Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Lima Belas [Kematian Sang Penolong]

Saat aku tersadar dalam posisi terduduk, aku mendapati tubuhku mengenakan pakaian babydoll berwarna oranye. Aku melihat jam dinding, pukul 12.25. Ajaibnya, dr. Jihan masih ada di kamar yang sudah sedikit rapi. Sedikit saja pada bagian baju yang semula bertebaran, kini terlipat di dalam almari. Masih ada beberapa helai pakaian tertinggal, seolah menjadi bukti bahwa ada sisi baik yang pernah terjadi selama aku tertidur.

"Waw!" gumam dr. Jihan. "Vanny? Apa itu kamu?"

Aku mengangguk - anggukan kepala kecil dengan pandangan masih menerawang ke mana-mana.

"Ternyata, Natasya adalah anak yang penurut."

"Apa ... dia lucu seperti yang diceritakan ibu?"

"Yah, cukup menghibur. Dia juga pandai memanfaatkan orang lain." Dr. Jihan memisahkan bokongnya dari kursi tunggal untuk mengambil kamera. Menonaktifkannya. "Sejauh ini, saya sudah bicara dengan mereka bertiga. Mungkin, saya perlu bicara lagi dengan mereka beberapa hari ke depan, tampaknya ada sesuatu yang sedang mereka rencanakan dan ada beberapa yang masih bersembunyi."

"Direncanakan?" Aku membeo.

"Tidak usah terlalu kamu pikirkan, itu masih asumsi saya saja. Soal Melani, kamu tidak perlu takut lagi, dia sudah berjanji padaku untuk tidak menyakitimu."

"Melani berjanji? Itu ... terdengar tidak masuk akal," sangkalku.

"Tidak, Vanny. Satu hal yang kamu belum tahu tentang Melani, dia adalah pribadi yang berprinsip dan tidak pernah berdusta. Aku percaya padanya, dia pemilik karakter yang sangat kuat dan bisa melindungi kamu."

Aku mengembuskan napas lega mendengar penuturan dr. Jihan sebelum aku teringat akan sesuatu. "Tapi ibu? Melani sangat membenci ibu bahkan pernah hampir membunuh ibu."

"Kepribadiannya hanya sedang tidak stabil waktu itu karena trauma kamu luar biasa mengejutkannya. Dia meminta maaf, aku akan menyampaikannya pada bu Hafni nanti."

Aku ingat, tentang direct message yang kubaca sebelum percobaan pembunuhan itu terjadi, aku begitu gemetar ketakutan. Pesan teror itu, memang tidak pernah lagi muncul, tetapi tetap saja—

Astaga! Tiba-tiba aku juga ingat soal secarik kertas yang dituliskan Rama untukku dan juga—pesan teror itu. Kalimat itulah yang menjadi trigger bagi Melani untuk keluar hingga terjadi kekacauan di dalam kamarku.

"Aku akan memberimu resep obat anti-depresan dan anti-psikotik. Tapi tetap, lima hari ke depan, kamu harus datang ke klinikku." Ia memberikan kertas bertuliskan resep obat padaku. "Kamu harus meminumnya untuk mengurangi rasa sakit kepala dan juga kecemasan. Saya rasa kamu sudah paham soal aturan minumnya."

"Umm ... dok, soal—"

Aku hendak mengungkapkan sesuatu soal pesan teror yang entah sudah berapa kali menghantuiku, tetapi entah mengapa, lidahku kelu bahkan untuk sekadar membuka mulut pun aku sulit. Alhasil, tak ada satu kata pun keluar dari mulutku kecuali helaan napas yang meragu.

"Ya, Vanny? Ada yang ingin kamu ceritakan?" tanya dr. Jihan

Aku berpikir, mengalihkan pembicaraan. "Umm ... Bu – bukannya ... klinik dokter ada di Pekanbaru?"

Dr. Jihan tersenyum. Di sana aku melihat sesuatu yang sangat nyaman bertengger di antara lekuk-lekuk wajahnya. Semacam peredam rasa sakit yang abstrak. Seandainya sejak lama aku bertemu dengannya, mungkin kondisiku tidak sampai seburuk ini.

"Saya baru saja membuka klinik baru di Jakarta, dan saya akan lebih banyak jam konsul mulai sekarang. Kamu bisa menghubungi saya jika ingin bertemu." Dr. Jihan menyiapkan segala keperluannya, menyandang tas kulit mahalnya. "Hasil pertemuan hari ini akan saya kirim ke email kamu. Saya pulang dulu."

Aku menjabat tangan dr. Jihan sembari mengucapkan terima kasih. Mengamati ia keluar kamar dari balik punggungnya.

***

Semalam, aku meninggalkan pesan untuk David, bahwa aku sudah siap untuk kegiatan syuting video klip. Aku kelelahan. Dari sore hingga malam, aku, ibu dan Riska bergotong-royong membersihkan kamarku. Hiasan-hiasan dinding diturunkan, perkakas tak penting dikeluarkan dan aku baru sadar kalau kamarku menyimpan begitu banyak benda tak terpakai yang akhirnya menjadi sampah. Aku membeli wallpaper dan meminta mereka memasangnya malam itu juga. Tentu aku tidak akan bisa tidur dalam keadaan kamar horor seperti itu.

Pagi ini, di lokasi syuting, David menyapaku dengan penuh kehangatan. Studio tertutup yang dikelilingi dengan alat peraga serba silver seolah memberikan angin segar untuk mengembalikan semangat hidupku. Resep dari dr. Jihan sudah kutebus dan sudah kuminum beberapa kali. Membawanya ke mana-mana seperti dulu aku memerlukannya di dalam tas.

Aku merasakan tubuhku lebih segar dari sebelumnya. Saat syuting selesai, David mendekatiku dan menanyakan perihal hubunganku dengan Zack. Aku memang belum menceritakan apa – apa padanya, insiden mengerikan kemarin menyita waktuku, menyita kemampuan profesionalismeku. Sudah kuduga, Zack pasti memberitahu David lebih dulu dan aku tak tahu apa saja yang dibicarakan pemuda itu sampai – sampai David terkesan menginterogasiku.

Bagaimanapun alasannya, sejauh apa pun hubungan kami, kukatakan pada David bahwa akut tidak bisa menjadikan Zack umpan. Aku tahu dia sangat mencitnaiku, rela melakukan apa saja demi diriku. Tetapi aku tahu, ia hanya mencintai Ivanka, bukan Vanny. Bukan Vanny yang menderita gangguan psikologi yang tanpa ia sadari selama ini sebagai alat untuk pemuas nafsu Melani.

Zack tidak pernah tahu itu. Jadi keputusanku untuk berpisah darinya, menurutku adalah cara terbaik untuk kami berdua.

David tentu sangat memahami. Seperti biasa, seperti sesuatu yang telah kembali dari dirinya, David mengatakan kalau semuanya akan baik-baik saja, Ivanka tau beres! ucapnya seperti itu. lalu ia mengajakku dan Rani untuk makan siang, tapi tidak di Street café. Entah mengapa aku jadi sedikit anti dengan tempat itu semenjak beberapa kali pertemuanku secara tidak sengaja dengan Rama.

Di sepanjang perjalanan menuju tempat makan yang sudah dipilih David, aku memeriksa kanan dan kiri ruas jalan. Lebih tepatnya, aku ingin tahu di mana letak klinik dr. Jihan sesuai dengan alamat dari kartu nama yang ia beri semalam. Kebetulan kami berada di sepanjang jalan yang sama. Aku akan menunjukkanya pada David, kupikir pria itu juga harus tahu. Aku juga ingin tahu lebih dulu agar mudah menemukannya nanti. Beberapa bangunan ruko yang kujumpai merupakan padanan antara kantor lawyer, kantor asuransi dan bank swasta. Sedangkan di bagian kanan, terlihat beberapa ruko yang masih kosong namun tidak sepenuhnya sunyi kecuali satu ruko yang dipenuhi dengan karangan bunga ucapan bela sungkawa.

Aku mengabaikannya sejenak. Karangan bunga itu ramai berdiri, memenuhi bagian depan ruko yang letaknya menyudut. Itu hanya karangan bunga saja, tidak terlihat begitu banyak tamu yang datang melayat. Sekilas, aku membaca ucapan dari salah satu papan bunga kehijau-hijauan yang membuatku kaget.

"Turut berbela sungkawa, atas meninggalnya dr. Jihan Khairi, SpKj"

"David, berhenti!" kataku tiba-tiba.

Pria di sebelahku terkejut, mengerem mobil mendadak sampai tubuhku tersental ke depan. Rani mengeluh sakit di belakang karena jidadnya terantuk jok depan. David menoleh ke belakang, memeriksa apakah tindakan mendadaknya memberi efek bagi pengendara lain. Beruntungnya jalanan tidak terlalu ramai. Kini David memasang tampang heran bercampur marah.

"Ada apa sih, Va?! Kamu bikin aku terkejut. Untung nggak ada mobil di belakang."

"Ma ... maaf," ucapku sederhana.

Melihat gelagatku yang gelisah memperhatikan sesuatu di jalur kanan, David mengikuti arah ke mana pandanganku tertuju. "Kamu lihat apa?"

Tidak salah. Karangan bunga yang kubaca tadi, benar ditujukan untuk dr. Jihan Khairi. Jantungku serasa mencelos ke bawah, aku merasakan kejutan yang tak dapat kuumpamakan. Demi Tuhan, baru satu hari yang lalu aku bertemu dengannya, bicara dengannya, dan sekarang di depan mataku, karangan bunga itu memberitahuku bahwa dr. Jihan sudah wafat.

"Dr. Jihan Khairi, SpKj?" David menoleh cepat padaku setelah membaca papan bunga itu. "Itu dr. Jihan yang kamu bilang itu? Bukannya semalam kamu bilang—" David menjeda omongannya. Melihat reaksiku yang tampak bingung dan hampir meneteskan air mata, ia pun meminta Rani untuk turun dan memastikan.

"Innalillahi wa inailahi roji'un." Aku menaruh telapak tangan kananku di dada. "Dr. Jihan orang baik, Dav ... aku lihat semalam beliau baik-baik saja ...." Aku mulai gelisah, mulai mencemaskan sesuatu. Berpikir tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Lalu David pun menenangkanku. "Hei, tenanglah ... kita akan tahu jawabannya sebentar lagi. Kita tunggu Rani."

Tak lama berselang, Rani kembali masuk ke dalam mobil dengan wajah memerah terkena panas.

"Bagaimana?" tanya David.

"Dr. Jihan kabarnya meninggal karena serangan jantung tadi malam," ujar Rani.

"Tadi malam?" tanyaku memastikan lagi.

"Ya, tadi malam, dan jenazahnya sudah diberangkatkan ke Pekanbaru. Ruko itu adalah klinik Almarhumah yang baru dioperasikan tiga minggu yang lalu."

Secepat itu? Dan aku bahkan tidak mendapatkan kabar sama sekali. Belum sempat melihat jasadnya, belum sempat memanjatkan do'a untuknya. Lantas dengan pemaklumatan yang kubuat-buat ditambah dengan kalimat menenangkan David, aku memahaminya. Serangan jantung bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja, dr. Jihan bukanlah pengecualian. Hanya saja aku merasa kesedihan itu mendalam mengingat baru satu hari yang lalu aku bertemu dan berkonsultasi dengannya.

Lantas yang terpikirku, tampaknya akan ada kelelahan baru di hari ke depan demi mencari pengganti dr. Jihan. David pun kembali melajukan mobil. Namun aku masih dengan ketidakrelaan melepas jangkauan mataku dari ucapan-ucapan bela sungkawa. Sekilas pandang, aku justru melihat Rama keluar dari klinik itu dan masuk ke dalam mobil sedan putih.

***

Aku berupaya menceritakan soal meninggalnya dr. Jihan pada ibu dengan cara tak menangis, dengan menunjukkan bahwa aku akan baik-baik saja selama beberapa hari ke depan, sebelum menemukan dokter pengganti. Aku juga menceritakan hal yang sama pada Marthin—sahabatku—ya, aku menyebutnya sebagai sahabat sejak entah kapan, mengingat ia selalu berada di waktu kebetulan untuk menolongku.

Seolah masih belum percaya dengan kepergian dr. Jihan yang terlalu cepat, aku pun mencari tahu soal kronologi sebenarnya. Aku menemukan artikel-artikel tentang profil psikiater tersebut di situs internet, terutama di situs online kedokteran. Penelusuranku berhenti pada sebuah artikel yang membahas khusus tentang biografi dr. Jihan. Banyak kutipan kata-kata sebagai ucapan berbelasungkawa dari rekan – rekan seprofesinya. Di sana dijelaskan, bahwa dr. Jihan mengalami serangan jantung mendadak di area parkir sebuah Mall. Ia gagal masuk ke dalam kabin kemudi mobilnya sendiri. Tergeletak di bawah kolong mobilnya dalam keadaan telungkup dan ditemukan lima menit kemudian saat ada orang lain yang melihatnya. Nahas, dr. Jihan sudah meninggal dan tak mungkin bisa diselamatkan.

Seharusnya, aku bertemu dengannya lusa nanti. Itu yang ia sarankan padaku. Lalu aku teringat soal hasil konsultasinya kemarin. Aku memeriksa email, berharap dr. Jihan sudah mengirimkan hasil pengamatannya, tetapi aku tidak menemukan apa-apa selain email pemberitahuan kartu kredit yang lama sudah tidak kubuka. Bagai tak punya harapan lagi, aku merasa pertemuan kami kemarin tidaklah berguna selain resep obat yang sangat manjur itu.

Melalui telepon, ibu memberi saran agar aku mencari dokter pengganti segera. Jika harus pergi ke klinik dr. Jihan untuk mendapatkan rekaman medisnya, ibu atau Marthin bersedia menemaniku. Namun aku menolak, aku masih belum bisa merasakan kehilangan orang yang sangat kupercaya. Menjalin hubungan dengan serang psikiatri bukanlah perkara mudah. Bagi host seperti diriku, mungkin aku bisa menyesuaikan diri, tapi belum tentu identitasku yang lain bisa memercayai si psikiatri baru. Atas dasar itu, aku pun mengundurkan rencana itu.

Aku masih punya obat, aku masih bisa menebusnya kembali jika sudah habis. Seperti rencana awalku, aku akan menyelesaikan tanggung jawabku terlebih dahulu sebelum masuk ke masa hibernasi.

Copyright by I. Majid

Medan, 22 September 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro