[Nanap] -- Ending
Klinik Almarhumah dr. Jihan Khairi memiliki interior minimalis yang mengesankan. Aku suka, tetapi aku tidak suka jika harus memandangi ruangan bercorak bunga dandelion keputih-putihan untuk waktu yang lama. Kebosanan akan membuatku mengesahkan napas lebih puluhan kali.
Aku duduk di sofa, menyesap latte. Memandangi pria yang duduk di kursi kerjanya. Ia menyilangkan kakinya, salah satu siku tangannya menumpu di lengan kursi, jemarinya memainkan dagu. Dia menatapku, tersenyum – senyum sejak tadi.
Ayolah, dia sangat tampan. Aku tidak bisa menahan diri untuk terus duduk di sini bersama pertanyaan-pertanyaan monoton. Ia sudah melalui sesi obrolan bersama Kinara dua menit yang lalu. Sudah selesai. Psikiater muda itu sudah mengetahui kepribadian si Yogini yang humoris, santai dalam segala hal tetapi menderita Aichmophobia akut. Jangan tunjukkan jarum ataupun benda tajam pada Kinara, ia tak akan sanggup membuka mata.
Mungkin itu sebabnya, senyum si psikiater masih tersisa meski ia sudah tahu siapa yang sekarang duduk penuh keanggunan sambil menyesap latte.
"Baiklah, apa sesi hari ini sudah selesai?" tanyaku sembari menaruh cangkir di atas tatakan. Tanpa suara. Kembali menegakkan tubuh. "Jika sudah, aku ingin bersantai sebentar."
"Setelahmu, adalah giliran Natasya," jawabnya, "Tapi—" Dokter berkulit putih bersih dan tetap pada paras penuh keramahan itu bangkit dari kursinya. Berjalan untuk lebih dekat denganku dengan satu tangan bersembunyi di saku celana bahan berwarna krim. Ia menjulang di depanku. "Ada satu hal yang ingin kutanyakan. Sebagai leader, kamu tentu tahu siapa yang paling berhak menentukan keputusan."
Sepertinya ini akan menjadi pembicaraan yang serius. Aku pun berdiri, searah pandang dengan wajahnya yang masih terus memperhatikanku.
"Jika kamu ingin kami mengembalikan Vanny padamu, aku tidak bisa. Kami sudah sepakat untuk membuat Vanny aman dengan menidurkannya. Bukankah itu yang diinginkannya selama ini?"
Ketukan stiletto-ku menggema saat melangkah lebih dekat dengan meja kerja berbahan kayu jati, beralih darinya. Pena yang terlihat tidak simetris dengan buku catatannya kurapihkan, sejajar lurus di samping buku catatan yang tertutup.
"Ivanka, kamu tahu aku sudah sangat lama ingin bertemu dan bicara dengan Vanny. Delapan tahun aku menunggu momen ini. Tujuh tahun, aku menekuni ilmu psikologi untuk bisa menyembuhkan trauma Vanny."
"Rama," potongku. "Aku memanglah kepribadian baru, tapi aku tahu, Ivankalah yang diinginkan Vanny selama ini. Ia menginginkan kami semua demi kebebasan jiwanya sendiri. Dan sekarang, kamu ingin kami mengembalikannya?"
"Vanny adalah Vanny. Dia punya kenangan buruk, tapi dia juga punya kenangan indah semasa hidupnya. Kalian tidak bisa membuat sekat itu semakin meninggi."
Rama melangkah, berdiri di belakangku, aku bisa mencium aroma cardamomdan lavender menyatu saat ia mendekat. Aroma ini menenangkan, aku menghidunya perlahan. Rama adalah pria dengan sentuhan elegan yang mampu menggairahkanku.
"Itu terdengar arogan." Aku menoleh padanya. Menelisik wajahnya sedemikian dalam. "Apa kamu mencintainya?"
Rama terdiam. Tanpa ekspresi, tetapi dengan tatapan tajam yang tidak pergi ke mana pun selain padaku. "Aku ... menyayanginya."
"Lebih spesifik. Aku ingin mendengar yang lebih spesifik."
"Apa dengan aku mengatakannya maka kamu akan mengizinkannya keluar?"
"Vanny tidak pernah meminta. Jadi aku tidak perlu memberi izin apa pun."
Sudah satu tahun sejak peristiwa menggemparkan di dalam stadion, segala sesuatu berubah secara signifikan. Orang – orang yang dulunya menganggap Ivanka adalah artis dengan gangguan jiwa mengalihkan pola pikir mereka menjadi pemakluman bahwa Ivanka pengidap gangguan split personality. Rama membantuku—membantu kami—sebagai psikiater yang paling bertanggung jawab menangani kelainan Vanny. Usut punya usut, ternyata Rama adalah asisten dr. Jihan yang sudah satu tahun lamanya menjadikan psikiater berkharisma itu panutannya.
Rama sudah lama mencari cara agar bisa lebih dekat dengan Vanny. Kesulitan itu bertambah – tambah mengingat Vanny ternyata adalah Ivanka—seorang penyanyi yang sedang naik daun dan tentu sulit untuk ditemui. Ditambah gangguan cemas Vanny setiap kali bertemu secara sengaja atau tanpa sengaja dengan Rama, dinding pembatas itu semakin menebal, sulit ditembus.
Selama satu tahun sejak peristiwa itu pula, Rama berhasil memperbaiki nama baik Ivanka. Disosiasi—sebagai sistem adaptasi diri paling ampuh—merupakan cara kognitif seorang Vanny untuk melindungi diri dari ingatan buruk masa lalu. Teori – teori itu dikembangkan Rama, ia kerap kali menjadi salah satu bintang tamu di beberapa acara Talk Show yang mengundangku untuk menjelaskan lebih detail kepada publik tentang penyakit langka tersebut. Namanya menjadi sorotan akhir – akhir ini. Klinik dr. Jihan yang kini dioperasikan olehnya menjadi tempat yang dipercayai sebagai wadah konsultasi bagi para pengidap gangguan psikologis mulai dari anak – anak hingga dewasa.
Keakraban kami semakin terlihat. Aku semakin dekat dengannya. Terkadang ayah justru memercayakanku pada Rama meski ia sendiri sudah tahu bahwa Vanny tak akan kembali untuk waktu yang tak bisa diterka.
Aku—sebagai Ivanka—adalah alter berusia dua puluh tiga tahun yang jauh lebih dewasa dibanding Vanny. Kami telah berusaha melakukan yang terbaik untuk Vanny, menghidupkan dunianya menjadi lebih berwarna. Disosiasi seolah tak lagi berperan sebagai sebuah sistem untuk bertahan hidup, membekukan trauma, mengubur memori, tetapi bergeser menjadi sebuah upaya mengubah kepribadian yang bersifat permanen dan lebih kuat.
Mungkin itulah yang menjadi target baru Rama kali ini. Entah dari segi mana, aku mencium maksud lain sedang berkelindan di sini.
Rama masih di posisi yang sama saat berusaha membuka jalan pikiranku. "Aku tahu kamu sudah berusaha menjadi leader yang kuat bagi pasukanmu. Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan kepribadian baru muncul satu persatu. Aku hanya tidak ingin tubuh Vanny diperlakukan semakin tidak manusiawi."
Kami adalah gerombolan pasukan berjumlah enam dengan karakter yang berbeda – beda. Rama, ayah dan juga ibu, mengkhawatirkan jumlah itu bertambah. Beberapa di antara kami bisa saja berkomplot untuk memperbaharui diri, menciptakan karakter baru yang belum kami miliki. Perkembangbiakan itu bisa terjadi kapan saja, bahkan tanpa aku ketahui.
Masing – masing dari kami memiliki keinginan, bakat juga ambisi yang berbeda – beda. Tidak terkecuali soal ketertarikan terhadap lawan jenis. Kinara pernah mengaku kalau dia sangat mengagumi Rama. Melani sudah tak punya harapan lagi pada pujaan hatinya sejak Zack meninggal. Begitupun dengan Fatimah yang menyesalkan diri pernah jatuh cinta pada seorang Marthin yang bengis. Natasya sebagai alter yang berusia paling muda hanya mengandalkan orang – orang dewasa untuk bisa memenuhi keinginan kekanak-kanakannya. Sementara Jerome, ia lebih senang menyibukkan diri mengamati alur politik di negerinya sendiri.
Sedangkan aku? Ya, terus terang aku sudah menyimpan rasa pada pria yang kini sedang bicara padaku.
"Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku, Ram?"
"Bantu aku. Seperti yang sudah kuceritakan padamu, aku menjadi psikiater bukan untuk memuaskan diriku sendiri. Ada seseorang di kejauhan sana—seseorang yang sejatinya sangat dekat denganku—membutuhkan aku. Ayah dan ibu angkatnya mengandalkanku. Mereka rindu pada Vanny, Va ... bagaimanapun Vanny adalah anak mereka. Bu Hafni menjadi orang yang sangat terpukul mengetahui keadaan anaknya yang seperti ini."
"Ibu masih belum bisa menerima kami."
"Tentu sulit. Kamu tidak tahu apa saja yang sudah dilaluinya untuk membuat mental Vanny membaik selama ayahnya tidak ada. Kamu pikir, Ivanka ada berkat siapa? Berkat bu Hafni juga 'kan?"
Aku beralih lagi pada meja kerja Rama, membenahi nameplate bertuliskan nama lengkapnya diikuti gelar spesialis, membuatnya lurus dengan jarak Delapan sentimeter dari tepi meja.
"Ivanka?" Rama menggugahku. Aku masih diam, memikirkan kebolehjadian atas apa yang dimaksudkan Rama selanjutnya.
"Apa kamu sadar ke mana arah pembicaraan ini sebenarnya?" Kening pria itu mengernyit kecil. Aku bersedekap. "Sejak tadi yang kamu bicarakan soal Vanny, Vanny dan Vanny. Apa kamu tahu soal perasaanku? Dan sekeras apa pun kamu meminta kami untuk mengembalikan Vanny, faktanya tak ada satu pun dari kami yang tahu bagaimana cara mengeluarkan Vanny."
Kemudian, sesuatu yang tak kuduga terjadi. Rama justru tersenyum seakan menyimpan maksud tertentu.
"Kenapa kamu malah senyum – senyum?" tanyaku penasaran.
"Dengar, aku akan bicara lebih frontal padamu. Hanya padamu, Ivanka."
"Apa?"
"Apa kamu cemburu karena sejak tadi kita membahas Vanny?"
"Um ... a – aku—" Ah bagaimana mendadak aku jadi gugup? Tatapan mata Rama semakin membuat gelagatku terseok, seakan ia menyedot hatiku untuk masuk ke dalam sana.
"Aku senang kalian mau memercayaiku sebagai psikiater. Sangat menyenangkan mendengar cerita – cerita kalian. Tapi apakah kamu pernah berpikir? Bahwa dengan siapa aku bicara sedekat ini selain denganmu?"
"Hei ... hei, apa – apaan ini? Ivanka, apa sebenanrnya yang ingin dikatakan Rama" Melani protes. Disusul yang lain. Kinara mungkin cemberut dan memilih untk bermeditasi.
"Kalian sedang membicarakanku?" tebaknya.
"Rama, aku paling tidak suka disuruh menebak – nebak. Katakan saja apa maksud pembicaraan ini."
Lagi – lagi, Rama menunduk lalu mendongak dengan bibir tersenyum yang sejak tadi tak melonggar. "Aku ingin kita lebih dari sekadar hubungan psikiater dan pasien. Aku ingin menjadi seorang yang lebih berarti dari itu." Jantungku berdebar, telingaku mendadak berevolusi menjadi alat peresap kata-kata yang lebih handal dibanding sebelumnya. "Aku memang sangat menyayangi Vanny, aku sudah menganggapnya sebagai adik bahkan sejak delapan tahun silam. Tapi aku tidak menampik bahwa aku jatuh cinta padanya. Lebih tepatnya, jatuh cinta pada seseorang yang lain di dalam dirinya. Seseorang ... yang sekarang sedang berdiri di hadapanku dengan wajah menegang."
Mataku mengerjap – ngerjap lantaran tak bisa berpikir, bahkan suara gerombolan di dalam kepalaku tak terdengar sama sekali. celakanya, aku semakin tak berkutik, tak dapat berkata – kata, tetapi rasa di dadaku meluap – luap bagai didihan air panas.
Rama tersenyum sesaat sebelum berbalik meninggalkan aku. Ia membuka pintu ruangan dan melongokkan kepalanya ke luar sebentar untuk bicara dengan seseorang. Tak sampai satu menit kemudian, dia kembali. Membawa dua cangkir minuman pekat yang tampak hangat.
Ia menyodorkan salah satunya padaku. Aku terdiam sejenak lantas bertanya, "Apa ini?"
"Secangkir cokelat panas. Untuk merayakan kebersamaan kita."
Rama lagi-lagi tersenyum. Sedangkan aku masih pada keterdiamanku memandangi cangkir itu. Cairan berwarna cokelat pekat, asap halus melambung ke udara, aroma cokelat yang menenangkan, rasa pahit bercampur manis creamer seakan mengecap di bibirku.
Aku memandanginya, memandangi dan terus memandangi. Memusatkan penglihatanku pada isi cangkir, aku merasa cairan berpola bundar itu bergerak memutar. Satu arah. Perlahan meneduhkan, mendamaikan dan—menyadarkan.
Saat cangkir itu berhenti berputar, aku mengedipkan mata. Menggelengkan kepala kecil, kemudian mendongak. Pada wajah yang sangat kukenal dan yang kutahu penuh dengan keramahan itu, aku terbeliak.
"Kak Rama?"
"Vanny?" Rama menyebut namaku. Tiga kali untuk memastikan sementara aku hanya mengangguk bingung, memandangi ruangan asing yang tak pernah kulihat sekali pun.
Untuk sesaat berikutnya, Rama meletakkan kedua cangkir di atas meja kerja. Ia membenamkan bibir, menyeringai sumringah. Memencet tombol telepon interkom di atas mejanya. "Vanny sudah kembali! Minta mereka untuk masuk, sekarang!"
Aku memandangi diriku yang berpakaian formal, aroma parfum yang menyengat dan rambut yang kurasakan lebih lembut dari yang kupunya. Namun, aku mengabaikan penampilanku. Ketika Rama menutup teleponnya, ia membenamkan bibir, tersenyum lagi, lalu seperti hasrat yang terpendam terlalu lama, Rama memelukku.
Aku tersentak ke dalam pelukannya. Hampir tak bisa mendengar kata-kata yang diutarakannya. Terlebih saat kulihat pintu ruangan terbuka, aku nanap.
Ibu ada di sana, berjalan cepat menghampiriku dan merebutku dari pelukan Rama. Mengelus wajahku seumpama raga yang lama sekali tak terlihat.
Kemudian seorang yang terakhir kali hampir kudengar suaranya, ayah menangis terharu, memelukku begitu erat, menciumi keningku, menciumi pipiku dan berkata, "Terima kasih sudah kembali dalam kehidupan ayah, Nak."
Satu per satu, aku melihat mereka serupa sosok – sosok yang terlupakan. Keramaian yang terasa senyap, kalimat yang sulit kupahami, sambutan yang menyenangkan tetapi membingungkan.
Saat Rama kembali padaku, menelisik wajahku penuh prasangka, aku mendengarkannya.
"Vanny ... Kakak tahu kamu bingung dengan semua ini. Jangan panik, tetaplah tenang dan rasakan kasih sayang mereka mengalir ke dalam pikiranmu. Kami senang kamu kembali."
Aku tidak tahu Rama berperan sebagai apa dengan bicara begitu padaku. Aku juga tidak mampu mengingat apa yang ia lakukan padaku terakhir kali. Bagaimanapun, aku juga tak mampu mengingat alasan keberadaan ayah di sampingku saat ini. Yang kuingat adalahtentang kebersamaan kami bertiga di suatu tempat yang dipenuhi lantunan musik country, lampu-lampu pijar yang melilit-lilit kasau, denting gelas yang bergesekan, tawa-tawa sumringah, aroma cokelat, aroma lemon, pena yang diketuk-ketuk, cerita konyol, gambaran tentang aku dan ayah yang sedang berfoto, dan juga—kilasan–kilasan adegan yang mengubah kesenangan itu menjadi kengerian.
Pandanganku tertuju pada David, pada ibu, pada ayah, pada satu orang yang tak kutemukan keberadaannya dan terkahir—pada Rama.
Mereka mungkin mengira aku bangga berada di sini, alih – alih sebaliknya, aku pun berkata, "Bukankah, aku harusnya sudah mati?"
T A M A T
27 September 2020
Hola... Makasih udah baca Behind the Stage sampai tamat ya.. Thorjid senang sudah menamatkan cerita yang unik ini.
Mau tau pendapat juga kesan2nya dong setelah baca ini 🤗🤗 di kolom komentar sini 👉👉
Terima kasih atas dukungan setia kalian selama ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro