Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4

Keyara melirik gadis cilik berkepang dua yang tak mau masuk ke halaman sekolah. Ia berdiri sembari memegangi tangan kanan ayahnya dengan tampang cemberut.

"Sella, ayo masuk. Sebentar lagi kita masuk kelas." Keyara tersenyum. Ia berjalan mendekat ke arah anak itu.

"Sella ingin ikut Ayah kerja. Atau Ayah nggak usah kerja, temeni Sella." Gadis cilik itu mendongakkan wajahnya dan menatap Sang Ayah yang masih mematung.

"Sella, Ayah mau kerja untuk mencari nafkah, biar Sella bisa sekolah terus. Biar Sella bisa makan bergizi, punya baju yang layak pakai, terus bisa ngajak Sella jalan-jalan. Sella bilang pingin ke Hongkong, 'kan? Nah, kalau Ayah kerja, Ayah bisa ngajak Sella liburan ke Hongkong."

Gadis cilik itu mendengar bujukan Keyara sembari melirik sesekali ke arah ayahnya.

"Betul kata Bu Guru, Sella. Kalau Sella ikut Ayah kerja, nanti Ayah nggak bisa fokus dan Sella juga ketinggalan pelajaran. Di sekolah, Sella bisa bermain sama teman-teman. Ayah janji, hari Minggu nanti, Ayah bakal ngajak Sella ke rumah Nenek." Laki-laki 32 tahun itu mengusap rambut putrinya dan tersenyum lembut.

"Sella, ayo sini ...." Panggilan dari salah satu teman gadis cilik itu membuat Sang Princess Kecil menoleh ke arah sumber suara. Ia pun bergegas, berlari menuju temannya.

Keyara tersenyum memandangi derap langkah Sella yang semakin menjauh.

"Maafkan, Sella, ya Key. Anak itu sering merepotkanmu." Danandra atau yang biasa disapa Andra merasa tak enak hati sering menyusahkan Keyara. Andra adalah teman baik Arga. Ia memiliki bisnis travel dan beberapa toko sembako.

"Tidak usah minta maaf, Mas. Namanya juga anak-anak. Dan ini memang sudah tugasku untuk membimbing Sella serta anak-anak lain. Sella itu sebenarnya anak yang sangat manis. Hanya saja kadang moody-an."

Andra mengulas senyum. Ia merasa bersyukur, putrinya bersekolah di sekolah yang tepat dengan guru yang super sabar seperti Keyara. Entah berapa kali putrinya berbuat ulah dan susah diatur, tapi Keyara selalu berhasil menaklukkan hati gadis cilik itu.

"Terima kasih ya, Key. Kamu begitu sabar mengajar Sella."

Keyara kembali mengurai senyum. "Tidak usah berterima kasih. Aku senang mengajar Sella."

Bel sekolah berbunyi. Keyara berpamitan pada duda satu anak itu.

"Aku masuk dulu ya, Mas."

"Silakan, Key. Selamat mengajar." Andra tersenyum. Ia masih terpaku menatap sosok wanita penyabar itu yang tengah mengatur barisan anak-anak di depan kelas.

Andra tak habis pikir, bagaimana bisa sahabatnya menyia-nyiakan istri sebaik Keyara. Dia mendengar tentang kisah masa lalu Keyara dari Arga. Keyara yang jahat, suka mem-bully, dibenci banyak orang, semena-mena, dan suka menindas. Ia hampir tak percaya karena sosok Keyara yang sekarang sangat jauh dengan apa yang diceritakan Arga. Setiap orang punya masa lalu. Andra percaya Keyara telah banyak belajar dari kesalahannya di masa lampau. Ia berhak memperbaiki diri. Sayangnya, Arga tak melihat usaha wanita itu. Ia justru mengabaikan dan tak menganggap keberadaan Keyara.

Andra tahu benar, Keyara kerap tersenyum di balik luka yang ia sembunyikan. Ribuan nasihat sudah sering ia lontarkan untuk Arga, tapi sahabatnya ini tetap pada pendiriannya. Arga tak bisa berdamai dengan masa lalu. Ia enggan membuka hatinya untuk mengenal Keyara lebih dekat, benar-benar mengenalnya.

Terkadang ia tersenyum getir menertawakan hidup. Ia berharap seorang istri yang begitu setia dan sabar seperti Keyara. Namun, Tuhan memberinya seorang istri yang temperamen, tak menghargainya, dan bahkan bermain api dengan laki-laki lain. Alasan yang sangat masuk akal untuknya bercerai dengan Listy. Di sisi lain, Arga yang dianugerahi istri sebaik Keyara, justru memandang Sang Istri layaknya sampah atau angin yang tak bisa dilihat.

Ia beristighfar karena diam-diam mengagumi istri sahabatnya. Perasaan yang tak mampu ia cegah. Namun, ia tulus mendoakan kebahagiaan Keyara.

******

Malamnya Arga memenuhi undangan Mutia. Sebenarnya ia malas mengajak Keyara turut serta. Namun, pada akhirnya ia tetap mengajak Keyara, memenuhi undangan Mutia yang memang mengundangnya dan Keyara.

Makan malam yang diadakan di halaman sekeliling butik berlangsung begitu tertib dengan nuansa elegan yang membuat tamu undangan betah. Jumlah tamu undangan tidak begitu banyak, tapi tak mengurangi kesan mewah yang terlihat dari jamuan makanan spesial dan dekorasi mahal nan ciamik.

Mutia sudah menyiapkan satu spot untuknya berkumpul dengan teman-teman lamanya, tak terkecuali Arga dan Keyara.

Ada rasa insecure yang tiba-tiba menerjang kala Keyara bertemu dengan teman-teman lamanya yang dulu sempat bermasalah dengannya. Teman-teman yang terkadang ia bully dan rendahkan. Mereka semua memiliki pekerjaan yang bagus, penampilan yang lebih cantik dan terawat, beberapa di antaranya tengah melanjutkan studi mereka ke jenjang yang lebih tinggi.

Berada di tengah-tengah mereka membuat Keyara tak nyaman. Ia membisu seribu bahasa sementara teman-teman lamanya berbincang dan bercanda tawa.

"Kamu hebat lho, Mutia. Kita nggak lupa gimana dulu kamu difitnah, di-bully, dan sekarang kamu yang paling keren di antara kita. Punya bisnis butik yang sukses dan sudah S2 pula. Luar biasa." Arena tersenyum dengan nada sindiran yang ia tujukan untuk Keyara.

"Ya, Mutia itu panutan, inspiratif, dan dia bisa membuktikan bahwa korban bullying juga bisa sukses. Pelaku bullying tak akan bisa menyamai dan melampaui pencapaian orang yang dia bully. Tuhan Maha Adil." Cynthia, gadis yang saat ini bekerja di perusahaan properti ternama turut berkomentar. Dulu dia juga pernah bermasalah dengan Keyara.

Keyara menunduk dan kembali terngiang akan tindakannya yang semena-mena di masa lalu. Roda berputar. Memang benar, nasibnya tak sebaik teman-temannya. Saat ini ia seperti tengah ditusuk dari berbagai arah. Bahkan Arga pun hanya terdiam. Tentu, Keyara tak akan berharap apa-apa. Arga tak akan mungkin membelanya atau mengajaknya pulang dibandingkan melihat dirinya dipermalukan.

"Kalian dulu juga di-bully, 'kan? Kalian harus bersyukur karena kehidupan kalian jauh lebih baik dibandingkan orang yang mem-bully kalian. Bahkan dia tidak lulus dari universitas dan menikah karena dijodohkan. Suaminya tidak mencintainya. Apa itu tidak menyedihkan?" Mutia menatap temannya satu per satu lalu menancapkan penglihatannya pada sosok Keyara yang diam mematung. Ia puas melihat musuh terbesarnya hanya mampu bungkam, tak berkutik, dan tak berdaya. Ia tak akan lupa bagaimana Keyara merendahkan dan menindasnya. Dulu gadis itu begitu berkuasa, arogan, berpenampilan tomboy dengan senyum yang selalu sinis. Kini ia duduk membeku dengan dress yang tampak sedikit kebesaran membungkus tubuhnya yang kurus. Make up seadanya menyapu wajahnya yang tak lagi sesegar dulu. Mutia tersenyum sinis merayakan kemenangan telaknya.

Semua tertawa, kecuali Keyara dan Arga. Laki-laki itu juga terdiam. Ia ikut malu setiap kali teringat kelakuan Keyara di masa lalu. Tidak hanya malu, tapi juga marah, benci, dan kecewa.

Keyara semakin tak nyaman. Ia bahkan tak berani mengangkat wajahnya. Hati Keyara semakin retak kala di acara makan malam itu, ada satu permainan yang mengharuskan nama yang terpilih untuk menari di tengah ruangan. Satu spot kosong yang memang sengaja dibiarkan lapang. Beberapa nama terpilih, termasuk Arga dan Mutia. Hatinya semakin kalut kala ia melihat sendiri betapa agresifnya Mutia mengajak Arga berdansa. Wanita itu tak malu menggandeng tangan Arga dan berbincang dengan jarak yang dekat diiringi musik nan syahdu.

Keyara menatap keduanya dari tempatnya duduk. Pendar matanya tak bisa berdusta. Ia terluka, cemburu, tapi ia pun tak bisa berbuat banyak. Sesekali Arga menoleh ke arah Keyara. Ia bisa melihat kesedihan Keyara, tapi ia masih terkurung dalam ketidakpeduliannya. Dua pasang netra itu masih memandang, seolah bicara. Arga sudah sering melihat mata Keyara yang berembun, tapi kali ini luka yang terbaca jauh lebih dalam. Ia menyadari Keyara cemburu. Arga tak mau tahu.

Mutia mengikuti ke arah mana tatapan Arga bermuara. Ia kesal karena laki-laki itu tak memusatkan perhatian ke arahnya.

"Kamu takut Keyara cemburu?" tanya Mutia seraya menatap Arga tajam.

Arga sedikit tersentak. Ia hanya menggeleng.

"Mungkin istrimu mengira aku akan merebutmu. Kamu nggak masalah 'kan, jika aku sedikit bermain-main untuk membuatnya cemburu?" Mutia mengalungkan kedua tangannya pada leher Arga. Tindakannya membuat Arga terkesiap. Mutia yang sekarang begitu berbeda dengan Mutia lama yang polos dan pemalu. Wanita itu lebih berani dan agresif.

Arga tak menjawab. Ia tak lagi menatap Keyara, juga tak menatap Mutia. Ia alihkan pandangan ke sudut lain.

"Selera berpakaian Keyara itu buruk sekali. Dulu dia tomboy, sekarang seperti memaksakan diri untuk menjadi feminin. Sayangnya, gaunnya itu sedikit kebesaran. Mungkin dia diet berlebihan makanya jadi kurus. Make up-nya juga nggak banget. Maaf, Arga, dia terlihat kampungan."

Arga menajamkan matanya. Ia sedikit kaget mendengar Mutia bicara blak-blakan.

"Istri yang baik harusnya tahu bagaimana cara membawa diri. Lihatlah penampilannya, tidak mencerminkan perempuan terhormat. Norak sekali. Bahkan kalung yang dia kenakan hanya seharga seratus ribuan. Apa kamu tidak mengajari istri kamu untuk tampil elegan? Kamu yang akan malu, Arga."

Arga mulai merasa tak nyaman. Ia memang tak mencintai Keyara, tapi ia juga tak suka Mutia terus-menerus mengomentari penampilan Keyara. Arga menurunkan tangan Mutia dari lehernya.

"Aku ke toilet dulu," ucap singkat Arga. Ia berjalan menuju toilet.

Mutia menghela napas. Ia lirik Keyara yang masih membatu. Baginya apa yang ia lakukan tak seberapa dibandingkan dengan apa yang Keyara lakukan. Jika Mutia mau, dia bisa berbuat lebih untuk mempermalukan Keyara.

******

Dalam perjalanan pulang, baik Keyara maupun Arga membisu tanpa suara. Keyara memalingkan wajahnya ke arah kaca jendela, memandang apa yang bisa ia pandang di luar. Sedangkan Arga fokus mengemudi.

Sesekali, Arga melayangkan tatapan pada Keyara yang tampak tenang. Ia cerna kata-kata Mutia yang menilai penampilan Keyara. Gaun yang saat ini melekat di tubuh Keyara, dulu pernah Keyara kenakan di acara ulang tahun pernikahan orang tua Arga. Waktu itu gaun itu belum terlihat kebesaran seperti sekarang. Benar kata Mutia, Keyara bertambah kurus. Ia mengamati tangan Keyara yang terjatuh di atas pangkuan. Memang begitu kurus. Selanjutnya ia amati kalung yang kata Mutia seharga seratus ribuan. Sepanjang pernikahan mereka, Arga memang tak pernah membelikan Keyara kalung.

Keyara berpikir jika Arga dan Mutia memang masih saling mencintai. Ia membayangkan tentang langkah yang akan ia ambil. Ia tak bisa terus-terusan bertahan dalam benaman luka. Ia ingin sekali saja melalui hari tanpa air mata. Kebahagiaan Arga ada pada Mutia. Keyara bertanya-tanya, apa sekarang saatnya ia mundur?

******

Setiba di rumah keduanya masih saling membisu. Keyara yang sudah membersihkan diri dan berganti pakaian mematut diri di cermin. Ia menghitung hari depan, membayangkan berapa langkah lagi yang akan ia ayunkan untuk jalani hidup yang selalu memberi luka. Ia tahu, kebahagiaan tak akan datang jika ia tak bergerak untuk menciptakannya. Bagaimana bisa ia ciptakan kebahagiaan jika untuk mengukir senyum pun ia harus selalu berpura-pura? Ia sadar, hidupnya penuh kepalsuan. Ia tertawa bersama anak-anak didiknya. Ia tersenyum di depan orang-orang. Ia memuji Arga di depan mertuanya. Ia selalu menampilkan dirinya yang baik-baik saja di mana pun ia berada. Namun, ia tak tahu bagaimana menuliskan kebahagiaan untuk kisahnya sendiri.

Keyara keluar kamar dan berderap menuruni tangga. Ia bersyukur melihat Arga masih terjaga di ruang tengah. Laki-laki itu tengah menonton televisi.

"Mas, aku ingin bicara."

Arga menatap Keyara sepintas. Ia tak membalas apa pun.

Keyara duduk di sofa yang lain. Jari-jarinya saling bertaut. Dadanya berdebar. Rasa gugup seketika menjalar.

"Mas, aku berpikir banyak hal. Selama ini Mas Arga tidak mau menceraikanku karena takut Ayah dan Bunda akan menyalahkan Mas dan perusahaan akan jatuh ke tangan Alvin." Keyara menghirup napas lalu mengembuskan pelan.

Arga menunggu Keyara hingga selesai bicara.

"Aku yang akan mengalah. Aku akan mundur. Aku akan bicara pada Ayah dan Bunda bahwa aku tak bisa lagi bertahan dan aku akan menggugat cerai. Mas boleh bicara apa saja pada Ayah dan Bunda untuk menjaga nama baik Mas Arga. Bahkan jika Mas Arga ingin mengesankan aku sebagai istri yang tak tahu diuntung dengan meminta cerai, aku tak masalah. Asal Mas Arga tidak disalahkan dan tetap memimpin perusahaan." Keyara menunduk dengan sorot mata yang kembali berkaca.

Arga terkejut mendengarnya. Ia tak pernah menyangka jika Keyara akan bicara seperti ini dan mengalah untuk mengunggat cerai.

"Sedari awal aku sadar, aku tidak pernah memiliki tempat di sini. Sampai kapan pun tidak akan ada tempat untukku di hati Mas Arga." Keyara mengusap matanya yang hendak meloloskan satu bulir bening.

"Sedari awal kita sudah jalan sendiri-sendiri meski terikat pernikahan. Aku dulu membayangkan bahwa menikah dengan orang yang dicintai adalah kebahagiaan untuk setiap perempuan. Nyatanya aku salah. Setahun ini aku seperti tak punya jati diri dan jahat pada diriku sendiri karena mengorbankan banyak hal. Sudah saatnya aku menentukan jalan hidupku dan melangkah sendiri, mengejar kebahagiaanku, mengejar impianku. Kita tak akan pernah bisa sejalan." Air mata kembali berlinang. Dada Keyara serasa sesak.

Arga termangu. Ia kehilangan kata-kata. Bukankah hal ini yang ia harapkan?

"Aku tak akan menjadi penghalang. Mas Arga sudah menemukan kembali cinta lama Mas Arga. Aku selalu mendoakan kebahagiaan Mas Arga." Keyara memberanikan diri menatap Arga lebih lama.

Arga menatap balik Keyara tanpa suara. Hanya isak tangis Keyara yang mencairkan sedikit keheningan yang bergema.

"Aku minta maaf untuk semua kesalahan. Kesalahanku di masa dulu juga selama menjadi istri Mas Arga. Menikah dengan Mas adalah keberuntungan yang tidak tepat untuk orang jahat sepertiku." Air mata terus membanjir sementara Keyara berusaha untuk tidak tersedu.

Arga speechless. Ia tak tahu harus membalas apa. Ini tak semudah dalam benak ketika ia membayangkan Keyara meminta cerai. Semua justru lebih rumit dan membuatnya kehilangan banyak kata.

Dering ponsel mengejutkan keduanya. Arga menjawab panggilan telepon dari ayahnya.

"Bunda masuk rumah sakit?"

Keyara menganga sekian detik. Hatinya seketika lebur mendengar kabar buruk itu.

******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro