Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sebelas [Gegai]

"Eh ... eh!" Seorang wanita tua berusia sekitar enam puluh tahunan tiba-tiba menghampiriku dengan langkah tergopoh-gopoh. Kedua tangannya memegangi bahuku. "Kamu jatuh!"

Pandangan mataku terasa seperti tampilan lukisan berbayang. Aku menemukan diriku berlutut di atas lantai koridor, di depan pintu apartemenku. Kepalaku terasa pusing bagai ditekan-tekan. Aku melihat ke sekeliling, koridor yang sunyi, langit-langit dengan pencahayaan menyilaukan, juga aroma parfum yang terasa gatal di hidung.

"Ivanka? Kamu baik-baik saja?"

Tampaknya kesadaranku belum sepenuhnya pulih. Wanita itu membantuku berdiri, namanya Kusuma, aku biasa memanggilnya Eyang Suma dan dia adalah tetangga sebelahku.

"Apa yang terjadi?" tanyaku.

Ah, bukankah itu pertanyaan bodoh? Aku pasti baru mengalami amnesia, tertidur di bawah alam sadar tubuhku sendiri. Entah siapa yang mengambil alih diriku sebelumnya. Aku tidak ingat, tentu saja aku tidak pernah bisa mengingat. Aku hanya tahu, aku sedang duduk bersama Zack di acara Aldero Talk Show lalu mendadak kepalaku sakit, aku tertidur tanpa tahu apa yang terjadi selama—

"Jam berapa ini?" tanyaku pada Eyang Suma.

Wanita ini masih memegangi lenganku seakan-akan takut aku terjatuh lagi. Ia melihat jam tangan berwarna keemasannya kemudian memberitahu, "Jam Sebelas. Bukannya tadi kamu live di Aldero Talk Show?"

"Iya. Seharusnya."

"Seharusnya bagaimana maksud kamu?" Suara Eyang Suma santun. Aku melihat tatanan rambutnya yang kurasa baru saja disemir sore tadi, wajahnya masih berias dan lipstick di bibirnya itu masih utuh. Mungkin ia baru pulang arisan atau pesta.

"Ee ... enggak, Eyang." Aku membuka scarf yang entah bagaimana caranya berubah menjadi kerudung yang membungkus kepalaku. "Eyang ... Terima kasih sudah membantu. Tampaknya Iva butuh istirahat."

Eyang Suma tersenyum, lalu menepuk pundakku lembut. "Saya terkejut lihat kamu tiba-tiba jatuh, saya pikir kamu mabuk. Pasti kamu kecapean, ya?"

"Kurasa begitu."

"Ya sudah, kamu istirahat. Selamat malam, gadis cantik," pujinya bersama dengan jemari yang menyolek pipiku.

Begitu aku masuk, kulihat Eyang Suma sedang menempelkan ponselnya ke telinga kemudian berjalan ke arah apartemennya.

Apa saja yang terjadi selama Melani atau—entahlah—aku tak mampu berpikir terlalu banyak. Lebih tepatnya, aku mengabaikan itu sejenak. Aku mencampakkan scarf yang menggerahkan itu ke atas kursi tunggal. Apa yang terjadi padaku, semakin membuat diriku tampak bagai orang yang terombang-ambing di udara. Terkadang kemampuanku untuk mempertahankan diri menghilang dengan cara yang tidak masuk akal. Jika sudah terjadi begini, biasanya aku mengabaikannya, biasanya aku mengalihkan kegiatanku pada hal yang bersifat menghibur. Itulah sebabnya aku bermain musik.

Namun aku tidak tahu apakah identitasku yang lain juga memiliki keahlian yang sama denganku dalam bermain musik. Setahuku, Melani hanya pandai bernyanyi. Karakternya yang kasar dan nekat barangkali menjadi bahan dasar bagi dirinya untuk bereksperimen. Dr. Jihan pernah bilang kalau Melani adalah identitas yang suka menunjukkan kekuasaan dirinya pada orang lain. Ia tidak ingin ada satu saja orang yang menganggap dirinya lemah, ia suka mencari perhatian orang-orang dengan cara yang tidak akan pernah disangka-sangka. Baik atau kejamnya ia pada orang lain, tergantung bagaimana cara ia melihat mereka.

Sebelum kuputuskan untuk tidur, aku membersihkan tubuhku. Mandi dengan shower yang memancurkan air hangat. Lega, dan rasa sakit di kepalaku berangsur hilang. Kupikir, setelah aku mengalami kejadian yang terlupakan, aku bisa tertidur setelahnya, tetapi nyatanya aku mengandalkan pil tidur itu lagi. Sebelum obat itu benar-benar memengaruhi otakku, aku memeriksa sosial media. Barangkali aku bisa mendapat jawaban dari sana.

Aku berkelana ke akun Instagram @aldero_talkshow demi mencari satu saja postingan video wawancara kami. Kefokusanku bertambah ketika tahu bahwa ternyata mereka mempostingnya begitu cepat. Di situ, potongan video soal ciuman bibirku dengan Zack menjadi sesuatu yang diperbincangkan. Komentar para netizen beranekaragam. Aku hampir tidak sanggup menontonnya, lebih tidak sanggup membaca komentar-komentar itu.

Seorang Ivanka terlihat begitu liar dan binal. Aku tidak pernah menjadikan Ivanka segila itu selama berhubungan dengan Zack. Kalau saja ibu menyaksikannya, ia pasti sangat kecewa. Namun, sialan! itu acara live, ibu pasti sudah menyaksikannya. Aku bisa membayangkan bagaimana malu dan kecewanya ia terhadapku, meskipun aku tahu ibu tidak menganggap kalau itu adalah aku.

Gadis itu Melani. Aku yakin itu Melani, aku tidak punya kendali apa-apa di menit-menit yang panjang. Lalu ketika kulihat slide video berikutnya tentang pertanyaan rahasia yang dilontarkan Aldero, dadaku spontan digempur rasa kecemasan berdetak-detak. Melani menjawab sekenanya tentang masa lalu itu, tentang ayah. Ia berhasil memutarbalikkan fakta dan aku sedikit takjub.

Kalau saja aku berada dalam kesadaranku waktu itu, entah apa yang akan terjadi. Yang jelas, sesuatu yang lebih buruk bisa saja datang dan memperparah keadaanku. Acara talk show tersebut mungkin berantakan, aku mengalami gangguan, dan semua orang akan menyangka bahwa Ivanka benar-benar artis yang suka mencari perhatian.

Di sela keseriusanku mencari video penuh di youtube, tiba-tiba layar gawaiku berubah menjadi panggilan masuk. Wajah cantik ibu muncul di layar. Ia pasti ingin menanyakan sesuatu, atau mungkin ia hanya ingin memastikan bahwa aku baik-baik saja. Tentu saja aku salah, aku sudah berjanji padanya untuk memberi kabar jika sudah pulang, tetapi aku malah melupakannya.

Aku menggeser layar ke mode answer. Begitu salamku terdengar dan dijawab oleh ibu, aku membelalakkan mata mendengar apa yang dikatakannya.

"Ibu sudah ada di depan pintu apartemen kamu, Nak. Tolong bukakan pintunya. Ibu ingin masuk."

"Ibu? Kenapa ibu datang?" tanyaku panik. Aku turun dari tempat tidur dengan gawai yang masih menempel di telinga kemudian berjalan ke arah pintu depan sembari memastikan bahwa ibu tidak datang sendiri. Riska ada bersamanya, dan kurasa aku tidak harus begitu khawatir.

Ibu langsung memelukku begitu aku membuka pintu. "Vanny!" serunya. Tubuhku tersentak menerima perlakuan mendadak itu. Di sebelahnya, Riska mendengkuskan napas, melirik kami malas. "Kamu baik-baik aja, huh? Katakan pada ibu, apa yang terjadi?"

"Vanny baik-baik aja, Bu. Maaf Vanny lupa memberi kabar karena kecapean."

"Enggak." Telapak tangan ibu meraba kedua pipiku, kemudian menyentuh kepalaku, terakhir, matanya memindai seluruh tubuhku seperti mesin scan otomatis. "Eyang Suma memberitahu ibu kalau tadi kamu pingsan di depan pintu. Apa betul?"

"Eyang Suma?" Ibu mengangguk. Jadi yang tadi Eyang Suma telepon itu ibu? Sejak kapan mereka bersekongkol mengawasiku seperti ini? "Ibu suruh Eyang Suma ngawasin Vanny?"

"Ibu minta tolong karena ibu pikir Cuma Eyang Suma tetangga kamu di lantai ini yang paling baik dan peduli." Aku mengernyitkan dahi, memutar tubuh dan berjalan masuk ke dalam bersama dengan perasaan tak mengerti. "Vanny, katakan sesuatu."

"Vanny baik-baik aja, Bu. Cuma kecapean, tapi Vanny udah minum obat dan sekarang Vanny mengantuk." Sebenarnya karena efek obat tidur yang kuminum sudah mulai bekerja.

"Jangan bohong, Va! Kami tahu." Riska menimpali, dan aku terdiam dibuatnya. Ia menatap mataku dalam-dalam dengan tangan bersedekap. "Kamu pasti mengalami amnesia lagi 'kan? Kalau kamu bilang kamu baik-baik saja, ceritakan apa saja yang terjadi selama kamu ada di acara Aldero Talk Show."

Mataku melirik ibu, melirik Riska, bergantian. Napasku terbuang kasar kemudian menghempaskan diri di atas sofa. Takada yang bisa kuceritakan pada mereka. Tentang video yang baru saja kutonton, mereka bahkan sudah lebih dulu tahu mengenai itu. Alhasil aku terdiam dan menaruh penglihatanku pada tepi meja kayu dengan pandangan kosong.

"Vanny?" Ibu mengambil duduk di sebelah kiriku. Udara serasa menghangat kala ia membaurkan napasnya di udara yang sama denganku. "Tidak apa, ceritakan saja. Ibu tahu itu bukan kamu. Vanny-nya ibu tidak mungkin berperilaku senonoh itu di depan semua orang. Ibu tidak akan menyalahkanmu, ibu tidak akan marah."

Bibirku tergigit, sulit untukku mengatakan apa yang terjadi sebab aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Riska duduk di seberangku, alih-alih menatapku malas, ia seolah siap untuk mendengar ceritaku.

"Vanny tidak tahu apa-apa." Wajahku menunduk, bantal sofa yang berada di atas paha kuremas-remas bagian ujungnya, lantas tanpa persiapan, aku mengisak. "Maafin Vanny, Bu ... Kurasa bukan hanya Melani yang menjadi alterku, entah siapa lagi Vanny tidak tahu."

"Maksud kamu, ada seseorang lagi selain Melani?"

"Entahlah ...."

"Di mana Marthin? Kenapa dia tidak menjagamu? Ibu sudah bilang padanya, bukan?"

"Waktu Eyang Suma melihat Vanny jatuh, sebenarnya Vanny baru sadar. Entah bagaimana caranya Vanny tiba-tiba sudah ada di depan pintu apartemen. Mungkin Marthin yang mengantarku, mungkin Zack, atau David atau—" Aku menarik napas, kesulitan melanjutkan kalimat. "Vanny benar-benar tidak tahu."

Ibu menghela napas, mengelus lenganku dan aku senang setiap kali ia memperlakukanku begitu. "Ini sudah tidak bisa dibiarkan, Va ... bagaimanapun kerasnya kamu menolak. Ibu akan minta dr. Jihan untuk datang menemuimu. Ibu akan menghubunginya besok pagi."

"Tapi, Bu—"

"Kamu butuh penanganan. Kamu butuh obat. Ibu tidak mungkin membiarkan gangguan kamu semakin parah. Ini semua juga demi kebaikan kamu, 'kan?"

"Kalau kamu masih terus-terusan sibuk memikirkan karirmu, mau sampai kapan? Sampai pribadi asli kamu menghilang dan keadaanmu semakin buruk?" imbuh Riska. "Berpikirlah rasional, Va. Beruntung kamu tidak dianggap gila oleh mereka. Suatu hari, seseorang pasti akan mengetahuinya, Marthin juga tidak bisa dipercaya seratus persen."

"Paling tidak ada penanganan cepat. Kamu harus mengantisipasinya. Apa sebenarnya yang membuatmu ragu?"

Ujung lidahku membasahi bibir dan aku kembali menunduk. Apa sebenarya yang membuatku ragu? Karir? Masa depanku? Segala yang sudah kubangun susah payah apakah harus semudah itu kupertaruhkan? Namun, apa yang dikatakan Riska ada benarnya. Tak ada yang bisa menjamin aku baik-baik saja tanpa penanganan dari psikiaterku. Di saat seperti itu saja, Melani berani mengambil alih kesadaranku di tengah-tengah acara live. Nantinya, entah kapan lagi, mungkin Melani akan melakukan hal yang lebih nekat tanpa melihat situasi. Kemudiansemua orang akan menganggapku aneh. Seperti teman-teman sekolahku dulu yang mengataiku anak gila, tidak bisa dipercaya, membuangku di setiap tugas kelompok, lalu melumuriku dengan air comberan bau.

Meski tak mungkin teman-temanku yang sekarang melakukan hal sekeji itu, tetapi tetap saja, tidak ada yang bisa menjamin kekejian itu tetap mengendap di dasar-dasar logika.

Ibu kembali membujuk. "Kamu sudah sukses, sudah punya banyak tabungan dan rezeki kamu mengalir sangat lancar. Seharusnya tidak ada kendala lagi di segi biaya. Semua ini tergantung kamu, kamu harus memenuhi niat kamu untuk sembuh."

Kedua wanita itu tahu, mungkin faktor kembalinya gangguan yang kualami karena pengobatanku dulu belum tuntas sepenuhnya. Terlalu mahal biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatanku. Seminggu sekali aku harus melakukan konsul dengan dr. Jihan, menghabiskan dana jutaan rupiah untuk sekali pertemuan. Belum lagi untuk membeli obat antidepresan. Sebagai anak asuh yang merasa insecure, aku tidak mungkin terus-menerus menyusahkan ibu dan bapak. Menyadari kebaikan hati mereka membiayaiku sekolah saja sudah merupakan hal yang patut kusyukuri, konon lagi membayangkan kesulitan mereka mengumpulkan uang untuk pengobatanku.

Demi apa yang ada di dunia ini, demi apa yang pernah kumiliki seumur hidupku, keluarga ini merupakan anugerah yang paling indah yang pernah kudapatkan. Tak ada keluarga yang lebih baik dari mereka, tidak bahkan orang tuaku sendiri.

Bahkan ketika kesuksesan merangkul nasibku, mereka tak sedikitpun mengurungkan kasih sayang itu. Meski kecemburuan Riska terkadang menyakitkan, tetapi aku menganggap itu merupakan hal lazim. Lihatlah apa yang ia lakukan untukku sekarang, gadis itu begitu peduli. Lalu, apakah aku harus mengecewakan mereka?

Kemudian dengan tekad yang kubesar-besarkan, aku menyetujui usul ibu.

Manakala rasa kantuk menyergap, aku memisahkan diri ke kamar. Ibu dan Riska kubiarkan menginap di sini, di kamar tamu tempat ibu pernah menempatinya.

"Tolong, kunci pintu kamarku dari luar," pintaku pada Riska saat ia sedang mengambil air putih di dapur. "Aku tidak akan keluar kamar sampai besok pagi."

Riska mengangguk paham. Aku menaruh kunci ke atas telapak tangannya. Saat kudengar anak kunci berputar di luar kamar—untuk ke sekian kalinya dalam hidupku—aku merasa gegai. Seperti narapidana psikopat.

Copyright by I. Majid
Medan 17 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro