Tujuh [Fatimah si Pengganggu]
Happy Reading
jangan lupa komen juga votenya ya ... :)
Aku membuka kunci pintu apartemen. Di belakangku, Marthin menunggui untuk memastikan aku benar-benar masuk dan tidak terjadi apa-apa.
"Kamu yakin tidak perlu teman? Mungkin kamu butuh Rani atau mungkin seseorang yang bisa kamu percaya?"
"Aku baik-baik saja, Marthin." Engsel pintu kuputar dan membukanya sedikit. Aku memandangi Marthin yang masih terpaku di atas kakinya dengan tatapan cemas yang sulit kuartikan. "Kenapa masih di sini?"
Ia menghela napas, melebarkan kedua lengannya di samping tubuh. "Boleh aku memelukmu? Sebagai sahabat?"
Bibirku mengulas senyum kemudian menutup gerbang tangannya saat tubuhku menempel dengannya. Marthin menepuk punggungku pelan, tarikan napasnya seolah ia lega meski aku merasakan kelegaan itu lebih mendalam. Belaian lembut tangannya yang sedari tadi diberlakukan seakan membuatku harus menjulukinya sebagai 'pria penabah'.
"Terima kasih karena sudah menolongku. Kamu sangat banyak membantu."
"Kamu bisa memanggilku kapan saja jika butuh bantuan, Va. Aku sudah menganggapmu sebagai sahabat setelah kamu melibatkan diriku dengan kehidupanmu."
Sudah terlanjur. Kata-kata itu tak dapat lagi kutarik apalagi mengolahnya menjadi sebuah perdebatan dalam diriku sendiri. Marthin memang sudah terlibat banyak. Ia menjadi satu-satunya orang yang tahu tentang DID yang kuidap sejak ia mengenalku sebagai Ivanka. Benar apa yang dikatakannya, mungkin aku akan membutuhkan lebih banyak bantuan lagi darinya agar rumor ini tidak berkembang biak menjadi santronan pihak-pihak yang ingin memanfaatkanku. Mungkin aku harus membuat benteng baru suatu saat nanti.
"Kamu butuh istirahat. Jaga dirimu baik-baik, oke?" Marthin membuat tepukan terakhir di punggungku. Simbol kesepakatan tak terucap antara kami.
"Iva!"
Mendadak, aku mendengar suara seseorang dari satu arah. Ketika Marthin melepaskan pelukan kami dengan gerakan terkejut, aku menemukan Zack berdiri terpana di samping kami. Dahinya berkerut-kerut dan wajah itu terlihat masam.
"Zack?" Sapaanku tak digubris olehnya. Ia menatap Marthin dengan hunusan amarah yang tertahan seolah-olah ingin diluapkan, tetapi batasan itu terhalang oleh sosokku yang membuatnya sedikit terkendali. "Hei, Zack!" Sentakanku akhirnya berhasil mengalihkan tatapannya pada diriku.
"Jadi ini alasan kamu tidak membalas pesan-pesanku sejak dua jam yang lalu?"
Pesan? Astaga, aku lupa membalas pesan whatsapp pria ini saat membacanya sekilas di depan ?front desk administrasi rumah sakit. "Maaf, Zack, aku sibuk mengurus ibuku di rumah sakit tadi. Sungguh, aku tidak punya niatan untuk tidak membalas pesanmu."
Zack menggeleng, bibirnya terkatup rapat dan tak mengalihkan tatapannya dari Marthin yang tertunduk. "Kenapa dia bisa ada di sini?"
"Mmm ... Aku—"
"Marthin yang membantuku membawa ibu ke rumah sakit, Zack. Jadi tolong jangan bersikap seolah-olah dia membuat kesalahan."
"Kalian berpelukan di depanku seperti perangko dan kamu bilang dia tidak membuat kesalahan?" Zack maju selangkah mendekat pada Marthin. Dagunya sedikit naik sewaktu bicara. "Kamu tahu Ivanka siapa, 'kan? Tahu aturan nggak kamu? Jangan pernah menyentuh cewek orang yang bukan milik kamu:"
"Aku tidak pernah punya niat untuk merebut Ivanka dari kamu. Ini cuma salah paham, Zack."
"Heh, jangan banyak alasan! Kamu itu cuma drummer cadangan, jadi jangan sok jadi orang penting di kehidupan Iva."
"Tolong jaga kata-katamu!" balas Marthin geram.
"Hei ... hei ... hei, please!" Kurentangkan kedua tanganku saat menyisip di tengah-tengah mereka, mendorong dada Zack dan Marthin bersamaan sebelum keributan benar-benar terjadi. "Please, aku tidak mau ada keributan di sini, oke? Zack, jangan tunjukan tempramen kamu di depanku, ini bukan saat yang tepat untuk mengambil simpatiku, dan Marthin—" Aku menoleh pada pria di sebelah kiriku. "—lebih baik kamu pulang sekarang."
Zack bersikeras ingin menunjukkan keangkuhannya pada Marthin meski sudah kuhalang-halangi sampai akhirnya ia diam dan menurut karena kubentak. Aku tak peduli kedua pria ini menganggapku gadis galak atau semacamnya karena mereka memang pantas kuperlakukan keras walau Marthin tidak sepenuhnya bersalah. Akhirnya, Marthin pun mengalah dan memundurkan langkahnya perlahan setelah berpamitan denganku.
Kutinggalkan Zack di luar saat pintu kubuka kasar. Ia lantas meraih tanganku sebagai bagian dari tubuhku yang tersisa di luar.
"Tunggu, Va. Aku ingin bicara sama kamu."
"Aku capek, Zack. Aku butuh istirahat. Tolong tinggalkan aku."
"Apa hanya Marthin yang boleh tahu tentang kesulitan kamu sedangkan aku tidak? Ayolah, Va ... aku ini pacar kamu. Seharusnya aku yang selalu ada buat kamu."
Aku memutar bola mata dan berakhir pada lengan yang masih berada dalam kuasa pria ini. Sudah terlalu banyak masalah yang kualami, aku hanya tidak ingin Zack menambah daftar persoalan baru. Ditimpa dengan migren di kepala yang mendadak muncul, untuk mempertahankan diriku masih berada dalam batas kesadaran saja sudah sesuatu yang patut kusyukuri.
"Biarkan aku masuk, aku ingin menemanimu," imbuhnya lagi.
Salivaku tertelan masam. Aku tidak bisa fokus pada apa yang kulihat. Ingatan tentang apa yang terjadi pada ibu membuat kepalaku berdenyut tak keruan. Kelopak mata kupaksa terbuka meski aku tahu kekuyuan tampak di sana.
"Zack, kumohon—"
Kalimatku berhenti. Mendadak, aku diserang rasa sakit di kepala. Tertekan, terhimpit, bagaikan itu semua. Aku menunduk memegangi kepala, Zack bertanya ?kenapa, ?tetapi tak ada yang bisa kujawab selain rintihan kecil. Pada saat yang tak kuketahui, aku merasakan diriku tersedot ke dalam lubang saat pandanganku berubah menjadi adegan film yang diputar.
Pada akhirnya, tangan Zack tertarik ke dalam rumah kemudian pintu pun tertutup.
====~~====
Entah bagaimana caranya, aku merasa menjadi orang yang paling berdosa di atas bumi ini.
Kalimat istighfar, tahlil dan tasbih ratusan kali kutasbihkan. Bersimpuh di atas sajadah. Demi Allah aku merasa sebagai makhluk hina ketika mendapati tubuhku tak berbalut sehelai benang pun di atas tempat tidur. Aku mendorong tubuh pria itu saat alat kelaminnya yang terlihat mengerikan hampir saja menyatu denganku.
Aku merasakan aroma tubuh Zack membaluri tubuhku saat tangisanku mendadak membuatnya terheran dan tak berbelas kasih. Ia malah menganggapku bersandiwara dan melayangkan jurus baru. Demi Allah aku jijik melihat diriku sendiri meski selimut sudah membalut tubuhku tebal-tebal. Aku tak berani membuka mata sebelum Zack selesai mengenakan pakaiannya dengan wajah kesal dan tampak kecewa. Seharusnya ia tidak melakukan ini padaku.
Kesucianku terenggut, aku menangis senggugukan di kamar mandi setelah Zack pergi hingga di sinilah aku sekarang, di atas sajadah dan memohon ampunan kepada Allah. Berharap agar Sang Maha Penghapus Dosa menyucikanku kembali dengan ampunannya.
Melani benar-benar biadab. Seharusnya ia tidak menggunakan tubuh Vanny untuk melampiaskan hawa nafsunya yang bejat itu. Butuh usaha berulang-ulang dan kekerasan daya juang untuk membuatnya menurut padaku. Aku tidak peduli ia mengamuk dan mengataiku 'perempuan sok suci' sambil meludah di depanku.
"Dasar perempuan sok suci! Seharusnya kamu tidak muncul di saat aku sedang bersenang-senang. Aku dan Zack saling mencintai, kedatanganmu hanya berperan sebagai pengganggu!"
Tasbihku terhenti saat suara Melani menerjang. Ia sudah mengatakan itu berulang-ulang sejak tubuh Vanny berhasil kuambil alih. Meski tanpa persetujuannya pun aku mungkin tidak akan sampai pada titik pertaubatan seperti ini. Persetujuan itu kecil dan sebenarnya Melani hampir tidak sadar mengizinkaku mengambil alih saat ia benar-benar lupa pada diri sendiri karena terlena dengan pria beraroma maskulin itu.
"Cukup, sebaiknya kamu bertaubat. Jangan biarkan dirimu melakukan perbuatan yang disuka oleh setan."
"Jangan menceramahiku, Fatimah! Apa semua anak pondok pesantren harus mendakwahi semua orang?"
"Yah, itu tugas saya. Sudah menjadi kewajiban saya untuk menyampaikan dakwah meskipun hanya satu ayat. Wa mal lam yatub fa ul'ika humu-limn, dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."
"Sialan! Kamu hanya identitas baru, aku jauh lebih mengenal Vanny daripada kamu."
"Tidak, saya sudah ada sejak Vanny berusia Tujuh belas tahun."
"Apa pun itu, aku tidak peduli!"
"Saya harus melindungi Vanny. Bukankah kamu juga begitu? Kita ada karena Vanny membutuhkan kita, tapi mengapa kamu malah menyakiti Vanny?"
"Lucu sekali. Apa kamu tahu? Aku adalah orang pertama yang menyelamatkan Vanny, jika bukan karena aku, Vanny pasti sudah mati."
"Kendalikan saja dirimu."
"Menyingkirlah, ada banyak hal yang ingin kuurus."
"Apa? Menyakiti Bu Hafni lagi? Atau—Astaghfirulloh, Melani ... sudahlah, biarkan saya mengistirahatkan Vanny."
"Ini terakhir kali kau menceramahiku. Dengar? Jika aku mendengar dakwah-dakwah sialan ini lagi, aku tidak akan mengizinkanmu keluar. Aku yang berkuasa atas Vanny."
Itu adalah kalimat terakhir Melani yang kudengar setelah lafal tasbihku selesai. Kutangkupkan kedua tanganku di wajah lalu mengusapnya. Mukenah berbahan katun kelabu kubuka lalu merapikan hijabku.
Aku menutup tirai jendela kamar di mana gemerlap lampu-lampu kota terlihat berpendar-pendar di baliknya. Di samping almari, cermin seukuran tubuhku memantulkan bayangan nyata seorang gadis berhijab biru langit dengan gamis biru tua yang sedikit kepanjangan di bagian pergelangan tangan. Wajah itu tersenyum ayu, aku merasakan sosokku begitu nyata dalam gambaran anggun.
Melani benar, sesungguhnya aku sedikit khawatir saat ia tahu akulah salah satu orang yang memintanya pergi waktu itu. Seharusnya aku bisa bereksplorasi lebih terhadap Vanny di masa kekosongan, gadis itu pasti tidak akan terlibat dengan dunia hiburan sejauh ini dan aku yakin ia akan baik-baik saja. Terjadi sesuatu yang membuatku tidak siap untuk menunjukkan diri. Aku tidak tahu hal apa yang membuat pengunduran diri itu teralihkan.
Aku terbangun tiba-tiba saat Vanny mulai merindukkan sosok seorang Peneduh. Ia kembali kehilangan kepercayaan dirinya saat Hafni—wanita yang kutahu adalah satu-satunya orang yang sangat mencintainya—tak dapat lagi berbuat banyak. Melani terlalu berkuasa terhadap Vanny dan aku tidak bisa membiarkan ia bertindak semaunya. Aku lelah diberi tahu untuk tidak merasa khawatir. Melani membuat batasan kuat yang sulit kutembus dan ia selalu mengaku bahwa ia bisa mengatasi semuanya.
Setahuku, Melani justru membuat segalanya menjadi lebih runyam. Dan kupikir, inilah saatnya untuk menciptakan keseimbangan.
Sudut-sudut kamar meremang saat lampu LED kumatikan. Cahaya florescent membinarkan anggapan bahwa malam sudah terlalu larut. Aku pun memanjatkan doa agar jika aku bermimpi nantinya, Allah menjauhkanku dari hal buruk dan terbangun paginya bersama dengan rasa lelah yang menghilang.
====~~====
David menungguku di lapangan parkir rumah sakit saat sepuluh menit yang lalu kukatakan padanya untuk menunggu. Kami sudah membuat janji untuk bertemu dengan para sponsor yang akan mendanai Ivanka road show concert satu bulan ke depan.
Aku ingin menjenguk ibu, sebenarnya hanya untuk memastikan bahwa Riska benar-benar sudah datang seperti yang ia kabarkan padaku satu jam yang lalu. Aku tidak perlu menduga, Riska ternyata benar-benar sudah ada di samping ibu saat aku mengintipnya melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Dadaku digempur rasa syukur bersamaan dengan perasaan lega. Ibu sudah sangat aman sekarang, aku yakin ia pasti akan jauh lebih baik.
Riska duduk di tepi ranjang sambil memijit-mijit kaki ibunya. Mereka saling bertukar cerita. Mungkin sedang membicarakanku, atau hal lain yang menguatkan retorika bahwa tak seharusnya ibu tidak berada di situasi yang membahayakan dirinya sendiri.
Riska jauh lebih tinggi dibanding terakhir kali aku meninggalkannya di kampung halaman. Rambutnya ikal dan tampak lebih terawat. Dari sini, aku bisa melihat bibit-bibit jerawat mulai bermunculan di wajahnya. Masa remajanya mungkin sudah mulai berubah. Kelak Riska akan menjadi gadis dewasa. Ia akan jatuh cinta pada seorang pria, menikah dan berumah tangga, kemudian ibu dan ayah akan mengisi kekosongan rumah yang tak bertepi.
Seandainya aku ada di posisi Riska, aku pasti akan mendapat perlakuan yang sama dari ibu. Wanita itu akan mengelus lenganku—itu sudah seperti kebiasaannya untuk menunjukkan rasa sayangnya pada orang lain—mengutarakan nasihat-nasihat manis yang terkadang membuatku tersipu malu. Ia tak akan bosan memintaku untuk mengenakan hijab. Tidak memaksa, ibu tidak pernah memaksa. Tiba-tiba aku teringat dengan apa yang terjadi tadi pagi.
Aku terbangun karena mendengar suara adzan Subuh dan menemukan tubuhku berbalut pakaian gamis dan juga hijab berwarna biru langit. Keterkejutan itu tampak jelas dan menimbulkan banyak pertanyaan. Lagi-lagi, aku mengalami amnesia satu malaman. Mustahil Melani mendandani dirinya sendiri dengan kostum muslimah seperti yang kutemui. Hal terakhir yang kuingat adalah penolakan kerasku terhadap bujukan Zack. Aku pasti mengalami dispersonalisasi. Mungkin ini semacam, kemunculan identitas baru, dan—ya Tuhan, aku lelah jika harus mencari tahu.
"Kenapa tidak masuk saja?"
Suara seorang pria tiba-tiba menyembul di belakangku. Aku terkesiap dan membalikkan tubuh sesaat setelah menutup pintu perlahan. Pria ini berambut ikal, sepuluh senti lebih tinggi dariku, ia memiliki lesung di kedua pipinya. Mengenakan kemeja hitam polos berlengan panjang dan celana bahan berwarna senada. Aku memandanginya dari ujung kaki hingga ke atas, memindai sosoknya seperti yang sudah kusebutkan cirinya.
"Rama?" Aku mempertanyakan nama itu dalam hati.
Yang benar saja, dia menyeringai padaku. Dalam sekejap, jantungku kembali berdegup kencang. Ia mengerutkan kening, mungkin merasa aneh dengan kegugupanku yang tidak beralasan. Saat ia bersuara, darahku pun menderas di sepanjang pembuluh darah.
"Lama tidak bertemu, Vanny."
Aku merapatkan punggungku pada dinding. Merepat dan terus merapat seolah berusaha agar membuat diriku menembus dinding. Rama menelisik wajah ketertundukanku yang lebih tampak seperti orang ketakutan. Cemas dan tak tahu harus membalas sapaanya dengan kata apa.
"Vanny? Kamu baik-baik saja?"
Bibirku gemetar dan ia bertanya apakah aku baik-baik saja? Rama menggugahku, ia meminta perhatian sedikit saja dari pandanganku. Walau bagaimanapun, aku tidak bisa melihat sedikit saja wajah itu. Akhirnya, tanpa alasan, aku mengambil langkah cepat menjauh darinya. Kabur. Teriakan panggilan pria itu menggema dengan suara yang disesuaikan.
Leherku berkeringat. Aku resah, aku menghilang.
Copyright by I. Majid
Medan, 13 September 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro