Chapter 2
Arga bergegas mengenakan kemeja. Ia melirik satu pakaian lengkap yang sudah dilipat rapi di ujung ranjang. Bibirnya berdecak, tak tahu lagi bagaimana cara melarang Keyara untuk menyiapkan pakaian kerja untuknya. Wanita itu selalu menyiapkan segala keperluannya setiap pagi. Semua akan berakhir sama. Arga hanya memandangnya sepintas dan tak pernah mengenakannya. Ia memilih pakaiannya sendiri. Ia tak sudi mengenakan pakaian yang sudah disiapkan Keyara.
Arga melangkah menuju ruang makan. Ia melirik menu yang sudah disiapkan Keyara. Namun, seperti yang sudah-sudah, ia tak akan memakan masakan istrinya. Arga menyiapkan roti tawar sendiri dan ia melahap begitu saja meski ada Keyara yang sudah terlebih dahulu duduk di ruang makan dan menunggunya bergabung.
Keyara diam, ia tak akan meminta Arga untuk memakan masakannya. Ia tahu, laki-laki itu tak akan mau mendengarnya. Dulu Keyara selalu meminta Arga memakan masakannya dan membawa bekal ke kantor. Kini, Kayara terlalu lelah. Berbicara dengan Arga artinya menyakiti diri sendiri. Pria itu akan membalas ucapannya dengan kata-kata yang menusuk. Keyara berpikir, lebih baik ia diam.
Dering ponsel memecah sunyi. Arga menjawab panggilan telepon itu dengan tetap duduk pada tempatnya.
"Wa'alaikumussalam, Bunda."
"Makan malam?"
"Okay, Bun."
Arga menatap Keyara dengan tatapan elang yang selalu menghanyutkan. Namun, ekspresi wajahnya selalu datar.
"Nanti malam kita diundang makan malam sama Bunda. Ada sahabat Ayah dan Bunda yang juga diundang makan malam."
Keyara mengangguk. Tanpa Arga mengingatkannya untuk bersandiwara bahwa hubungan mereka baik-baik saja, Keyara tahu bagaimana harus bersikap. Di depan publik, ia tak menunjukkan kesedihannya dan selalu memberi kesan bahwa pernikahannya dan Arga tidak ada masalah. Ia juga tak pernah mengungkit buruknya perlakuan Arga di depan orang lain, termasuk mertuanya.
Ketika Arga beranjak dan melangkah menuju garasi, Keyara mengikutinya. Ia mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Arga sebelum pria itu masuk ke dalam mobil, tapi lagi-lagi pria itu mengabaikannya.
"Hati-hati di jalan, Mas." Keyara mengerlingkan satu senyum.
Arga tak menanggapi. Ia bahkan memalingkan muka, enggan melihat ke arah Keyara. Ia sudah terlalu muak harus berinteraksi dengan wanita itu sepanjang hari.
Keyara berbalik masuk ke dalam. Menganggap semua baik-baik saja adalah caranya untuk melindungi hatinya yang teramat rapuh.
Ia menyiapkan semua keperluannya lalu bersiap berangkat menuju Taman Kanak-kanak. Setiap hari ia mengemudi sendiri motornya. Motor, pemberian ibu mertuanya. Wanita itu terlalu baik. Ia tulus menyayangi Keyara layaknya anak kandung. Satu hal ini yang membuat Keyara bertahan. Ia tak mau ibu mertuanya terluka jika mengetahui keadaan yang sebenarnya.
Bagi Keyara mengajar anak-anak adalah hiburan tersendiri untuknya. Berbaur dengan rekan kerja dan melihat kelucuan tingkah polos anak-anak membuatnya sedikit lupa akan kondisi rumah tangganya yang menyedihkan. Ia bisa mengajar di TK karena Arimbi yang mengenalkannya pada Rahma, pemilik TK yang notabene adalah teman pengajian Arimbi. Rahma tertarik akan kreativitas Keyara. Di mata wanita paruh baya itu, Keyara memiliki keunggulan lain yang menjadikannya cocok menjadi guru TK. Keyara begitu sabar dan santun.
******
Malamnya, Arga dan Keyara memenuhi undangan makan malam di rumah orang tua Arga. Sesuatu datang sebagai kejutan yang membuat Arga dan Keyara seperti kehilangan napas untuk sekian detik. Sahabat orang tua Arga yang turut diundang adalah Mutia dan orang tuanya. Mereka belum lama kembali ke Indonesia. Arga tak tahu jika orang tuanya mengenal baik orang tua Mutia.
Hati Arga bergetar melihat sosok Mutia yang tampak jauh lebih baik dibandingkan dengan yang terakhir ia lihat. Dulu gadis itu begitu lemah, menjadi korban penindasan Keyara dan teman-teman gengnya. Kini ia menjelma menjadi sosok wanita pekerja keras, mandiri, dan percaya diri. Setelah lulus dari pendidikan S2, ia merintis usaha butik yang menjual pakaian, tas, sepatu, dan aksesoris branded.
Keyara turut bahagia bertemu lagi dengan sosok Mutia yang sudah jauh lebih baik. Gadis itu menghilang tanpa kabar dan setelah kembali, ia tampil dengan segala pencapaian dan prestasi yang gemilang. Kesalahan masa lalu masih membayang di benak Keyara. Tentu ia tak lupa bagaimana dulu ia begitu jahat pada Mutia. Ia kerap mengancam, mengintimidasi, dan mempermalukan Mutia di depan banyak orang. Pada kesempatan ini, ia ingin berbincang empat mata dengan gadis itu dan meminta maaf.
Mutia yang tak akan pernah lupa akan perlakuan buruk Keyara di masa lalu berusaha menutupi amarah dan kebencian yang masih menguasai hatinya. Rasa sakit kembali hadir kala melihat sosok Keyara. Yang lebih menyakitkan adalah sosok itu telah menikah dengan Arga, pria yang mengenalkannya pada arti jatuh cinta.
"Jadi dulu Mutia dan Arga ini satu universitas, ya? Lalu Mutia pindah ke New York dan meneruskan pendidikan di sana?" Atmaja menatap Arga dan Mutia bergantian.
Mutia mengangguk. "Iya, Om."
Lasmini, ibu Mutia tersenyum melirik Sang Putri. Ia bersyukur, Mutia berhasil melalui masa-masa buruknya dan kembali bangkit setelah pindah ke New York.
"Dulu waktu Mutia kuliah di sini, ada seseorang yang jahat sekali memperlakukannya. Gadis itu dan teman-teman satu gengnya sering mengancam Mutia, bahkan pernah menyebarkan gosip yang nggak benar tentang Mutia. Mutia tertekan dan sempat depresi karena gosip itu. Setiap kali kami menanyakan siapa yang sudah berani menindasnya, Mutia tidak mau memberi tahu. Akhirnya kami inisiatif mengajaknya pindah ke New York. Waktu itu ayahnya Mutia juga sedang ada pekerjaan di New York."
Arimbi dan Atmaja mendengar dengan serius. Keyara tertunduk. Ia menyesali segala perbuatan jahatnya di masa lalu. Arga semakin membenci Keyara setiap kali teringat jahatnya Keyara di masa lalu. Ia mengagumi perubahan Mutia yang berhasil mengalahkan masa-masa pahit itu. Wanita itu menjelma menjadi sosok tangguh dan mengagumkan.
"Dulu tidak ada hukuman untuk pelaku bullying. Itu yang membuat kami kecewa dengan pihak kampus. Butuh waktu untuk mengembalikan kondisi psikis Mutia yang sudah sangat rapuh akibat bullying. Kami bersyukur Mutia memiliki tekad yang kuat. Di New York, dia menjalani hidup baru, teman-teman baru yang baik dan menghargainya, dan dia berhasil mengukir prestasi di bidang akademis. Kami sangat bangga padanya." Lasmini tersenyum sekali lagi. Ia mengusap rambut Mutia dengan sorot mata yang memancarkan rasa bangga.
"Hebat sekali, Mutia. Bagaimana kabar sosok yang suka mem-bully kamu? Kalau dia melihat kamu yang sekarang, pasti dia sangat menyesal. Orang yang dulu direndahkan, kini berhasil dengan pencapaian yang luar biasa." Arimbi mengagumi semangat juang Mutia. Gadis itu bahkan merintis usahanya dari nol.
"Saya tidak tahu dia menyesal atau tidak, Tante. Saya harap dia berubah lebih baik dan menyadari kesalahannya. Jika mengingat hal yang dulu tentu ada rasa sakit yang masih membekas, tapi saya bukan pendendam. Jadi lebih baik saya mengubur masa lalu yang pahit dan fokus dengan kehidupan saya yang sekarang." Mutia melebarkan senyumnya. Nada bicaranya terdengar optimis.
Atmaja bertepuk tangan. "Hebat, kamu. Kamu memang orang yang sangat baik, Mutia. Kamu memaafkan orang yang menyakitimu dan kamu tunjukkan pada dunia kalau kamu bisa bangkit dan sukses."
Mutia tertawa kecil. "Om terlalu berlebihan memuji saya. Dulu saya memang begitu penakut, minderan, tidak berani melawan. Mungkin karena itu, orang-orang yang mem-bully saya semakin senang mem-bully. Dari semua itu saya belajar untuk tidak takut menghadapi orang yang zalim sama kita. Selama kita benar, kita tidak perlu merasa takut. Orang-orang jahat ini pasti akan dibalas perbuatannya oleh Tuhan." Ekor mata gadis itu melirik Keyara yang hanya diam membisu. Ia mendengar kabar Keyara dari salah seorang temannya. Gadis itu tidak lebih baik dirinya. Keyara gagal menyelesaikan pendidikannya dan kini mengajar di Taman Kanak-kanak.
"Kamu benar sekali, Mutia. Sepertinya kamu berbakat menjadi motivator." Arimbi tersenyum sekali lagi.
"Oya, Nak Arga sekarang bekerja di mana?" Lasmini mengalihkan topik pembicaraan. Ia juga melirik Keyara yang tampak tak serasi dengan Arga. Keyara terlihat kurus dan wajahnya pucat, seperti bukan istri seorang direktur. Ia tahu Arga adalah seorang CEO di perusahaan keluarga. Ia hanya berbasa-basi menanyakan pekerjaan Arga.
"Saya mengurus perusahaan keluarga, Tante," jawab Arga sopan. Sesekali matanya beradu pandang dengan Mutia. Kecantikan gadis itu tak jua luntur. Mutia pun mengakui jika Arga masih memesona seperti dulu. Satu hal yang ia sesalkan adalah melepaskan Arga.
"Hebat, ya. Istri kamu bekerja di mana?" tanya Lasmini lagi.
Keyara mengangkat wajahnya, tak menduga ibu dari Mutia ini akan menanyakan pekerjaannya.
"Saya mengajar TK, Tante," jawab Keyara singkat.
"Dulu kuliah ambil pendidikan guru TK, ya?" Mutia memicingkan matanya, berlagak tak mengenal Keyara.
Keyara menggeleng.
"Keyara mengajar di TK karena ditawari oleh pemilik TK. Saya dan pemilik TK tempat Keyara mengajar itu sudah berteman lama." Arimbi mencoba menjelaskan.
"Oh, begitu ceritanya. Lalu Keyara kuliah ambil jurusan apa dulu? Lulus tahun berapa, ya? Jangan-jangan kita seangkatan." Mutia penasaran juga apakah Keyara melanjutkan pendidikannya atau tidak.
Keyara hendak menjawab tapi lidahnya kelu. Mungkin begini perasaan Mutia saat dulu ia merendahkan Mutia di depan banyak orang.
"Keyara mengambil jurusan yang sama dengan saya, hanya saja kuliahnya berhenti dan tidak lulus." Arga mewakili Sang Istri.
Orang tua Mutia tak menyangka jika menantu dari keluarga Dirgantara adalah sosok yang bahkan tak lulus dari universitas.
"Oya, silakan dimakan makanannya, nanti keburu dingin. Maaf, ya cuma masakan seadanya." Arimbi memotong pembicaraan. Ia melihat wajah Keyara yang mendung. Ia tak mau pembicaraan ini melukai perasaan menantunya.
******
Seusai makan malam, Mutia, Arga, dan Keyara berbincang di gazebo di dekat kolam renang.
"Waktu itu kamu menghilang tanpa kabar. Aku berusaha mencari jejakmu, tapi tak ada yang tahu. Aku benar-benar jatuh waktu itu." Arga menatap dalam Mutia, tak peduli dengan keberadaan Keyara.
"Waktu itu kondisiku begitu buruk. Dulu aku gadis yang sangat penakut. Berkali-kali aku bertanya, kenapa ada orang sedemikian jahat padaku. Aku bersyukur dapat melalui semuanya." Mutia pun tak peduli akan keberadaan Keyara di tengah-tengah mereka. Di matanya, Keyara bukanlah gadis arogan dan berkuasa seperti dulu. Dia menjelma menjadi wanita rapuh yang bahkan tidak lulus dari universitas.
"Mutia, aku mencari-cari keberadaanmu, tapi nggak ada yang tahu keberadaanmu. Aku senang bertemu denganmu lagi." Keyara memberanikan diri bicara. Seketika Arga dan Mutia beralih menatap Keyara yang bicara dengan tenangnya.
"Aku minta maaf untuk semua yang pernah aku lakukan dulu. Aku tahu, kesalahanku begitu besar. Aku minta maaf." Keyara menatap Mutia sekilas, ia kembali menunduk.
"Aku sudah melangkah di titik ini, jadi aku nggak akan menilik ke masa lalu. Aku dengar orang tuamu meninggal dan kamu tidak lulus kuliah. Aku turut berduka. Kamu sudah cukup menderita, jadi semua sudah terbayarkan. Tentu saja aku akan memaafkan, meski kamu nggak tahu beratnya perjuanganku untuk menjadi seperti sekarang." Senyum tipis terulas, bukan senyum tulus seperti yang Keyara harapkan.
Keyara masih bisa membaca ada gurat-gurat kebencian yang masih bertahta di mata Mutia setiap kali menatapnya.
"Tapi garis hidupmu memang beruntung, Keyara. Kamu menikah dengan laki-laki sebaik Arga. Kamu menjadi bagian dari keluarga Dirgantara yang sangat baik dan menerimamu apa adanya." Mutia melanjutkan perkataannya dengan ekspresi yang masih saja datar.
"Aku dan Keyara dijodohkan. Aku tidak bisa menolak karena hal ini sangat rumit." Arga segera menyela.
Mutia tersenyum sinis. "Keyara pasti sangat bahagia. Sudah lama kamu mencintai Arga, 'kan?" Mutia menoleh ke arah Keyara yang masih tertegun.
"Kami tidak saling mencintai, Mutia. Sudah kubilang ini hal yang sangat rumit." Arga kembali menjelaskan.
Mutia tersenyum penuh arti. Ia tahu, Arga tak akan begitu saja melupakannya. Ia melirik Keyara yang tertunduk. Ada rasa puas melihat musuh terbesarnya menderita dan tidak dicintai oleh suaminya sendiri.
******
Saat perjalanan pulang, baik Arga maupun Keyara tak bersuara. Arga masih terbelenggu euforia menemukan kembali cinta lama yang hilang. Namun, kondisi sudah berbeda. Ia menyesalkan pernikahannya dengan Keyara. Bahkan untuk berpisah dari Keyara pun dia harus mempertimbangkan banyak hal. Orang tuanya sangat menyayangi Keyara dan mereka mewanti-wanti agar Arga menjaga Keyara dan mempertahankan pernikahannya dengan Keyara, apa pun yang terjadi. Atmaja bahkan mengancam akan memberikan perusahaannya pada Alvin jika Arga menyia-nyiakan Keyara. Arga membenci Alvin, adik satu ayah yang terlahir dari rahim yang berbeda. Tentu ia tak rela jika perusahaan jatuh ke tangan Alvin.
Keyara pun memikirkan serangkaian hal. Puing-puing kejadian di masa lalu seolah kembali berkeliaran, bagai menyaksikan film dokumenter. Ia memaklumi jika Mutia sulit memaafkannya. Dulu ia begitu jahat pada gadis itu. Namun, ia juga sedih ketika menyadari ada cinta yang masih terjaga di kedua pasang mata itu. Keyara bisa merasakan, ada cinta di mata Arga untuk Mutia, begitu juga sebaliknya.
Setiba di rumah, keduanya masuk kamar masing-masing tanpa suara. Mereka hanya tidur sekamar ketika menginap di rumah orang tua Arga. Di rumah sendiri, mereka tidur di kamar terpisah. Arga tak sudi menyentuh Keyara. Bagaimana bisa ia menyentuh istrinya, sedangkan dirinya begitu membenci wanita itu.
Arga menyalakan televisi di ruang tengah. Ia belum ingin tidur. Pikirannya masih melayang pada pertemuannya dengan Mutia.
Keyara yang tak tahu Arga ada di ruang tengah, menuruni tangga dengan gaun tidurnya yang terbuka di bagian atas dan rok yang panjangnya di atas lutut. Ia kaget kala netranya bertabrakan dengan Arga. Arga tak kalah terkejut. Rasanya baru kali ini ia melihat Keyara dalam balutan gaun tidur yang agak terbuka.
Kepalang tanggung, Keyara tetap melangkah menuju dapur untuk mengambil air. Ia malu bukan main, tapi ia berusaha bersikap sebiasa mungkin. Arga adalah suaminya, tak mengapa dia tampil sedikit terbuka di depan suaminya.
Sebagai laki-laki dewasa tentu pemandangan barusan membuat Arga sedikit gerah. Meski tubuh Keyara bukanlah tipikal ideal menurutnya, tapi ia mengakui jika gaun tidur itu membuat Keyara terlihat lebih seksi dari biasanya. Ia menduga jika Keyara sengaja berpakaian seperti itu untuk menarik perhatiannya.
Tatkala Keyara hendak melangkah menaiki tangga, ucapan pedas Arga membuat langkahnya terhenti.
"Tolong, ke depan jangan lagi berpakaian seperti itu di depanku!"
Keyara berbalik menatap Arga. Ia pun tak ingin berpenampilan seperti itu di depan Arga. Ia mengira Arga ada di kamarnya.
"Maaf, aku nggak tahu Mas ada di sini. Aku pikir Mas sudah tidur."
Arga tersenyum kecut. "Kamu sengaja memancingku? Jangan berlagak polos. Orang sepertimu itu penuh tipu muslihat. Melihat kamu di masa lalu sudah pasti kamu banyak pengalaman dan entah ada berapa laki-laki yang sudah kamu permainkan."
Keyara sakit hati dituduh sedemikian rendah. Matanya menatap Arga tajam. Baru kali ini, Keyara berani untuk menatap Arga lebih lama meski tetap ada bongkahan luka yang seakan mengembun di sudut mata.
"Apa yang Mas tuduhkan sama sekali tak berdasar. Dulu aku memang jahat, menyebalkan, tapi aku bisa menjaga diri. Aku bahkan belum pernah dekat dengan cowok mana pun. Hanya karena aku memakai gaun seperti ini, bukan berarti Mas menuduhku seenaknya. Lagipula aku sudah sah menjadi istri Mas. Bukan suatu kesalahan jika aku mengenakan pakaian terbuka."
Arga tak menyangka, Keyara berani membantah. Ia belum pernah mendengar Keyara bicara setegas ini. Laki-laki itu beranjak lalu melangkah mendekat ke arah Keyara.
Jari-jari Keyara gemetar. Ia sembunyikan kedua tangannya di belakang punggungnya. Ia tak mau memberi kesan jika ia takut menghadapi Arga.
"Kalau kamu memang masih suci, semua itu harus dibuktikan." Mata Arga menelisik sosok di hadapannya dari ujung rambut hingga ujung kaki.
"Sayangnya aku sama sekali nggak berminat, Key. Melihat kamu saja sudah membuatku muak."
Keyara terdiam. Matanya tak beralih dari sosok Arga. Keduanya saling menatap untuk sejenak. Keyara bisa merasakan kebencian itu masih membara di mata Arga, bahkan ia berpikir jika Arga tak hanya muak, tapi juga jijik melihatnya.
"Kamu kehilangan segalanya, itu adalah balasan untuk perbuatan jahat kamu selama ini. Orang yang kamu tindas, nyatanya sekarang dia lebih segalanya dari kamu. Seharusnya kamu malu. Kalau orang tuaku tidak berbaik hati menampungmu, mungkin kamu sudah tinggal di jalanan. Kamu bahkan nggak bisa menghidupi diri kamu sendiri."
Kata-kata Arga begitu menusuk. Ia tahu saat ini Arga tengah membandingkan dirinya dengan Mutia.
"Aku bekerja dan aku punya gaji. Aku bisa menghidupi diri sendiri. Uang yang Mas transfer selama ini tidak pernah aku gunakan untuk keperluan pribadiku, aku gunakan untuk membeli kebutuhan rumah tangga kita. Kalau hal ini menjadi masalah, aku akan transfer sisanya ke rekening Mas. Mulai saat ini Mas bisa membeli keperluan rumah tangga sendiri. Aku pun akan menggunakan uangku sendiri." Keyara menenangkan hati dan kali ini ia bendung sekuat tenaga agar tidak ada bulir bening yang lolos. Ia tak mau terlihat cengeng di mata Arga.
Bibir laki-laki itu terkatup. Selama ini ia menafkahi Keyara karena bundanya selalu cerewet untuk transfer sejumlah uang ke rekening Keyara setiap bulan. Meski ia tak pernah menganggap pernikahan itu nyata, dia tahu ia wajib untuk memberi nafkah.
"Kalau Mas tidak mau aku menumpang di sini, aku akan cari tempat tinggal sendiri. Aku tidak mau jadi beban. Sudah cukup aku merepotkan keluarga Mas." Keyara masih terpaku dengan tatapan yang tak lepas tertuju pada Arga.
"Mas benar, jika Ayah dan Bunda tidak berbuat baik menampungku, aku mungkin sudah tinggal di jalanan. Mungkin lebih parah dari itu. Mungkin sudah lama aku mati." Keyara tertunduk sejenak mengingat beratnya hidupnya pasca orang tuanya meninggal. Ia hanya mampu menyewa satu kamar kost sempit dari tabungannya yang tak seberapa. Ia hampir pingsan kelaparan jika saja pemilik kost tidak menolongnya. Dan saat itu Arimbi dan Atmaja menemukannya setelah mencari keberadaan dirinya. Orang tua Arga menampungnya, menikahkannya dengan putra mereka, dan mengasihinya layaknya anak sendiri. Satu dari sekian banyak alasan yang membuat Keyara bertahan.
"Aku tidak pernah menyuruhmu untuk tinggal di tempat lain. Kamu ingin orang tuaku marah? Kamu ingin mereka menyalahkanku karena kamu tinggal di tempat lain? Aku akan penuhi semua kebutuhanmu dan rumah tangga. Jangan mempersulit posisiku." Arga mengeraskan volume suaranya. Suara yang terdengar seperti bentakan.
"Mas yang mempersulit posisi Mas sendiri." Keyara mendongakkan wajahnya. Matanya berkaca. Untuk kesekian kali hatinya hancur.
"Mas nggak usah khawatir. Aku sudah terbiasa berpura-pura bahagia, semua baik-baik saja. Ayah dan Bunda nggak akan pernah tahu kondisi rumah tangga kita yang sebenarnya." Keyara mencoba tersenyum meski kesedihan berulang kali menggerogoti pertahanannya.
Arga membisu melihat bagaimana senyum itu terbentuk di saat bulir bening jatuh dari sudut mata Keyara.
Keyara membalikkan badan dan mempercepat langkahnya menaiki tangga. Di dalam kamar, ia kembali tidur meringkuk, sendiri menelan semua luka. Tangisnya berderai dari matanya yang terpejam. Bibirnya berbisik lirih, memanggil orang tuanya. Dia sangat merindukan orang tuanya, teramat rindu. Doa selalu menjadi kekuatannya untuk bertahan.
*******
Aku ga tau seberapa kalian minat dengan cerita ini, tapi aku berusaha untuk terus update.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro