Tiga [Performa Penentu]
Intro dulu, kenalan sama cast kita di cerita ini. Hehe udah kaya film aja ya kesannya. Aminnn... Ceileeee
Cassandra Lee
As
Vanny a.k.a Ivanka (dan kepribadian yang lain)
SELAMAT MEMBACA
Ada dua kamar tidur di apartemenku. Seharusnya ibu tidur di kamar satunya, tetapi ia memohon untuk tidur denganku. Dengan sangat. Begitupun aku tidak bisa menolak. Lagi pula aku merasa bersalah karena telah membentaknya. Alih-alih kupikir ibu akan marah dan menceramahiku dengan kalimat-kalimat motivasi yang kebanyakan pasti membuatku muak, aku malah mendapat perlakuan manja darinya.
Mana bisa aku tidur sebegitu mudahnya padahal waktu pulang tadi, rasa kantuk seharusnya membantu. Kini lenyap begitu saja tak berpengaruh. Aku menaruh ponsel yang sudah kunonaktifkan di atas nakas lalu berpura-pura tidur ketika ibu sudah terlelap. Malam sebentar lagi berganti hari, sementara aku tidak juga bisa melupakan dunia dengan tertidur. Ditambah aku tidak bisa bergerak gelisah karena ibu yang sedang terlelap di sampingku pasti terganggu.
Laci di dalam nakas kutarik. Mencari senjata mujarab yang kuingat masih ada satu strip utuh lagi. Aku menelan satu pil dengan bantuan air putih yang selalu tersedia di dalam botol. Tak sampai setengah jam, aku sudah tertidur dan hal seperti ini begitu menenangkan.
Paginya, alarm ponselku berbunyi nyaring. Terus-menerus. Berganti dengan nada dering panggilan yang belum juga bisa kuanggap sebagai penyengat pagi. Ibu membisukan ponselku. Membangunkanku dengan sangat sopan. Ibu bilang, Zack sudah datang untuk menjemputku. Aku tersentak mendengarnya. Zack datang pagi-pagi sekali, aku tidak ingat kapan ia menawariku untuk dijemput. Satu lagi, kenapa ponselku menyala? Aku sudah memastikannya nonaktif sebelum tertidur dan bagaimana bisa alarm juga panggilan masuk itu memutarbalikkan fakta?
"Lekas bersiap, Va! Bukannya kamu mau gladi bersih?" Suara vacuum cleaner berdesing di dalam kamar ketika ibu menyadarkan lamunanku. Ponsel di tangan pun kulempar ke atas bantal tanpa berdosa.
Aku bergegas mandi lalu berpakaian. Jam di layar ponselku ternyata sudah menunjukkan angka sepuluh. Rasa-rasanya aku hanya menghabiskan waktu satu jam untuk mandi dan berpakaian, tapi ternyata, ibu bilang aku yang bangun kesiangan. Jadi, bukan Zack yang datang pagi-pagi buta. Setelah memaksaku untuk menyantap nasi goreng buatan Ibu, Zack mendapat kehormatan membawaku ke mobilnya seperti pemuda yang baru mendapat restu.
Apa saja yang mereka bicarakan ketika aku sedang sibuk di dalam kamar? Aku yakin Zack melontarkan terlalu banyak bualan sampai-sampai ibu rela membiarkanku pergi dengan Zack. Tanpa pertanyaan tentang setting-an yang masih hangat di media-media. Seharusnya ibu curiga. Paling tidak, ia punya cara mengantisipasi agar desas-desus di media sosial tidak berkembang. Kuakui memang Zack sejenis manusia yang pandai membujuk dan mendongeng. Ibu mungkin sudah termakan omongan manisnya.
Di dalam mobil, Zack lebih banyak bicara soal film barunya yang bakal rilis. Banyak wawancara yang akan dilaluinya dalam minggu ini katanya. Yah, aku hanya mendengarkan dan sesekali menanggapi. Berpura-pura antusias padahal aku tidak tertarik dengan omongan tidak penting miliknya. Jadi, sembari mendengar celotehannya karena menghargai ia yang sudah semena-mena menjemputku, aku menelengkan kepala dan memandanginya seperti orang yang terpesona.
Zack salah tingkah. Berdeham bolak-balik. Jemarinya merapikan poni yang lebih mirip seperti tirai pintu di keningnya. Setelah omongan panjang lebarnya yang bagai penyiar radio, barulah aku mengemukakan pertanyaan yang seharusnya sudah terlontar sejak ia masih duduk menyantap nasi goreng ibu.
"Kenapa kamu menjemputku?"
Zack menoleh ke kiri, memandangiku sejenak.
"Kamu yang meneleponku tadi malam dan memintaku untuk datang jam delapan."
Keningku mengerut. Menatap wajah Zack siapa tahu dia cuma bercanda. Terkadang dia memang suka kepedean. "Aku nggak menelepon kamu tadi malam."
"Oh, ya? Jadi yang jam tiga dini hari menelepon terus merengek minta dijemput itu siapa?"
Spontan aku memeriksa riwayat panggilan. Rasanya mustahil. Tapi apa yang dikatakan Zack benar. Pukul 03.05, dua kali panggilan, Zack menjawab di panggilan kedua. Durasi lima belas menit, dan itu terbilang lama jika hanya dipakai untuk meminta Zack menjemputku. Jadi, inikah alasan mengapa ponselku menyala? Dia sudah berani menghubungi Zack.
"Apa yang kamu omongin ke aku tadi malam, bener-bener bikin aku nggak nyangka, Va."
Apa? Apa yang aku katakan pada Zack sampai pemuda ini tidak bisa berhenti tersenyum-senyum. Aku pun terbengong, mungkin kubiarkan saja Zack menceritakan semuanya.
"Seandainya kamu mau jujur sama aku dari awal, aku pasti bakal lebih memperhatikan kamu. Soalnya sikap kamu kalau kita jumpa selalu cuek, ternyata sikap cuek kamu itu karena ada sesuatu." Zack membias tawa. Wajahnya tersiram cahaya matahari yang menyilau dan menyengat. "Seperti yang udah kita sepakati tadi malam. Mulai sekarang, aku bakal lebih perhatian sama kamu."
"Maksud kamu?"
"Selama ini kita pacaran hanya untuk menaikkan popularitas. Aku senang kamu akhirnya menyambut perasaanku. Jadi, aku sudah memutuskan. Aku akan bicara ke media buat mengakui kalau akulah yang membuat kamu terluka. Aku bisa bilang saat itu aku sedang mabuk. Tapi sekarang kamu sudah memaafkan aku dan kita berbaikan. Orang-orang pasti percaya dan kemesraan kita yang dulu bakal menghiasi dunia hiburan lagi. Kali ini tanpa setting-an."
Aku tidak bisa sepenuhnya percaya pada omongan Zack tapi tampaknya itulah yang sudah kuomongkan tadi malam. Itulah alasan mengapa Zack datang dan bersikap super manis dan tampan. Kami jadian. Kami berpacaran.
Tidak. Itu bukan aku. Dia yang tampaknya tergila-gila pada Zack dan menggunakan diriku sebagai alat melampiaskan hasratnya. Kalau sudah sampai sejauh ini, tampaknya benar apa yang dibilang ibu. Aku harus waspada.
Tak banyak kata-kata lagi harus kuucapkan pada Zack. Soal pembicaraan yang tadi malam tak kuketahui kubiarkan saja menjadi pertanyaan di dalam kepala. Aku tidak ingin menyangkal di hadapan Zack sebab jika aku melakukannya, ia pasti menganggapku gadis aneh pengidap gangguan mental. Tentu aku tidak seperti itu. Aku tidak boleh seperti itu. Kuikuti saja permainan ini dan kita lihat apa yang akan dia lakukan sebelum akhirnya aku benar-benar memberontak.
David menyapa Zack dengan penuh keakraban begitu kami tiba di gedung teater tempat akan di selenggarakannya ajang penghargaan bergengsi perfilman Indonesia. Aku menjadi salah satu pengisi acara hiburan.
Bukankah ini kesempatan yang bagus? David bilang, pihak penyelenggara memintanya untuk mempersiapkan Ivanka menampilkan yang terbaik sebagai penyanyi pendatang baru yang sedang digemari oleh semua generasi. Aku sudah mempersiapkan dua lagu. Luka berat dan satu lagu recycle berjudul Andai yang dipopulerkan oleh Gigi Band tahun 90'an.
"Kita dikasih waktu dua jam buat gladi bersih. Kamu udah siapin lagu?" Aku mengangguk. "Bagus. Tapi kita punya sedikit kendala." David menoleh ke belakang, mencari seseorang. Ia bertanya pada gitarisku tentang orang yang bernama Marthin, tapi tampaknya ia kecewa. "Mungkin lagi ke toilet," katanya padaku setelah itu.
"Semua personil band sudah lengkap?" tanyaku lagi.
"Itu yang tadi mau aku kasih tahu. Pio mendadak ga bisa datang karena sakit. Tadi malam Pio kecelakaan sepeda motor dan kakinya patah."
Aku mengernyit. "Pio kecelakaan?"
David mengangguk simpati lalu mengembalikan situasi menjadi lebih baik. "Jangan khawatir, aku sudah cari penggantinya. Yang penting pertunjukan kamu ga terganggu."
Zack dan aku saling berpandangan. Ketiga personil bandku yang berdiri di sekelilingku juga terlihat kesah. Salah satu dari mereka meyakinkan kalau drummer pengganti yang ini memiliki kemampuan sebanding dengan Pio. Arga—si keyboardist—mengaku bahwa dialah yang menawarkannya pada David.
Dari balik punggung David, seorang pria berkulit putih, model rambut pompadour dengan sedikit brewok di rahangnya muncul dengan senyum menyeringai. Ia hanya mengenakan celana jeans robek-robek selutut dan kaos V-Neck kelabu, melihatku dengan gelagat canggung dan malu.
Arga memperkenalkannya padaku. Namanya Marthin dan dialah si drummer pengganti yang katanya sebanding dengan Pio. Aku berjabatan tangan dengannya. Tersenyum sekadar.
"Aku lihat dulu kemampuan kamu. Kalau bagus, kita bisa lanjut. Tapi kalau aku ga suka, David harus cari yang lebih baik lagi." Aku melirik David. "Penampilanku besok malam harus sempurna. Aku ga mau ada satu saja yang membuat musikku jadi jelek. Jadi, aku mohon kerja sama dari kalian semua."
Keempat cowok band itu mengangguk paham. Aku tahu mereka adalah orang-orang yang tangkas dan hebat. Aku beruntung mendapatkan mereka yang mau bekerja keras untuk membantuku menampilkan yang terbaik di atas panggung.
Zack mengambilkan gitar elektrik oranye yang menjadi ikon seorang Ivanka. Waktu bergulir dan beradu dengan suara musik yang mendukung. Suaraku menggema ke segala penjuru gedung. Penyanyi-penyanyi lain yang akan turut mengisi acara menontoniku sambil menikmati. Sebagian dari mereka tertarik, sebagian juga sudah pasti tak suka karena menurut mereka, aku hanyalah penyanyi baru yang masih bau kencur. Seharusnya tidak patut disejajarkan dengan mereka-mereka yang sudah melanglang buana di industri musik Indonesia.
Mikrofon berdiri tegak di depan bibirku. Aku memainkan lagu Luka Berat dalam tempo Andantino dengan penghayatan yang matang. Di bawah panggung, aku bisa melihat Adelia, penyanyi senior yang populer setelah memenangkan ajang pencarian bakat dua tahun lalu melihatku dengan wajah masam sambil bersedekap. Duduk menyilangkan kaki dan entah mengapa ia bisa sebegitu tak sukanya sedari awal aku berdiri di sini. Kentara.
Aku mengabaikan. Suaraku meninggi dalam bridge sebelum masuk ke dalam chorus kedua. Fokusku berada di dua arah saat mendengar pukulan si drummer baru. Ini adalah bagian yang paling menentukan jika harus menguji ketepatannya mengiringi musik. Ada jeda kosong setelah bridge yang seharusnya diisi dengan permainan drum.
Ya, aku mengulum senyum. Benar apa yang dikatakan Arga dan David, si drummer baru berhasil mengimbangi musikku dengan sangat baik. Dia patut mendapat apresiasi dariku. Kujabat tangannya dengan lontaran pujian bahwa aku puas. Aku senang dengan permainannya, aku senang dengan permainan para band pengiringku dan aku berjanji akan memberi mereka bonus tambahan jika performa kami nantinya lebih baik dari ini.
Aku tidak pernah membayangkan jauh sebelum ini. Dulu, aku hanya bisa menonton siaran langsung penghargaan film Indonesia hanya lewat televisi. Penampilan para artis yang datang menghadiri begitu indah dan memesona. Gaun-gaun mahal, setelan jas mahal, sepatu mengilap, make-up terbaik dan tatanan rambut memukau, mereka semua tampak berkilau di mataku. Ini sebuah kebanggan besar bagi diriku sendiri bisa hadir di tengah-tengah mereka.
Satu jam pertama, aku hadir dan duduk sebagai tamu di kursi penonton. Penampilanku sebisa mungkin kusamakan dengan para artis wanita yang gemerlap itu. Aku ada di sini sebagai pengisi acara. Dandanan ikonikku yang sudah menjadi ciri khas tak bisa kusingkirkan begitu saja. Zack ada di sampingku mendampingi setelah bersusah payah menghindar dari para pemburu berita.
Dia sudah mengaku dan membuat sosial media heboh lewat instastory. Apa yang pernah dikatakannya soal pengakuan itu bukan main-main. Zack mempertaruhkan pamornya hanya demi mendapat dukungan dari orang-orang. Ia sempat membuatku pusing menyaksikan tingkah para netizen yang membombardir direct message dan juga kolom komentar akun gosip. Aku sampai tak berani memposting apa pun sampai benar-benar siap. Mungkin setelah acara ini.
Terkadang, menyingkirkan masalah sejenak adalah cara satu-satunya untuk mencari jalan yang lebih baik. Aku tidak berharap masyarakat bersimpati terhadapku, aku hanya ingin mereka melihatku sebagai penyanyi yang berprestasi. Seseorang yang dipuja lewat lagu dan penampilannya yang memukau.
Begitupun dengan malam ini, jika aku berhasil memuaskan semuanya, David bilang, besar kemungkinan promotor bakal melirik. Setidaknya menawari mini konser tunggal untukku, atau festival bersama musisi lain. Aku harus bisa menghidupkan panggung, membuat mereka antusias dan lupa sejenak pada kehidupan di luar sana. Ini adalah penampilan yang menentukan masa depan karirku. Manusia begitu mudah jatuh cinta pada lag, tetapi menarik perhatian orang-orang tidaklah mudah. Aku bersusah payah untuk mencapai itu. Bila dikatakan lelah, terus terang iya. Sebagian diri Vanny Marhein menghilang beberapa kadar. Ada bagian dalam diriku yang saling bertabrakan. Sulit membedakan mana yang berupa cita-cita, dan mana yang berupa ambisi konyol.
Aku butuh kebijakan matang pada diriku sendiri.
Di belakang panggung, aku mempersiapkan diri dan memperbaiki penampilan. Alat-alat makeup seperti lipstik, eyeliner dan rekan-rekannya tersusun seperti tiang Totem. Rani—asistenku yang multitalenta—membantu segala yang kuperlukan. Aku butuh jus jeruk segar yang sudah menjadi kebiasaanku sebelum performa, aku butuh pendapatnya tentang ini dan itu demi memastikan penampilanku sudah yang terbaik. Setelahnya, ia dan MUA berkedok wanita yang dibawanya pun keluar dari ruang ganti.
Suara host di panggung menggema. Para pengisi acara senior berlalu lalang di sekitar dan berswafoto. Mereka mengajakku tetapi aku menolak dengan alasan sedang mempersiapkan diri.
"Lima menit lagi, Ivanka masuk!" kata pria berbaju hitam, salah satu anggota EO. Kepalanya yang semula melongok ke dalam ruang ganti ditarik mundur. Meninggalkanku sendiri.
Memastikan sekali lagi. Cermin di depanku tak mungkin bohong. Makeup look tampilan flawless bold terus terang membuat Ivanka terlihat sedikit berbeda dari keseharian, skiny scarf motif batik yang membalut leher berpadu sempurna dengan white dress selututku. Hematom di lenganku sudah memudar dan aku tidak memerlukan jaket kulit untuk menutupi aib.
Aku gugup. Kesendirianku di dalam ruang ganti memanipulasi kepercayaan diriku di dalam kamar sempit dan senyap. Mendadak, entah sebab apa, aku mengalami migrain. Begitu sakit hingga aku harus memejamkan mata berusaha meredakannya. Sesaat pandanganku berubah layaknya film yang diputar. Fokusku berubah, denyut yang tak bisa ditahan.
Kemudian dalam sekejap yang tak dapat kuhindari, aku pun ... menghilang.
***
Pantulan wajah di cermin menunjukkan bahwa aku berhasil. Gadis di cermin itu menyeringai. Dia cantik, penampilannya gemerlap dan—ya, aku bisa mencium harum tubuhnya yang sangat kusuka.
"Ivanka! Ke panggung sekarang!"
Aku membalikkan tubuh dan mendapati seorang pria dengan headphone dan mikrofon yang melintas di pipi kirinya memanggil. Dia mengulurkan tangannya dan menuntunku.
"Hei, tunggu. Siapa namamu?"
Pria itu tersenyum lalu menyebutkan namanya. "Aldo."
Tanganku sudah berada di genggamannya dan ia hanya perlu menghentakkannya sekali.
"Aldo?" Seringaian di bibirku mengundang ketertarikannya. Ia menunduk malu dan aku merasa lucu dengan gelagatnya. "Hmm ... kamu ganteng. Kenalin, aku Melani."
Copyright By I. Majid
Medan, 05 September 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro