Chapter 3
Pagi ini tak ada yang berubah. Keyara tetap menjalankan aktivitasnya seperti hari-hari sebelumnya. Ia memasak, menyiapkan pakaian kerja untuk Arga, dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa semalam. Ia sudah biasa menghadapi sikap dingin Arga. Ia sudah terbiasa dengan kata-kata pedas Arga yang selalu menyakitkan. Ia tengah membentuk tameng untuk melindungi hati. Ia tengah berusaha untuk tak cengeng dan berdiri tegar meski menangis di dalam.
Pagi ini ada satu hal yang membuat Arga menahan kesal. Keyara mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya. Ia teringat semalam wanita itu mengatakan akan mentransfer sisa uang belanja. Arga mendatangi Keyara yang sedang menyajikan menu sarapan.
"Aku sudah bilang bahwa aku bertanggung jawab menafkahi kamu dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Kenapa kamu transfer sisa uang belanja ke rekeningku? Kamu mau bikin drama? Kamu mau mengesankan kalau kamu ini istri tertindas yang bahkan tidak diberikan nafkah oleh suami?" Arga menatap Keyara penuh selidik. Rasanya ia tak pernah berbicara dengan nada yang normal. Selalu ada amarah tertahan dan sorot kebencian di matanya.
Keyara tampak tenang. Ia duduk dengan segelas jus apel di depannya. Wanita itu balik menatap Arga, kali ini lebih berani. Bibirnya masih bungkam. Apa yang dia lakukan semakin membuat Arga kesal.
"Tolong, jangan begini lagi! Belajar menjadi istri yang penurut. Kita hanya perlu bersandiwara bahwa pernikahan kita baik-baik saja. Dan jangan gegabah berbuat sesuatu tanpa persetujuanku!" Arga menekan meja dengan kedua telapak tangannya. Ia masih mematung di hadapan Keyara dan memasung wanita itu dengan tatapan mata yang terasa menghunus. Untuk kesekian lagi, hati Keyara retak hanya dengan menatap mata elang Arga yang selalu mengintimidasi.
"Kalau Mas Arga memintaku demikian, apa aku juga boleh meminta sesuatu?"
Netra Arga memicing. Ia pastikan tak salah mendengar. Keyara meminta sesuatu?
"Selama ini Mas selalu menuntutku untuk mengikuti kemauan Mas. Apa boleh sekali saja aku meminta sesuatu?" Keyara tetap menjaga lisan agar terdengar tenang. Ia tak ingin membalas nada bicara Arga yang tinggi dengan cara yang sama.
Arga tersenyum miring. Ia yakin Keyara akan meminta sesuatu yang menyusahkannya.
"Kamu minta apa?"
Keyara memandangi menu yang tertata rapi. Ia yakin, masakannya layak makan dan bahkan enak. Rasanya ia ingin sekali saja, Arga menyantap masakannya.
"Mulai hari ini dan seterusnya, aku ingin Mas Arga memakan masakanku." Keyara tersenyum, senyum yang terlalu manis untuk menyimpan duka, "ini bukan sesuatu yang sulit, 'kan?"
Arga terpaku lalu dua matanya berkelana mencermati menu di hadapannya satu per satu. Ia kembali memusatkan penglihatannya pada wajah Keyara yang tampak polos, seolah tanpa salah.
"Okay," balas Arga singkat.
"Kalau begitu silakan duduk, Mas. Kita makan bersama." Keyara mengambil satu piring dan mengambilkan Arga nasi.
Laki-laki itu menuruti permintaan Keyara meski ia masih saja bertanya-tanya, untuk apa Keyara memintanya makan masakannya. Ini hanya hal sepele dan tak akan memberi keuntungan apa-apa.
Arga menepati janjinya. Ia menyantap menu sarapannya. Ia tak berekspektasi lebih. Namun, ia akui jika Keyara tak hanya sekadar bisa memasak. Masakan itu enak dan pas di lidahnya. Sesuatu yang tak pernah ia duga.
Atmosfer begitu sunyi. Tak ada sepatah kata, hanya denting garpu dan sendok yang mencairkan kebekuan. Ada rasa bahagia yang menelusup kala Keyara mengamati Arga yang melahap masakannya.
"Apa Mas Arga mau membawa bekal? Kalau iya, nanti aku siapkan." Keyara menatap Arga lembut.
Laki-laki itu mengangkat wajahnya dan menatap Keyara tanpa suara. Ditatap sedemikian intens dengan kebencian yang masih terurai jelas dari balik pendar mata Arga, Keyara pun terdiam. Perlahan ia menunduk, tak membalas tatapan itu.
Arga mengamati Keyara lebih lekat. Wanita itu masih tertunduk dengan jari-jari tangan yang ia tautkan di atas meja. Arga tahu, Keyara jauh lebih kurus dibanding saat awal mereka menikah. Tulang pergelangan tangan Keyara yang menonjol dan tubuh wanita itu secara keseluruhan, semua menunjukkan bagaimana ia kehilangan berat badan selama menikah dengan Arga. Namun, laki-laki itu kembali menutup mata.
Tanpa menunggu jawaban Arga, Keyara beranjak dan mengambil kotak bekal. Ia menyiapkan bekal dan mengisi botol minuman dengan air putih yang diisi beberapa potong lemon dan strawberry.
Arga menyaksikan bagaimana Sang Istri menyiapkan semuanya dengan terampil. Ia tak habis pikir, bagaimana bisa seorang Keyara begitu betah berada di situasi sekarang. Ia berharap wanita itu meminta cerai darinya dan memberi kesan bahwa Keyara adalah istri pembangkang yang menggugat cerai. Dengan demikian, orang tuanya tak akan menyalahkannya, tapi mereka akan menyalahkan Keyara. Arga kerap memutar otak, bagaimana caranya agar Keyara menggugat cerai. Apa harus dibuat drama? Namun, ia tidak sejahat itu. Sebenci apa pun ia pada istrinya, ia tak akan menciptakan drama untuk mencoreng nama baik Keyara.
Arga kembali mengamati wajah Keyara yang sering kali pucat. Kedua matanya kerap sembab atau berkaca. Mata yang ia sebut selalu berair dan terlihat hendak menangis. Dari sini sebenarnya mudah untuk mengetahui betapa hidup wanita itu tertekan dan menderita. Namun, lagi-lagi Arga menutup mata dan hati. Ia selalu menilai Keyara sebagai wanita penuh tipu muslihat yang tengah berusaha untuk menarik simpatinya.
Keyara meletakkan kotak bekal dan botol minuman di hadapan Arga.
"Ini bekalnya, Mas. Kalau Mas Arga nggak suka, tidak usah dibawa."
Arga tercenung, tapi rasa muak itu kembali mendera. Ia berdiri lalu mencengkeram tangan Keyara kuat-kuat hingga membuat Keyara terperanjat.
"Kenapa kamu tetap menyiapkan bekal meski aku nggak bilang apa-apa? Tolong, Key, jangan begini. Jangan siksa diri kamu sendiri untuk mendapatkan simpatiku! Aku sudah bilang berkali-kali, aku tidak peduli dengan semua yang kamu lakukan. Kamu tidak perlu memasak, menyiapkan bekal, dan segala pekerjaaan lain."
Keyara tergugu. Ia bahkan tak berani melepaskan diri dari cengkeraman Arga. Keyara menatap Arga yang juga tengah menatapnya dengan rasa benci. Jarak itu begitu dekat, hadirkan debaran yang tak bisa Keyara cegah. Di sisi lain, Keyara merasa takut. Arga adalah cinta pertamanya. Kendati berulang kali laki-laki itu menjejakkan luka perih di hatinya, cinta Keyara tetap utuh.
Arga belum pernah menatap Keyara sedekat ini. Ia bisa melihat bagaimana embun yang mengabut di kedua mata itu tampak begitu jelas dan perlahan bulir bening itu lolos. Tampak benar bagaimana wanita itu masih berusaha membendungnya meski ia merasa dirinya tak lagi kuat bertahan.
"Maafkan aku, Mas. Aku hanya ingin menjalani pernikahan yang normal. Aku ingin seperti istri-istri lain yang menyiapkan masakan untuk suaminya. Aku ingin hidupku bisa bermanfaat. Aku ingin menjadi istri yang baik untuk Mas Arga." Air mata itu menitik semakin deras. Keyara tak bisa mengendalikan gejolak emosi yang saat ini berkecamuk di dada.
Keyara menatap Arga dengan lebih lekat. Ada ketegasan sekaligus kerapuhan di saat yang bersamaan. Perlahan cengkeraman Arga mengendur.
"Sejak Ayah dan Bunda membawaku ke rumah, sejak itu pula aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan membalas budi baik mereka. Aku nggak akan menyakiti mereka dan akan kulakukan apa saja untuk membahagiakan mereka." Keyara menetralkan gemuruh rasa sakit diiringi napas yang mencekat.
"Pernikahan kita adalah kebahagiaan mereka. Dengan berpura-pura bahwa hubungan kita baik, ini akan membuat mereka bahagia. Aku ikhlas untuk garis hidupku yang tidak dicintai oleh suami sendiri. Aku ikhlas dengan segala perlakuan Mas. Tak apa-apa asakan Ayah dan Bunda mengira kita baik-baik saja."
Arga membisu melihat tangis yang membanjir di wajah Keyara.
"Hanya saja kadang aku juga lelah harus selalu berpura-pura. Aku ingin hubungan kita benar-benar baik, bukan pura-pura. Menyiapkan segala keperluan Mas adalah caraku untuk membangun hubungan yang baik dengan Mas Arga. Aku terlalu berharap. Sedangkan aku tahu, Mas Arga begitu membenciku. Aku memang pendosa. Kesalahanku sulit untuk dimaafkan."
Arga melepaskan cengkeramannya. Hatinya tidak sekeras itu. Sejujurnya ia benci melihat Keyara menangis. Ia benci jika hatinya akan melembut karena air mata Keyara yang terus berlinang.
Keyara mengusap air mata dengan jari-jarinya. Agak lama ia seka jejak-jejak sembab di wajahnya. Selanjutnya ia menatap Arga dengan mata yang masih berembun. Satu senyum lembut terulas dan ini membuat Arga keheranan. Setelah menangis sederas ini, wanita itu masih bisa tersenyum.
"Aku siap-siap dulu, Mas. Hari ini aku berangkat lebih pagi karena ada rapat guru." Keyara berjalan melewati Arga dan bergegas menuju tangga.
Arga mematung. Ia kehilangan kata. Ia tak mengerti akan pribadi Keyara yang sulit untuk ia tebak. Hatinya tidak sekeras itu. Ada sedikit empati kala melihat Keyara bersimbah air mata.
Tak lama kemudian, Arga mendengar derap langkah Keyara yang menuruni tangga. Saat mencapai ujung bawah, tas Keyara terjatuh. Arga melihat barang-barang dari tas istrinya yang berserakan. Matanya membulat kala melihat layar ponsel Keyara tampak retak. Wanita itu bicara jujur ketika ia bilang tak pernah menggunakan uang pemberiannya untuk keperluan pribadi. Ia bahkan bertahan dengan ponsel lama yang layarnya sudah retak.
Keyara memasukkan kembali barang-barang yang berceceran. Ia beranjak dan menatap Arga dengan keadaan yang lebih baik.
"Aku berangkat dulu, Mas. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Arga masih membeku hingga akhirnya sosok itu sudah menghilang di balik pintu.
Satu pesan meramaikan ponselnya yang kembali sepi. Ada satu pesan dari nomor yang belum ia simpan.
Arga, ini Mutia. Maaf, aku lancang kirim pesan. Aku dapat nomormu dari Tante Arimbi. Aku ingin mengundangmu dan Keyara makan malam di butikku. Hari ini aku buka cabang butik baru dan malam ini aku akan mengadakan makan malam di halaman butik. Datang, ya.
******
Btw cerita ini menguras emosi dan emang bikin sedih. Kadang pas lagi nulis, aku ikut terbawa sedihnya Keyara, huhuhu...
Vote & comment jika kamu suka cerita ini 🤗
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro