketulusan dan baktinya sebagai istri, apa semua ini tidak cukup untuk membuatmu mau belajar menghargainya?"
Arga tertawa kecil. "Kamu tidak mengenalnya dengan baik, Andra. Kamu hanya melihat dia di cangkangnya. Dalamnya busuk dan aku tahu itu semua kamuflase."
"Kamu salah menilainya, Arga. Pertimbangkan matang-matang sebelum kamu menyesali keputusanmu!"
Arga menyeruput jus jambu yang ia pesan.
"Aku tidak akan menyesal. Aku sudah memikirkan baik-baik. Bahkan di sepanjang pernikahan kami, aku selalu memikirkan cara untuk berpisah dengannya tanpa menyakiti Ayah dan Bunda."
Andra menggeleng pelan. Arga begitu keras kepala dan tak pernah mau mendengar nasihatnya.
"Maaf kalau aku lancang. Jika kamu benar-benar ingin berpisah dengannya dan nanti perpisahan ini terwujud, apa aku boleh maju untuk mendekati Keyara?"
Arga tersedak. Ia terperangah mendengar kata-kata tajam Andra. Selama bersahabat dengan pria itu, baru kali ini Arga merasa, Andra benar-benar kurang ajar!
******
Cut dulu hehe. Apa yang kalian suka dari cerita ini? Dan kenapa mengikuti cerita ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro